Senin, 29 September 2008

Mudik, Politik, dan Kesadaran Kita


Pengantar

Fenomena mudik lagi-lagi menghangat ketika lebaran tiba. Diperkirakan lebih dari 25 Juta orang di Indonesia akan melakukan tradisi ini dengan menggunakan media transportasi yang tersedia. Mudik kemudian lebih terasa bernuansa politis ketika beberapa partai politik menggunakan momentum ini untuk meraih simpati konstituen.

Mudik telah menjadi bagian dari budaya masyarakat kita. Akan tetapi, apa sebenarnya esensi dari mudik tersebut? Mudik tentunya tidak hanya dimaknai sebagai sebuah ritual pulang ke kampung halaman belaka, tetapi juga merefleksikan sebuah fenomena budaya yang memiliki makna tersendiri.

Mudik Politis?

Persoalan mudik kadangkala menjadi isu politis, seperti yang terjadi di tahun ini ketika beberapa partai politik memanfaatkan momentum mudik untuk mencari dukungan dan simpati masyarakat. Sah-sah saja mereka berkampanye dengan cara yang seperti itu, tetapi kita mesti ingat bahwa sebagai sebuah realitas sosial, mudik juga harus dipahami dengan menggunakan kaca mata berbeda.

Bolehlah kita di sini menggunakan mudik untuk kepentingan kampanye, tetapi aspirasi pemudik –terutama pemudik dari kelas menengah ke bawah—tetap harus diperhatikan. Para politisi dan elit parpol juga harus mencari solusi dari tingginya angka kecelakaan pada saat mudik yang sebenarnya tidak hanya disebabkan oleh kelalaian pengemudi, tetapi juga karena fasilitas jalan yang rawan kecelakaan.

Selain itu, kenyamanan dalam menggunakan alat transportasi umum juga patut menjadi perhatian para pemutus kebijakan. Sebagai contoh, ketika Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan menginspeksi mudik, banyak sekali keluhan yang didapatkan dari para pemudik kelas ekonomi. Jelas hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk dapat menjaga kenyamanan mudik.

Dengan demikian, mudik seharusnya juga menjadi agenda politik pemerintah, bukan hanya agenda partai politik. Sebab biar bagaimanapun, kelancaran mudik sangat bergantung pada kualitas pelayanan publik dan jaminan keselamatan transportasi yang diberi oleh negara. Sehingga, mudik tidak hanya menjadi alat untuk mendapatkan dukungan belaka, tetapi juga menjadi bahan evaluasi kinerja pemerintah.

Kembali Ke Akar Rumput

Fenomena mudik setidaknya memiliki beberapa makna yang sebenarnya dapat menjadi sebuah wacana bagi perencanaan kebijakan publik. Karena, sebuah realitas sosial memiliki makna terpendam di baliknya.

Pertama, mudik menjadi momentum kembalinya penduduk dari kota ke desa. Masyarakat memandang bahwa kehidupan kota lebih menjanjikan dibanding kehidupan di desa. Terjadilah urbanisasi yang pada gilirannya justru menimbulkan ekses bagi kemiskinan di kota dan ketertinggalan desa. Prosesi mudik dalam hal ini akan membuka mata seorang perantau bahwa kondisi desanya tertinggal sehingga kesadarannya untuk membangun desa yang ditinggalkannya terbangun.

Kedua, mudik bisa dimaknai sebagai upaya untuk menghilangkan sekat-sekat status sosial yang berpotensi tumbuh menjadi konflik kelas. Karakter kehidupan kota yang individualistik akan luntur ketika seseorang berinteraksi dengan karakter desa yang sederhana dan penuh kekeluargaan. Prosesi mudik diharapkan dapat membangkitkan semangat kebersamaan dan sedikit demi sedikit menghilangkan kelas-kelas sosial yang terbentuk akibat proses industrialisasi di kawasan perkotaan.

Ketiga, mudik juga bisa dimaknai sebagai proses kembalinya seseorang ke akar rumputnya. Biar bagaimanapun, nama yang besar takkan berarti apa-apa tanpa proses pendidikan dari entitas akar rumput yang membesarkannya Seperti kata Bung Karno, jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Momentum mudik dapat ditransformasikan sebagai awal kesadaran untuk tidak melupakan sejarah.

Implikasi lanjutan dari kesadaran awal ini adalah terbangunnya kesadaran untuk membangun daerahnya sehingga terbangun rasa kebersamaan dan egalitarianisme dengan kalangan akar rumput. Apalagi, rakyat sekarang tengah dilanda kesulitan ekonomi akibat melambungnya harga-harga kebutuhan pokok.

Kesimpulan

Tiga makna mudik tersebut penting untuk diperhatikan, agar ritual mudik tidak hanya menjadi momentum untuk melepas rindu atau berlebaran dengan keluarga belaka, tetapi juga dapat menjadi momentum untuk membangun kesadaran politik dan kesadaran sosial yang pada giliranya dapat mempererat rasa persaudaraan.

Oleh karena itu, semangat mudik berarti sebagai semangat kembali ke akar rumput, kembali membangun desa, kembali membaktikan diri pada entitas yang termarjinalkan.

Penulis

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

Mahasiswa FISIPOL Universitas Gadjah Mada jurusan Ilmu Hubungan Internasional Angkatan 2008


Artikel ini dimuat di Banjarmasin Post, 4 Oktober 2008

Tidak ada komentar: