Rabu, 20 Juni 2007

Perlunya Pendidikan Antikorupsi

Perlunya Pendidikan Antikorupsi

Korupsi memang telah menjadi hal yang sangat memprihatinkan dalam satu dasawarsa terakhir ini. Beragam kasus, dari kasus korupsi perorangan sampai korupsi ‘berjamaah’ terjadi di negara ini. Bahkan, struktur korupsi telah mencapai hampir semua elemen masyarakat, mulai dari lapisan terbawah (massa grass-roots) sampai lapisan teratas (elit politik).

Dalam sewindu terakhir (1999-2007), pemerintah telah berupaya keras untuk mengubah keadaan ini. Selepas Orde Baru, muncul UU No 28 tahun 1999 tentang penyelenggara yang bersih dari KKN. Dalam UU tersebut telah ditetapkan tujuh asas umum penyelenggara negara yang juga menjadi asas dalam UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Salah satu asas tersebut adalah asas keterbukaan yang sekarang populer dengan istilah transparansi. Selain itu juga ada UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang melegitimasi kewenangan KPK secara yuridis.

Yang menjadi permasalahan, persoalan korupsi ternyata masih belum dapat dihilangkan secara total. Kita dapat melihat berbagai kasus yang terjadi pada era reformasi ini. Hal ini patut menjadi bahan renungan bagi kita, mengingat korupsi adalah perbuatan yang sangat dilarang dalam agama manapun, dan bertentangan dengan perspektif moral di negara kita. Tak salah jika Amien Rais (2004) menggolongkan perilaku korupsi sebagai perbuatan anti-kebangsaan dan anti-nasionalisme.

Ditinjau dari pendekatan neoliberal, pemberantasan korupsi dapat dilakukan dengan mengurangi kekuasaan otoritas publik yang dipegang pemerintah dan memberikan otoritas yang lebih besar kepada masyarakat untuk mengontrol otoritas publik itu. Dengan adanya partisipasi masyarakat dalam proses controlling tersesbut, akan muncul evaluasi kritis dari masyarakat sebagai pelaku demokrasi, sehingga kasus-kasus korupsi dapat diminimalisasi.Perspektif ini mengimplikasikan adanya keterbukaan dalam hampir semua bentuk kebijakan publik yang ditelurkan oleh pemerintah. Keterbukaan ini juga harus dibarengi dengan peningkatan kualitas kinerja birokrasi dan pemerintahan agar asas akuntabilitas yang menjadi asas umum penyelenggaraan negara juga dapat terpenuhi.

Lebih lanjut, Prof. Dr. Amien Rais, MA menegaskan bahwa keterbukaan ini mengimplikasikan adanya kejujuran yang tinggi. Jika kejujuran hilang, bisa dipastikan akan timbul berbagai macam penyelewengan Timbulnya korupsi merupakan bagian dari sederetan contoh yang muncul akibat hilangnya kejujuran dari penyelenggara negara. Pada ujungnya, prinsip keterbukaan ini menuntut adanya pertanggungjawaban (accountability) yang tinggi dari penyelenggara negara.

Jika poin kejujuran ini hilang, lanjut Amien Rais, sebagai implikasinya akan muncul berbagai macam penyimpangan. Salah satu penyimpangan tersebut tindakan-tindakan korupsi yang akan memberi dampak kerugian pada negara. Oleh sebab itu, Amien Rais meletakkan transparansi dan kejujuran ini sebagai salah satu tonggak dasar penyelenggaraan negara.

Yang menjadi permasalahan adalah, sejauh manakah semangat antikorupsi ini diimplementasikan oleh pemerintah dan jajaran birokrat di negara kita? Belakangan ini, otonomi daerah yang berarti desentralisasi kekuasaan banyak yang diselewengkan menjadi desentralisasi korupsi. Di beberapa daerah terjadi kasus-kasus penyalahgunaan wewenang yang mengarah pada The Abuse of Public Power For Private Benefit. Ini menandakan pemberantasan korupsi masih belum dilakukan secara optimal. Jikapun telah dilakukan, masih banyak sekali peluang untuk melakukan perbuatan ini.

