Senin, 18 Juni 2007

Pelajar, Antara Realitas dan Idealitas


Peranan pelajar sebagai salah satu agen reformasi tak dapat dinafikan dan dipinggirkan begitu saja. Pelajar dituntut untuk menjadi seorang intelektual yang mampu mengembalikan kejayaan bangsa. Seorang pelajar dituntut untuk tidak hanya mengorientasikan pendidikan yang diterimanya kepada nilai atau ranking semata, tetapi juga memerhatikan aspek-aspek sosial yang akan dilakukannya ketika berinteraksi dengan dunia. Sebagai seorang intelektual, pelajar harus mampu menganalisis problematika sosial dengan konsep ilmu yang mereka terima, tidak hanya menerima ‘doktrin’ yang diterima dari tenaga pendidik/pengajar. Memang, dalam hal ini peranan pelajar tidaklah sesignifikan mahasiswa, karena pelajar masih dibatasi ruang gerak mereka oleh peraturan-peraturan yang dibuat oleh otoritas sekolah. Kadar keilmuan mereka pun masih belum begitu maksimal didapatkan. Akan tetapi, pelajar tetap harus mengembangkan potensi intelektual mereka sebagai permulaan dari perjuangan. Tentunya, di sini perlu bimbingan dan rambu-rambu dalam ruang gerak bagi pelajar, agar para pelajar tidak ”kebablasan” dalam bergerak.

Potensi pelajar secara intelektual tersebut antara lain dapat dikembangkan dalam kegiatan belajar-mengajar. Dalam kegiatan belajar-mengajar ini, yang pertama kali harus diubah oleh pelajar adalah pola menerima pelajaran. Jika selama ini pelajar hanya menerima pengetahuan secara ‘satu arah’, dalam artian peran pendidik dan pengajar sangat dominan, pelajar harus mengubahnya dengan berpikir kritis atas pengetahuan yang mereka terima tersebut. Dalam benak para pelajar harus tergambar pertanyaan-pertanyaan di sekitar pengetahuan yang diterima tersebut. Pertanyaan-pertanyaan tersebut jangan hanya ditanyakan secara lisan saja, tetapi juga dikaji sebagai persoalan yang harus dihadapi oleh pelajar. Dengan kata lain, pola pikir ilmiah harus selalu menyertai pelajar dalam interaksi mereka dengan pengajar.

Dari sini permasalahan lain muncul. Pendidikan di negara kita ternyata tidak memberi porsi yang memadai kepada intelectual-counter tersebut. Biasanya pelajar hanya diberi teori-teori yang telah baku tanpa adanya pembanding teori yang seimbang. Hal ini pada satu sisi dapat dimaklumi, mengingat keterbatasan sumber daya manusia dan modal dalam pelaksanaan teori tersebut. Akan tetapi di sisi lain kondisi seperti ini dapat menurunkan potensi intelektual pelajar, karena mereka hanya mengkaji satu permasalahan tanpa ada perbandingan. Implikasi negatifnya, ketika pelajar berbeda pendapat mereka tak mampu mengutarakannya karena tidak memiliki sandaran, hanya bersandar pada logika-logika subjektif belaka.

Dalam realitas negara kita yang tengah belajar berdemokrasi, pelajar juga diharapkan untuk berkontribusi dalam sumbangsih pemikiran dan peranan dalam upaya-upaya mengembalikan makna reformasi ke hakikatnya semula. Pelajar dalam konteksnya sebagai bagian dari dunia pendidikan memang memiliki beberapa kelebihan. Pertama, semangat yang masih berkobar-kobar. Semangat yang tinggi ini memungkinkan pelajar untuk melakukan perubahan di sekelilingnya, terutama jika ada penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada lingkungannya. Kedua, pikiran yang kritis dan idealis. Pemikiran pelajar –terutama pelajar SMA— dalam menyikapi perkembangan zaman bisa dikatakan sangat reaktif, apalagi jika didukung dengan arus informasi yang masuk. Idealisme dan daya kritis tersebut harus selalu dipupuk, agar para pelajar memiliki wawasan dan keberanian sehingga ke depannya akan menghasilkan figur-figur aktivis yang peka akan perubahan dan kritis dengan kondisi bangsanya.

Akan tetapi, pelajar pun memiliki kekurangan di balik kelebihan tersebut, yaitu ketidakstabilan emosi dan ketidakpercayaan akan diri sendiri. Pertama, kurangnya self-confident yang merupakan konsekuensi dari masa pubertas dan pencarian jati diri. Kedua, ketidakstabilan emosi para pelajar yang juga merupakan konsekuensi dari masa pencarian jati diri. Akibatnya, seringkali idealisme para pelajar dianggap sebagai sebuah pembangkangan atas suatu peraturan, yang menyebabkan para pelajar terlibat permasalahan dengan objek-objek tertentu yang tidak disenanginya, semisal sekolah.

Adanya kekurangan-kekurangan tersebut tidak lantas menggugurkan argumen bahwa pelajar harus memiliki idealisme dan pikiran yang kritis. Idealisme dan daya kritis tersebut sangat penting dalam menyuarakan dan memertahankan hak-haknya serta. memfilter segala macam bentuk pengaruh yang masuk melalui saluran-saluran komunikasi yang ada. Idealisme dan daya kritis tersebut harus terus dibina, agar para pelajar memiliki wawasan dan keberanian sehingga akan muncul figur-figur aktivis yang peka dan kritis akan perubahan-perubahan yang terjadi di sekelilingnya.

Dengan kata lain, daya kritis dan idealisme pelajar harus dipupuk sejak di bangku sekolah. Pemikiran kritis ini dapat dikembangkan melalui kegiatan pembelajaran di sekolah, baik dalam kerangka formal ataupun informal. Praktik-praktik ‘pencucian otak’ atau brainwashing yang dilakukan oleh guru-guru atau elemen masyarakat luar juga sebisa mungkin dihindari. Yang harus dilakukan oleh pelajar adalah mengkaji berdasarkan pemikiran mereka sendiri, dengan mengembangkan budaya ilmiah sebagai dasar. Oleh karena itu, biarpun pelajar tak memiliki kekuatan untuk mengubah bangsa ini, pelajar harus mampu mengembalikan kepercayaan diri bangsa dengan ilmu dan pengetahuan.

Pelajarlah harapan bangsa sekarang!

Tidak ada komentar: