Artikel ini dimuat di Kolom "Suara Mahasiswa" Harian Seputar Indonesia (SINDO), Jakarta. Bisa diakses di http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/342319/
MASYARAKAT Indonesia hakikatnya adalah masyarakat desa. Walaupun pembangunan terkonsentrasi di kawasan perkotaan, nuansa pedesaan tetap saja masih sangat kental di berbagai tempat.
Desa masih menjadi tempat yang begitu nyaman untuk membangun ikatan sosial dan kultural. Robert Putnam membahasakannya dengan istilah “modal sosial”. Karena desa dan Indonesia adalah sebuah kesatuan tak terpisahkan, karakter mahasiswa ideal juga sangat terkait dengan desa. Saya percaya, mahasiswa Indonesia ideal abad ke-21 adalah mahasiswa yang mampu mentransformasikan ilmu yang dimiliki untuk membangun kembali desa-desanya.
Persoalannya, bagaimana menempatkan peran mahasiswa dalam pembangunan desa? Era globalisasi yang dicirikan oleh Anthony Giddens dengan distanciation–meleburnya jarak karena kemajuan teknologi– telah membawa berbagai pengaruh pada desa. Untuk itu, respons mahasiswa dalam beberapa aspek akan sangat diperlukan. Pertama, mahasiswa diperlukan untuk merespons globalisasi budaya yang muncul di desa. Persoalannya, siapkah desa menghadapi budaya baru itu?
Hasil penelitian saya dan beberapa rekan di Kulon Progo, DIY, menunjukkan bahwa generasi muda cenderung untuk merespons pengaruh globalisasi dalam cara-cara negatif. Kedua, mahasiswa perlu berperan dalam menjaga modal sosial dan mengembangkan modal ekonomi masyarakat desa. Kapitalisme yang eksploitatif–seperti Kata Marx–tidak direproduksi di desa karena modal sosial yang kuat membuat hubungan buruh-majikan dilapisi oleh hubungan sosial yang rekat.
Kedekatan yang terbangun secara sosial akan menanamkan asketisme. “Musyawarah” sebagai katup demokrasi deliberatif–meminjam wacana Jurgen Habermas—sangat terbuka dan membawa proses demokratisasi di level terkecil. Pada titik inilah tantangan mahasiswa untuk mengembalikan idealisasi desa muncul. Bagaimana menjaga modal sosial agar tidak tergilas oleh lindasan zaman? Bagaimana mendorong potensi masyarakat agar modal ekonomi pedesaan berkembang?
Mahasiswa ditantang untuk menghadapi persoalan ini. Ketiga, peran vital mahasiswa dihadapkan untuk merespons problem lingkungan di desa. Kita dihadapkan pada upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan dari bahaya pencemaran yang kian akut. Karena itu, agenda menjaga eksistensi alam akan terkait dengan agenda menjaga eksistensi desa sebagai penjaga gawang lingkungan.
Agenda penguatan kapasitas masyarakat desa tentu saja perlu dimulai dengan pengembangan ekonomi desa. Penjagaan kearifan lokal akan siasia jika tidak dibarengi oleh penguatan kembali desa sebagai basis kegiatan perekonomian dan sosial. Setidaknya, masyarakat desa perlu didorong untuk hidup subsisten, mandiri, dan ramah lingkungan. Tugas mahasiswalah mendorong hal tersebut.
Saya kira, sudah saatnya kita melirik desa sebagai laboratorium studi bagi ilmu-ilmu kita. Mungkin hal itu yang menginspirasi Koesnadi Harjasoemantri, pemimpin Dewan Mahasiswa UGM, ketika menginisiasi Proyek Pengerahan Tenaga Mahasiswa pada 1955. Bagi Prof Koesnadi, mahasiswa adalah bagian dari rakyat dan akan kembali kepada rakyat pula.
Dengan tiga tawaran sederhana tadi, sudah saatnya kita kembali memusatkan perhatian pada desa sebagai wajah bangsa Indonesia. Bagaimana dengan Anda? Tertarik untuk kembali menyelami makna desa? Anda tidak sendiri, kawan. Mari lakukan itu bersama-sama sebagai mahasiswa Indonesia. (*)
Ahmad Rizky Mardhatillah U
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Fisipol
Universitas Gadjah Mada
Desa masih menjadi tempat yang begitu nyaman untuk membangun ikatan sosial dan kultural. Robert Putnam membahasakannya dengan istilah “modal sosial”. Karena desa dan Indonesia adalah sebuah kesatuan tak terpisahkan, karakter mahasiswa ideal juga sangat terkait dengan desa. Saya percaya, mahasiswa Indonesia ideal abad ke-21 adalah mahasiswa yang mampu mentransformasikan ilmu yang dimiliki untuk membangun kembali desa-desanya.
Persoalannya, bagaimana menempatkan peran mahasiswa dalam pembangunan desa? Era globalisasi yang dicirikan oleh Anthony Giddens dengan distanciation–meleburnya jarak karena kemajuan teknologi– telah membawa berbagai pengaruh pada desa. Untuk itu, respons mahasiswa dalam beberapa aspek akan sangat diperlukan. Pertama, mahasiswa diperlukan untuk merespons globalisasi budaya yang muncul di desa. Persoalannya, siapkah desa menghadapi budaya baru itu?
Hasil penelitian saya dan beberapa rekan di Kulon Progo, DIY, menunjukkan bahwa generasi muda cenderung untuk merespons pengaruh globalisasi dalam cara-cara negatif. Kedua, mahasiswa perlu berperan dalam menjaga modal sosial dan mengembangkan modal ekonomi masyarakat desa. Kapitalisme yang eksploitatif–seperti Kata Marx–tidak direproduksi di desa karena modal sosial yang kuat membuat hubungan buruh-majikan dilapisi oleh hubungan sosial yang rekat.
Kedekatan yang terbangun secara sosial akan menanamkan asketisme. “Musyawarah” sebagai katup demokrasi deliberatif–meminjam wacana Jurgen Habermas—sangat terbuka dan membawa proses demokratisasi di level terkecil. Pada titik inilah tantangan mahasiswa untuk mengembalikan idealisasi desa muncul. Bagaimana menjaga modal sosial agar tidak tergilas oleh lindasan zaman? Bagaimana mendorong potensi masyarakat agar modal ekonomi pedesaan berkembang?
Mahasiswa ditantang untuk menghadapi persoalan ini. Ketiga, peran vital mahasiswa dihadapkan untuk merespons problem lingkungan di desa. Kita dihadapkan pada upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan dari bahaya pencemaran yang kian akut. Karena itu, agenda menjaga eksistensi alam akan terkait dengan agenda menjaga eksistensi desa sebagai penjaga gawang lingkungan.
Agenda penguatan kapasitas masyarakat desa tentu saja perlu dimulai dengan pengembangan ekonomi desa. Penjagaan kearifan lokal akan siasia jika tidak dibarengi oleh penguatan kembali desa sebagai basis kegiatan perekonomian dan sosial. Setidaknya, masyarakat desa perlu didorong untuk hidup subsisten, mandiri, dan ramah lingkungan. Tugas mahasiswalah mendorong hal tersebut.
Saya kira, sudah saatnya kita melirik desa sebagai laboratorium studi bagi ilmu-ilmu kita. Mungkin hal itu yang menginspirasi Koesnadi Harjasoemantri, pemimpin Dewan Mahasiswa UGM, ketika menginisiasi Proyek Pengerahan Tenaga Mahasiswa pada 1955. Bagi Prof Koesnadi, mahasiswa adalah bagian dari rakyat dan akan kembali kepada rakyat pula.
Dengan tiga tawaran sederhana tadi, sudah saatnya kita kembali memusatkan perhatian pada desa sebagai wajah bangsa Indonesia. Bagaimana dengan Anda? Tertarik untuk kembali menyelami makna desa? Anda tidak sendiri, kawan. Mari lakukan itu bersama-sama sebagai mahasiswa Indonesia. (*)
Ahmad Rizky Mardhatillah U
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Fisipol
Universitas Gadjah Mada
2 komentar:
Hm, saya jadi tertantang untuk kembali ke kampung halaman. Thanks, nice post.
salam kenal..
pengen tanya boleh?
punya alamt blog/e-mail saudara M.Nazmuddin?
it tmn km kan...
Posting Komentar