Minggu, 21 Oktober 2007

Perihal Sekolah

Menggugat Keterbukaan

Pendidikan yang ideal dalam pandangan Freire (1978) adalah pendidikan yang lebih menekankan penempatan siswa sebagai subjek pendidikan, bukan sebagai objek। Konsep ini pada dasarnya cukup strategis untuk diimplementasikan di Indonesia. Dalam tataran konsep normatif, pendidikan di negara kita memang telah memiliki konsep kurikulum yang telah menempatkan pelajar sebagai subjek pembelajaran. Hanya saja, dalam tataran implementasi banyak terjadi ketidaksesuaian antara Das Sollen (idealitas tujuan kurikulum) dan Das Sein (implementasi sekolah).

Terjadinya ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan tersebut dipengaruhi oleh banyak variabel, salah satunya adalah manajemen sekolah yang kurang transparan। Sekolah Negeri sebagai lembaga pendidikan pemerintah seyogyanya mampu memberikan manajemen yang terstruktur, solid, dan transparan. Akan tetapi apa yang dapat kita lihat di daerah kita? Masih banyak sekolah yang tidak memberikan akses informasi berkaitan dengan keuangan dan pendanaan sekolah. Dengan kata lain, tidak bersikap transparan kepada siswanya.

Apa saja indikatornya? Pertama, ada sekolah yang seringkali meminta dana kepada siswa untuk menyelenggarakan suatu proyek yang sama sekali tidak melibatkan siswa di dalamnya, semisal studi banding guru yang lebih tepat diistilahkan sebagai ajang bejalanan dengan menggunakan uang siswa। Memang merupakan hal baik jika diadakan proyek-proyek yang bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan. Akan tetapi jika proyek itu ternyata berimplikasi pada pungutan-pungutan, proyek tersebut seharusnya jangan dijadikan prioritas. Apalagi jika pendanaan itu hanya akan memangkas keperluan siswa, semisal untuk biaya siswa yang ingin mengikuti kegiatan di luar sekolah.

Bahkan ada siswa yang mengikuti kegiatan di tingkat nasional ternyata tidak diberi dana oleh sekolah dengan alasan ”tidak ada dana”। Keadaan menjadi semakin janggal dan mencurigakan ketika sang siswa berhasil meraih prestasi di tingkat nasional ke sekolah, tak terbersit sedikitpun di hati petinggi-petinggi sekolah untuk mengganti uang tersebut. Kemana alokasi dana pembinaan prestasi siswa yang telah dianggarkan di APBS? Tentunya permasalahan ini patut menjadi bahan renungan bagi para pejabat sekolah di Kalimantan Selatan.

Kedua, Kurang transparannya sekolah mengenai permasalahan program dan pendanaan ini ternyata bukan juga terjadi dalam penyusunan Anggaran Penerimaan dan Belanja Sekolah (APBS)। Adakah sekolah yang melibatkan para siswa untuk ikut berpartisipasi dalam penyusunan APBS tersebut? Di beberapa sekolah, fenomena yang terjadi adalah APBS tersebut disusun oleh jajaran petinggi sekolah yang pada akhirnya diserahkan kepada Komite Sekolah untuk direvisi, tanpa sama sekali melibatkan siswa. Ketika ada siswa yang ingin meminta APBS, dengan mudahnya sekolah mengatakan bahwa ”APBS adalah urusan orangtua siswa, bukan urusan siswa”. Kondisi seperti ini sama saja dengan menutup akses informasi kepada siswa yang notabene juga memiliki kepentingan dengan uang di APBS tersebut.

Jika dianalisis, ternyata dana APBS sekolah sangat rawan penyalahgunaan dengan birokrasi yang berlaku di sekolah। Contoh kasus, ada sebuah sekolah (tak usah menyebut nama) yang memotong dana OSIS tersebut sebesar 10% dari total dana. Alasannya, dana tersebut dijadikan dana jaga-jaga (baca: taktis) selama setahun. Alasan lain, dana yang ada tersebut merupakan “dana siswa yang dikelola oleh kesiswaan”, sehingga perlu ada “insentif” dalam pengelolaan dana tersebut. Pemotongan dana tersebut kemudian berimplikasi pada penurunan kuantitas dana operasional OSIS yang digunakan untuk membiayai kegiatan ekstrakurikuler. Dari kasus tersebut, terlihat jelas penyelewengan dana yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. Bukankah dana taktis dan ”insentif” harus bisa dipertanggungjawabkan? Hal ini perlu dipertanyakan, apalagi setelah dicek ke APBS anggaran untuk taktis dan kesejahteraan guru telah dianggarkan.

Ketiga, sekolah juga masih terkesan kurang transparan dalam pembuatan kebijakan sekolah। Memang, sekolah memiliki otoritas untuk melakukan penegakan disiplin dalam bentuk pembuatan tata tertib di sekolah sehingga sebagai siswa, kita diharuskan untuk menaatinya. Akan tetapi, ketaatan terhadap peraturan tersebut tidak lantas membuat siswa sami’na wa atho’na atas semua kebijakan. Pada kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan siswa, perlu ada kejelasan dari pembuat kebijakan atas keputusan yang diambil. Di sini, perlu adanya dialog atau forum dengan melibatkan siswa, sehingga komunikasi tetap dapat tersampaikan dengan baik.

Hal ini dimaksudkan agar tidak muncul ketidakterbatasan kewenangan (unlimited power) pada sekolah, sehingga adagium ‘Power Tends to Corrupt’ dapat dihindarkan melalui mekanisme pembagian kewenangan yang baik। Di sisi lain, siswa juga dituntut untuk bersikap credible dan accountable dalam hal pengelolaan dana yang diamanahkan pada mereka. Dalam berbagai kepanitiaan, misalnya, harus ada pertanggungjawaban yang jelas dan terbuka mengenai keuangan dan pendanaan mereka. Untuk itu, diperlukan adanya trust dari sekolah kepada siswa dalam pengelolaan kegiatan mereka secara mandiri. Implikasinya, akan muncul hubungan timbal balik dalam pembagian kewenangan antara sekolah dan siswa.

Dari apa yang telah diuraikan di atas, dapat kita ambil suatu kesimpulan bahwa sekolah harus transparan kepada para siswa। Ini adalah sebuah harga mati yang harus diimplementasikan oleh otoritas sekolah secara konsisten dan konsekuen Transparansi ini haruslah diwujudkan dengan membuka forum dan dialog kepada para siswa, sehingga tidak muncul suatu gejolak kekecewaan. Langkah ini pun hanya akan dapat berjalan optimal jika didukung oleh segenap manajemen sekolah.

Bagaimana menurut sampeyan?

Minggu, 22 Juli 2007

Fenomena Generasi Muda

Mencari Pelajar Reformis

Reformasi tak dapat dilepaskan dari peranan pelajar dan mahasiswa sebagai aktor utamanya। Dimulai pada tanggal 12 mei 1998 ketika empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak, gejolak pun meluas dan mengakibatkan kekacauan di mana-mana. Puncaknya, selama tiga hari gedung DPR-MPR dikepung oleh ribuan aktivis dan mahasiswa yang meneriakkan satu kata : Reformasi! Akhirnya, pada tanggal 21 Mei 1998 Soeharto resmi mengundurkan diri dari jabatan presiden dan menyerahkan kedudukan kepada BJ Habibie.

Sekarang, tak terasa sembilan tahun sudah reformasi bergulir। Selama sembilan tahun tersebut, terjadi dinamika dan pergantian kepemimpinan pada level nasional, sehingga menyebabkan pola pergerakan mahasiswa dan pelajar tidaklah sesignifikan era 1998 lalu. Peta perpolitikan sekarang lebih cenderung menampilkan elit-elit politik di lembaga legislatif dan eksekutif sebagai aktor, sedangkan pelajar, mahasiswa, aktivis, dan buruh lebih diposisikan sebagai “penikmat”. Hal ini berimplikasi pada penurunan idealisme pelajar yang akhirnya menyebabkan para pelajar cenderung back to school. Kondisi seperti ini terus terjadi sampai sekarang, di mana para pelajar lebih diarahkan untuk belajar dengan giat agar dapat lulus Ujian Nasional yang disebut-sebut sebagai “pintu keberhasilan siswa”.

Episode seperti ini merupakan hal yang tak dapat dipungkiri dalam realitas negara kita yang sedang tumbuh dan berjuang menghadapi krisis। Memang, sah-sah saja jika pemerintah menginginkan agar para pelajar Indonesia memiliki kapasitas intelektual yang tinggi sehingga untuk ke depan diharapkan muncul figur-figur yang berpotensi mengangkat bangsa ini menjauhi jurang keterpurukan. Akan tetapi, sikap pemerintah yang secara tidak langsung mengalihkan perhatian pelajar dari pentingnya berkontribusi secara nyata di masyarakat ini juga akan berdampak pada ketidaksiapan mental pelajar ketika ia dilepas ke dunia nyata pada saat mahasiswa. Oleh karena itu, sangat diperlukan pelajar-pelajar yang tidak hanya “unggul”, tetapi juga “reformis”.

Sekarang muncul pertanyaan baru : Bagaimanakah karakteristik pelajar reformis? Dalam pandangan penulis, pelajar reformis memiliki empat karakteristik yang terintegrasi dalam pola pikirnya। Pertama, pelajar reformis adalah pelajar yang mampu menganalisis problematika sosial secara kritis dengan pandangannya sendiri, bukan dengan pandangan orang lain. Pelajar reformis akan mampu menganalisis permasalahan secara kritis tanpa adanya pengaruh pandangan orang lain. Jikapun ada, pandangan orang lain tersebut tidaklah signifikan ada pada pandangan pelajar, melainkan hanya menjadi acuan agar buah pemikirannya memiliki legitimasi teoritis yang kuat. Kedua, pelajar reformis adalah pelajar yang memiliki kepekaan dengan perubahan yang terjadi. Pelajar reformis seyogianya tidak stagnan pada satu isu, tetapi juga memerhatikan isu-isu lain dan menganalisisnya secara kritis tanpa mengesampingkan nilai-nilai kesopanan di masyarakat.

Ketiga, pelajar reformis adalah pelajar yang berpikiran maju dan futuristik, tidak terpaku dengan kondisi yang dialami sekarang। Pemikiran pelajar reformis tidak hanya menjangkau apa yang akan dicapai pada saat ini, tetapi juga bersifat jangka panjang, sehingga pelajar dapat memikirkan implikasi-implikasi dari apa yang telah dilakukannya. Keempat, pelajar reformis adalah pelajar yang tak kenal lelah memerjuangkan kepentingannya dan selalu bekerja keras agar kepentingannya dapat terpenuhi. Karakteristik terakhir ini seringkali memicu konflik antara siswa dan sekolah, sehingga berimplikasi pada pencitraan negatif pelajar yang memiliki karakteristik seperti ini. Oleh karena itu, karakteristik ini juga memerlukan kontrol dan pembinaan dari orang yang lebih tua.

Jika kita melihat realitas pelajar sekarang yang mayoritas lebih berorientasi pada kesenangan semu, sangat sulit untuk mencari pelajar dengan karakteristik di atas। Hal ini, menurut penulis, disebabkan oleh adanya paradigma yang salah yang menimpa pelajar. Paradigma tersebut antara lain paradigma school-centered, yaitu paradigma pelajar yang menganggap bahwa sekolah adalah segala-galanya, sehingga yang ada pada benaknya hanya belajar, belajar, dan belajar. Paradigma seperti ini keliru, sebab seorang pelajar juga harus melihat aspek sosial dari ilmu yang dipelajari. Apa gunanya sebuah ilmu jika hanya menjadi hafalan tanpa diimplementasikan?

Paradigma kedua adalah paradigma parent-centered atau teacher-centered, yang menganggap bahwa semua persoalan harus dikembalikan pada orang yang lebih tua dengan alasan pengalaman yang lebih bayak dan ilmu yang lebih tua। Sekilas anggapan ini benar saja, akan tetapi jika paradigma ini terus-menerus dipertahankan, di mana letak kemandirian pelajar? Pelajar tidak akan dapat mengeluarkan idealismenya, karena di mata orang tua idealisme pelajar akan dianggap sebagai tindakan ‘melawan arus’. Pemikiran pelajar harus didasari oleh kemampuan untuk mengembangkan ide-ide pribadi yang berarti membuka cakrawala pemikiran pelajar. Jika unsur pemikiran orang lain terlalu dominan, praktik brainwashing dapat dilakukan dengan mudah, dan ini harus dihindari oleh pelajar yang reformis.

Paradigma ketiga ialah paradigma friend-centered, di mana sikap pelajar lebih cenderung untuk berpikiran sehaluan dengan teman-temannya। Pemikiran ini jelas akan membuat idealisme pelajar terpasung, sementara pemikirannya tidak akan berkembang. Sejatinya, pemikiran teman hanya berfungsi sebagai konsiderasi bagi pelajar dalam mengambil sikap, bukan sebagai decider dari sikap pelajar tersebut.

Paradigma-paradigma seperti ini jika kita telaah lebih dalam akan bermuara pada satu karakteristik, yaitu doubtfulness atau keragu-raguan। Keragu-raguan akan membuat pelajar diombang-ambingkan oleh gelombang globalisasi yang tidak hanya memberi dampak positif, tetapi juga membawa nilai-nilai yang tidak sejalan dengan identitas bangsa. Keragu-raguan ini harus dihilangkan dari dalam diri pelajar, dan sikap kemandirian harus ditanamkan dalam identitas pelajar.

Jika para pelajar mau sedikit saja merenungkan makna reformasi, Insya Allah karakteristik pelajar reformis dapat dikembangkan dalam diri pelajar. Walaupun gejolak terjadi, pelajar akan mampu mengambil sikap yang strategis dan tidak terombang-ambingkan oleh kepentingan yang tidak jelas. Untuk itu, perubahan dari dalam diri pelajar harus dilakukan sekarang juga, dan paradigma sesat harus segera dihilangkan. Ingat, pelajarlah harapan bangsa ini di masa depan!

Minggu, 08 Juli 2007

Fenomena Nelayan

Tengkulak dan Kehidupan Nelayan Jepara

Artikel ini merupakan rangkuman dari hasil penelitian yang penulis lakukan di Kelurahan Ujung Batu, Jepara, Jawa Tengah bersama rekan-rekan peserta kegiatan Perkemahan Ilmiah Remaja Nasional 2007। Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tanggal 26-29 Juni 2007 di Kampus Kelautan Universitas Diponegoro, Jepara. Data-data pada penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara, pengamatan, dan kuesioner. Adapun dalam penarikan sampel kami menggunakan metode purposive sampling yaitu pengambilan sampel dengan tujuan responden yang semuanya berprofesi sebagai nelayan dapat memaparkan kehidupan mereka dalam berinteraksi dengan tengkulak. Di samping itu, kami juga menggunakan metode Quote sampling, yaitu penarikan sampel pada jumlah yang telah ditentukan (60 Responden). Sementara itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberi gambaran singkat mengenai kehidupan nelayan di Jepara agar dapat dijadikan perbandingan dengan daerah lain yang juga memiliki potensi di sektor kelautan.

Secara umum, Jepara memang memiliki lokasi yang strategis dalam pengembangan perekonomian। Menurut Priyanto dkk. (2006), Jepara memiliki topografi yang khas dan lengkap. Seperti terlihat pada dataran tinggi di sekitar pegunungan Muria sampai pantai di daerah utara seperti Teluk Awur. Kondisi semacam ini menyebabkan Jepara memiliki sisi kehidupan ekonomi berbasis kelautan yang berpotensi memberi sumbangan dalam perekonomian daerah. Kedekatan dengan laut ini juga membuat banyak warga Jepara yang berprofesi sebagai pencari ikan atau nelayan. Sebagai implikasinya, berkembang pula profesi lain yang memiliki keterkaitan erat dengan nelayan, yaitu tengkulak atau orang yang membeli hasil laut dengan harga yang murah dari nelayan tetapi menjual hasil laut tersebut dengan harga yang tinggi.

Dari penelusuran awal kami, penduduk Kelurahan Ujung Batu Kabupaten Jepara berjumlah 3।971 orang dengan 70% berprofesi sebagai nelayan. Dari 60 responden yang mengisi kuesioner, sebanyak 44 orang atau 73,33% mengatakan bahwa hasil melaut mereka mencukupi kebutuhan hidup nelayan sehari-hari. Bahkan ada satu responden yang mengatakan bahwa hasil yang dicapainya dalam melaut sangat mencukupi kebutuhannya. Sementara itu, hanya 15 responden atau 25% yang mengatakan bahwa hasil yang mereka capai dalam melaut tidak cukup. Tidak ada responden yang mengatakan bahwa hasil yang mereka capai dalam melaut sangat tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Mengenai tempat penjualan hsil melaut, nelayan di desa Ujung Batu lebih memilih untuk menjual hasil tangkapan yang mereka peroleh dari melaut kepada para tengkulak, kendati tengkulak tersebut tidak memiliki patokan harga resmi। Hal tersebut tergambar dari tingginya jumlah responden yang mengaku menjual hasi tangkapan ke tengkulak, yaitu 40 orang atau 66,67%. Sementara itu, responden yang mengaku menjual hasil tangkapan ikan kepada Tempat Pelelangan Ikan hanya berjumlah 20 orang atau 33,33%. Data ini menunjukkan bahwa nelayan lebih memercayai tengkulak daripada TPI. Data di atas juga menunjukkan bahwa tidak ada nelayan yang menjual hasil tangkapan ke pasar.

Dari data yang telah didapat, mayoritas nelayan yang menjual hasil tangkapan kepada tengkulak memiliki keadaan sandang yang sedang, yaitu 26 responden atau 65%। Sisanya, para responden mengatakan bahwa keadaan sandang mereka baik (13 orang) dan sangat baik (1 orang). Sementara itu, mayoritas responden yang memilih untuk menjual hasil tangkapan ke TPI mengatakan bahwa keadaan sandang mereka baik (11 orang). Dari responden yang menjual hasil tangkapan ke TPI, ternyata ada satu responden yang mengatakan bahwa keadaan sandangnya buruk. Sisanya, delapan responden mengatakan kualitas sandangnya baik.

Dari data yang didapat, dapat kita simpulkan bahwa ternyata keadaan papan nelayan yang menjual hasil tangkapan kepada tengkulak berkisar pada level sangat baik sampai buruk। Mayoritas nelayan dalam kelompok ini menganggap bahwa kualitas papan mereka sedang (26 orang). Ada tiga responden dalam kelompok nelayan ini yang mengaku kualitas pangan mereka buruk. Sementara itu, keadaan pangan nelayan yang menjual hasil tangkapan kepada tempat pelelangan ikan berkisar pada level baik sampai buruk. Tidak ada yang menganggap kualitas pangan mereka sangat baik. Mayoritas nelayan menganggap bahwa kualitas pangan mereka sedang (10 orang). Lima responden mengaku bahwa kualitas mereka buruk.

Jika dibandingkan dengan nelayan yang menjual hasil tangkapan ikan kepada tempat pelelangan ikan, tengkulak ternyata memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik jika ditinjau dari pendidikan anak। Hal ini dibuktikan pada jumlah anak yang tidak bersekolah pada masing-masing kelompok. Jumlah anak nelayan yang tidak bersekolah pada kelompok nelayan yang menjual hasil tangkapan pada tengkulak adalah tiga orang atau 7,5%. Jumlah ini lebih sedikit daripada jumlah anak nelayan yang tidak bersekolah pada kelompok nelayan yang menjual hasil tangkapan kepada tempat pelelangan ikan. Pada kelompok ini, anak nelayan yang tidak bersekolah berjumlah empat orang atau 20%.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di Kelurahan Ujung Batu mengenai pengaruh tengkulak terhadap kesejahteraan nelayan di wilayah tersebut, dapat disimpulkan bahwa Keberadaan tengkulak ternyata memberikan pengaruh positif terhadap kesejahteraan nelayan di Ujung Batu, Jepara। Selain itu, dilihat dari pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, papan, dan pendidikan keluarga, nelayan yang menjual hasil tangkapan ikannya ke tengkulak secara umum lebih sejahtera dibanding dengan nelayan yang menjual hasil tangkapannya ke Tempat Pelelangan Ikan। Untuk itu, keberadaan Pemerintah Kabupaten Jepara selaku pemegang otoritas publik sangat diperlukan agar dapat lebih arif, bijaksana, aspiratif, dan mampu mengakomodasi semua keinginan masyarakat nelayan dalam kebijakan-kebijakan publik yang dibuat.

Bagi pemerintah daerah di Provinsi Kalimantan Selatan yang juga memiliki potensi di sektor kelautan dan perikanan, kami sarankan agar dapat mengkaji permasalahan tengkulak ini secara lebih mendalam, dan dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan. Tentunya, hal ini juga memerlukan perhatian semua pihak. Sinergisasi visi dan misi ke depan sangat diharapkan agar kehidupan nelayan dapat lebih sejahtera.

Rabu, 20 Juni 2007

Perlunya Pendidikan Antikorupsi

Perlunya Pendidikan Antikorupsi

Korupsi memang telah menjadi hal yang sangat memprihatinkan dalam satu dasawarsa terakhir ini. Beragam kasus, dari kasus korupsi perorangan sampai korupsi ‘berjamaah’ terjadi di negara ini. Bahkan, struktur korupsi telah mencapai hampir semua elemen masyarakat, mulai dari lapisan terbawah (massa grass-roots) sampai lapisan teratas (elit politik).

Dalam sewindu terakhir (1999-2007), pemerintah telah berupaya keras untuk mengubah keadaan ini. Selepas Orde Baru, muncul UU No 28 tahun 1999 tentang penyelenggara yang bersih dari KKN. Dalam UU tersebut telah ditetapkan tujuh asas umum penyelenggara negara yang juga menjadi asas dalam UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Salah satu asas tersebut adalah asas keterbukaan yang sekarang populer dengan istilah transparansi. Selain itu juga ada UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang melegitimasi kewenangan KPK secara yuridis.

Yang menjadi permasalahan, persoalan korupsi ternyata masih belum dapat dihilangkan secara total. Kita dapat melihat berbagai kasus yang terjadi pada era reformasi ini. Hal ini patut menjadi bahan renungan bagi kita, mengingat korupsi adalah perbuatan yang sangat dilarang dalam agama manapun, dan bertentangan dengan perspektif moral di negara kita. Tak salah jika Amien Rais (2004) menggolongkan perilaku korupsi sebagai perbuatan anti-kebangsaan dan anti-nasionalisme.

Ditinjau dari pendekatan neoliberal, pemberantasan korupsi dapat dilakukan dengan mengurangi kekuasaan otoritas publik yang dipegang pemerintah dan memberikan otoritas yang lebih besar kepada masyarakat untuk mengontrol otoritas publik itu. Dengan adanya partisipasi masyarakat dalam proses controlling tersesbut, akan muncul evaluasi kritis dari masyarakat sebagai pelaku demokrasi, sehingga kasus-kasus korupsi dapat diminimalisasi.Perspektif ini mengimplikasikan adanya keterbukaan dalam hampir semua bentuk kebijakan publik yang ditelurkan oleh pemerintah. Keterbukaan ini juga harus dibarengi dengan peningkatan kualitas kinerja birokrasi dan pemerintahan agar asas akuntabilitas yang menjadi asas umum penyelenggaraan negara juga dapat terpenuhi.

Lebih lanjut, Prof. Dr. Amien Rais, MA menegaskan bahwa keterbukaan ini mengimplikasikan adanya kejujuran yang tinggi. Jika kejujuran hilang, bisa dipastikan akan timbul berbagai macam penyelewengan Timbulnya korupsi merupakan bagian dari sederetan contoh yang muncul akibat hilangnya kejujuran dari penyelenggara negara. Pada ujungnya, prinsip keterbukaan ini menuntut adanya pertanggungjawaban (accountability) yang tinggi dari penyelenggara negara.

Jika poin kejujuran ini hilang, lanjut Amien Rais, sebagai implikasinya akan muncul berbagai macam penyimpangan. Salah satu penyimpangan tersebut tindakan-tindakan korupsi yang akan memberi dampak kerugian pada negara. Oleh sebab itu, Amien Rais meletakkan transparansi dan kejujuran ini sebagai salah satu tonggak dasar penyelenggaraan negara.

Yang menjadi permasalahan adalah, sejauh manakah semangat antikorupsi ini diimplementasikan oleh pemerintah dan jajaran birokrat di negara kita? Belakangan ini, otonomi daerah yang berarti desentralisasi kekuasaan banyak yang diselewengkan menjadi desentralisasi korupsi. Di beberapa daerah terjadi kasus-kasus penyalahgunaan wewenang yang mengarah pada The Abuse of Public Power For Private Benefit. Ini menandakan pemberantasan korupsi masih belum dilakukan secara optimal. Jikapun telah dilakukan, masih banyak sekali peluang untuk melakukan perbuatan ini.

Untuk itu, selain pemberantasan yang dilakukan secara kuratif dengan menegakkan supremasi hukum, juga sepatutnya ada pemberantasan korupsi secara preventif. Pemberantasan korupsi secara preventif ini menurut sebaiknya dilakukan secara integratif di seluruh aspek pebelajaran, dalam artian di semua kegiatan pembelajaran harus ada sisipan pesan moral tentang bahaya korupsi. Hal ini tentu saja memerlukan kerjasama yang baik dari semua pendidik dan pengajar. Jangan sampai para pendidik yang seyogianya memberikan keteladanan memberikan contoh perbuatan korupsi di sekolah.

Pemerintah memang telah memberikan sinyalemen positif berkaitan dengan hal tersebut. Wakil Ketua KPK Dr. Syahruddin Rasul dalam Pengarahan Bimbingan Teknis (Bimtek) Kesadaran Antikorupsi di Graha Abdi Persada tanggal 20 Desember 2006 menegaskan bahwa tema antikorupsi akan masuk sebagai pengganti Muatan Lokal dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang rencananya akan diberlakukan mulai tahun ajaran 2007-2008, dan akan dikembangkan secara bertahap sampai tahun ajaran 2009-2010. Hal tersebut merupakan hasil Memorandum of Understanding (MoU) antara Menteri Pendidikan Nasional dan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Hal ini sejalan dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan yang disebutkan dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 4 ayat (4), yaitu pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. Keteladanan ini sepatutnya diintegrasikan oleh pendidik ke dalam kurikulum pembelajaran dengan harapan dapat diimplementasikan dalam realitas empiris oleh peserta didik.

Sebagai langkah awal, yang patut dilakukan sekolah adalah memberikan contoh perbuatan transparan tersebut kepada siswa. Salah satu contoh tersebut adalah bersikap jujur dan transparan mengenai Anggaran Penerimaan dan Belanja Sekolah (APBS). Para siswa dibebankan dana yang banyak –satu tahun bisa lebih dari Satu Juta Rupiah— tetapi siswa sendiri tidak mengetahui kemana aliran dana sebanyak itu. Jangan sampai para siswa bertanya-tanya dan mempunyai interpretasi keliru mengenai penggunaan dana APBS tersebut.
Oleh sebab itu, dalam permasalahan dana APBS pihak sekolah harus beriskap transparan dan jujur kepada semua pihak. Transparansi ini harus diwujudkan dengan metode dialogis-kompromis yang mengakomodasi semua kepentingan. Salah satu caranya ialah membuka forum dan dengar pendapat dengan para siswa sehingga tidak memicu gejolak kekecewaan yang berlarut-larut. Langkah ini pun hanya akan dapat berjalan optimal jika didukung oleh segenap elemen manajemen sekolah.

Di sinilah peranan pelajar akan terlihat dalam proses controlling kebijakan sekolah. Jika sudah ada kerjasama antara orang tua, siswa, dan publik otorisasi sekolah yang pada awalnya ’tak terbatas’ dapat menjadi ’tidak tak terbatas’. Implikasinya, kebijakan sekolah yang cenderung membuang-buang uang untuk kepentingan yang tidak urgent dapat direduksi secara signifikan, sehingga pada akhirnya dapat tercipta transparansi antara pihak sekolah dan publik dalam kebijakan-kebijakan sekolah.

Oleh karena itu, sudah sepatutnya pemerintah melakukan sosialisasi tentang urgensi keterbukaan dalam pendidikan kita secara formal, non-formal, atau informal. Pendidikan keterbukaan ini dapat dimasukkan dalam kurikulum pendidikan formal, atau diintegrasikan dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Yang terpenting, pendidikan keterbukaan dan antikorupsi ini dapat berperan dalam upaya mereduksi kasus-kasus The Abuse of Public Power For Private Benefit yang kian lama kian meresahkan bangsa ini.

Fenomena Pendidikan

Menilik Lebih Dalam Transparansi Sekolah

Pendidikan merupakan tahapan terpenting dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang madani. Dengan adanya pendidikan yang berorientasi kepada penyeimbangan mutu Sumber Daya Manusia masyarakat kita secara Intelektual, Emosional, maupun Spiritual maka masyarakat kita akan berpikir lebih maju, kritis, serta dapat mengeluarkan bangsa dari krisis yang berkepanjangan ini. Akan tetapi jika sistem pendidikan kita salah, maka masyarakat Indonesia yang beradab dan memiliki peradaban tak akan pernah dapat tercapai. Mengapa demikian? Karena pendidikan yang benar akan mampu mengubah pola pikir masyarakat yang terlanjur pragmatis, materialistis, dan Money-Oriented.

Dalam pandangan Neil Postman, pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang mampu menyinergikan pendekatan teori dan praktik. Atau, dengan kata lain mampu membuat peserta didik mengimplementasikan konsep yang telah mereka terima dalam pendidikan. Pendidikan juga seyogianya dilakukan secara komprehensif dengan menanamkan aspek intelektual dan moral secara integralistik, sehingga pendidikan dapat menyentuh akar permasalahan bangsa saat ini.Sebagai upaya dalam membangun pendidikan yang benar, maka pemerintah memerkenalkan sistem pendidikan yang diharapkan mampu menyeimbangkan aspek Iptek dan Imtaq. Dalam perkembangannya, pemerintah telah beberapa kali merevisi sistem pendidikan guna mendapatkan kualitas Sumber Daya Manusia masyarakat Indonesia yang baik dan berdaya saing tinggi.

Dengan sistem yang telah beberapa kali direvisi tersebut, seyogyanya pemerintah mampu menghasilkan output pendidikan yang berkualitas dan berdaya saing tinggi, serta mampu mengeluarkan Indonesia dari krisis berkepanjangan ini. Namun apa hasil yang dapat kita lihat sekarang? Indonesia masih belum dapat keluar dari jeratan krisis. Bahkan, merebak berbagai korupsi yang semakin memerlemah kondisi bangsa ini. Hal ini merupakan sebuah penghambat dalam upaya pembangunan karakter bangsa.

Transparansi Sekolah Dipertanyakan
Sistem pendidikan kita memang terus menjadi polemik dalam beberapa dekade terakhir ini. Akan tetapi terlepas dari permasalahan tersebut, ada permasalahan yang patut kita cermati berkaitan dengan pendidikan ini, yaitu manajemen lembaga pendidikan. Sekolah Negeri sebagai lembaga pendidikan pemerintah seyogyanya mampu memberikan manajemen yang terstruktur, solid, dan transparan. Namun apa yang dapat kita lihat di negara kita? Sekolah –terutama Sekolah Menengah Atas— tidak memiliki manajemen yang teruji akuntabilitasnya. Banyak sekolah-sekolah yang tidak transparan mengenai keuangan dan pendanaan, bahkan kepada siswa-siswinya sendiri. Hal ini mengindikasikan kurangnya transparansi sekolah kepada siswa sehingga mengakibatkan kekecewaan yang mendalam dan akhirnya berujung pada aksi mobilisasi massa. Tentunya hal ini adalah suatu keanehan, mengingat para siswa telah banyak memberikan kontribusi kepada sekolah, namun sekolah sendiri tidak pernah menjelaskan bagaimana keuangan mereka. Bahkan beberapa sekolah seringkali meminta dana kepada siswa untuk menyelenggarakan suatu proyek yang sama sekali tidak melibatkan siswa.

Memang merupakan hal baik jika diadakan proyek-proyek yang bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan. Akan tetapi jika proyek itu ternyata hanya memberatkan siswa, maka proyek tersebut seyogyanya jangan dijadikan prioritas. Apalagi jika pendanaan itu hanya akan memangkas dana OSIS atau keperluan siswa yang lain. Seharusnya dana tersebut digunakan untuk keperluan siswa dan untuk menunjang kegiatan pembelajaran, baik secara formal (KBM) maupun secara non-formal (organisasi).

Kurang transparannya sekolah mengenai permasalahan program dan pendanaan ini ternyata bukan hanya terjadi di satu sekolah. Sebagai contoh dapat kita lihat dalam penyusunan Anggaran Penerimaan dan Belanja Sekolah (APBS). Adakah sekolah yang melibatkan para siswa untuk ikut berpartisipasi dalam penyusunan APBS tersebut? Yang terjadi di lapangan APBS tersebut disusun oleh jajaran petinggi sekolah untuk kemudian diserahkan kepada Komite Sekolah untuk direvisi. Kemudian untuk keperluan siswa seperti dana bantuan ekstrakurikuler langsung ditangani oleh Wakasek. Bukankah ini sesuatu yang rawan terhadap penyelewengan? Ini artinya sama sekali tak ada keterbukaan sekolah terhadap manajemen yang ada di dalamnya. Sehingga implikasinya, ketika sekolah dimintai pertanggungjawabannya oleh siswa yang memang concern dalam hal ini, akhirnya sekolah tak mampu memberikan jawaban.

Manajemen Sekolah Ideal di Persimpangan Jalan
Sekolah yang ideal adalah sekolah yang mampu menghadirkan manajemen yang baik serta dapat mengoptimalkan sistem pembelajaran yang ada sehingga dapat menghasilkan prestasi dan menimbulkan prestise. Tipe sekolah yang seperti ini memang sangat diidam-idamkan oleh semua pihak, namun sayangnya hanya segelintir sekolah yang mampu melakukannya. Banyak sekolah yang memiliki banyak prestasi di level lokal, daerah, nasional, bahkan ada yang mampu mencapai prestasi di level internasional. Namun jika kita lebih melihat ke dalam, maka akan kita dapatkan suatu keadaan yang memrihatinkan.

Sekedar ilustrasi, ada sekolah yang seringkali membuat keputusan sepihak melalui Wakasek-wakaseknya. Disebut sepihak karena dalam yang menetapkan kebijakan hanyalah Kepala Sekolah, Wakasek-wakasek, dan beberapa orang guru, tanpa sama sekali melibatkan partisipasi siswa. Bahkan, dana APBS Sekolah yang juga mencakup dana-dana operasional kegiatan OSIS dan ekstrakurikuler juga sama sekali tidak melibatkan siswa dalam penyusunannya. Padahal yang menikmati fasilitas sekolah adalah siswa, namun anehnya siswa tidak dilibatkan dalam penyusunan anggaran. Bahkan yang lebih aneh lagi, dana-dana siswa yang dianggarkan secara sepihak oleh manajemen sekolah tersebut tidak diperlihatkan kepada siswa, sehingga ketika OSIS ingin meminta dana untuk pelaksanaan suatu kegiatan mereka harus meminta kepada Wakasek Kesiswaan beserta pembantu-pembantunya. Bukankah sistem yang seperti ini dapat menimbulkan penyelewengan dana oleh segelintir oknum yang ingin memerkaya diri mereka sendiri?

Belum lagi jika kita memertanyakan transparansi sekolah, apakah ada pertanggungjawaban dari sekolah mengenai dana APBS yang mencapai ratusan juta rupiah tersebut kepada siswa, maka kita tak akan pernah mendapatkan jawabannya. Maka, berkaca dari permasalahan ini patut kiranya sekolah memberi legitimasi kepada perwakilan siswa –bukan komite sekolah— dalam pengawasan penggunaan dana sekolah. Satu hal yang patut diingat, Komite Sekolah yang beranggotakan Orangtua siswa bukanlah representasi siswa, melainkan hanyalah representasi dari orangtua siswa yang sama sekali tidak berkepentingan dalam penggunaan fasilitas sekolah. Sungguh ironis jika dana komite yang berjumlah milyaran rupiah tersebut tidak jelas penggunaannya, Sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan kekecewaaan yang berujung pada aksi unjuk rasa. Ini pun bukan penyelesaian yang baik dalam mengakhiri krisis di Sekolah.

Kesimpulan
Dari apa yang telah dibahas di atas tadi, maka dapat kita ambil suatu kesimpulan bahwa Sekolah haruslah transparan kepada para siswa. Transparansi ini haruslah diwujudkan dengan membuka forum dan dialog kepada para siswa, sehingga tidak muncul suatu gejolak kekecewaan dari para siswa. Langkah ini pun hanya akan dapat berjalan optimal jika didukung oleh segenap manajemen sekolah.

Kalau tidak kita mulai sekarang, kapan lagi?

Fenomena Dakwah Pelajar

Pelajar Sebagai Agen Dakwah, Bisakah?

Abdullah Nashih ’Ulwan (1985:11) dalam bukunya Hatta Ya’lamussyabaab berkata, ”Wahai pemuda muslim, kalian diciptakan untuk tetap konsekuen kepada konsepsi Rabbani yang suci dari rona-rona kebatilan, baik yang datang dari depan maupun dari belakang”. Kalimat ini menunjukkan bahwa pemuda/pelajar muslim adalah pemuda/pelajar yang taat kepada syariat Allah, bukan pemuda yang larut dalam kehidupan dunia yang hedonistik. Kalimat ini dipertegas oleh perkataan Asy-Syahid Imam Hassan Al-Banna dalam bukunya, Risalah Pergerakan, “Pemuda merupakan pilar kebangkitan, pemuda adalah rahasia dari sebuah kekuatan. Dalam setiap pergerakan, pemuda adalah pengibar panji-panjinya”. Oleh karena itu, pelajar muslim sebagai bagian dari pemuda muslim harus tetap istiqamah pada jalan Allah.

Apa yang mendasari perkataan kedua ulama Mesir ini? Abdullah Nashih ‘Ulwan (1985:16) mengambil sirah Nabi Muhammad sebagai dasar pemikiran. Beliau menulis bahwa generasi muda pertama Islam adalah para pemuda tangguh. Dapat dilihat pada Abdullah Ibnu Mas’ud, Abdurrahman bin ‘Auf, Al-Arqam bin Al-Arqam, Mush’ab bin Umair, Ali bin Abi Thalib, Bilal bin Rabah, Ammar bin Yasir, dan banyak pemuda tangguh lainnya. Dari tangan merekalah terbit fajar Islam. Lebih khusus, Hassan Al-Banna merinci bahwa ternyata sejak dulu pemuda telah menjadi pilar kebangkitan umat. Hal ini dapat dilihat pada sosok Ali bin Abi Thalib, Abdullah Ibnu Mas’ud, Imam Asy-Syafi’i, Shalahuddin Al-Ayyubi, Muhammad Al-Fatih, dan pemuda-pemuda lain yang telah menggetarkan dunia melalui kualitas kepribadian mereka. Di kemudian hari, mereka pun ambil bagian pada perubahan besar (Widiyantoro,2003).

Euforia pemuda yang menjadi ikon dakwah ini pun berlanjut pada era-era selanjutnya. Mereka bertindak sebagai pionir reformasi, bukan sebagai pion dari kekuatan berkedok ‘reformasi’. Pada pertengahan abad ke-18, ketika umat Islam tengah dilanda perpecahan antarmazhab, lahir seorang pemuda bernama Muhammad Ibnu Abdul Wahab. Pemikirannya yang kritis membawanya pada suatu kesimpulan, bahwa perlu adanya pemurnian Islam terutama permasalahan aqidah. Selain itu, ia juga menganggap perlu adanya persatuan antarumat Islam dalam menentang imperialisme dan kolonialisme dari bangsa Barat. Atas dasar pemikiran tersebut, Muhammad Ibnu Abdul Wahab membentuk sebuah gerakan pemurnian Islam di Jazirah Arabia.

Di Indonesia, seorang pemuda dari Yogya bernama Ahmad Dahlan pada tahun 1912 mendirikan persyarikatan Muhammadiyah yang disebut-sebut sebagai organisasi Islam reformis pertama di Indonesia. Munculnya Muhammadiyah ini juga menyadarkan umat Islam akan pentingnya persatuan sebagai alat menuju kebangkitan. Hasilnya, pergerakan Islam muncul dan berkembang. Nama-nama seperti Ahmad Hassan, Rusjdi Hamka, Mohammad Roem, Mohammad Natsir, Anwar Haryono, Hussein Umar merupakan output dari pembinaan generasi muda muslim yang berkesinambungan.

Widiyantoro (2003:22) menyebutkan ada tiga alasan utama mengapa dakwah perlu dikembangkan di kalangan pelajar. Yang pertama adalah efektif. Berdakwah di kalangan pelajar sangat efektif dalam mengubah paradigma yang hedonistik, seperti kata pepatah Arab, “Belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, dan belajar di waktu tua bagai mengukir di atas air”. Mudahnya pelajar mencerna dan menerima dakwah menyebabkan efektifnya dakwah di kalangan ini.

Poin kedua adalah massif. Banyaknya jumlah pelajar tentunya lebih memberi manfaat, karena jika dakwah tersebut berhasil, pengaruh yang dihasilkan pun diharapkan juga akan bersifat massif. Yang ketiga adalah strategis. Peran pelajar yang merupakan calon-calon pemimpin juga merupakan sebuah alasan mengapa dakwah sangat diperlukan di kalangan pelajar. Jika pelajar telah mampu mengoptimalkan perannya sebagai seorang da’i, secara tidak langsung ia juga telah memberi pengaruh pada perkembangan moral di masa depan. Seorang pelajar yang da’i dan berkarakter intelektual akan dapat menjadi vocal point dalam menentukan masa depan bangsa.
Di sinilah letak potensial peranan dakwah bagi pelajar. Dimulai dari bangku sekolah, pelajar seharusnya mampu menularkan kebaikan yang dilakukannya kepada saudara-saudaranya. Inilah yang dinamakan dengan dakwah. Dakwah yang dilakukan pelajar tersebut sebaiknya dimulai dengan menggunakan prinsip 3M yang dicetuskan oleh KH. Abdullah Gymnastiar: Mulai dari hal terkecil, Mulai dari diri sendiri, dan Mulai saat ini. Dakwah harus dimulai pada hal-hal yang terkesan sepele, seperti sopan-santun atau adab pergaulan. Setelah itu, dakwah terus dikembangkan secara kontinyu dan berkesinambungan.

Dakwah bagaimanakah yang dapat dikembangkan oleh pelajar? Dalam Al-Qur’an Surah An-Nahl : 125 Allah telah menggariskan 3 metode dakwah secara umum. Ketiga metode tersebut antara lain Hikmah, atau penyampaian dakwah dengan mengedepankan kebijaksanaan dalam menghadapi objek dakwah ketika menyampaikan isi dakwah. Kebijaksanaan tersebut antara lain dengan mengetahui background dari objek dakwah. Cara kedua yaitu Mau’izhah Al-Hasanah, atau memberi keteladanan, nasehat yang baik, atau dengan pengajaran yang mengedepankan kebaikan-kebaikan. Sedangkan cara ketiga adalah Mujaadilu bil-latii hiya ahsan. Cara ini ditempuh melalui diskusi dan tukar pikiran dengan cara yang baik dan tanpa kekerasan. Cara ini ditempuh pada pelajar yang berpikir kritis.

Oleh karena itu, peran pelajar sebagai aktivis dakwah sangat urgent di era reformasi ini. Selain karena posisi pelajar yang strategis, juga karena keunggulan-keunggulan fisik dan emosional serta keefektifan dakwah sebaya yang dijalankan. Di sini, penulis tambahkan perkataan dari Ahmad Syauqi, “Eksistensi sebuah bangsa jika akhlak melekat pada mereka. Jika akhlaknya lenyap, mereka pun tiada”. Perkataan Ahmad Syauqi ini dapat diterima dan menunjukkan bahwa moral bangsa harus diperbaiki, dan yang harus memerbaiki moral tersebut adalah pelajar. Jika pelajar telah menunjukkan kualitasnya, pintu gerbang kebangkitan bangsa ini akan ada di depan mata, Insya Allah.

Fenomena Kekerasan Pada Anak

Penghentian Tindak Kekerasan Terhadap Anak
Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)

Berbicara mengenai kekerasan terhadap anak memang merupakan sesuatu yang dilematis bagi kita, karena kasus-kasus kekerasan terhadap anak ini berakar pada konsep “pembinaan” dan “pendidikan” telah terkonstruksi dalam paradigma masyarakat kita sedemikian rupa, sehingga menyebabkan kesulitan dalam mengatasinya. Akan tetapi, ada beberapa alternatif pemecahan yang dapat ditawarkan agar kasus-kasus kekerasan terhadap anak dapat direduksi secara maksimal.

Dalam perspektif Sosiologi, kekerasan terhadap anak berpijak pada dua kata kunci: perilaku menyimpang dan masalah sosial. Kekerasan terhadap anak ini memiliki akar permasalahan yang berasal dari perilaku menyimpang masing-masing individu yang jika terjadi secara kolektif akan menimbulkan masalah sosial (social pathology). Argumen ini disandarkan pada teori yang diberikan oleh Edwin Sutherland, yang berpendapat bahwa penyimpangan dihasilkan oleh pergaulan yang berbeda, dan dipelajari melalui proses alih budaya. Selain itu, berpijak pada teori Cohen, Perilaku menyimpang merupakan perilaku yang bertentangan dengan aturan-aturan normatif atau hukum, maupun dari harapan lingkungan sosial yang bersangkutan.

Anggapan tersebut paralel dengan definisi masalah sosial, dimana Soedjono Dirdjosisworo (1973) menyebut masalah sosial ini sebagai social pathology atau terjadinya maladjustmen dalam bidang-bidang tertentu yang menyebabkan ketidaksesuaian antara sesuatu yang terjadi dengan sesuatu yang diharapkan. Selain itu, sumber masalah sosial yang berupa nilai dan norma sosial di masyarakat juga dengan jelas menunjukkan paralelitas tersebut. Dengan hubungan tersebut, penyusun berargumen bahwa kekerasan terhadap anak berakar pada perilaku menyimpang, dan jika kekerasan terhadap anak ini semakin bertambah kuantitasnya, akan berimbas pada masalah sosial.

Sebagai sandaran dalam menetapkan sanksi dan batasan, RI telah memiliki beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah kekerasan terhadap anak. Dua belas tahun sebelum disahkannya UU No 23/2003 tentang perlindungan anak, atau tepatnya pada 1990, pemerintah telah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No 36/1990. Intinya adalah, pengembangan nilai-nilai tradisi dan budaya bangsa Indonesia bagi perlindungan dan pengembangan anak yang serasi dengan agama, sosial, budaya, dan ekonomi. UUPA dan KHA secara tegas menyebutkan empat prinsip perlindungan anak yang harusnya dijalani, yakni non-diskriminasi, terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan perkembangan anak, serta penghargaan terhadap pendapat anak.

Dalam konteks kekerasan terhadap anak, dapat kita lihat bahwa perilaku-perilaku tersebut, baik yang dilakukan oleh orang tua maupun guru bertentangan dengan UU No 23 tahun 2002. Pada Deklarasi Hak Anak (Declaration of The Right of The Child) sebagaimana disebutkan dalam Preamble of Convention of The Rights of The Child, ditegaskan, "the child, by reason of his physical and mental immaturity, needs special safeguards and care, including appropriate legal protection, before as well as after birth". Hal ini berarti bahwa anak, karena belum dewasa secara fisik dan mental, memerlukan pengawalan dan perlindungan khusus, termasuk perlindungan legal yang layak, sebelum dan sesudah lahir. Dari deklarasi tersebut jelas ditegaskan bahwa praktik-praktik kekerasan terhadap anak tidak ditolerir dalam perspektif hukum internasional.

Selain itu, keluarga sebagai agen terkecil dalam masyarakat juga memegang peranan yang sangat krusial. Menurut Setiawan (2007), keluarga yang harmonis biasanya akan dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan anak. Sebaliknya keluarga yang sering ada masalah baik dari dalam maupun dari luar akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak. Di sinilah peran serta orangtua dalam membimbing dan mengarahkan anak-anaknya menjadi insan cerdas dan mandiri. Lebih lanjut, keluarga yang tertata dengan baik juga akan menjauhkan dari tindak kekerasan terhadap anak.

Faktor berikutnya adalah lingkungan masyarakat, karena di sinilah anak banyak berinteraksi selain dari lingkungan keluarga. Menciptakan tatanan masyarakat yang damai adalah kunci utamanya. Artinya, seorang anak akan tumbuh kembang dengan baik apabila masyarakat jauh dari konflik sosial. Anak yang dibesarkan dari berbagai konflik biasanya akan lebih agresif dalam artian sering bertindak brutal dan kurang mampu mengendalikan diri dengan baik. Hal ini tentunya berbeda dengan anak-anak yang dibesarkan dalam situasi yang aman dan jauh dari konflik. Mereka pada dasarnya dapat tumbuh kembang dan belajar dengan baik (Setiawan, 2007).

Paradigma masyarakat bahwa kekerasan yang dialami anak adalah hal yang lumrah dan biasa saja yang sudah terkonstruksi juga sudah seharusnya diubah. Apalagi, seperti ditulis oleh Suyanto (2002), di tengah kultur masyarakat yang menempatkan posisi anak selalu asimeteris dengan orang dewasa. Semuanya itu harus sedikit demi sedikit diubah dengan pendekatan persuasif melalui pemerintah sebagai agen sosialisasi. Akan tetapi, dengan adanya anggapan bahwa kekerasan merupakan bagian dari proses pendidikan yang dibutuhkan untuk mendisiplinkan anak, sulit bagi kita untuk mengharapkan kasus-kasus child abuse dapat dieliminasi. Meski demikian, bukan berarti kasus child abuse bisa kita dibiarkan terus terjadi dan terus memakan korban.

Oleh karena itu, kerjasama yang sinergis antara masyarakat, media, keluarga, LSM, dan Pemerintah sangat penting dalam mengampanyekan pentingnya penghindaran kekerasan terhadap anak di rumah tangga, lingkungan sosial, atau sekolah. Selain itu, perlu adanya langkah-langkah strategis dan agenda aksi ke depan. Kepada masyarakat, hentikanlah semua praktik kekerasan terhadap anak baik yang dilakukan secara fisik maupun psikis, karena kekerasan terhadap anak jelas-jelas telah bertentangan dengan hukum dan norma yang berlaku dalam tatanan kehidupan masyarakat kita.

Kalau tidak kita mulai sekarang, kapan lagi?

Senin, 18 Juni 2007

Pelajar, Antara Realitas dan Idealitas


Peranan pelajar sebagai salah satu agen reformasi tak dapat dinafikan dan dipinggirkan begitu saja. Pelajar dituntut untuk menjadi seorang intelektual yang mampu mengembalikan kejayaan bangsa. Seorang pelajar dituntut untuk tidak hanya mengorientasikan pendidikan yang diterimanya kepada nilai atau ranking semata, tetapi juga memerhatikan aspek-aspek sosial yang akan dilakukannya ketika berinteraksi dengan dunia. Sebagai seorang intelektual, pelajar harus mampu menganalisis problematika sosial dengan konsep ilmu yang mereka terima, tidak hanya menerima ‘doktrin’ yang diterima dari tenaga pendidik/pengajar. Memang, dalam hal ini peranan pelajar tidaklah sesignifikan mahasiswa, karena pelajar masih dibatasi ruang gerak mereka oleh peraturan-peraturan yang dibuat oleh otoritas sekolah. Kadar keilmuan mereka pun masih belum begitu maksimal didapatkan. Akan tetapi, pelajar tetap harus mengembangkan potensi intelektual mereka sebagai permulaan dari perjuangan. Tentunya, di sini perlu bimbingan dan rambu-rambu dalam ruang gerak bagi pelajar, agar para pelajar tidak ”kebablasan” dalam bergerak.

Potensi pelajar secara intelektual tersebut antara lain dapat dikembangkan dalam kegiatan belajar-mengajar. Dalam kegiatan belajar-mengajar ini, yang pertama kali harus diubah oleh pelajar adalah pola menerima pelajaran. Jika selama ini pelajar hanya menerima pengetahuan secara ‘satu arah’, dalam artian peran pendidik dan pengajar sangat dominan, pelajar harus mengubahnya dengan berpikir kritis atas pengetahuan yang mereka terima tersebut. Dalam benak para pelajar harus tergambar pertanyaan-pertanyaan di sekitar pengetahuan yang diterima tersebut. Pertanyaan-pertanyaan tersebut jangan hanya ditanyakan secara lisan saja, tetapi juga dikaji sebagai persoalan yang harus dihadapi oleh pelajar. Dengan kata lain, pola pikir ilmiah harus selalu menyertai pelajar dalam interaksi mereka dengan pengajar.

Dari sini permasalahan lain muncul. Pendidikan di negara kita ternyata tidak memberi porsi yang memadai kepada intelectual-counter tersebut. Biasanya pelajar hanya diberi teori-teori yang telah baku tanpa adanya pembanding teori yang seimbang. Hal ini pada satu sisi dapat dimaklumi, mengingat keterbatasan sumber daya manusia dan modal dalam pelaksanaan teori tersebut. Akan tetapi di sisi lain kondisi seperti ini dapat menurunkan potensi intelektual pelajar, karena mereka hanya mengkaji satu permasalahan tanpa ada perbandingan. Implikasi negatifnya, ketika pelajar berbeda pendapat mereka tak mampu mengutarakannya karena tidak memiliki sandaran, hanya bersandar pada logika-logika subjektif belaka.

Dalam realitas negara kita yang tengah belajar berdemokrasi, pelajar juga diharapkan untuk berkontribusi dalam sumbangsih pemikiran dan peranan dalam upaya-upaya mengembalikan makna reformasi ke hakikatnya semula. Pelajar dalam konteksnya sebagai bagian dari dunia pendidikan memang memiliki beberapa kelebihan. Pertama, semangat yang masih berkobar-kobar. Semangat yang tinggi ini memungkinkan pelajar untuk melakukan perubahan di sekelilingnya, terutama jika ada penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada lingkungannya. Kedua, pikiran yang kritis dan idealis. Pemikiran pelajar –terutama pelajar SMA— dalam menyikapi perkembangan zaman bisa dikatakan sangat reaktif, apalagi jika didukung dengan arus informasi yang masuk. Idealisme dan daya kritis tersebut harus selalu dipupuk, agar para pelajar memiliki wawasan dan keberanian sehingga ke depannya akan menghasilkan figur-figur aktivis yang peka akan perubahan dan kritis dengan kondisi bangsanya.

Akan tetapi, pelajar pun memiliki kekurangan di balik kelebihan tersebut, yaitu ketidakstabilan emosi dan ketidakpercayaan akan diri sendiri. Pertama, kurangnya self-confident yang merupakan konsekuensi dari masa pubertas dan pencarian jati diri. Kedua, ketidakstabilan emosi para pelajar yang juga merupakan konsekuensi dari masa pencarian jati diri. Akibatnya, seringkali idealisme para pelajar dianggap sebagai sebuah pembangkangan atas suatu peraturan, yang menyebabkan para pelajar terlibat permasalahan dengan objek-objek tertentu yang tidak disenanginya, semisal sekolah.

Adanya kekurangan-kekurangan tersebut tidak lantas menggugurkan argumen bahwa pelajar harus memiliki idealisme dan pikiran yang kritis. Idealisme dan daya kritis tersebut sangat penting dalam menyuarakan dan memertahankan hak-haknya serta. memfilter segala macam bentuk pengaruh yang masuk melalui saluran-saluran komunikasi yang ada. Idealisme dan daya kritis tersebut harus terus dibina, agar para pelajar memiliki wawasan dan keberanian sehingga akan muncul figur-figur aktivis yang peka dan kritis akan perubahan-perubahan yang terjadi di sekelilingnya.

Dengan kata lain, daya kritis dan idealisme pelajar harus dipupuk sejak di bangku sekolah. Pemikiran kritis ini dapat dikembangkan melalui kegiatan pembelajaran di sekolah, baik dalam kerangka formal ataupun informal. Praktik-praktik ‘pencucian otak’ atau brainwashing yang dilakukan oleh guru-guru atau elemen masyarakat luar juga sebisa mungkin dihindari. Yang harus dilakukan oleh pelajar adalah mengkaji berdasarkan pemikiran mereka sendiri, dengan mengembangkan budaya ilmiah sebagai dasar. Oleh karena itu, biarpun pelajar tak memiliki kekuatan untuk mengubah bangsa ini, pelajar harus mampu mengembalikan kepercayaan diri bangsa dengan ilmu dan pengetahuan.

Pelajarlah harapan bangsa sekarang!