Rabu, 20 Juni 2007

Fenomena Kekerasan Pada Anak

Penghentian Tindak Kekerasan Terhadap Anak
Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)

Berbicara mengenai kekerasan terhadap anak memang merupakan sesuatu yang dilematis bagi kita, karena kasus-kasus kekerasan terhadap anak ini berakar pada konsep “pembinaan” dan “pendidikan” telah terkonstruksi dalam paradigma masyarakat kita sedemikian rupa, sehingga menyebabkan kesulitan dalam mengatasinya. Akan tetapi, ada beberapa alternatif pemecahan yang dapat ditawarkan agar kasus-kasus kekerasan terhadap anak dapat direduksi secara maksimal.

Dalam perspektif Sosiologi, kekerasan terhadap anak berpijak pada dua kata kunci: perilaku menyimpang dan masalah sosial. Kekerasan terhadap anak ini memiliki akar permasalahan yang berasal dari perilaku menyimpang masing-masing individu yang jika terjadi secara kolektif akan menimbulkan masalah sosial (social pathology). Argumen ini disandarkan pada teori yang diberikan oleh Edwin Sutherland, yang berpendapat bahwa penyimpangan dihasilkan oleh pergaulan yang berbeda, dan dipelajari melalui proses alih budaya. Selain itu, berpijak pada teori Cohen, Perilaku menyimpang merupakan perilaku yang bertentangan dengan aturan-aturan normatif atau hukum, maupun dari harapan lingkungan sosial yang bersangkutan.

Anggapan tersebut paralel dengan definisi masalah sosial, dimana Soedjono Dirdjosisworo (1973) menyebut masalah sosial ini sebagai social pathology atau terjadinya maladjustmen dalam bidang-bidang tertentu yang menyebabkan ketidaksesuaian antara sesuatu yang terjadi dengan sesuatu yang diharapkan. Selain itu, sumber masalah sosial yang berupa nilai dan norma sosial di masyarakat juga dengan jelas menunjukkan paralelitas tersebut. Dengan hubungan tersebut, penyusun berargumen bahwa kekerasan terhadap anak berakar pada perilaku menyimpang, dan jika kekerasan terhadap anak ini semakin bertambah kuantitasnya, akan berimbas pada masalah sosial.

Sebagai sandaran dalam menetapkan sanksi dan batasan, RI telah memiliki beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah kekerasan terhadap anak. Dua belas tahun sebelum disahkannya UU No 23/2003 tentang perlindungan anak, atau tepatnya pada 1990, pemerintah telah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No 36/1990. Intinya adalah, pengembangan nilai-nilai tradisi dan budaya bangsa Indonesia bagi perlindungan dan pengembangan anak yang serasi dengan agama, sosial, budaya, dan ekonomi. UUPA dan KHA secara tegas menyebutkan empat prinsip perlindungan anak yang harusnya dijalani, yakni non-diskriminasi, terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan perkembangan anak, serta penghargaan terhadap pendapat anak.

Dalam konteks kekerasan terhadap anak, dapat kita lihat bahwa perilaku-perilaku tersebut, baik yang dilakukan oleh orang tua maupun guru bertentangan dengan UU No 23 tahun 2002. Pada Deklarasi Hak Anak (Declaration of The Right of The Child) sebagaimana disebutkan dalam Preamble of Convention of The Rights of The Child, ditegaskan, "the child, by reason of his physical and mental immaturity, needs special safeguards and care, including appropriate legal protection, before as well as after birth". Hal ini berarti bahwa anak, karena belum dewasa secara fisik dan mental, memerlukan pengawalan dan perlindungan khusus, termasuk perlindungan legal yang layak, sebelum dan sesudah lahir. Dari deklarasi tersebut jelas ditegaskan bahwa praktik-praktik kekerasan terhadap anak tidak ditolerir dalam perspektif hukum internasional.

Selain itu, keluarga sebagai agen terkecil dalam masyarakat juga memegang peranan yang sangat krusial. Menurut Setiawan (2007), keluarga yang harmonis biasanya akan dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan anak. Sebaliknya keluarga yang sering ada masalah baik dari dalam maupun dari luar akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak. Di sinilah peran serta orangtua dalam membimbing dan mengarahkan anak-anaknya menjadi insan cerdas dan mandiri. Lebih lanjut, keluarga yang tertata dengan baik juga akan menjauhkan dari tindak kekerasan terhadap anak.

Faktor berikutnya adalah lingkungan masyarakat, karena di sinilah anak banyak berinteraksi selain dari lingkungan keluarga. Menciptakan tatanan masyarakat yang damai adalah kunci utamanya. Artinya, seorang anak akan tumbuh kembang dengan baik apabila masyarakat jauh dari konflik sosial. Anak yang dibesarkan dari berbagai konflik biasanya akan lebih agresif dalam artian sering bertindak brutal dan kurang mampu mengendalikan diri dengan baik. Hal ini tentunya berbeda dengan anak-anak yang dibesarkan dalam situasi yang aman dan jauh dari konflik. Mereka pada dasarnya dapat tumbuh kembang dan belajar dengan baik (Setiawan, 2007).

Paradigma masyarakat bahwa kekerasan yang dialami anak adalah hal yang lumrah dan biasa saja yang sudah terkonstruksi juga sudah seharusnya diubah. Apalagi, seperti ditulis oleh Suyanto (2002), di tengah kultur masyarakat yang menempatkan posisi anak selalu asimeteris dengan orang dewasa. Semuanya itu harus sedikit demi sedikit diubah dengan pendekatan persuasif melalui pemerintah sebagai agen sosialisasi. Akan tetapi, dengan adanya anggapan bahwa kekerasan merupakan bagian dari proses pendidikan yang dibutuhkan untuk mendisiplinkan anak, sulit bagi kita untuk mengharapkan kasus-kasus child abuse dapat dieliminasi. Meski demikian, bukan berarti kasus child abuse bisa kita dibiarkan terus terjadi dan terus memakan korban.

Oleh karena itu, kerjasama yang sinergis antara masyarakat, media, keluarga, LSM, dan Pemerintah sangat penting dalam mengampanyekan pentingnya penghindaran kekerasan terhadap anak di rumah tangga, lingkungan sosial, atau sekolah. Selain itu, perlu adanya langkah-langkah strategis dan agenda aksi ke depan. Kepada masyarakat, hentikanlah semua praktik kekerasan terhadap anak baik yang dilakukan secara fisik maupun psikis, karena kekerasan terhadap anak jelas-jelas telah bertentangan dengan hukum dan norma yang berlaku dalam tatanan kehidupan masyarakat kita.

Kalau tidak kita mulai sekarang, kapan lagi?

Tidak ada komentar: