Senin, 29 September 2008

Mudik, Politik, dan Kesadaran Kita


Pengantar

Fenomena mudik lagi-lagi menghangat ketika lebaran tiba. Diperkirakan lebih dari 25 Juta orang di Indonesia akan melakukan tradisi ini dengan menggunakan media transportasi yang tersedia. Mudik kemudian lebih terasa bernuansa politis ketika beberapa partai politik menggunakan momentum ini untuk meraih simpati konstituen.

Mudik telah menjadi bagian dari budaya masyarakat kita. Akan tetapi, apa sebenarnya esensi dari mudik tersebut? Mudik tentunya tidak hanya dimaknai sebagai sebuah ritual pulang ke kampung halaman belaka, tetapi juga merefleksikan sebuah fenomena budaya yang memiliki makna tersendiri.

Mudik Politis?

Persoalan mudik kadangkala menjadi isu politis, seperti yang terjadi di tahun ini ketika beberapa partai politik memanfaatkan momentum mudik untuk mencari dukungan dan simpati masyarakat. Sah-sah saja mereka berkampanye dengan cara yang seperti itu, tetapi kita mesti ingat bahwa sebagai sebuah realitas sosial, mudik juga harus dipahami dengan menggunakan kaca mata berbeda.

Bolehlah kita di sini menggunakan mudik untuk kepentingan kampanye, tetapi aspirasi pemudik –terutama pemudik dari kelas menengah ke bawah—tetap harus diperhatikan. Para politisi dan elit parpol juga harus mencari solusi dari tingginya angka kecelakaan pada saat mudik yang sebenarnya tidak hanya disebabkan oleh kelalaian pengemudi, tetapi juga karena fasilitas jalan yang rawan kecelakaan.

Selain itu, kenyamanan dalam menggunakan alat transportasi umum juga patut menjadi perhatian para pemutus kebijakan. Sebagai contoh, ketika Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan menginspeksi mudik, banyak sekali keluhan yang didapatkan dari para pemudik kelas ekonomi. Jelas hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk dapat menjaga kenyamanan mudik.

Dengan demikian, mudik seharusnya juga menjadi agenda politik pemerintah, bukan hanya agenda partai politik. Sebab biar bagaimanapun, kelancaran mudik sangat bergantung pada kualitas pelayanan publik dan jaminan keselamatan transportasi yang diberi oleh negara. Sehingga, mudik tidak hanya menjadi alat untuk mendapatkan dukungan belaka, tetapi juga menjadi bahan evaluasi kinerja pemerintah.

Kembali Ke Akar Rumput

Fenomena mudik setidaknya memiliki beberapa makna yang sebenarnya dapat menjadi sebuah wacana bagi perencanaan kebijakan publik. Karena, sebuah realitas sosial memiliki makna terpendam di baliknya.

Pertama, mudik menjadi momentum kembalinya penduduk dari kota ke desa. Masyarakat memandang bahwa kehidupan kota lebih menjanjikan dibanding kehidupan di desa. Terjadilah urbanisasi yang pada gilirannya justru menimbulkan ekses bagi kemiskinan di kota dan ketertinggalan desa. Prosesi mudik dalam hal ini akan membuka mata seorang perantau bahwa kondisi desanya tertinggal sehingga kesadarannya untuk membangun desa yang ditinggalkannya terbangun.

Kedua, mudik bisa dimaknai sebagai upaya untuk menghilangkan sekat-sekat status sosial yang berpotensi tumbuh menjadi konflik kelas. Karakter kehidupan kota yang individualistik akan luntur ketika seseorang berinteraksi dengan karakter desa yang sederhana dan penuh kekeluargaan. Prosesi mudik diharapkan dapat membangkitkan semangat kebersamaan dan sedikit demi sedikit menghilangkan kelas-kelas sosial yang terbentuk akibat proses industrialisasi di kawasan perkotaan.

Ketiga, mudik juga bisa dimaknai sebagai proses kembalinya seseorang ke akar rumputnya. Biar bagaimanapun, nama yang besar takkan berarti apa-apa tanpa proses pendidikan dari entitas akar rumput yang membesarkannya Seperti kata Bung Karno, jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Momentum mudik dapat ditransformasikan sebagai awal kesadaran untuk tidak melupakan sejarah.

Implikasi lanjutan dari kesadaran awal ini adalah terbangunnya kesadaran untuk membangun daerahnya sehingga terbangun rasa kebersamaan dan egalitarianisme dengan kalangan akar rumput. Apalagi, rakyat sekarang tengah dilanda kesulitan ekonomi akibat melambungnya harga-harga kebutuhan pokok.

Kesimpulan

Tiga makna mudik tersebut penting untuk diperhatikan, agar ritual mudik tidak hanya menjadi momentum untuk melepas rindu atau berlebaran dengan keluarga belaka, tetapi juga dapat menjadi momentum untuk membangun kesadaran politik dan kesadaran sosial yang pada giliranya dapat mempererat rasa persaudaraan.

Oleh karena itu, semangat mudik berarti sebagai semangat kembali ke akar rumput, kembali membangun desa, kembali membaktikan diri pada entitas yang termarjinalkan.

Penulis

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

Mahasiswa FISIPOL Universitas Gadjah Mada jurusan Ilmu Hubungan Internasional Angkatan 2008


Artikel ini dimuat di Banjarmasin Post, 4 Oktober 2008

Ekonomi Rakyat, Maju dan Bangkitlah! (Edisi Ulangan)

Ekonomi Rakyat oleh sistem monopoli disempitkan, sama sekali didesak dan dipadamkan

(Ir. Soekarno, 1930)[1]


Pengantar

Banyak yang berkata bahwa perekonomian kita sedang berada di ambang krisis. Perekonomian kita ikut terpengaruh oleh melambungnya harga minyak dunia yang diikuti oleh kenaikan tingkat inflasi. Walaupun pemerintah dapat ”menjaga” stabilitas moneter dan makroekonomi dalam kuartal pertama tahun ini, kita masih dikagetkan oleh tingginya harga sembako. Lebih miris lagi ketika kita menyaksikan ada warga yang mati kelaparan di suatu daerah. Apakah ini merupakan tanda bahwa fundamental ekonomi negara kita berada di ambang kehancuran?


Ada baiknya jika kita berkaca pada sejarah. Seratus tahun yang lalu, keadaan Indonesia juga terpuruk akibat tekanan ekonomi penjajah yang memainkan praktik monopoli. Di era selanjutnya, kebijakan pintu terbuka yang dijalankan oleh pemerintah kolonial semakin membuat rakyat seakan menjadi “buruh di rumah sendiri”. Rakyat harus menggarap perkebunan-perkebunan yang ditanam di lahan mereka, tetapi hasilnya masuk ke kas perusahaan asing. Terpuruknya keadaan ekonomi bangsa tersebut dilukiskan oleh Douwes Dekker, seorang politisi dari Partai Liberal Belanda dalam bukunya, Max Havelar yang mengisahkan penderitaan rakyat Jawa akibat tekanan ekonomi penjajah. Namun bangsa kita tetap dapat bangkit dan memperbarui diri dengan kedatangan sebuah pelita di tengah kegelapan zaman penjajahan: Boedi Oetomo.

A. Pionir Kebangkitan Nasional

Kita tentu mengetahui bahwa tanggal 20 Mei 2008 ini adalah ulang tahun ke-100 Boedi Oetomo yang dianggap sebagai sebuah organisasi pertama yang mengusung nasionalisme modern di Indonesia. Sekilas melihat sejarah, Boedi Oetomo didirikan oleh beberapa orang mahasiswa STOVIA (Sekolah Kedokteran di Zaman Penjajahan Belanda) yang kritis dan memiliki visi strategis untuk membina kesejahteraan rakyat yang cukup terpuruk di era tersebut. Atas prakarsa dr. Wahidin Sudirohusodo, seorang dokter idealis yang melihat ketimpangan-ketimpangan sosial di masyarakat akibat tekanan penjajah pada waktu itu, berdirilah sebuah organisasi yang diberi nama “Boedi Oetomo” untuk membasahi dahaga mereka tersebut.

Boedi Oetomo mampu mentransformasi visi strategis gerakan mereka ke dalam sebuah wacana praksis yang diterima di masyarakat sehingga langkah-langkah propaganda organisasi pun juga dapat diterima. Atas prakarsa dr. Wahidin, Boedi Oetomo mempropagandakan penggalangan dana untuk biaya pengobatan masyarakat kurang mampu ke seantero pulau Jawa. Mereka juga melakukan sosialisasi di kalangan priyayi sehingga membuat Tirto Kusumo, bupati Karang Anyar mendukung pergerakan mereka (Badrika, 2004)[2]. Sehingga, kemunculan Boedi Oetomo dianggap sebagai renaisans pergerakan nasional karena diikuti oleh kelahiran organisasi lain yang cenderung terjun ke dunia politik.

Ketika kita berbicara tentang Budi Utomo, kita juga akan berbicara tentang Sarekat Islam, organisasi Islam pertama yang terjun ke dunia politik di era awal pergerakan. Embrio dari Sarekat Islam ini sebenarnya telah dirintis oleh Haji Samanhudi pada tahun 1911 di kota Surakarta. Haji Samanhudi adalah seorang pedagang batik yang merasa bahwa pangsa pasar tanah air lebih didominasi oleh para pedagang asing, terutama pedagang Cina dan Belanda. Untuk melindungi produksi dalam negeri, Samanhudi menghimpun para pedagang Islam di Surakarta untuk membentuk sebuah persekutuan dagang Islam yang diberi nama Sarekat Dagang Islam (Noer, 1982)[3].

Kelahiran Budi Utomo dan Sarekat Islam ini dinilai telah membawa angin segar bagi rakyat bumiputera yang sejak lama menderita karena tekanan penjajah. Kondisi ekonomi rakyat, seperti dikatakan oleh Soekarno dalam Indonesia Menggugat, telah tersempitkan oleh monopoli perdagangan Belanda sehingga membuat produksi mereka terhambat. Implikasi negatifnya, rakyat menjual hasil pertanian mereka dengan harga murah di pasaran yang membuat mereka tetap tidak dapat melakukan mobilitas secara ekonomi.

Sementara di sisi lain, politik pintu terbuka yang dijalankan oleh Belanda membuat sumber daya alam Indonesia dieksploitasi oleh swasta asing. Perkebunan dibuka di mana-mana. Modal ditanamkan di berbagai sektor ekonomi vital. Mereka meraup keuntungan, sementara pekerjanya yang notabene adalah rakyat Indonesia sendiri hidup serba kekurangan karena tingkat kesejahteraan yang rendah. Sebuah fenomena yang klop dengan pepatah “menjadi babu di rumah sendiri”.

B. Kebangkitan Ekonomi: Rakyat atau Pasar?

Sekarang, seratus tahun sudah Boedi Oetomo dilahirkan. Namun betapa terkejutnyan kita ketika mendapati sebuah fenomena bahwa kondisi perekonomian rakyat ternyata masih belum bangkit seutuhnya selama seratus tahun terakhir!. Baiklah, kita mungkin dapat mengatakan bahwa pembangunan infrastruktur telah dilakukan dengan baik. Zaman pun telah berkembang dengan adanya teknologi informasi dan komunikasi yang memungkinkan akses informasi dapat menjangkau pedesaan. Akan tetapi, bagaimana dengan nasib ekonomi rakyat atau yang sekarang sering dianggap sebagai usaha kecil dan menengah dan sering disalahtafsirkan sebagai usaha non-formal?

Fenomena terbaru yang kita dengar adalah turunnya harga gabah di pasar, jauh di bawah harga yang ditetapkan pemerintah. Hal ini terjadi akibat permainan harga para spekulan desa atau tengkulak. Mereka mempermainkan harga dengan cara membanjiri permintaan gabah di pasar sehingga harga pun turun. Kemudian, mereka melakukan aksi spekulasi dengan menjual kembali gabah petani dengan harga yang tinggi. Akibatnya bisa ditebak: Harga gabah petani turun, sementara harga beras cenderung naik. Ini yang menyebabkan kesejahteraan rakyat tidak kunjung meningkat.

Hal ini terjadi akibat dilematisnya posisi petani: Di satu sisi, mereka merasa bahwa harga gabah yang ditetapkan oleh pemerintah terlalu rendah sehingga mereka merasa berat untuk menjual kepada pemerintah. Di sisi lain, mereka sangat tergantung pada permainan para tengkulak yang menguasai pasar. Para tengkulak atau spekulan membeli gabah petani dengan harga yang relatif murah tetapi menjualnya kembali dengan harga yang tinggi di pasar produk. Akibatnya, kesejahteraan petani tidak meningkat dan harga beras tetap tinggi di pasar. Perlu ada usaha untuk membangkitkan kembali ekonomi rakyat sebagai fundamental perekonomian nasional.

Apa itu ekonomi rakyat? Mubyarto (2002)[4] mengutip analisis ekonom Peru, Hernando de Soto dalam bukunya, Mystery of Capital yang memprediksi kapitalisme akan gagal di dunia ketiga. De Soto menyebut bahwa kegagalan kapitalisme tersebut dikarenakan sistem ekonomi yang sangat inklusif dan materialistik ini baru menyentuh sebagian kecil perekonomian, sedangkan sebagian besar sektor usaha yang merupakan sektor perekonomian rakyat berjalan dengan pola kerja sendiri. Sektor ekonomi rakyat ini dalam literatur-literatur ekonomi disebut sebagai sektor informal atau underground economy yang tak diperhitungkan peranannya karena kurangnya modal.

Contoh paling jelas dari ekonomi rakyat ini adalah pertanian. Bangsa kita sejak dulu telah dikenal sebagai bangsa agraris, bangsa yang menyandarkan perekonomiannya pada sektor pertanian. Hasil bumi kita melimpah, tanah kita subur dan kondisi iklim pun memungkinkan untuk menanami lahan-lahan potensial. Sebagai contoh, di Kalimantan Selatan saja produksi padi telah mencapai 313.815 ton dengan produksi gabah kering giling mencapai 1,95 juta ton (Radar Banjarmasin, 27 April 2008).[5]

Besarnya produksi beras tersebut berimplikasi pada banyaknya jumlah petani di Indonesia. Data statistik tahun 1998 menyebutkan bahwa 62,7% dari 39,8 juta pengusaha yang tergolong sebagai pengusaha kecil dan mikro bekerja di sektor pertanian. Angka tersebut jelas akan bertambah di tahun 2008. Ini berarti, sektor ekonomi rakyat di Indonesia terkonsentrasi di sektor pertanian.

Jika kita kembalikan pada analisis sebelumnya, terlihat bahwa sektor pertanian sedang mengalami kemandegan karena aksi borong gabah para spekulan menyebabkan penurunan harga gabah. Kondisi ini, menurut penulis, dikarenakan sistem penjualan gabah masih sangat dipengaruhi oleh mekanisme pasar atau pergeseran penawaran dan permintaan atas suatu barang yang juga menggeser harga pasar (equilibirum price). Padahal kondisi ini sangat tidak menguntungkan petani dan hanya menguntungkan kaum tengkulak yang terus ’menari’ dengan spekulasi permintaan mereka. Ini adalah cerminan dari masih kuatnya kapitalisme di Indonesia.

Mengacu pada analisis Hernando de Soto, kapitalisme akan gagal di negara dunia ketiga karena ekonomi rakyat di sana berhasil. Lantas, mengapa di negara kita kapitalisme masih bercokol dengan angkuhnya? Jawabnya, karena ekonomi rakyat masih lemah dan awut-awutan. Pemerintah yang sejatinya memberdayakan mereka justru membuka investasi asing seluas-luasnya. Fenomena ini semakin diperparah dengan kebijakan pemerintah untuk mengimpor beras. Sungguh mengherankan, apakah produksi beras nasional yang menjadi tumpuan utama perekonomian kita tidak mencukupi? Lantas di mana keberadaan para petani beras? Kesejahteraan mereka saja di ambang keterpurukan dengan jatuhnya harga gabah. Hal ini, menurut penulis, klop dengan teori ekonomi klasik yang dipegang teguh oleh kelompok kapitalis dan neoliberalis.

Teori yang dicetuskan oleh Adam Smith tersebut pada intinya mengganggap bahwa perekonomian di suatu negara bertumpu pada “invisible hand”, tangan yang tak terlihat. Invisible hand di sini adalah mekanisme pasar atau pergeseran permintaan dan penawaran. Jika kita telaah lebih mendalam, dengan adanya invisible hand ini berarti pemerintah tidak perlu campur tangan dalam urusan perekonomian karena para pelaku pasar telah memiliki preferensi tersendiri dalam meraih keuntungan. Sehingga, menurut teori ini, pelaku pasarlah yang memegang kontrol harga pasar, bukan pemerintah.

Teori tersebut terbukti telah dua kali menjerat di leher kita, di tahun 1966 dan 1998. Jika mekanisme pasar dijadikan sebagai parameter ekonomi, rakyat akan “takluk” oleh inflasi yang kian hari kian menjerat leher mereka! Hal ini dibuktikan dengan adanya kenaikan harga minyak dunia (kabarnya mencapai $120 per barel) yang berimplikasi pada kenaikan harga minyak di pasar domestik. Implikasi lanjutannya, laju inflasi yang diasumsikan hanya akan berjalan di margin 6%-8% pun terancam akan mengalami kenaikan akibat kenaikan biaya produksi ini. Nah, kondisi semacam ini juga akan semakin parah jika terjadi tarikan permintaan pada nilai Rupiah yang saat ini berkisar pada Rp 9.120 per US$. Dengan kata lain, ekonomi kapitalis yang membasiskan diri pada persaingan hanya akan membuat bangsa kita terpuruk dengan kenaikan harga yang kian menggila.

Atas asumsi itulah, pemerintah perlu memberdayakan ekonomi rakyat sebagai penopang perekonomian nasional. Salah satu teori yang dikemukakan oleh Joseph Alois Schumpeter membenarkan bahwa adanya kewirausahaan sangat penting di suatu negara untuk pengembangan inovasi dan teknologi (Alam, 2006)[6]. Pemberdayaan ekonomi rakyat ini tentunya memerlukan berbagai pendekatan sistem untuk mewujudkannya. Ternyata, sistem ekonomi kita sangat mengakomodasi kepentingan rakyat dan pemberdayaan ekonomi rakyat itu sendiri.

C. Konsep Ekonomi Rakyat dalam Penjelasan UUD 1945

Kita dapat melihat pada bunyi penjelasan Pasal 33 UUD 1945 yang telah dihapus oleh MPR ketika amandemen. Penjelasan Pasal 33 tersebut berbunyi sebagai berikut,

Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.

Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang! Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-orang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya.

Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang-seorang.

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.[7]

Mari kita analisis bunyi penjelasan tersebut. Pertama, produksi nasional harus dikerjakan oleh “semua untuk semua”. Ini artinya, produksi nasional harus dilaksanakan secara gotong-royong dan saling membantu, bukan dengan saling berkompetisi. Produksi dan faktor produksi juga harus diperuntukkan untuk kepentingan masyarakat, bukan kepentingan perseorangan walaupun mengatasnamakan korporasi atau lembaga ekonomi apapun. Hal tersebut semakin ditegaskan dalam kalimat berikutnya, di mana kemakmuran yang ditekankan adalah kemakmuran masyarakat. Kalimat berikutnya menandaskan bahwa badan usaha yang relevan dengan platform tersebut adalah koperasi.

Kemudian, dasar perekonomian Indonesia adalah demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi ini jika kita kaitkan dengan kalimat berikutnya dapat diartikan sebagai kebijakan mengusahakan kemakmuran bagi semua orang! Demokrasi ekonomi ini memiliki implikasi di kalimat berikutnya, yaitu peran negara dalam menguasai cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Di sini, penjelasan UUD 1945 sebenarnya tidak memperbolehkan adanya privatisasi BUMN yang sempat menyebabkan kepemilikan saham PT Indosat beralih tangan karena PT SingTel, perusahaan telekomunikasi Singapura menginvasi pasar modal kita dengan membeli 55% dari total saham PT Indosat. Padahal, PT Indosat merupakan aset pemerintah yang cukup vital dalam perkembangan teknologi komunikasi.

Kalimat selanjutnya bahwa jika sektor ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak tidak dikelola pemerintah akan menyebabkan jatuhnya aset negara ke tangan orang-orang yang berkuasa dapat kita lihat pembuktiannya di Papua dan Sulawesi. Kita tentu mengetahui bahwa dua perusahaan tambang multinasional, Freeport dan Newmont, telah beroperasi di Indonesia. Mereka membuka usaha dan melakukan produksi pada sektor yang seharusnya menjadi milik pemerintah: pertambangan.

Prediksi penjelasan UUD 1945 di atas terbukti dengan kasus pencemaran lingkungan yang dilakukan dua perusahaan ini. Mereka tidak hanya membuang limbah secara sembarangan, tetapi juga sewenang-wenang dalam pengupahan dan pembagian hasil. Kita dapat membayangkan besarnya aset dari Freeport di Papua hanya memberikan 5% keuntungan bagi negara kita! Akibatnya, kekayaan kita dikeruk secara eksploitatif tanpa memikirkan nasib bangsa ke depan. Ironisnya, hal tersebut dilakukan oleh bangsa asing. Pemikiran saya pun membenarkan hal yang ditulis oleh John Perkins dalam bukunya, Confession of an Economic Hit Man (2004)[8] yang menyatakan bahwa konspirasi antara negara, korporasi, dan agen-agen economic hit man telah menghasilkan kehancuran di negara-negara berkembang, salah satunya adalah Indonesia.

Poin terakhir adalah bahwa bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya adalah pokok kemakmuran rakyat. Hal ini benar mengingat sumber daya alam Indonesia sangat melimpah. Bahkan nenek moyang kita dulu telah menyebut negara kita dengan negeri Gemah Ripah Loh Jinawi, kaya raya dengan lumbung padi yang semakin membawa kemakmuran. Ini artinya, Indonesia pada dasarnya adalah negeri yang memiliki modal kekayaan besar.

Akan tetapi, kalimat selanjutnya dari poin tersebut yaitu “negara harus menguasai sektor kekayaan tersebut dan mempergunakannya untuk kemakmuran rakyat” sekarang terus-menerus diabaikan oleh pemerintah. Atas dalih membuka lapangan kerja, pemerintah “menjual” aset alam ke tangan perusahaan asing. Contoh kasus, Exxon Mobile berhasil “menguasai” Blok Cepu dan melakukan kegiatan pertambangan di sana. Padahal, Pertamina sebagai perusahaan negara telah “mengintai” persediaan minyak bumi yang cukup prospektif di daerah tersebut. Karena alasan klise yang lahir dari imperialisme ekonomi global itulah pemerintah “takluk” atas harapan yang belum tentu dapat diwujudkan.

Contoh kasus lain adalah Freeport dan Newmont seperti dijelaskan di atas. Bahkan perusahaan batu bara di Kalimantan Selatan pun dapat dikategorikan sejenis dengan dua perusahaan di atas. Mulai dari royalti yang kurang fair, rusaknya jalan, sampai pencemaran lingkungan yang terjadi. Padahal mereka memakai lahan yang seharusnya dimiliki oleh negara dan dibagikan untuk hajat hidup orang banyak.

Kasus lain yang terjadi dapat kita lihat seperti yang ditulis oleh Rakhmat Mulyadi, aktivis Walhi Kalsel tentang kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh PT Galuh Cempaka di Desa Palam, Guntung Manggis, dan Cempaka (Radar Banjarmasin, 5 April 2008)[9]. PT Galuh Cempaka dinilai telah melanggar etika lingkungan dengan menggunakan metode “keruk abis” dalam penambangan. Di sinilah perlu konsistensi pemerintah dalam menegaskan platform kebijakan ekonomi yang akan dijalankan.

Namun sayang, penjelasan Pasal 33 UUD 1945 kini telah “tiada” akibat dihapuskan oleh MPR-RI ketika proses amandemen berlangsung. Padahal, substansi dari penjelasan tersebut telah memberikan platform bagi kebijakan pemerintah dalam memberdayakan ekonomi rakyat. Meminjam istilah Prof. Mubyarto (2004)[10], alasan dalam penghapusan penjelasan UUD 1945 ini, yaitu “di negara-negara lain tidak ada UUD atau konstitusi yang memakai penjelasan” naif dan sangat sulit untuk diterima. Tetapi inilah kondisi objektif yang harus kita terima dan jika bisa kita ubah dengan tangan kita sendiri.

D. Realitas Indonesia: Prospek Ekonomi Rakyat

Pertanyaan lain yang muncul, mengapa sektor ekonomi kapitalis ini sekarang masih mencengkeram Indonesia dengan begitu kuatnya? Kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah adalah meliberalisasi pasar di Indonesia dan tidak membatasi investasi asing yang masuk. Kesalahan pertama adalah meliberalisasi pasar. Kita lihat saja di pasar-pasar tradisional, para produsen dan konsumen kelimpungan karena harga barang kebutuhan pokok tidak stabil. Beberapa produk yang seharusnya menjadi komoditas utama kita seperti gabah mengalami penurunan harga, jauh di bawah harga pasar.

Kesalahan kedua adalah masuknya investasi tanpa batas di Indonesia. Memang patut diakui bahwa investasi asing memberi pengaruh positif dalam penyerapan tenaga kerja, meningkatkan arus uang, dan menambah pemasukan negara di sektor pajak. Sentimen pelaku pasar pun akan menunjukkan kecenderungan positif, sehingga permintaan atas Rupiah dapat meningkat dan nilai Rupiah sendiri terapresiasi atas Dolar AS. Selain itu, masuknya investasi juga akan memberi dampak yang baik dalam pembiayaan sektor-sektor penting.

Tetapi kita juga tidak boleh lupa bahwa investasi yang tidak dikelola secara baik akan menghilangkan kedaulatan ekonomi masyarakat kita! Investasi yang tidak terkontrol dapat mematikan produksi dalam negeri karena harga produk-produk mereka akan jatuh di pasaran akibat kalah saing. Boleh-boleh saja pemerintah membuka kran investasi selebar-lebarnya, tetapi pemerintah tidak boleh melupakan bahwa kondisi ekonomi rakyat masih awut-awutan, perlu suntikan modal dan perlu pengembangan untuk dapat bersaing di pasar domestik. Pemerintah tidak boleh lupa, data statistik menunjukkan bahwa sektor ekonomi yang paling dominan di negeri ini adalah sektor ekonomi rakyat.

Lihat saja data berikut ini. Pada Desember 1998, data statistik menunjukkan bahwa dari 39,8 juta pengusaha di Indonesia, 99,8% merupakan pengusaha kecil dan hanya 0,2% merupakan pengusaha besar dan menengah. Dari jumlah 39,8 juta diatas, komposisi sektoral adalah pertanian 62,7%, perdagangan, perhotelan dan restauran 22,67%, Industri 5,7% dan Jasa sebesar 3,9%. Dari komposisi volume usaha sejumlah 99,85% volume usahanya dibawah 1 miliar, 0,14% di antara 1-50 miliar, dan 0,01% volume usahanya berada di atas 50 miliar.

Dari komposisi penyerapan tenaga kerja, kelompok pertama tersebut menyerap 88,66%, kelompok kedua menyerap 10,78% dan yang ketiga menyerap 0,56%. Adapun jumlah koperasi yang tergolong Koperasi Aktif pada tahun 1998 berjumlah 44.707 dengan volume usaha mencapai 15,247 triliun rupiah atau rata-rata Rp 239.000 rupiah per Koperasi dan memiliki modal sendiri sebesar 5,1 triliun rupiah dengan SHU sebesar 516 Milyar Rupiah (Sasono, 1999)[11].

Data tersebut mengisyaratkan beberapa hal. Pertama, mayoritas pengusaha Indonesia adalah pengusaha yang bergerak di sektor kecil dan menengah. Ada lebih dari 99% pengusaha yang merupakan pengusaha kecil dengan modal yang sedikit. Adapun pengusaha dengan modal besar ternyata kurang dari 1% jumlah pengusaha di Indonesia. Ini sungguh aneh. Bagaimana mungkin sektor perekonomian di kota-kota besar dikuasai oleh para pengusaha yang notabene berjumlah sedikit? Kemudian, sekitar 99% dari jumlah tersebut merupakan pengusaha dengan volume usaha di bawah 1 Milyar.

Kedua, Data Adi Sasono di atas juga menggambarkan bahwa 62% dari jumlah usaha kecil menengah ini bergerak di bidang pertanian yang sejak dulu menjadi tumpuan ekonomi negara. Akan tetapi, fenomena yang kita lihat adalah turunnya produksi gabah dan beras tanah air yang membuat ironi baru: Impor Beras! Ini sungguh mengherankan, mengingat kita adalah negara penghasil beras terbesar di dunia dengan kualitas terbaik pula. Logikanya, negara kitalah yang akan menjadi pengekspor beras terbesar di dunia, bukan negara importir beras yang harus ”memintan-minta” ke negara lain.

Ketiga, data di atas menggambarkan bahwa ada kecenderungan usaha kecil untuk terus meningkat tiap periodenya. Ini mengingat inovasi teknologi baru dan semakin ketatnya persaingan usaha di negara kita. Apalagi dalam menyongsong era pasar bebas 2020 yang akan datang. Tentunya, investasi asing akan masuk secara tak terbatas dan mengakibatkan pudarnya kedaulatan ekonomi rakyat.

Kecenderungan ini mengimplikasikan peningkatan peran pemerintah untuk melindungi produksi dalam negeri. Selain memberlakukan pajak impor yang tinggi, pemerintah juga harus memberi subsidi kepada para petani miskin dan menaikkan harga gabah sehingga biaya produksi petani tidak terus naik dan produksi beras nasional tetap terjaga. Kita juga perlu menyelamatkan produksi komoditas ekspor lain seperti kedelai yang sekarang harganya melambung tinggi akibat permainan para spekulan.

Keempat, adanya usaha kecil dan menengah juga meningkatkan penyerapan tenaga kerja nasional. Dari data di atas misalnya, kelompok usaha kecil dengan volume usaha kurang dari 1 Milyar menyerap 88,66% tenaga kerja, kelompok dengan volume usaha 1 Milyar-50 Milyar menyerap 10,78% dan kelompok usaha dengan volume usaha di atas 50 Milyar menyerap 0,56% tenaga kerja. Tren ini menunjukkan peningkatan lapangan kerja dengan usaha kecil menengah, terutama di pedesaan.

Kelima, data di atas menunjukkan bahwa sebenarnya kebijakan untuk membuka kran investasi asing seluas-luasnya masih kurang relevan untuk dilaksanakan. Investasi asing memang perlu, tetapi harus ada regulasi untuk membatasinya. Pemerintah justru harus memperhatikan investasi domestik, terutama investasi di sektor ekonomi rakyat yang vital. Produksi nasional harus ditingkatkan, kualitas produksi harus terus diperbaiki, dan daya beli masyarakat pun harus didorong dengan mengutamakan produk domestik di pasar. Jadi, investasi asing yang tak terbatas sangat tidak perlu untuk dilaksanakan sekarang.

Jika sektor ekonomi rakyat, terutama pertanian, tidak diperhatikan oleh pemerintah, perekonomian kita akan mengalami kesulitan besar di era Pasar Bebas 2020 yang akan datang. Di era tersebut, kran investasi harus dibuka selebar-lebarnya, kebijakan perdagangan tidak lagi diberlakukan, dan produk-produk dalam negeri harus menghadapi invasi produk luar yang notabene memiliki pangsa pasar sendiri. Tren investasi tidak hanya menggunakan jalur konvensional, tetapi juga melalui jalur portofolio. Akibatnya, pasar domestik akan ”tertarik” ke arah kompetisi yang sangat ketat dengan mekanisme pasar sebagai parameter penentuan harga. Pemerintah akan kesulitan dalam melindungi produksi nasional.

E. Momentum Kebangkitan Ekonomi Rakyat

Ekonomi rakyat telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita. Untuk itulah, momentum seabad kebangkitan nasional harus menjadi tonggak kebangkitan kembali ekonomi rakyat. Kita harus dapat membuktikan, Boedi Oetomo dan Sarekat Islam tak salah mempropagandakan kebangkitan ekonomi rakyat untuk melawan kolonialisme ekonomi Belanda yang menganakemaskan kelompok pemilik modal. Untuk itu, penulis memiliki beberapa sumbangsih saran agar pemerintah dapat memberdayakan ekonomi rakyat secara maksimal sehingga dapat menyongsong era pasar bebas 2020 dengan baik.

Pertama, pemerintah harus memperhatikan produksi komoditas-komoditas rakyat yang sangat vital, semisal beras atau kedelai. Hal ini penting karena komoditas ini bersentuhan langsung dengan kebutuhan rakyat. Naiknya harga beras akan membuat jutaan rakyat miskin kelaparan dan akan menurunkan daya beli masyarakat. Di sisi lain, kenaikan harga beras yang tidak diikuti oleh kenaikan harga gabah juga akan menyengsarakan petani, karena keuntungan yang mereka peroleh tak sebanding dengan kerja keras yang mereka lakukan.

Dalam pandangan penulis, ada dua faktor yang patut diperhatikan, yaitu kestabilan harga dan kesejahteraan petani. Kontrol harga di pasar gabah harus benar-benar dilakukan oleh pemerintah dengan penetapan harga pokok yang menguntungkan petani. Dengan harga pokok yang memihak pada petani, pemerintah dapat mengantisipasi aksi para spekulan gabah yang kadang-kadang memenuhi pasar dengan permintaan-permintaan mereka. Pemerintah harus membuat pasar gabah kondusif dengan pemihakan harga kepada petani.

Selain itu, kesejahteraan petani juga harus diperhatikan, baik petani pemilik lahan atau petani penggarap (buruh tani). Untuk petani pemilik lahan, kesejahteraan petani dapat ditingkatkan dengan memberi subsidi bagi pemilik lahan yang ”kurang produktif”, atau dengan memberi kredit produktif bagi pemilik lahan yang memiliki keterbatasan modal. Bagi buruh tani, pemerintah harus meregulasi sistem pengupahan yang sesuai dan layak bagi para petani. Terkadang, sistem upah yang diberlakukan oleh majikan tidak memenuhi standard upah minimum di provinsi tersebut. Akibatnya, seorang buruh tetap tidak dapat menyejahterakan dirinya dengan upah tersebut.

Kedua, sektor ekonomi rakyat dapat diberdayakan dengan pemberian modal usaha kepada para pengusaha kecil yang ”gulung tikar” karena keterbatasan modal. Pemberian modal ini dapat dilakukan dengan mekanisme kredit produktif atau dengan insentif modal dari pemerintah. Akan tetapi perlu diingat bahwa pemberdayaan ekonomi rakyat dengan insentif modal ini harus mendapat pantauan dari pemerintah. Ketika seorang pengusaha telah mapan (minimal dapat membawa perusahaan ke posisi Break Event Point), pemerintah harus menghentikan insentif agar pengusaha dapat menghilangkan ketergantungan modal. Dengan demikian, pemerintah dapat mengawal keberdayaan ekonomi rakyat ini dengan baik.

Ketiga, pemerintah harus mendukung dan mengaktifkan lembaga-lembaga keuangan mikro Lembaga keuangan mikro ini, seperti dikatakan di atas, berfungsi sebagai perantara dalam pemberian kredit produktif. Adanya lembaga keuangan mikro di tempat-tempat yang terisolasi dari sentra perekonomian akan membangkitkan jiwa para wirausahawan untuk dapat mengolah sumber daya yang tersedia dengan keahlian yang dimiliki. Sebagai contoh adalah di daerah Gambut, Kabupaten Banjar, atau Kurau, Kabupaten Tanah Laut. Keduanya merupakan daerah pertanian yang sangat prospektif. Adanya lembaga keuangan mikro dapat menopang kondisi permodalan para petani sehingga produktivitas mereka tetap terjaga.

Beruntung, era otonomi daerah telah menanamkan komitmen pemerintah daerah untuk memberdayakan petani. Pemkab Tanah Laut telah membangun sebuah Baitul Mal wat Tamwil (BMT) di daerah Kurau untuk menjawab tantangan ini. Dengan adanya BMT ini, para petani dapat terus mengembangkan usahanya karena ditunjang oleh ”konsultan usaha”. Terlebih, BMT juga mengembangkan sektor riil untuk kalangan petani.

Keempat, pemerintah dapat memberdayakan zakat, infak, dan shadaqah untuk memberi modal para pengusaha kecil dan mikro. Kita tentu telah memahami bahwa ketiga sektor di atas akan sangat prospektif jika mampu diberdayakan secara maksimal. Kita ambil saja dengan potensi zakat, terutama zakat profesi. Jika 2,5% dari keseluruhan gaji PNS saja disisihkan dengan asumsi gaji pokok sebesar Rp 1.500.000, masing-masing PNS menyisihkan Rp 37.500. Jika dikalikan dengan 3000 orang PNS, akan terkumpul Rp 112.500.000. Itu adalah perhitungan minimal, mengingat Rp 1.500.000 adalah jumlah yang cukup rendah untuk ukuran gaji seorang PNS di sebuah kota.

Cara berikutnya adalah dengan memanfaatkan shadaqah. Cukup lihat di mesjid pada hari Jum’at. Berapa dana yang terkumpul dari shadaqah yang dikumpulkan dari para jama’ah di sebuah mesjid? Tentu cukup besar. Jika di sebuah mesjid saja terkumpul dana Rp 1.000.000 saja setiap Jum’at, hasil yang akan diperoleh jika 500 mesjid digabungkan adalah Rp 50.000.000. Nominal tersebut adalah ilustrasi yang terjadi hanya di satu daerah saja. Bayangkan jika nominal sebesar itu dikelola secara profesional dan disalurkan kepada pihak yang memerlukan. Saya yakin, ekonomi rakyat dapat diberdayakan dengan penyaluran zakat yang tepat.

Asumsi di atas mengimplikasikan pengelolaan zakat, infak, dan shadaqah ke dalam sebuah lembaga ’amil zakat yang profesional. Lembaga amil zakat ini bertugas melakukan pendataan delapan golongan asnaf yang tinggal di suatu daerah. Nah, para aghniya’ yang ingin berzakat tinggal menyalurkan dana mereka saja lewat lembaga ini untuk kemudian disalurkan ke pihak yang menerimanya. Lembaga ini juga dapat kredit yang bersifat produktif dengan mekanisme mudharabah atau bagi hasil tanpa bunga dengan kesepakatan antara pemilik modal dan pengusaha. Di sinilah saya bertemu dengan keunggulan ekonomi Islam yang dapat mengedepankan prinsip moral-ekonomi dan membangun solidaritas secara mekanis antarindividu.

Kelima, ekonomi rakyat tak akan dapat bersaing jika pemerintah tidak melakukan pembatasan atas investasi asing yang masuk. Pemerintah harus meregulasi pembatasan investasi asing dan mendorong nasionalisme ekonomi masyarakat untuk dapat membeli produk lokal. Caranya, menerapkan pajak yang tinggi untuk produk-produk yang berpotensi menyaingi produk lokal. Dengan demikian, masyarakat akan memiliki kecenderungan untuk membeli produk lokal. Cara ini mutlak harus dibarengi dengan peningkatan kualitas produk lokal.

Investasi yang tak terkontrol akan menghasilkan setidaknya tiga kemungkinan. Kemungkinan pertama, produk dari pengusaha kecil dan mikro akan kalah bersaing dengan produk impor. Hal ini dapat dikarenakan keterbatasan modal dan kurangnya inovasi produk. Kemungkinan kedua, investasi asing yang tak terkontrol akan mengakibatkan pencemaran lingkungan dan dampak negatif lain, seperti yang terjadi di Papua dan Teluk Buyat. Kemungkinan ketiga, investasi asing yang tak terkontrol secara jangka panjang akan membuat para pekerja asing yang lebih terdidik dan memiliki skill datang ke Indonesia. Akibat negatifnya, penyerapan tenaga kerja domestik akan terhambat dan tidak menurunkan angka pengangguran. Atau, tenaga kerja domestik yang direkrut hanya menduduki posisi sebagai pekerja teknis, bukan pekerja ahli.

Oleh karena itu, pemerintah harus meregulasi kebijakan pembatasan investasi secepatnya. Bahkan, pemerintah harus melarang (minimal memperketat) investasi asing di sektor bumi, air, dan kekayaan alam yang sangat vital bagi perekonomian nasional. Di sisi lain, investasi domestik di sektor-sektor strategis harus didorong, terutama investasi kecil dan mikro. Hal ini dimaksudkan agar bangsa kita siap menghadapi era pasar Bebas tahun 2020 yang akan datang.

F. Epilog: Bangkitlah Ekonomi Rakyat!

Dari analisis di atas, kami kemudian sampai kepada sebuah kesimpulan bahwa ekonomi rakyat, di tengah keterpurukan ekonomi bangsa sekarang, sangat patut diberdayakan. Apalagi era Pasar Bebas akan dimulai di tahun 2020 yang akan datang untuk kawasan Asia-Pasifik. Jika produksi, terutama produksi comoditas unggulan tidak dipersiapkan, kita akan kelimpungan menghadapi invasi produk luar yang memiliki pangsa pasar di negara kita. Untuk itu, kita harus memulai persiapan tersebut sedikit demi sedikit, dimulai dari pemberdayaan ekonomi rakyat dengan strategi kebijakan yang telah saya sarankan di atas.

Jika menurut Prof Mubyarto ekonomi rakyat yang dijalankan secara optimal akan mampu membendung kapitalisme di Indonesia, maka saya percaya bahwa ekonomi rakyat yang disinergikan dengan prinsip moral-ekonomi akan membuat bangsa kita bangkit. Solusinya sederhana, perlu transformasi sosial di masyarakat agar bangsa kita menjadi bangsa yang tangguh, kompetitif, dan percaya diri.

Tetapi perlu diingat, transformasi sosial memerlukan kerja sama semua elemen bangsa. Tidak hanya pemerintah, tetapi juga partisipasi rakyat dan pelaku usaha kecil. Transformasi sosial sebagai kata kunci juga memerlukan pionir-ionir kebangkitan baru seperti Boedi Oetomo dan Sarekat Islam di era penjajahan. Pionir kebangkitan tersebut sebenarnya ada di tangan generasi muda, karena generasi mudalah yang akan menerima estafet kepemimpinan nasional di era pasar bebas yang akan datang.

Akhir kata, saya ingin menutup tulisan ini dengan mengutip salah satu tulisan Vladimir Lenin, pemimpin Uni Sovyet. Tulisan Lenin tersebut meramalkan kehancuran ekonomi rakyat di bidang pertanian karena mekanisasi dan kapitalisasi yang hanya menguntungkan pemilik modal. Pernyataan ini pada dasarnya merefleksikan kekhawatiran atas memburuknya kondisi perekonomian rakyat ketika kapitalisme merasuk ke fungsi-fungsi negara. Oleh karena itu, hanya ada tiga kata untuk melawannya: Bangkitlah Ekonomi Rakyat!

“In industry, the victory of large-scale production is at once apparent, but we observe the same phenomenon in agriculture as well: the superiority of large-scale capitalist agriculture increases, the application of machinery grows, peasant economy falls into the noose of money-capital, it declines and sinks into ruin, burdened by its backward technique”

(Vladimir Lenin, 1913)[12]


*) Penulis adalah siswa SMAN 1 Banjarmasin. Tulisan ini dapat diakses di blog http://ibnulkhattab.blogspot.com. Tulisan ini ditujukan untuk mengikuti Lomba Menulis 100 Tahun Kebangkitan Nasional yang dilaksanakan di portal menulis mudah (www.menulismudah.com).


Daftar Pustaka

Alam S., 2006. Ekonomi untuk SMA Kelas dan MA Kelas XII. Jakarta: Esis.

Badrika, I Wayan. 2004. Sejarah Nasional Indonesia dan Umum SMA Kelas XI. Jakarta: Erlangga.

Lenin, Vladimir J. 1913. The Three Sources and Three Component Parts of Marxism. Diakses dari www.marxists.org/archive/lenin/works/1913/mar/x01.htm dan diterjemahkan dari Collective Works, vol. 19 hlm. 23-28. Moscow: Progress Publishers.

Mubyarto. 2002. Ekonomi Rakyat, Perbankan Etik, Dan Krisis Moneter 1997/1998. Jurnal Ekonomi Rakyat, www.ekonomirakyat.org/edisi_1/artikel_3.htm . Maret 2002.

Mubyarto. 2004 Capres/Cawapres dan Ekonomi Rakyat, Jurnal Ekonomi Rakyat, www.ekonomirakyat.org/edisi_22/artikel_4.htm , Juli 2004.

Mulyadi, Rakhmat. 2008. Kejahatan Lingkungan Galuh Cempaka dan Wibawa Pemerintah Daerah. Artikel dimuat di Opini Radar Banjarmasin, 5 April 2008.

Noer, Deliar. 1982. Gerakan Moderen Islam 1900-1942. Jakarta: LP3ES.

Perkins, John. 2004. Confession of an Economic Hit Man. San Fransisco: Berret-Koehler.

Radar Banjarmasin, 27 April 2008. Kalimantan Selatan Peringkat Dua: Peningkatan Produksi Padi di Indonesia.

Sasono, Adi. 1999. Ekonomi Kerakyatan dalam Dinamika Perubahan, Makalah disampaikan dalam konferensi internasional Ekonomi Jaringan: Menuju Demokratisasi Ekonomi di Indonesia, Hotel Shangri-La, Jakarta, 6-7 Desember 1999. Diakses melalui situs www.unhas.ac.id/~rhiza/makalah/adisas.html pada tanggal 18 September 2007.



[1] Mubyarto. 2004 Capres/Cawapres dan Ekonomi Rakyat, Jurnal Ekonomi Rakyat, www.ekonomirakyat.org/edisi_22/artikel_4.htm , Juli 2004.

[2] Badrika, I Wayan. 2004. Sejarah Nasional Indonesia dan Umum SMA Kelas XI. Jakarta: Erlangga, hlm. 238-239.

[3] Noer, Deliar. 1982. Gerakan Moderen Islam 1900-1942. Jakarta: LP3ES.

[4] Mubyarto. 2002. Ekonomi Rakyat, Perbankan Etik, Dan Krisis Moneter 1997/1998. Jurnal Ekonomi Rakyat, www.ekonomirakyat.org/edisi_1/artikel_3.htm . Maret 2002.

[5] Radar Banjarmasin, 27 April 2008. Kalimantan Selatan Peringkat Dua: Peningkatan Produksi Padi di Indonesia.

[6] Alam S., 2006. Ekonomi untuk SMA Kelas dan MA Kelas XII. Jakarta: Esis, hlm. 216.

[7] Mubyarto. 2004 Capres/Cawapres dan Ekonomi Rakyat, Jurnal Ekonomi Rakyat, www.ekonomirakyat.org/edisi_22/artikel_4.htm , Juli 2004.

[8] Perkins, John. 2004. Confession of an Economic Hit Man. San Fransisco: Berret-Koehler.

[9] Mulyadi, Rakhmat. 2008. Kejahatan Lingkungan Galuh Cempaka dan Wibawa Pemerintah Daerah. Artikel dimuat di Opini Radar Banjarmasin, 5 April 2008.

[10] Mubyarto. 2004 Capres/Cawapres dan Ekonomi Rakyat, Jurnal Ekonomi Rakyat, www.ekonomirakyat.org/edisi_22/artikel_4.htm , Juli 2004.

[11] Adi Sasono. 1999. Ekonomi Kerakyatan dalam Dinamika Perubahan, Makalah disampaikan dalam konferensi internasional Ekonomi Jaringan: Menuju Demokratisasi Ekonomi di Indonesia, Hotel Shangri-La, Jakarta, 6-7 Desember 1999. Diakses melalui situs www.unhas.ac.id/~rhiza/makalah/adisas.html pada tanggal 18 September 2007.

[12] Lenin, Vladimir J. 1913. The Three Sources and Three Component Parts of Marxism. Diakses dari www.marxists.org/archive/lenin/works/1913/mar/x01.htm dan diterjemahkan dari Collective Works, vol. 19 hlm. 23-28. Moscow: Progress Publishers.