Untuk itu, selain pemberantasan yang dilakukan secara kuratif dengan menegakkan supremasi hukum, juga sepatutnya ada pemberantasan korupsi secara preventif. Pemberantasan korupsi secara preventif ini menurut sebaiknya dilakukan secara integratif di seluruh aspek pebelajaran, dalam artian di semua kegiatan pembelajaran harus ada sisipan pesan moral tentang bahaya korupsi. Hal ini tentu saja memerlukan kerjasama yang baik dari semua pendidik dan pengajar. Jangan sampai para pendidik yang seyogianya memberikan keteladanan memberikan contoh perbuatan korupsi di sekolah.

Pemerintah memang telah memberikan sinyalemen positif berkaitan dengan hal tersebut. Wakil Ketua KPK Dr. Syahruddin Rasul dalam Pengarahan Bimbingan Teknis (Bimtek) Kesadaran Antikorupsi di Graha Abdi Persada tanggal 20 Desember 2006 menegaskan bahwa tema antikorupsi akan masuk sebagai pengganti Muatan Lokal dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang rencananya akan diberlakukan mulai tahun ajaran 2007-2008, dan akan dikembangkan secara bertahap sampai tahun ajaran 2009-2010. Hal tersebut merupakan hasil Memorandum of Understanding (MoU) antara Menteri Pendidikan Nasional dan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Hal ini sejalan dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan yang disebutkan dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 4 ayat (4), yaitu pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. Keteladanan ini sepatutnya diintegrasikan oleh pendidik ke dalam kurikulum pembelajaran dengan harapan dapat diimplementasikan dalam realitas empiris oleh peserta didik.

Sebagai langkah awal, yang patut dilakukan sekolah adalah memberikan contoh perbuatan transparan tersebut kepada siswa. Salah satu contoh tersebut adalah bersikap jujur dan transparan mengenai Anggaran Penerimaan dan Belanja Sekolah (APBS). Para siswa dibebankan dana yang banyak –satu tahun bisa lebih dari Satu Juta Rupiah— tetapi siswa sendiri tidak mengetahui kemana aliran dana sebanyak itu. Jangan sampai para siswa bertanya-tanya dan mempunyai interpretasi keliru mengenai penggunaan dana APBS tersebut.
Oleh sebab itu, dalam permasalahan dana APBS pihak sekolah harus beriskap transparan dan jujur kepada semua pihak. Transparansi ini harus diwujudkan dengan metode dialogis-kompromis yang mengakomodasi semua kepentingan. Salah satu caranya ialah membuka forum dan dengar pendapat dengan para siswa sehingga tidak memicu gejolak kekecewaan yang berlarut-larut. Langkah ini pun hanya akan dapat berjalan optimal jika didukung oleh segenap elemen manajemen sekolah.

Di sinilah peranan pelajar akan terlihat dalam proses controlling kebijakan sekolah. Jika sudah ada kerjasama antara orang tua, siswa, dan publik otorisasi sekolah yang pada awalnya ’tak terbatas’ dapat menjadi ’tidak tak terbatas’. Implikasinya, kebijakan sekolah yang cenderung membuang-buang uang untuk kepentingan yang tidak urgent dapat direduksi secara signifikan, sehingga pada akhirnya dapat tercipta transparansi antara pihak sekolah dan publik dalam kebijakan-kebijakan sekolah.

Oleh karena itu, sudah sepatutnya pemerintah melakukan sosialisasi tentang urgensi keterbukaan dalam pendidikan kita secara formal, non-formal, atau informal. Pendidikan keterbukaan ini dapat dimasukkan dalam kurikulum pendidikan formal, atau diintegrasikan dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Yang terpenting, pendidikan keterbukaan dan antikorupsi ini dapat berperan dalam upaya mereduksi kasus-kasus The Abuse of Public Power For Private Benefit yang kian lama kian meresahkan bangsa ini.

Tidak ada komentar: