Abstract:
This article aims to analyze the role of Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) as Indonesian muslim student movement in facing the postmodern era. The development of information and communication technology has implied many social and cultural changes in human life. The development of technology creates the “new world” for people, which is very different with physical world in which the human lives. Rationality –in many aspects— becoming problematic with its disobediance with morality and ethical aspect of social beings. As a consequence, it makes all things transformed into absurdity on the social and moral aspects. The postmodern era now being criticized by muslim student movements who emphasize their action and position on moral and religious aspect.Thus, KAMMI should face this as a challenge: how KAMMI respond and see this phenomenon as a social reality? Can KAMMI deal with those problems based on its built and basic paradigm? What would KAMMI envy as a solution? This article, as a response to those problems, will reinterpretate, elaborate, and adapt KAMMI's paradigm --as ontological base of this movement-- in a new context as a tool for reconstructing the realms of post-modern Indonesia.
Keywords: KAMMI, Post-modernism, paradigm, change.
A. Prawacana
Zaman bergerak. Realitas menunjukkan, kemajuan tekologi dan informasi telah mengantarkan manusia pada struktur masyarakat yang begitu kompleks. Realitas bukan hanya dipandang dari realitas fisik, melainkan juga realitas maya. Kita berada pada masa di mana modernisasi menapak pada wujudnya yang lebih kompleks.
Kemajuan teknologi telah menciptakan dunia baru –komunikasi elektronik— yang bersilangan dengan realitas fisik. Akibatnya, eksistensi terdefinisikan ulang. Teori-teori sosial menjadi absurd. Teknologi dan komunikasi berjalan melampaui batas negara. Karena itu, banyak pihak berpendapat, inilah titik klimaks modernitas yang mengarah pada sebah titik jenuh, hingga melahirkan era baru: era pasca-modern.
Secara garis besar, artikel ini mencoba untuk memetakan seting realitas yang dihadapi oleh bangsa Indonesia ketika kita memasuki era pasca-modern. Dengan adanya pembacaan atas seting realitas tersebut, artikel ini mengelaborasi interpretasi ulang atas paradigma KAMMI agar dapat kontekstual dalam membaca perkembangan zaman.
Argumen utama dari artikel ini adalah bahwa perkembangan zaman telah melampaui masa modern, atau yang penulis sebut sebagai masa pascamodern. Masa tersebut ditandai oleh absurditas dalam realitas sosial, hingga menimbulkan beberapa ekses. Realitas yang absurd tersebut menjadi fakta sosial manakala manusia masuk dalam wilayah-wilayah berpikir tersebut dan mengejawantahkannya dalam perilaku sosial. Akibatnya, cara berpikir pun turut pula bergeser ke arah tersebut.
KAMMI memiliki basis ontologis yang jelas, tercermin dari paradigma yang menjadi tolak ukur KAMMI untuk membaca realitas. Pada titik ini, argumen tersebut perlu dielaborasi dan direspons oleh KAMMI. Maka, reinterpretasi paradigma akan memudahkan penulis dalam membaca persoalan secara lebih mendalam dan menawarkan agenda-agenda pembaruan secara lebih komprehensif.
B. Dari Tradisional ke Modern, Lantas Apa?
Masyarakat modern adalah antitesis dari masyarakat tradisional. Setidaknya, ada beberapa hal yang menjadi tipe masyarakat modern.
Pertama, industrialisasi. Kuntowijoyo menyebut bahwa industrialisasi adalah proses tak terelakkan dari perjalanan kehidupan masyarakat, sebab ilmu dan pengetahuan teknologi yang didapatkan melalui proses pendidikan akan memberikan pola pikir baru bagi masyarakat. Maka, industrialisasi –sebagai implikasi dari adopsi iptek ke dalam kehidupan sehari-hari— juga menjadi konsekuensi logis dari proses tersebut.
Adanya proses industrialisasi ini juga senada dengan yang disampaikan oleh beberapa pemikir terkemuka seperti Dahrendorf atau Barrington-Moore Jr. Ralf Dahrendorf, yang terkenal dengan perspektif konfliknya, menyatakan bahwa masyarakat industri terwujud jika proses produksi dari komoditas yang beredar di masyarakat telah berjalan secara mekanis. Artinya, aktivitas perekonomian masyarakat modern berjalan sesuai alur yang mekanis dengan struktur yang hierarkis dan organisasional: buruh dan majikan. Maka, Dahrendorf memberi karakter kedua, yaitu mekanisasi.
Ketiga, rasionalisasi. Modernisasi adalah rasionalisasi, kata Nurcholish Madjid. Banyak tesis yang menjelaskan masyarakat modern sebagai sebuah proses akhir dari tradisionalitas. Max Weber mengidentikkan modernisasi dengan rasionalisasi. Menurutnya, dunia modern adalah dunia yang rasional: dunia yang memberikam kebebasan pada manusia untuk mengekspresikan pikiran-pikiran universalnya.
Hal menarik lain yang patut kita analisis dari pandangan Anthony Giddens, seorang sosiolog Inggris, mengenai modernisasi. Mantan staf ahli Perdana Menteri Tony Blair ini beranggapan, modernisasi dapat dimaknai dalam dua perspektif: sebagai mesin perusak dari nilai dan tradisi lokal, namun juga bisa menjadi sebuah peluang untuk menuju tatanan masyarakat yang madani.
Giddens melukiskan kontradiksi antara globalisasi dalam dua perspektif tersebut pada teorinya mengenai tipologi masyarakat tradisional dan post-tradisional. Dalam masyarakat yang bertipe tradisional, aktivitas individu tak ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan yang berlebihan, karena pilihan yang tersedia telah mengacu pada pradeterminasi, berupa kebiasaan, tradisi, atau nilai.
Di sisi lain, masyarakat post-tradisional lebih cenderung tidak memperhatikan kebiasaan-kebiasaan yang “pakem” dilakukan di masa sebelumnya. Justru, masyarakat post-tradisional lebih memperhatikan pertimbangan logis-rasional untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi ke depan.
Masyarakat post-tradisional inilah yang disebut sebagai masyarakat modern. Dalam satu perspektif, masyarakat modern lebih berpikiran rasional; ia dapat memperhitungkan apa yang akan terjadi ke depan dengan pemikiran dan pertimbangan-pertimbangan pribadi, sehingga struktur yang berlaku bisa saja berubah setiap saat. Namun, dalam perspektif lain, modernitas ini justru berkorelasi negatif dengan sustainability dan lingkungan, karena pikiran rasional cenderung berorientasi pada modal dan keuntungan, dengan melepaskan alam sebagai basis kerja. Inilah yang dikritik oleh Giddens.
Giddens, ketika mengulas persoalan gugus institusi dari sebuah dunia modern, menunjuk bahwa ada tiga karakter dari modernisasi: globalisasi, detradisionalisasi, dan social reflexivity. Globalisasi berkaitan dengan semakin berkurangnya jarak antara ruang dan waktu. Ia menyebutnya sebagai “distanciation”.
Sementara detradisionalisasi berarti melepaskan diri dari mitos-mitos dan tradisi yang tidak rasional. Sesuatu yang rasional –masuk akal— kini menjadi pertimbangan utama. Tradisi dan kearifan lokal, jika bertentangan dengan rasionalitas, akan dikategorikan sebagai antithesis dari modernitas.
Lantas, ketika kita telah masuk pada era modern, dengan adanya masing-masing karakter pada realitas objektif saat ini, apa yang terjadi? Modernisasi ternyata bergerak dan melahirkan realitas baru yang terpisah dari realitas fisik yang nyata. Muncul realitas maya. Dalam cara berpikir yang rasional, adanya realitas maya ini akan cenderung mengabsurdkan realitas nyata. Proses bersosial kini tak lagi dilakukan dengan bertemu face-to-face, melainkan cukup melalui handphone atau chatting di internet.
Pada titik itulah kita perlu merekonstruksi dunia pascamodern. Ada banyak perdebatan mengenai era modern dan pascamodern. Namun, kita dapat melihat beberapa kata kunci dalam fenomena ini, yaitu globalisasi, kejenuhan modernitas, dan Struktur Masyarakat. KAMMI, sebagai sebuah gerakan mahasiswa yang memiliki visi untuk menciptakan kader pemimpin bangsa dan negara yang Islami (GBHO Pasal 2), dituntut untuk merespons masalah ini dalam sudut pandang baru.
B. 1. Seting Realitas Pertama: Globalisasi Pascamodern
Karakter pertama dari era pasca-industrial adalah globalisasi. The world is flat, kata Thomas Friedman, seorang kolumnis di New York Times. Saat ini, kita telah masuk pada era globalisasi, era absurdnya batas-batas negara. Arus globalisasi yang dicirikan oleh interconnectedness –kata Martin Wolf, seorang ilmuwan Hubungan Internasional— atau distanciation, seperti diungkapkan oleh Anthony Giddens, sosiolog Inggris, menjadi tak lagi terhindarkan di seluruh pelosok dunia.
Globalisasi dalam pandangan Giddens adalah implikasi logis dari globalisasi. Salah satu karakter globalisasi sendiri adalah semakin kaburnya border dan akses atas informasi yang kian tak terbatas. Hal ini dipotret oleh Giddens sebagai, “information produced by specialists (including scientific knowledge) can no longer be wholly confined to spesific groups, but becomes routinely interpreted and acted on by lay individuals in the course of their everyday actions”.
Arus informasi yang tak terbatas ini ternyata tidak dibarengi oleh penyelesaian tiga fenomena: disparitas kaya-miskin, destruksi lingkungan, dan penindasan oleh ruling class. Modernisasi, jika tak terkelola, berpotensi menjadi ‘tersangka’ atas kerusakan yang ada.
Fenomena relasi struktur dan pelaku serta modernisasi yang tak terjaga ini menyebabkan modernitas tidak lebih dari struktur penindas dengan wajah baru. Sehingga, ketika dipandang dalam perspektif yang berbeda, modernitas sama saja seperti unsteerable juggernaut travelling through space, atau kapal ulang-alik yang tak terkendali di tengah samudera ruang angkasa.
Berbicara mengenai globalisasi, maka akan berbicara pula mengenai fenomena sosial-budaya yang melintasi batas negara, mengakibatkan perubahan-perubahan sosial di berbagai aspek. James Rosenau, pakar Hubungan Internasional di George Washington University, telah memberikan dua kata kunci yang menentukan arah geraknya yang begitu luas ke berbagai penjuru dunia: integrasi dan fragmentasi.
Hal tersebut, jika kita tafsirkan secara lebih luas, dapat berarti bahwa globalisasi memiliki karakteristik “menyatukan aspek-aspek sosial ke dalam sebuah standard baru” dan “memfragmentasikan standard tersebut ke berbagai penjuru dunia”. Implikasinya, terjadi perubahan kultural dan sosial.
Dalam era globalisasi, kondisi yang fragmentaris tersebut menimbulkan dampak negatif berupa perluasan dimensi dan lokus konflik. Maraknya gerakan transnasional serta pemahaman-pemahaman keagamaan yang bertabrakan dengan garis pemahaman yang sudah pakem dalam struktur sosial masyarakat juga berpotensi melahirkan konflik yang sama di tempat yang berbeda.
Manifestasinya terlihat dalam konflik MNC-masyarakat desa. Di Papua, Kulon Progo, Bojonegoro, sampai Minahasa, MNC terlibat konflik –atau minimal keberadaannya menimbulkan masalah di masyarakat. Keberadaan aktor-aktor global tersebut tidak hanya memberikan benefit bagi negara, tetapi juga problem.
Problem lain adalah munculnya hegemoni dalam politik internasional yang mengatur order yang ada. Proses globalisasi pada perkembangannya bukan sebuah proses yang bebas nilai. Ia adalah sebuah jelmaan kepentingan dari kekuatan politik dan ekonomi yang mendominasi tata dunia saat ini.
Oleh karena itu, globalisasi tidak hanya dipandang sebagai sebuah kemestian yang dihadapi dalam titik perjalanan manusia. Ada kekuatan-kekuatan yang meneguhkan hegemoninya dalam politik internasional melalui proses globalisasi. Tak hanya itu, terjadi proses universalisasi nilai yang mengarah pada sebuah tata aturan (rezim) yang mengikat pada seluruh warga-dunia. Nilai tersebut disebut oleh beberapa pemikir hiperglobalis sebagai nilai “neoliberal”. Globalisasi menjadi kental nuansa hegemonik. Pada titik inilah globalisasi menjadi problematis.
B. 2. Seting Realitas Kedua: Titik Jenuh Modernitas
Karakter kedua Albert Borgmann, guru besar filsafat dari Universitas Montana, menganalogikan era ini dalam konteks “Marlboro Man”. Publik Amerika Serikat –demikian ia memotret realitas masyarakatnya— memiliki kekaguman besar pada kesempurnaan karakter “Marlboro Man” yang dihadirkan oleh televisi dan media-media Amerika Serikat.
“Marlboro Man” menghadirkan karakter seorang cowboy yang gentle, maskulin, dan tentu diidam-idamkan oleh generasi muda Amerika Serikat pada waktu itu.Akan tetapi, realitasnya sangat kontradiktif. Di saat yang bersamaan, karakter ideal yang dihadirkan oleh televise tersebut justru menyiratkan kepalsuan. “Marlboro Man” hanya berada di televisi sebagai sebuah skenario.
Sehingga, kepalsuan telah beririsan dengan realitas melalui teknologi komunikasi. Kondisi inilah yang ia sebut sebagai “post-modern world”. Dunia postmodern ini masih banyak diperdebatkan oleh para teoritisi sosial, tetapi intinya sederhana: kemajuan telah melahirkan absurditas. Manusia menjadi kian mekanis dan gampang terasing dari realitasnya ketika tidak menceburkan diri ke dalam absurditas tersebut.
Realitas yang muncul dari dunia postmodern adalah realitas yang beririsan dengan konstruksi. Sebagaimana disebutkan di awal, kemajuan teknologi telah memisahkan manusia dengan realitasnya. Hal tersebut tercermin dari pola komunikasi manusia yang kian kompleks. Jika dulu manusia berkomunikasi hanya secara langsung, kini komunikasi mengandalkan jaringan telepon, internet, atau fasilitas teknologi lain yang meniadakan jarak dan waktu.
Implikasi sosialnya, manusia tidak lagi perlu keluar rumah untuk berkomunikasi. Cukup di tempat tinggal, tanpa perlu melihat realitas yang ada di lingkungannya, ia telah menjadi “makhluk sosial”. Persoalannya, bagaimana manusia tersebut merespons masalah sosial yang muncul ketika ia harus menghadapi realitas secara fisik?
Di Jepang, hal ini telah lama menjadi problem. Kita mengenal kelompok generasi muda Jepang yang menarik diri dari lingkungan sosialnya, atau kerap disebut hikikomori. Generasi ini menutup diri dari dunia luar dan menghabiskan waktunya di dalam kamar dengan bermain game, mendengarkan musik, dan lain-lain tanpa berinteraksi dengan dunia luar.
Hal-hal semacam ini, dalam konteks masyarakat Indonesia, akan sangat problematis karena melahirkan individualisme ekstrem. Cara berpikir ini tidak lagi memikirkan dimensi etis ketika bersosial. Gaya individualis akan sangat bertumpu pada apa yang akan melahirkan kesenangan hidup pada dirinya, dengan meniadakan pemikiran atas apa yang menjadi hak orang lain. Akibatnya, modal sosial dikesampingkan. Hedonisme kerap dilabelkan pada cara berpikir seperti ini.
Ekstremnya, cara berpikir tersebut rawan jatuh pada logika “homo homini lupus”, seperti diungkapkan Thomas Hobbes. Manusia akan menjadi serigala bagi manusia lain, alias tak segan membunuh demi kesenangan dirinya. Moral menjadi skeptis. Bagi masyarakat yang mengedepankan etika ketimuran, logika ini akan sangat menghadapi benturan dan kritik.
Singkatnya, kita menghadapi pergeseran dalam soal moralitas. Standard-standard moral yang telah secara tegas terwarisi dari kultur sebelumnya menjadi absurd. Muncul standard baru yang sangat berbeda. Ketika moralitas tersebut bergeser orientasi, muncul kekhawatiran akan ditinggalkannya dimensi etis –yang tersusun karena interaksi sosial fisik dan alam— dan digantikan hedonisme dan individualism.
Selain itu, era pascamodern yang sangat bertipe duniawiyah akan meninggalkan spiritualitas dan agama (sekulerisasi) karena menjadi sulit dinalar dalam realitas yang kompleks. Semuanya didekonstruksi, termasuk agama. Ini yang menjadikan basis moralitas terdefinisi ulang dan berpotensi melahirkan kerawanan-kerawanan karena interaksi dengan alam yang rasional dan meninggalkan etika.
Akhirnya, kita akan dihadapkan pada pertanyaan berikut: Siapa yang men-drive kemajuan zaman? Apakah manusia yang mendesain informasi dan menggunakannya untuk kemajuan, atau justru informasi-lah yang mengonstruksi cara berpikir manusia? Akibatnya, muncul absurditas-absurditas baru. Pada titik ini, era pasca-industrial akan menjadi sangat problematis.
B. 3. Seting Realitas Ketiga: Struktur Sosial Baru
Tentu saja, di sini kita berbicara dalam seting Indonesia, bukan Amerika Serikat. Secara struktur sosial, posisi Indonesia masih berada dalam basis transisional. Struktur masyarakat pedesaan masih berkarakter agraris, yang berarti belum masuk pada era industrial seperti terjadi pada masyarakat perkotaan. Akan tetapi, sadarkah kita bahwa arus globalisasi, secara perlahan-lahan, telah membawa gejala perubahan tersebut di masyarakat kita?
Di satu sisi, masyarakat perkotaan yang berada di wilayah-wilayah basis pembangunan telah siap menghadapi perubahan era tersebut. Tetapi, di sisi lain juga ada mereka yang terpinggirkan oleh proses pembangunan. Golongan seperti buruh, petani, penganggur, atau mereka yang termiskinkan akan menjadi golongan yang sangat marjinal karena tidak memiliki modal mengembangkan kehidupan ekonominya.
Pada titik inilah kita berbicara mengenai unsur “kelas” dan “struktur” sosial. Kelas adalah produk historis, dan pertentangan kelas telah ada sejak zaman dulu. Oleh karena itu, Perjuangan kelas, sebagaimana dipotret Karl Marx dan Frederich Engels dalam Manifesto mereka, adalah sebuah proses sejarah yang mendudukkan kaum-kaum marjinal sebagai aktor perubahan sosial.
Dalam era pascamodern, apa yang mendeterminasi kelas? Marx menyebutkan, “Kapital”lah yang mendeterminasi keberadaan kelas-kelas sehingga memberi jurang antara borjuasi (kaum pemilik kapital) dan proletar (yang tenaganya digunakan untuk melipatgandakan kapital). Tetapi apa sebenarnya “kapital” itu? Dalam konteks masyarakat industrial –ciri masyarakat modern— kapital didefinisikan secara jelas, yaitu faktor produksi. Pemilikannya jelas, yaitu kaum borjuis.
Dalam konteks masyarakat pascamodern, apakah kita masih bisa menyatakan bahwa kelas dideterminasi oleh pemilikan faktor-faktor produksi tersebut? Kita berada pada era di mana faktor produksi bukan lagi berupa mesin-mesin yang dijalankan oleh manusia. Teknologi komunikasi dan informasi kini merambah dunia industry, yang berarti mengubah persepsi mengenai tata kegiatan perekonomian.
Daniel Cohen menyebut bahwa era pasca-industri adalah era jasa dan era informasi. Those who control the information, control the world. Realitasnya, masyarakat perkotaan menggantungkan diri pada informasi yang ditawarkan media massa. Arus ekonomi dan bisnis semakin mengandalkan informasi media. Sehingga, pola kehidupan berubah dari era industri menuju era informasi.
Dalam konteks masyarakat, “informasi” sekarang menjadi kapital-kapital baru yang . Di bidang politik, citra mengalahkan ideologi. Akibatnya, media massa menggantikan basis sosial dalam kampanye-kampanye. Kebijakan tidak lagi dibuat berdasarkan ideologi, melainkan informasi yang ada. Pendeknya, di banyak bidang, telah terjadi perubahan.
Dengan perubahan-perubahan ini, kita perlu menganalisis peta dan seting sosial masyarakat kita secara lebih baru. Jika argumennya adalah bahwa era pascaindustrial mengimplikasikan penggunaan informasi dan arus komunikasi secara lebih intens, struktur kelas pun akan dideterminasi oleh arus tersebut. Kita akan melihat “the well-informed” yang menguasai pasar dan sendi-sendi kehidupan, dengan kaum “less-informed” yang akses informasinya terhambat dan penguasaan atas kapital, sebagai implikasinya, juga menjadi minim.
Penguasaan informasi yang baik tentu dideterminasi oleh pendidikan yang baik pula. Persoalannya, siapa yang menikmati pendidikan di Indonesia? Lagi-lagi, kita akan melihat siapa yang terpinggirkan: mereka yang tak punya uang untuk menyekolahkan anaknya. Kini, pendidikan kian mahal, sementara zaman terus bergerak. Artinya, hanya “the lucky few” –begitu Prof. Amien Rais menyebut mahasiswa— yang akan menikmati informasi yang besar tersebut.
Lagi-lagi, jika kontekisnya seperti itu, kita akan menemukan bahwa konteks kelas sosial sebenarnya tidak akan berputar jauh-jauh dari kemampuan ekonomi yang kini dideterminasi oleh informasi. Era ini yang mengharuskan kita untuk menganalisis siapa the marginal dan siapa the rulers. Kalau basisnya adalah informasi, maka the marginal secara otomatis adalah mereka yang jauh dari pusat informasi dan pusat pertumbuhan.
Secara eksplanatoris, kita bisa menunjukkan bahwa persoalan terdapat pada logika pembangunan yang terlalu sentralistis. Akan tetapi, ada dimensi lain yang melatarbelakanginya. Mengapa logika pembangunan masih melestarikan kesenjangan pusat-daerah, kaya-miskin, atau –dalam konteks global— core dan peripheral? Siapa yang diuntungkan dari proses pembangunan? Bagaimana proses distribusi hasil pembangunan?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menjadi tools untuk menganalisis bagaimana struktur masyarakat industrial berubah ke masyarakat pasca-industrial. Faktor terpenting adalah semakin leluasanya aktor global masuk ke Indonesia akibat proses globalisasi. Tentu hal ini tak terhindarkan. Persoalannya, siapa yang diuntungkan dari proses pembangunan tersebut? Di mana posisi masyarakat ketika berinteraksi dengan aktor-aktor global dan negara?
Sehingga, variabel masyarakat –terutama masyarakat desa— tak boleh absen dari analisis kita ketika memandang proses modernisasi. Masuknya era pascamodern sangat rentan meminggirkan entitas tersebut. Jika tak diperhatikan lebih dalam, akan muncul kaum-kaum marjinal baru yang masuk akibat persaingan zaman.
B. 4. Seting Realitas Keempat: Absennya Etika Politik-Lingkungan
Hal lain yang cukup krusial dalam proses “posmodernisasi” ini adalah semakin ditinggalkannya etika dalam kehidupan. Rasionalitas telah menggantikan moralitas. Sebagaimana pernah disebut Giddens, masyarakat post-tradisionalitas yang mempertimbangkan untung-rugi cenderung meninggalkan etika dan moralitas dalam berperilaku. Akibatnya, kita menemui beberapa kontradiksi semisal kerusakan alam atau dekadensi moral yang dihadapi generasi muda, justru ketika modernisasi sedang mencapai titik klimaksnya.
Di bidang politik, citra rupanya telah mengalahkan etika. Partai-partai politik kini berlomba-lomba untuk mendapatkan jumlah pemilih sebanyak-banyaknya ketika pemilihan umum dengan menjual citra mereka kepada konstituen. Praktis, ketika terpilih, mereka menjadi elit politik yang sangat pragmatis. Tak ada lagi pembahasan soal ideologi politik, yang kini bahkan dianggap hampir using oleh para elit.
Kini, kita mencermati munculnya kecenderungan masing-masing partai untuk bergerak ke arah satu ideologi: ideologi kekuasaan. Aliran-aliran dalam politik kini digantikan oleh orientasi untuk mendapatkan kursi, bukan mengejawantahkan ekspresi ideologis dengan program-program yang relevan. Giovanni Sartori, seorang ilmuwan politik Italia, sebagai fenomena kecenderungan sentrifugal dalam partai politik.
Era reformasi telah melahirkan elit-elit politik baru. Demokratisasi, yang membuka kran kebebasan berpendapat dan berkumpul, berimplikasi negatif pada munculnya para pemodal yang sanggup menggantikan suara dengan sejumlah uang. Fenomena money politics di mana-mana. Keberhasilan kampanye tidak lagi ditentukan oleh seberapa besar dukungan yang bisa diperoleh ketika berkampanye, tetapi justru oleh “serangan-serangan fajar” atau pembagian “logistik”
Dalam proses politik pun, etika sudah meninggalkan hati para elit politik kita. Beberapa fenomena seperti ide renovasi gedung DPR yang menghabiskan dana APBN begitu besar atau studi banding yang bernuansa pemborosan telah dinilai melukai perasaan publik.
Bagaimana mungkin APBN diperuntukkan bagi sesuatu yang terlalu besar, sementara pemerataan pembangunan masih belum sepenuhnya terealisasi? Apa motif dari penggunaan APBN untuk kepentingan elit? Atau, mengapa kebijakan yang dibuat oleh elit-elit politik justru menciderai perasaan masyarakat yang termarjinalkan, yang suaranya dikapitalisasi untuk duduk di kursi parlemen?
Pertanyaan tersebut kemudian mengarah pada satu hal: di mana etika berpolitik elit? Kebijakan yang ada bukan untuk melestarikan kesenjangan. Logika demokrasi tentu bukan diperuntukkan bagi pengokohan hegemoni elit, melainkan untuk kepentingan masyarakat marjinal. Standard moral kini direlatifkan ke masing-masing individu dan hanya dibicarakan di ruang-ruang diskusi atau ruang kuliah.
Sehingga, etika justru absen dalam struktur dan konstelasi politik ketika kita justru telah melangkah pada modernisasi sistem politik. Jika diargumentasikan bahwa modernisasi adalah rasionalisasi, maka rasionalisasi dalam berpolitik, dalam konteks ini berpotensi melahirkan dampak negatif berupa ditinggalkannya nilai, etika, dan moralitas dalam berpolitik. Semua partai akan bertindak rasional dalam menentukan programnya dan tidak lagi mengindahkan perasaan publik dan moralitas universal yang berlaku.
Maka, ketika hal-hal semacam ini bergeliat dalam politik Indonesia, kita akan melihat kecenderungan yang relatif sama: politik telah masuk ke era pascamodern. Absurditas terlihat pada dimensi etis yang kian minim.
Padahal, tanpa etika, tak mungkin tercipta sistem politik yang mampu mendamaikan semua kepentingan. Mungkinkah kita akan masuk pada model anarki baru? Mungkin saja, selama tidak ada langkah untuk merespons hal ini dari kalangan ekstraparlementer.
Fenomena lain juga terlihat dari persoalan lingkungan hidup. Dimensi etika terabaikan ketika kita melihat penambangan liar dan penebangan hutan untuk kepentingan industri. Di Kalimantan Selatan, misalnya, penambangan batubara secara berlebihan membuat bencana kian siaga mengancam kawasan-kawasan sekitar.
Aktivitas penambangan bukan diperuntukkan bagi kepentingan daerah, tetapi untuk melipatgandakan keuntungan yang ada. Listrik padam di mana-mana, sementara perusahaan tambang mendapat keuntungan luar biasa karena dapat mengkapitalisasi sumber daya alam tanpa bagi-hasil yang jelas dengan negara dan masyarakat.
Akibatnya, wajar jika terjadi pemanasan global dan perubahan iklim secara ekstrem. Korporasi dituntut ramah lingkungan. Setidaknya, tugas untuk mengurangi emisi bukan hanya diserahkan pada negara-negara berkembang yang harus berkelindan dengan urusan perut rakyat mereka, tetapi juga menjadi tanggung jawab aktor global macam MNC atau negara-negara maju.
Jika dilihat problemnya, ini juga menjadi domain dari absennya etika lingkungan bagi korporasi. Sehingga, kita berkesimpulan: era pascamodern perlu disikapi dengan pendekatan-pendekatan yang lebih baru. Rasionalitas tentu tidak dapat secara serampangan menggeser humanitas dan dimensi etis. Tugas masyarakat Indonesialah untuk merespons dan menemukan pendekatan baru dalam masalah ini.
Islam mengenal istilah akhlaq sebagai basis moral. Akhlaq Islam bersifat universal, dan memiliki satu basis: ketauhidan pada sang khaliq. Tauhid kepada Allah diejawantahkan dengan berperilaku etis terhadap sesame manusia, dan untuk itulah
Rasulullah menyatakan, “innamal bu’itstu liyutammima makaarimal akhlaq”. Rasulullah diutus untuk menyempurnakan akhlaq. Maka, peran profetis pengikut Rasulullah sendiri sangat kental dengan etika dan moral, bukan lantas merelatifkannya pada unit analisis yang individualistis.
Dengan kata lain, Islam mengintegrasikan etika dalam kehidupan serta menguniversalkan moralitas dengan basis Qur’ani. Era pascamodern tidak lantas membuat umat harus mengabsurdkan diri dalam realitas atau justru mencari pegangan-pegangan baru, tetapi justru berpegang pada basis moralitas yang universal tersebut.
Maka, realitas pascamodern akan mengimplikasikan pembacaan ulang atas dunia dalam perspektif yang lebih kritis dan basis yang lebih moralis. Pada titik inilah warga-dunia menurut peran KAMMI untuk memikirkan langkah menuju masyarakat dunia yang lebih beradab.
C. Bagaimana Peran KAMMI?
Realitas pascamodern dapat kita lihat begitu kontradiktif dengan idealisasi kita mengenai dunia. Maka, dengan beberapa fakta sosial seperti penulis gambarkan tersebut, bagaimana kini KAMMI memandang realitas? Apa pisau analisis KAMMI, sebagai gerakan mahasiswa yang merepresentasikan wajah umat, untuk melakukan rekayasa-rekayasa sosial politik dalam seting realitas pascamodern seperti yang telah penulis gambarkan tersebut?
Penulis yakin, KAMMI adalah gerakan mahasiswa besar. Puluhan ribu kadernya tersebar di pelosok Indonesia untuk mendakwahkan nilai-nilai yang terkandung dalam seting Garis Besar Haluan Organisasi.
Ulasan-ulasan ontologis kini amat diperlukan untuk mengelaborasi nilai dengan tantangan zaman. Persoalan yang dihadapi kini bukan sesederhana mengganti pemimpin dan –dengan demikian— melakukan rekayasa sosial-politik (reformasi), tetapi juga memberikan langkah-langkah pembaruan bagi tata peradaban baru
Ada empat paradigma gerakan KAMMI. Pertama, KAMMI adalah Gerakan Da’wah Tauhid. Paradigma tersebut memiliki tiga tafsir.
1. Gerakan dakwah tauhid adalah gerakan pembebasan manusia dari berbagai bentuk penghambaan terhadap materi, nalar, sesama manusia dan lainnya, serta mengembalikan pada tempat yang sesungguhnya: Allah swt.
2. Gerakan dakwah tauhid adalah gerakan yang menyerukan deklarasi tata peradaban kemanusiaan yang berdasar pada nilai-nilai universal wahyu ketuhanan (ilahiyyah) yang mewujudkan Islam sebagai rahmat semesta alam (rahmatan lil ‘alamin).
3. Gerakan Da’wah Tauhid adalah gerakan perjuangan berkelanjutan untuk menegakkan nilai kebaikan universal dan meruntuhkan tirani kemungkaran (amar ma’ruf nahi munkar).
Kedua, KAMMI adalah Gerakan Intelektual Profetik. Terminologi “gerakan intelektual profetik” ditafsirkan menjadi tiga bagian.
1. Gerakan Intelektual Profetik adalah gerakan yang meletakkan keimanan sebagai ruh atas penjelajahan nalar akal.
2. Gerakan Intelektual Profetik merupakan gerakan yang mengembalikan secara tulus dialektika wacana pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang universal.
3. Gerakan Intelektual Profetik adalah gerakan yang mempertemukan nalar akal dan nalar wahyu pada usaha perjuangan perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan pemberdayaan manusia secara organik.
Ketiga, KAMMI adalah Gerakan Sosial Independen. Kalimat tersebut memiliki tiga makna.
1. Gerakan Sosial Independen adalah gerakan kritis yang menyerang sistem peradaban materialistik dan menyerukan peradaban manusia berbasis tauhid.
2. Gerakan Sosial Independen merupakan gerakan kultural yang berdasarkan kesadaran dan kesukarelaan yang berakar pada nurani kerakyatan.
3. Gerakan Sosial Independen merupakan gerakan pembebasan yang tidak memiliki ketergantungan pada hegemoni kekuasaan politik-ekonomi yang membatasi.
Keempat, KAMMI adalah Gerakan Politik Ekstraparlementer. GBHO menderivasikan kalimat tersebut ke dalam dua tafsiran.
1. Gerakan Politik Ekstraparlementer adalah gerakan perjuangan melawan tirani dan menegakkan demokrasi yang egaliter.
2. Gerakan Politik Ekstraparlementer adalah gerakan sosial kultural dan struktural yang berorientasi pada penguatan rakyat secara sistematis dengan melakukan pemberdayaan institusi-institusi sosial/rakyat dalam mengontrol proses demokrasi formal.
Empat paradigma tersebut, beserta varian-varian tafsirnya, telah menegaskan cara KAMMI dalam memandang dan menyikapi realitas. Artinya, bangunan tersebut dapat kita gambarkan sebagai worldview KAMMI dan menjadi tools untuk merancang agenda aksi ke depannya. Dakwah Tauhid mendeterminasi tiga paradigma lain: basis intelektual, sosial, dan politik berbasis pada tauhid sebagai pilar utama.
Permasalahan pentingnya, bagaimana aplikasi dari tafsir tersebut ketika KAMMI dihadapkan pada realitas pascamodern, yang berbeda jauh dengan realitas ketika KAMMI baru didirikan pada tahun 1998? Tentu saja, dengan usia KAMMI yang sudah menginjak 12 tahun dan sirkulasi kepemimpinan yang cukup kompleks, kita perlu memikirkan kembali wacana gerakan KAMMI di masa-masa yang akan datang.
Tentu saja, revitalisasi tersebut akan sangat mengacu pada paradigma gerakan yang telah dirancang sebagai titik pijak KAMMI. Maka dari itu, dalam rangka menyambut era baru KAMMI dalam muktamar VII KAMMI yang akan diselenggarakan di Aceh mendatang, penulis mencoba untuk mereinterpretasi paradigma KAMMI tersebut dalam ranah kekinian.
C. 1. Re-Interpretasi Paradigma Pertama: Tauhid sebagai Basis Etika Sosial-Politik
Pertama, KAMMI adalah gerakan dakwah tauhid. Dalam konteks realitas pascamodern, apa konstruksi utama dari gerakan dakwah ini dimunculkan ke masyarakat? Tafsir pertama memberikan jawaban: pembebasan manusia atas penghambaan kepada selain Allah dan mengembalikannya kepada Allah. Dengan demikian, spirit yang dibawa oleh KAMMI adalah spirit dekonstruksi dengan tools tauhid.
Secara operasional, hal ini mengisyaratkan KAMMI untuk menjadi gerakan yang berpikir mengakar dan mampu melakukan pembongkaran atas realitas yang dinilai menabrak pilar tauhid, termasuk juga membongkar fenomena-fenomena sosial kontemporer yang meniadakan unsur etika di dalamnya. Seluruh realitas harus dipandang dalam kacamata keberpihakan dan etis, bukan justru menganggap realitas sosial sebagai objek. KAMMI adalah bagian dari realitas dan mesti menentukan keberpihakan secara tegas, kepada kelas sosial mana ia berpihak.
KH. Ahmad Dahlan dulu mengkontekstualisasikan ketauhidan dalam bentuk kampanye Anti-TBC. Fenomena Takhayul, Bid'ah, dan Khurafat menggerogoti aqidah umat karena menjadi bagian dari kepercayaan. Oleh karena itulah, Ahmad Dahlan dan murid-muridnya seperti Hasjim, Syuja', dan Fahruddin, lantas bergabung Mas Mansyur dan Sutan Mansyur, untuk mendirikan Muhammadiyah. Gerakan ini bersifat modernis karena melawan tradisionalitas yang menyimpang dari aqidah.
Muhammadiyah berada dalam seting waktu abad ke-20. Pada waktu itu, seting sosial-politik adalah seting kolonial, dan umat sebagai "kawula" berada dalam posisi marjinal. Akibatnya, kondisi "tertindas" tersebut mengakibatkan penyimpangan aqidah. Lantas, dalam konstruk realitas pascamodern, bagaimana KAMMI menghadapi persoalan aqidah ini.
Era pascamodern adalah era degradasi etika, moral dan spiritual. Akal dipertuhankan. Dunia menjadi begitu materialistik. Unsur ketuhanan dan kemanusiaan dipisahkan (disekulerkan). Maka, tugas KAMMI yang terpenting adalah mengembalikan etika dan nilai ketuhanan tersebut. Dalam basis epistemologi, dakwah KAMMI -apapun bentuknya- adalah dakwah yang mengarahkan manusia untuk kembali pada hakikat eksistensinya, yaitu "Inna lillahi wa inna ilaihi raaji'un". Kita akan kembali pada Allah pada waktunya nanti.
Oleh karena itu, paradigma pertama, yaitu dakwah tauhid ini menjadi determinan dari ketiga paradigma lain. Sebagai intelektual profetik, aktivis sosial, maupun gerakan politik, gerakan KAMMI akan dideterminasi oleh variabel "tauhid" ini. Maka, wajar jika peran kader KAMMI dalam apapun wajah dakwahnya, adalah gerakan untuk mengintegrasikan nalar wahyu (Allah) dan nalar akal (manusia).
Maka, hal yang patut kita baca dari paradigma gerakan KAMMI adalah munculnya tafsir kedua dan ketiga sebagai implikasi tafsir pertama, yaitu integrasi tauhid dalam tata peradaban manusia yang universal serta menyebarkan nilai kebaikan yang universal tersebut ke masyarakat (amar ma’ruf nahi munkar). Dengan demikian, tafsir kedua ini mengisyaratkan adanya universalisme moral Islam –dengan landasan tauhid— dalam perilaku sosial, atau menurunkan dimensi tauhid ke dalam perilaku bersosial dengan manusia. Tauhid tidak sekadar mengucap dua kalimat syahadat an sich, tetapi juga harus diaplikasikan dalam lakon-lakon perilaku sosial.
Prof. Amien Rais ketika masih menjadi Ketua PP Muhammadiyah pernah menggulirkan wacana tauhid sosial yang mengejawantahkan tauhid dalam semua dimensi kehidupan Menurut Amien Rais, Tauhid Sosial merupakan dimensi sosial dari konsep tauhid (pengesaan Allah secara mutlak), agar konsepsi tauhid yang telah terintegrasi di pola pikir umat Islam dapat dipraktikkan pada tataran masyarakat. Implikasi yang diharapkan dari Tauhid Sosial ini adalah munculnya manusia-tauhid (meminjam istilah Amien Rais, lihat Muzakki, 2006) yang mampu berpikir secara arif dengan landasan tauhid dan syariah.
Dalam kacamata Amien Rais, ada lima dimensi Tauhid Sosial. Pertama, keyakinan terhadap keesaan Allah (Unity of Godhead); Kedua, keyakinan atas penciptaan dari Sang Pencipta (Unity of Creation); Ketiga, keyakinan atas dasar-dasar kemanusiaan (Unity of Mankind); Keempat, keyakinan atas adanya pedoman hidup yang mengatur manusia (Unity of Guidance); Kelima, keyakinan atas tujuan hidup manusia sebagai umat muslim (Unity of The Purpose of Life).
Melalui Tauhid Sosial tersebut, umat Islam dituntut untuk mempraktikkan nilai-nilai Tauhid ke dalam realitas sosial secara benar. Seorang muslim tidak cukup hanya menjalankan tauhid dengan meyakini bahwa Allah itu esa, tetapi juga harus peka terhadap urusan kemanusiaan, sehingga muncul keseimbangan antara ibadah dan perilaku sosial. Inilah dimensi sosial dari tauhid yang disebut amal shalih.
Artinya, tauhid harus ditransformasikan dalam bentuk akhlak dan etika sosial. Dalam konteks sosial-politik, etika tersebut tidak hanya diwujudkan dalam aktivitas berinteraksi dengan individu, tetapi juga dalam ruang-ruang publik. Karena KAMMI sedikit banyak berkecimpung dalam politik kampus, hal ini juga akan sangat terkait dengan pengelolaan kekuasaan.
Konkretnya, kader-kader KAMMI yang hadir dan duduk sebagai punggawa publik –pengurus lembaga kemahasiswaan— juga mesti etis dalam bersikap. Sikap politik KAMMI dengan demikian bukan untuk meneguhkan kekuasaan dan tidak sama sekali berorientasi pada upaya mempertahankan kekuasaan dalam jangka waktu yang terlampau lama hingga menjadi rezim “batu”, sehingga seakan-akan menjadi musuh bersama gerakan mahasiswa.
Jika tauhid sudah menjadi etika dan mengejawantah ke persepsi kader KAMMI mengenai realitas, maka yang mesti dilakukan kader KAMMI di lembaga publik adalah menjadikan lembaga tersebut rumah yang nyaman bagi semua entitas gerakan untuk berdialektika sembari menguniversalkan nilai.
Sehingga, orientasi dalam berpolitik menjadi jelas: untuk menegakkan nilai-nilai tauhid, bukan justru menjadikan lembaga kemahasiswaan sebagai alat kaderisasi KAMMI atau partai politik tertentu. Ini yang perlu menjadi catatan bagi aktivis-aktivis KAMMI.
C. 2. Re-Interpretasi Paradigma Kedua: Gerakan Riset Profetik
Kedua, KAMMI adalah gerakan intelektual profetik. Pertanyaan kritis yang perlu kita ajukan, seperti apa format intelektual profetik yang digadang-gadangkan oleh kader KAMMI dalam konstruk realitas pascamodern? Tafsir resminya menyebutkan bahwa intelektual profetik adalah mereka yang meletakkan determinasi ruh atas akal, menderivasikan ilmu untuk kemanusiaan, dan mempertemukan nalar wahyu dan nalar akal.
Dengan kata lain, worldview-nya sudah jelas, yaitu wahyu. Tapi dengan realitas yang kian absurd, tools apa yang digunakan oleh kader KAMMI untuk mengejawantahkan worldview tersebut? Bagaimana mentransformasikan “wahyu” tidak hanya dalam basis epistemologi, tetapi juga dalam metodologi ilmu?
Kuntowijoyo memformulasikan konsep transformasi sosialnya ke dalam empat tahapan berikut: Teologi à Filsafat Sosial à Teori Sosial à Perubahan Sosial. Dengan logika berpikir tersebut, Prof. Kunto ingin menyatakan pada semua aktivis gerakan, bahwa tidak mungkin berpikir melompat dari basis ideologi yang paling mendasar lantas langsung berpikir untuk menghadirkan perubahan sosial instan. Perlu ada ketepatan pembacaan makro dan filosofis atas realitas sosial. Setelah itu, kita perlu mengujinya ke dalam sebuah riset sosial untuk dijadikan referensi dalam mengatur strategi perubahan sosial.
Sadar atau tidak, strategi perubahan sosial yang dirancang oleh banyak gerakan kontemporer cenderung melupakan pembacaan falsafi dan perumusan teori sosial. Kita kadang terlalu asyik dalam pembahasan mengenai dikotomisasi mengenai Islam dan Barat dalam tataran normatif seperti referensi atau kerangka berpikir, tetapi melupakan rancangan metodologis.
Ketika dihadapkan pada fakta-fakta sosial kontemporer, kader KAMMI akan cenderung membuka referensi dari pemikir Islam abad awal, padahal konteks dan realitas sosialnya sama sekali berbeda. Berapa banyak pemikir Islam era kontemporer yang dikutip oleh kader KAMMI sebagai referensi? Berapa banyak penelitian sosial yang dilahirkan oleh kader-kader KAMMI sebagai bakti intelektualnya?
Pertanyaan lain yang lebih metodikal, sudahkah teori-teori sosial yang dianggap bias Barat tersebut diverifikasi ulang? Bagaimana teori-teori sosial dalam paradigma dan worldview Islam diterjemahkan sebagai sebuah metode penelitian? Hal-hal semacam ini, kendati terlihat sepele dan sangat teknis operasional, penting untuk menunjukkan bahwa gerakan intelektual profetik KAMMI sudah dapat dioperasionalkan oleh kader-kadernya.
Maka, agenda reinterpretasi paradigma KAMMI yang dapat penulis tawarkan adalah penempatan kembali gerakan riset sebagai alat untuk membaca dan membongkar realitas sosial secara lebih menyeluruh. Gerakan riset ini perlu dilakukan secara interdisipliner dan komprehensif, dan dengan demikian bukan tugas individu. Riset juga bagian dari amal jama’i. Jika riset sosial telah dapat dilakukan oleh kader-kader KAMMI, kita akan melihat perkembangan baru dalam gerakan pemikiran Islam, dan bakti intelektual kepada umat.
Tentu saja, gerakan riset tersebut memerlukan modal berupa kebiasaan membaca, menulis, serta mengamati fakta sosial. Jika belum sampai pada taraf melahirkan teori-teori sosial, kader KAMMI paling tidak harus menghargai pemikiran-pemikiran yang dilahirkan oleh intelektual muslim, serta meresponsnya secara proporsional. Kader-kader KAMMI minmal memiliki budaya intelektual dengan tujuan menumbuhkan semangat untuk membongkar realitas sosial secara mengakar.
Tradisi membaca, menulis, mengamati fakta sosial, dan mengkritisi fakta tersebut perlu disehatkan. Ini yang perlu digiatkan kembali untuk menumbuhkan kultur intelektual di kalangan kader KAMMI. Sebagai konsekuensinya, KAMMI perlu memiliki media, entah bulletin sederhana atau penerbitan dalam bentuk yang lebih luas.
Dengan “tauhid” sebagai basis worldview, riset-riset sosial yang dilakukan kader kAMMI sebenarnya sudah memiliki memiliki acuan aksiologis, yaitu ilmu sebagai alat untuk menunjukkan peran profetis pemuda bagi masyarakat. Pada titik inilah intelektual profetik –mengutip Amin Sudarsono— dapat melakukan pemihakan Islami dan kerja-kerja konkret bagi masyarakat. Riset sosial akan memantik lahirnya teori-teori sosial dari tangan para pemikir muslim yang menginginkan perubahan.
C. 3. Re-Interpretasi Paradigma Ketiga: Menentukan Keberpihakan Sosial.
Ketiga, KAMMI adalah gerakan sosial independen. Tafsirnya, gerakan ini merupakan gerakan kritik peradaban materialistik, gerakan kultural yang mengakar, serta gerakan pembebasan masyarakat dari hegemoni tertentu. Artinya, gerakan ini memiliki dimensi interaksi dengan masyarakat dan menawarkan jalan-jalan untuk melakukan rekayasa sosial.
Terkait tafsir ini, ada beberapa agenda perubahan sosial KAMMI menurut Amin Sudarsono, Ketua Departemen Kajian Strategis PP KAMMI. Pertama, penyebaran wacana dan opini. Kedua, penanaman motivasi pada masyarakat. Ketiga, mobilitas vetikal dan network antarbidang. Tiga hal tersbut dirangkum pula oleh unsur gerakan KAMMI yang meliputi pembentukan basis sosial (qa’idah ijtma’iyyah), basis gerakan/operasional (qa’idah harakiyyah), basis pemikiran/konsep (qa’idah fikriyyah), dan basis politik/kebijakan (qa’idah siyasiyah).
Lantas, pada konstruk realitas pasca-modern ini, apakah strategi tersebut masih relevan? Di satu sisi, tiga hal yang ditawarkan oleh Amin Sudarsono tersebut sudah cukup menjelaskan basis gerakan sosial KAMMI. Hanya saja, ada satu hal yang perlu kiranya penulis tambahkan: seperti apa keberpihakan sosial KAMMI terhadap entitas marjinal yang selama ini terpinggirkan, baik dalam proses pembangunan atau alam persaingan informasi sekarang?
Pemihakan kelas, menurut Kuntowijoyo, sah adanya menurut Islam. Ada beberapa konsepsi seperti dhu’afa wal masakin dan mustadh’afin yang dikenal dalam Islam. Mustadh’afin berarti mereka yang tertindas secara structural (konteks sosial-politik), sedangkan dhu’afa wal masakin adalah mereka yang tertindas secara financial (konteks ekonomi). Islam sendiri juga mengecam distribusi kekayaan hanya di kalangan orang kaya (Al-Hasyr: 7). Maka, gerakan Islam perlu melakukan pemihakan-pemihakan kepada mereka yang marjinal dan tertindas tersebut, terutama dalam konteks pascamodern yang kian kompleks.
Tentu saja, pemihakan sosial tersebut tidak lantas disamakan dengan terminologi Marxisme mengenai perjuangan kelas. Kuntowijoyo membedakannya pada sisi tujuan. Kendati Islam mengenal konsep kelas, pemihakan yang dilakukan bukan untuk meniadakan kelas lain atau “class struggle”, tetapi untuk menciptakan keadilan sosial. Sesungguhnya adil itu dekat dengan taqwa, Begitu firman Allah dalam Al-Qur’an. Maka, basis pemihakan kelas dalam Islam adalah pemberdayaan kelas-kelas sosial untuk menuju pada keadilan sosial.
Lantas, pemihakan-pemihakan seperti apa yang dapat ditawarkan oleh KAMMI? Jelas, agenda paling mendesak adalah membuat interpretasi baru mengenai kelas-kelas sosial yang ada pada saat ini. Siapa yang termarjinalkan oleh proses pembangunan? Bagaimana proses marjinalisasi tersebut berjalan? Mengapa mereka menjadi marjinal? Atas dasar apa proses marjinalisasi tersebut berjalan? Dan bagaimana strategi KAMMI dalam membela kaum marjinal tersebut?
Sepertinya, spirit gerakan sosial independen akan lebih terasa jika KAMMI mulai membuka kontak dengan kelompok-kelompok marjinal tersebut. Artinya, peran advokasi KAMMI akan lebih terasa jika KAMMI membuka hubungan dengan para petani di pedesaan, para buruh pabrik di pinggiran kota, atau mereka yang dirasa terpinggirkan.
Dalam konteks ini, ulasan Amin Sudarsono mengenai perlunya KAMMI masuk ke bidang advokasi anggaran cukup menarik untuk dijadikan referensi. KAMMI, menurut aktivis PATTIRO ini, perlu masuk ke ranah publik untuk mendorong masyarakat untuk mengakses dana pemerintah yang memang diperuntukkan bagi masyarakat. KAMMI perlu mengupayakan warga untuk menikmati sekolah gratis, pengobatan gratis, atau kucuran bantuan lain yang signifikan bagi kepentingan warga.
Upaya tersebut akan mencerminkan jelas keberpihakan sosial KAMMI. Kelas mana yang diwakili wajahnya oleh aktivitas-aktivitas KAMMI. Sehingga, hal ini selaras dengan tafsir paradigma KAMMI sebagai gerakan kultural yang membebaskan masyarakat dari hegemoni kapital. Peran selanjutnya yang diperlukan oleh KAMMI adalah menegaskan posisi yang anti-materialis, alias keikhlasan gerak dalam membantu masyarakat, bukan untuk kepentingan kelompok sosial politik tertentu.
C. 4. Re-Interpretasi Paradigma Keempat: Independensi Politik
Paradigma keempat adalah gerakan politik ekstraparlementer. Hal ini ditafsirkan sebagai gerakan oposisi pro-demokrasi, serta gerakan kontrol sosial melalui pemberdayaan lembaga masyarakat. Fungsi ini sangat erat kaitannya dengan diskursus-diskursus mengenai gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral dan kontrol sosial.
Selama lebih dari 64 tahun kemerdekaan, mahasiswa Indonesia menempati posisi yang begitu vital, baik dalam perubahan politik, kontribusi pembangunan, serta bagian dari gerakan massa yang tidak mewacanakan perubahan. Mahasiswa Indonesia telah mentanfidzkan diri sebagai “pilar kelima demokrasi” –meminjam wacana Hariman Siregar— dan memosisikan diri dalam peran kontrolnya terhadap rejim politik.
Karakter mahasiswa Indonesia ini jarang dimiliki oleh mahasiswa di negara lain. Di Malaysia, misalnya, eksistensi Barisan Nasional selama lebih dari 3 dekade dapat dijelaskan melalui fenomena tidak berfungsinya kelas menengah dan mahasiswa sebagai kekuatan masyarakat sipil yang menjadi “hegemoni tandingan” –dalam kamus wacana Gramscian— dari masyarakat politik yang bermain di ranah kekuasaan.
Begitu pula di Singapura yang terkenal dengan korporatisme negara sebagai alat kontrol oposisi. Pengecualian mungkin hanya dilakukan untuk Filipina tahun 1986, itu pun dengan catatan ada kekuatan lain yang bermain dan gerakan mahasiswa tidak bertindak sebagai intelektual organik ataupun hegemoni dari gerakan massa tersebut.
Sehingga, peran mahasiswa Indonesia pun menjadi sedikit lebih “maju” dibandingkan dengan mahasiswa di negara lain.Anders Uhlin (2003) dalam disertasinya tentang “gelombang demokratisasi ketiga di Indonesia” menempatkan mahasiswa sebagai salah satu aktor penting dari gerakan prodemokrasi yang menumbangkan rejim otoritarian Suharto.
Dalam pandangan Uhlin, mahasiswa menjadi elemen kelas menengah yang menentukan dalam gerakan massa tersebut. Kendati, di kemudian hari ada kooptasi yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan lama yang “berganti baju” dan mereorganisasi kultur oligarkhi yang dulu kuat berjaya (Hadiz dan Robison, 2004).
Problemnya adalah, apakah posisi KAMMI sebagai gerakan oposisi prodemokrasi ini masih harus mengacu pada euphoria dan kenangan lama 1998? Tentu saja, jika argumennya adalah bahwa zaman telah bergerak dan kita masuk melampaui era modernitas, kenangan lama dan romantisme tersebut harus dipertimbangkan ulang.
Kita perlu membaca kembali politik Indonesia: siapa yang menjadi kekuatan utama dari politik Indonesia saat ini? Sebelum reformasi, gerakan mahasiswa hampir semuanya sepakat bahwa musuh bersama adalah Soeharto. David Brown, seorang ilmuwan politik dari Murdoch University, menamakan fenomena politik Orde Baru sebagai “neo-patrimonial state”. pola relasi patron-klien yang terjadi antara elit-elit birokrasi, baik dalam wajah sipil atau militer, sebagai patron dan elemen-elemen lain sebagai klien.
Pada era Soeharto, kekuatan birokrasi, dengan perannya yang begitu sentral, mendominasi sendi-sendi kehidupan masyarakat dengan ideologi pembangunan. Sehingga, kelompok bisnis, pemuka agama, media, dan elemen lain berebut posisi untuk menjadi klien dalam menjalankan kepentingannya masing-masing. Tentu saja, dalam kacamata Brown, pola relasi kekuasaan seperti ini sangat koruptif.
Atas dasar demikian, tak ada yang meragukan untuk menghancurkan oligarki koruptif tersebut. Lantas, setelah reformasi, siapa yang menjadi “musuh” itu? Vedi R. Hadiz dan Richard R. Robison –keduanya professor politik di Murdoch University— mencatat bahwa terjadi sebuah proses “pengorganisasian kembali oligarki” dalam politik Indonesia pasca-Orde Baru. Menurut mereka, banyak elit yang kemudian “berganti baju” dan menjadi kekuatan politik baru, justru setelah Soeharto dan lingkar inti kekuasaannya ditumbangkan.
Hal-hal semacam ini perlu diperhatikan oleh KAMMI sebagai sebuah gerakan ekstraparlementer. Untuk menegakkan demokrasi egaliter serta meneguhkan kontrol sosial, KAMMI patut membaca “siapa” golongan yang masuk dalam oligarki kekuasaan pada saat ini. Sebagai gerakan ekstraparlementer, KAMMI harus memastikan diri untuk berada di luar kekuasaan dan memperjuangkan mereka yang termarjinalkan melalui basis-basis sosial.
Oleh karena itu, KAMMI pun perlu menegaskan jati diri politiknya: sebagai gerakan ekstraparlemen yang tak berpolitik praktis. Konsekuensinya, KAMMI juga mesti menegaskan independensinya dengan kekuatan politik manapun yang bermain di lingkar dan jalur kekuasaan, terutama partai politik. Ini penting untuk menjaga perannya sebagai gerakan oposisi prodemokrasi yang melakukan kontrol sosial dari luar.
Mengapa KAMMI perlu menegaskan independensi dari partai politik? Pertama, partai politik kini adalah bagian dari lingkar-lingkar kekuasaan. Lambat laun, disadari atau tidak, partai politik telah menjelma menjadi kekuatan baru dalam politik Indonesia. Oligarki yang dulunya tersentral ke birokrasi-politik, kini juga turut menyebar ke partai politik. Maka, jika KAMMI ingin konsisten dengan tafsir paradigmanya yang kedua (gerakan struktural dengan pemberdayaan institusi sosial), jarak mesti diambil dari partai politik manapun.
Kedua, independensi menegaskan keberpihakan. Ketika KAMMI tidak menarik garis demarkasi yang jelas dengan partai politik, keberpihakan sosial akan sangat diragukan. Karena, partai politik kini telah menjadi bagian dari elit-elit pengambil keputusan yang menjadi “liyan” bagi rakyat yang terpinggirkan. Ketika keberpihakan telah diambil, misalnya kepada kelompok buruh perkotaan, KAMMI mesti meneguhkan posisinya sebagai bagian dari kelas yang marjinal tersebut. Maka, akan sangat logis jika KAMMI menegaskan independensinya dari partai politik ketika berinteraksi sosial.
Ketiga, dalam konstruk realitas pascamodern, kita dihadapkan pada rasionalisasi yang berlebihan pada partai-partai politik. Citra kini mengalahkan etika. Partai politik yang mengalami “sentrifugalisme” telah mengarah pada orientasi kekuasaan. Proses politik kerap tak lagi mengindahkan dimensi etis. Hasilnya, terjadilah elitisasi dan kesenjangan dengan publik yang begitu lebar. Terciptalah absurditas. Maka, Peran bagi KAMMI untuk membenahi realitas tersebut adalah dengan meneguhkan posisinya yang independen untuk tidak terjebak pada realitas absurd tersebut, sembari berafiliasi kepada kelas sosial yang marjinal untuk memperjuangkan nasibnya.
Akan tetapi, paradigma gerakan politik ekstraparlementer bukan berarti membuat kader KAMMI apolitis. Pembacaaan sosial dan politik tetap harus dilakukan secara intens dan komprehensif. KAMMI hanya perlu menegaskan independensi yang tepat kepada basis kekuasaan, dan memperjelas keberpihakan sosialnya. Ini yang saya kira perlu direinterpretasi dari paradigma KAMMI keempat.
D. Kesimpulan: Merangkai Strategi KAMMI
Realitas kekinian adalah realitas pascamodern. Ketika kita menapak pada model realitas ini, kita perlu mempertegas posisi kita. Begitu pula KAMMI. Pertanyaan yang perlu kita ajukan, sudahkah kita membaca dan membongkar realitas ini secara lebih menyeluruh? Artikel ini memiliki beberapa kesimpulan mengenai realitas sosial pascamodern, terutama dalam konteks Indonesia.
Pertama, adanya globalisasi yang di-drive oleh kuasa yang sekarang menjadi hegemoni dalam politik internasional. Proses globalisasi ini menawarkan “dunia-dunia baru” yang menandai pengaruh posmodernitas dalam realitas sosial Indonesia. Sehingga, globalisasi tidak murni proses perkembangan zaman: ia harus dihadapi dalam perspektif yang kritis.
Kedua, modernisasi yang telah berada pada titik jenuh. Perubahan yang dihasilkan dari proses modernisasi kini tidak lagi hanya perubahan progresif yang membawa kemaslahatan bagi umat manusia, tetapi justru melahirkan absurditas dalam konteks moral dan sosial. Akibatnya, terjadi stagnasi dalam proses modernisasi, hingga kita masuk pada era yang lebih baru, yaitu era pascamodern.
Ketiga, munculnya struktur sosial baru. Ini merupakan implikasi dari bergeraknya era industry ke era pasca-industri. Dengan adanya struktur sosial baru, kelas-kelas sosial pun memerlukan redefinisi. Determinan berupa “kapital” harus diterjemahkan kembali dengan basis yang baru, yaitu “informasi”, sehingga kita akan dapat melihat struktur sosial masyarakat Indonesia secara lebih luas.
Keempat, absennya etika dalam aktivitas sosial, politik, dan lingkungan. Akibat rasionalisasi –yang menjadi inti dari modernisasi— terjadi secara berlebihan, kita melupakan dimensi etika dan humanitas. Partai politik tidak lagi representatif pada basis massa, karena semuanya sekarang sudah menjadi partai terbuka. Etika lingkungan tak diindahkan, mengakibatkan kerentanan bencana. Ini perlu direspons.
Maka, KAMMI tentu memiliki paradigma dan cara berpikir dalam memandang realitas tersebut. Ada empat kontekstualisasi paradigma yang dapat penulis tawarkan untuk membedah dan membongkar realitas tersebut, sehingga KAMMI mampu berdiri pada era yang lebih baru.
Pertama, tauhid menjadi basis dari etika sosial dan politik. Kedua, perlu adanya gerakan riset untuk merumuskan teori-teori sosial dari kader KAMMI. Ketiga, gerakan sosial independen perlu dipertegas dengan keberpihakan dan aksi sosial. Keempat, KAMMI perlu menjaga jarak dengan partai politik atau entitas yang bermain di lingkar-lingkar kekuasaan.
Tentu saja, kontekstualisasi lain sangat diperlukan. Kini, dengan realitas pascamodern yang kian absurd, kita menyongsong sebuah nuansa tajdid: nuansa untuk memperbarui konteks gerakan. Sampai di mana amal-amal kita pertaruhkan demi dunia yang berperadaban?
Artikel ini ditujukan sebagai pemantik wacana bagi kader-kader biasa KAMMI yang ingin mengembangkan intelektualitasnya. Semoga, tulisan ini bisa mendapat respons dengan tulisan lain yang lebih berbobot dan memiliki visi ke-KAMMI-an. Semoga, sebagai muslim negarawan, cita-cita kejayaan Islam dapat kita perjuangkan dan tuntaskan di masa depan.
Nashrun minallah wa fathun qarib.
Tentang Penulis:
AHMAD RIZKY MARDHATILLAH UMAR adalah Mahasiswa Semester V Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Aktif sebagai Humas KAMMI Komisariat UGM. Menulis di pelbagai media massa sejak tahun 2006, lebih dari 100 artikelnya tersebar di Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, Republika, dan Seputar Indonesia. Bisa dihubungi via e-mail di rizky_mardhatillah@yahoo.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar