Rabu, 25 April 2012

Menyambut Hari Buruh 2012

Kira-kira, apa yang akan menjadi isu ramai di hari Buruh tahun ini? Mari kita petakan masalah-masalah yang sebenarnya menjadi masalah kita bersama --rakyat, intelektual, mahasiswa, profesional, buruh, tani, dll-pada hari buruh tahun ini

Pertama, harus diakui, ekonomi kita saat ini sedang morat-marit. harga minyak dunia melambung tinggi, dan pemerintah dengan sangat reaktif menjawabnya dengan kebijakan paling gampang: menaikkan harga BBM Bersubsidi. Akibatnya, harga kebutuhan pokok naik, spekulan bermain di mana-mana.

Jelas, buruh paling dirugikan karena harus menghadapi bahaya lain: pemangkasan upah. Kenaikan harga BBM menaikkan ongkos produksi. Perusahaan akan dengan mudah menurunkan upah buruh -apalagi ditopang dengan UMP yang tidak layak- sehingga justru menempatkan buruh pada posisi paling dirugikan. Ini dampak riil yang akan dialami buruh.

Faisal Yusra, Ketua Serikat Pekerja Migas Indonesia (SPMI), telah menyatakan bahwa masalah penaikan harga BBM tak terlepas dari skema liberalisasi Migas yang menganaktirikan Pertamina di Indonesia (Yusra, 2012). Sebagai perusahaan negara, posisi Pertamina dalam industri hulu justru harus "bersaing" dengan perusahaan-perusahaan multinasional asing lain yang bercokol melalui UU 22/2001 tentang Migas [1].

Ketika pekerja pertamina bekerja keras penuhi pasokan BBM di Indonesia, perusahaan asing justru mengeruk kekayaan dengan bagi hasil tak seimbang. Ini ironis dan problematis. Artinya, hal ini juga terkait problem perburuhan yang berkorelasi dengan problem kedaulatan bangsa.

Kedua, kita masih dihadapkan pada "rezim upah murah". Secara teoretik, kita mengenal teori "hukum besi upah". Ketika berbicara soal upah dan kerja, Ricardo menyatakan: upah buruh tidak akan melebihi kemampuan seorang buruh memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut Ricardo, 'nilai suatu barang' sama dengan kerja yang dilakukan untuk mencapai produksi yang dihasilkan (Agung, 2009). "The value of a commodity, or the quantity of any other commodity for which it will exchange, depends on the relative quantity of labour which is necessary for its production, and not on the greater or less compensation which is paid for that labour.” (Ricardo, 1817). [2]

Artinya, jika 'nilai'=kerja, berarti nilai yang dipertukarkan untuk memenuhi kebutuhan barang adalah akumulatif kerja dari masing-masing buruh untuk memproduksi sebuah barang. Di sinilah kritik Marx masuk. Menurut Marx, Ricardo melakukan oversimplifikasi terhadap nilai yang menyebabkan upah buruh tak akan berada pada level yang tinggi. Justru, tenaga para buruh dihisap oleh para kapitalis untuk melipatgandakan keuntungan mereka dengan jam kerja dan rendahnya upah itu sendiri, sementara upah terus bertahan.

Mengapa? Berdasarkan law of diminishing return, keuntungan pada dasarnya akan selalu turun. Ricardo percaya bahwa turunnya tingkat upah akan menyebabkan majikan harus menaikkan tingkat upah agar keuntungan bertambah . Namun, kondisinya akan secara alamiah hanya akan cukup membuat buruh bertahan hidup, sebab jika keuntungan naik, maka upah pun akan dipangkas. Ini yang disebut dengan "hukum besi upah" (Agung, 2009).

Jadi, ekonomi yang morat-marit akan berdampak pada ongkos produksi yang naik pula. Dan artinya, buruh harus siap menghadapi pemangkasan upah. Pada titik inilah tesis Marx bahwa kaum buruh harus bersatu untuk menghadapi para kapitalis menjadi dapat kita terima. Sebab, kapitalisme secara alamiah akan menghisap tenaga para buruh demi kepentingan produksinya. Dan jika itu terjadi, yang ada hanyalah penindasan!

Inilah yang disebut oleh Marx sebagai "alienasi". Buruh yang dihisap tenaganya dengan upah yang tidak layak tidak lagi menikmati hasil kerjanya sendiri. Padahal, sifat dasar manusia adalah bekerja dan berproduksi. Dan artinya, tanpa campur tangan negara dalam pengupahan yang layak, hal ini akan berarti pemiskinan buruh atas fasilitasi negara!

Ketiga, kita menghadapi fenomena "proletarisasi petani" (Kompas, 14/4). Gejala ini ditandai oleh menghilangnya hak warga atas tanah karena diambil perusahaan-perusahaan besar. Nurkhoiron (2012) juga melihat gejala serupa di kalangan pesantren Nahdhiyyin, ketika gejala pembangunan meninggalkan pedesaan dan basis keagamaan di dalamnya, menjadikan tingkat pengangguran banyak di kalangan NU [3].

Kita patut melihat ini pada relasi tanah pertanian, yang sebenarnya terhubung pada penjelasan "proletarisasi" ini. Dalih pengambilan lahan ada banyak. Pertama, untuk pertambangan atau industri. Taktik yang dilakukan oleh perusahaan adalah membebaskan semua lahan warga dengan biaya tak sedikit. Namun, masalah sosial yang ditimbulkan tidak ditanggulangi dengan baik. Kedua, untuk infrastruktur. Taktik ini kadang membajak peran negara dengan dalih penyediaan lahan untuk kepentingan umum. Warga hanya mendapatkan ganti rugi, tetapi tidak mendapatkan akses atas tanah yang baru.

Baru-baru saja, kita terkejut ketika sebuah UU tentang Pengadaan Lahan bagi Kepentingan Umum lolos begitu saja di DPR-RI (UU Nomor 2 Tahun 2012). UU ini bisa menjadi celah kaum kapitalis membajak negara untuk membebaskan lahan para petani, tanpa memperhatikan dampak sosial yang menyertainya.

Masalah ini jelas terhubung dengan fenomena perburuhan. Meningkatnya jumlah buruh yang terjebak pada "hukum besi upah" salah satunya disebabkan oleh masalah ini. Ketika para petani kehilangan lahan, yang sebenarnya juga bisa dibaca sebagai "upaya pemiskinan", tak ada pilihan lain bagi mereka selain menjadi buruh. Modelnya bisa menjadi buruh tani (petani penggarap) atau masuk sebagai buruh di kelas industrial.

Keempat, apa benang merah yang bisa kita tarik dari masalah-masalah di atas? Jelas, buruh menghadapi masalah penaikan harga BBM yang tidak menguntungkan, upah yang tidak layak (karena UMP tak kunjung dinaikkan), "rezim upah murah", bayang-bayang PHK jika ongkos produksi naik dan perusahaan melakukan efisiensi, serta proletarisasi karena tanah sudah harus terjual untuk kepentingan industrial. Buruh kian tercekik. Dan masalah seperti ini akan tetap ada jika kapitalisme masih terus hegemonik, opresif, dan menindas kaum tak berpunya!

Jelas, masalah penaikan harga BBM adalah refleksi dari politik migas yang tak berdaulat. Rezim upah murah terjadi karena pemerintah tak punya keberpihakan yang kuat pada kaum buruh dalam berhadapan dengan pemilik modal. Proletarisasi terjadi karena petani tak lagi berdaulat atas tanahnya, dan pemiskinan buruh terjadi karena buruh tak lagi berdaulat atas hasil kerjanya.

Ketika buruh dihisap melalui rezim upah murah, dan ekonomi sedang morat-marit, kepada siapa kita menuntut? Jangan lupa, kita masih punya negara. Negara ini didirikan untuk "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum" (pembukaan UUD 1945). Jelas, tanggung jawab membebaskan buruh dari ketertindasan adalah tanggung jawab negara.

Untuk itulah, para founding fathers membuat pasal 33 dalam UUD 1945. "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Ada tiga poin penting di sini: (1) negara menguasai sektor produksi strategis; (2) hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal ini jelas menegaskan prinsip anti-liberalisasi, anti-korupsi, dan anti-kemiskinan dalam pengelolaan ekonomi.

Sekarang, persoalan kian kompleks. Kapitalisme masuk ke sendi-sendi kehidupan kita, bukan sekadar produksi manufaktur, tetapi juga ekstraktif. Tapi di sana pun, Sumber daya Alam kita sekarang sudah tidak lagi berdaulat. Kekuatan asing masuk dengan cepatnya. Dan artinya, hasil-hasil produksi buruh, seperti dipotret John Pilger (2001), tidak lagi hanya dipasarkan di pasar domestik, tetapi juga pasar internasional -dengan skema globalisasi. Artinya, negara semakin tidak berdaulat atas hasil

Dalam konteks ini, kita jelas telah menemukan musuh bersama kita. Mahasiswa, buruh, dan semua elemen masyarakat yang ingin bergerak pada 1 Mei 2012 mesti temukan musuhnya. Dan pada analisis ini, kita sudah temukan akar masalahnya: pemilik yang tak bertanggung jawab. Negara yang tak berdaulat. Dan rakyat yang tertindas.

Dan artinya, gagasan untuk mencetuskan "Gerakan Indonesia Berdaulat" akan menemui momentumnya pada 1 Mei 2012 ini. Wacana penaikan harga BBM harus dijawab dengan kedaulatan negara untuk menyejahterakan rakyatnya, tak terkecuali untuk kaum buruh. Jika ini bisa tersampaikan ke semua kalangan, tak mustahil bukan hanya buruh yang akan bergerak pada 1 Mei 2012 ini, tetapi juga intelektual, mahasiswa, profesional, dan lain sebagainya.

Artinya, sudah saatnya hari buruh kita jadikan isu bersama semua kalangan. Mari menyambut Mayday dengan semangat #IndonesiaBerdaulat.


Catatan Kaki
[1] lihat di http://www.faisalyusra.com/index.php?option=com_content&task=view&id=169&Itemid=29
[2] lihat di tulisan lengkapnya di http://www.marxists.org/reference/subject/economics/ricardo/tax/ch01.htm.
[3] lihat di http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,37555-lang,id-c,kolom-t,Proletarisasi+Nahdliyyin-.phpx

Sabtu, 14 April 2012

Menggugat Kedaulatan Rakyat atas Tanah: Dampak Sosial Liberalisasi Migas Indonesia

Siang itu (9/12/2010), Bu Jayem tengah beristirahat di rumahnya, Dusun Temlokorejo, Desa Gayam, Kecamatan Ngasem, Bojonegoro. Tak jauh dari kediamannya, para pekerja ExxonMobil tengah sibuk dalam hiruk-pikuk suasana kerja di sumur minyak Banyuurip, yang letaknya berdekatan dengan Desa Gayam. 

Bu Jayem hanya seorang petani biasa. Kami memilih beliau sebagai narasumber untuk penelitian atas informasi kepala dukuh, bahwa beliau adalah salah satu warga yang masih miskin di desa tersebut.

Ketika kami kunjungi di kediaman beliau, suasananya masih sangat bernafaskan pedesaan. Hanya beralaskan tanah dan tanpa perabot yang berarti. Di sekitar kediaman beliau, terpampang pelang CSR ExxonMobil untuk perbaikan jalan.

"Suasana seperti ini mas setelah Exxon datang", ungkap beliau. "tanah saya dibeli oleh MCL (anak perusahan Exxon) untuk pertambangan mereka. Mau tidak mau, saya harus menjual tanah karena lahan sekeliling saya sudah dibebaskan, akhirnya terjepit", kata Bu Jayem dalam bahasa Jawa.

Lantas, jika tanah dan sawah dijual, apakah ada ganti yang lebih baik?

"Tidak mas. Kalaupun harus membeli tanah lagi, lokasinya terlalu jauh, sementara banyak petani yang sudah tua dan terlalu capek untuk berjalan jauh. Apalagi, saya tidak punya dan tidak bisa naik kendaraan", tambah beliau.

Bu Jayem yang kini sudah tidak bisa bekerja lagi di sawah menambahkan, memang dengan adanya MCL memang pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan meningkat. "Tapi mana hasilnya buat kesejahteraan kita yang tidak bisa bekerja lagi karena sawah kita diambil orang?", keluh beliau.

Hal senada juga disampaikan Pak Suhardi, Ketua RT 006 di Dusun yang sama. Beliau kami temui di rumah beliau, yang sedikit lebih baik dari kediaman Bu Jayuem

"Petani tidak bisa kerja apa-apa lagi selain bertani. Yang penting bagi petani itu bukan uang ganti rugi pembebasan lahannya, tapi sawahnya. Adanya malah kita dapat tanah lagi (beli, pen.) di tempat yang jauh dan harganya mahal", ungkap warga yang berprofesi sebagai tukang dan petani ini. 

Bukankah ada proyek CSR yang diberikan oleh perusahaan kepada masyarakat?

"Adanya proyek yang diuntungkan itu hanya segelintir orang. Yang lain tidak, apalagi petani. Tanah kita tidak lagi subur akibat lampu proyek yang ada di sekitaran daerah pertambangan. Sebab, selain mengundang hama, juga mempengaruhi hasil dan produktivitas lahan pertanian", tambah Pak Suhardi.

Lantas, apakah tidak bisa ditutupi oleh pekerjaan lain, semisal menanam tanaman lain?

"Cara menanggulangi masalah ini adalah dengan menanami jati. Itupun hasilnya tidak signifikan bagi saya. Yang lain justru masih menanam padi, karena ya itulah yang bisa mereka tanam. Istilahnya “ngeyel”.Nah, implikasinya yang jelek, beberapa di antara mereka justru menjadi buruh tani karena tidak bisa lagi bertani. Mereka bekerja menggarap tanah orang lain dengan gaji Rp 25.000/hari. Itupun tidak tetap", lanjut beliau. 

Tanggung Jawab Siapa?
Terpisah, Bupati Bojonegoro membenarkan bahwa memang, ada beberapa masalah dari pertambangan minyak bagi masyarakat.

"Pertama, masalah tata wilayah, Sejak awal kita mengundang RT RW sebagai stakeholder untuk membicarakan solusi mengenai tata wilayah bagi desa-desa yang berada di sekitar sumur minyak. Kedua, masalah lahan. Kita mendorong warga yang tanahnya dibebaskan untuk diberikan ganti sebagai sumber daya produksi. Sehingga orang yang kehilangan tanah bisa punya alat produksi yang lain. Ketiga, masalah sosial, terkait orang baru yang akan datang sebagai pekerja di Exxon", jawab beliau ketika kami wawancarai di Pendopo Kabupaten.

Bagaimana jalan pemecahan yang diberikan pemerintah maupun perusahaan terkait hal ini? Bukankah minyak juga seharusnya dapat dinikmati hasilnya oleh rakyat.


"Minyak dan gas itu jg miliknya negara, jadi bukan punya kita, hanya 6% yang diberikan untuk bagian kita, 6 %  it tidak  terlalu besar. Bahkan pada saat peak production 200 ribu barrel per hari hanya menghasilkan Rp 600 Milyar, tidak ada artinya apa-apa buat kita, walaupun kita kemudian kita mungkin dapat  perbaikan lingkungan, dapet CSR-nya", kata beliau.

Namun, beliau tetap optimis dengan kondisi saat ini. Kepada para peneliti, beliau tetap percaya bahwa harus ada kesalingpahaman antara semua elemen, termasuk perusahaan, untuk dapat memahami hal ini secara arif.

"Sekarang sudah ada komunikasi dengan pihak Exxon dan semua stakeholder, saling belajar, tidak saling debat dan menyalahkan. Kita buka pikiran, kita buka hati. Problemnya hanya itu saja. Sekarang ini kita di tengah di persimpangan. Saya selalu bilang pada rakyat kecil di pelosok-pelosok itu, kalau kita tidak memanfaatkan momentum sekarang, maka kemiskinan kita yang sudah berlangsung sekian ratus tahun tidak akan berakhir". pungkas beliau.

Masalah Tanah, Salah Siapa?
Cuplikan laporan di atas diambil dari transkrip wawancara yang kami lakukan ketika meriset fenomena globalisasi ekonomi di Bojonegoro. Berita di Kompas hari ini, terjadi 'proletarisasi' masyarakat pedesaan, ditandai oleh menghilangnya hak warga atas tanah karena diambil perusahaan-perusahaan besar.

Dalih pengambilan lahan ada banyak. Pertama, untuk pertambangan. Taktik yang dilakukan oleh perusahaan adalah membebaskan semua lahan warga dengan biaya tak sedikit. Namun, masalah sosial yang ditimbulkan tidak ditanggulangi dengan baik. Kedua, untuk infrastruktur. Taktik ini kadang membajak peran negara dengan dalih penyediaan lahan untuk kepentingan umum. Warga hanya mendapatkan ganti rugi, tetapi tidak mendapatkan akses atas tanah yang baru. 

Di pedesaan, hal ini jelas problematis karena tanah bukan hanya berarti lapangan pekerjaan bagi masyarakat, tetapi juga sosial dan budaya. Bertani bukan hanya kerja yang dapat diganti kapan saja, tetapi juga cara hidup. Jika tanah dirampas dari petani, dengan berbagai alasan, yang berubah bukan hanya cara kerja, tetapi juga cara hidup. Dan jika tidak bisa diadaptasikan secara baik, yang terjadi justru adalah pemiskinan, akibat cultural lag yang terjadi pada masyarakat.

Riset kami di Bojonegoro membuktikan bahwa hak atas tanah, di era globalisasi, menghadapi dilema tertentu. Globalisasi mengubah struktur sosial dari masyarakat agraris menjadi masyarkat industrial. Akan tetapi, perubahan sosial itu dilakukan justru tanpa memperhatikan wilayah-wilayah budaya masyarakat yang terdampak. 

Saya tidak berpretensi menyalahkan globalisasi. Yang perlu kita renungkan, globalisasi tak boleh melanggar hak-hak asasi manusia. Hak atas tanah adalah salah satu hak ekonomi yang secara mendasar harus dimiliki warga dan dipenuhi oleh negara. Tanpa tanah, para petani tak bisa hidup. Tanpa tanah, budaya mungkin sudah akan ditinggalkan.

Kita mengenal Jathilan sebagai kesenian rakyat yang hingga kini terus diperagakan ketika panenan. Atau, mitologi Dewi Sri yang melambangkan kehidupan agraris. 

Kini, budaya tersebut lambat laun berganti oleh hiruk-pikuk media sosial, kehidupan perkotaan, mencirikan masyarakat industrial yang sangat kuat. Yang tak punya uang harus menjadi buruh. Sementara kaum tani ditindas oleh penghisapan lahan dari perusahaan-perusahaan besar. Tesis Marx menjadi kian nyata justru di abad ke-21, di mana katanya komunisme sudah tumbang, dan kapitalisme berjaya.

Jika melihat ke desa-desa, wilayah-wilayah di mana kapitalisme berekspansi, hak atas tanah menjadi kian nyata untuk diperjuangkan kembali. Dan kini, kita mencari peran negara yang seakan hilang karena dibajak kaum pemodal besar (Robison dan Hadiz, 2004). Masalah tanah, tanggung jawab siapa? Rakyat yang ditindas, punya apa?

Sebentar lagi 1 Mei. Mari kita bersama-sama refleksikan perihal ketidakadilan yang hingga kini masih kita temui di negeri ini. Jika kesadaran itu sudah didapat, mari bersiaga dan bergerak bersama rakyat!