Selasa, 23 September 2008

Privatisasi BUMN, Perlukah?

Pengantar

Privatisasi BUMN telah menjadi sebuah tren baru dalam pola kebijakan pemerintah beberapa tahun terakhir. Kabar terbaru, pemerintah telah bersiap-siap melakukan privatisasi atas PT Garuda Indonesia Airlines, setelah sebelumnya PT Krakatau Steel “sukses” melakukan penawaran saham perdana di BEJ. Target selanjutnya jelas: Pertamina sebagai penjaga gawang industri perminyakan nasional.

Kebijakan Retoris

Dengan alasan penyehatan BUMN dan pentupan defisiti APBN, pemerintah telah “menjual” asset-aset negara sejak era Presiden Megawati. Tercatat Telkomsel, Indosat, Semen Gresik, Indofarma, dan beberapa BUMN lain dilisting dan ditawarkan sahamnya kepada publik, sehingga kepemilikan pun berpindah tangan.

Cara yang dilakukan oleh pemerintah tersebut, menurut penulis, hanyalah retorika yang tidak dipertimbangkan dengan logika dan pandangan rasional. Pemerintah mungkin mendapatkan fresh money dari penjualan BUMN, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa ketika direksi diambil alih oleh asing. Praktis, kita sebenarnya secara tidak langsung telah mengorbankan asset bangsa untuk diberikan kepada mafia ekonomi dunia.

Sejarah Privatisasi

Sejarah privatisasi BUMN ini dimulai dengan munculnya UU No. 19/2003 tentang BUMN. Kemudian, muncullah Komite Privatisasi pada era pemerintahan Megawati yang beranggotaka tim ekonomi pemerintah. Pembentukan ini jelas menunjukkan bahwa pemerintah ingin segera meliberalisasi asset negara dan mengundang para investor asing beramai-ramai masuk ke negara kita.

Implikasi lanjutan yang menyertainya sangat mengejutkan: Saham perdana Indosat segera direlease ke pasar modal dan dengan cepat diambil oleh SingTel, perusahaan telekomunikasi Singapura. Tak hanya itu, beberapa BUMN juga dimasuki oleh pemodal asing. Dengan demikian, Indosat pada saat itu telah menjadi milik pemerintah Singapura, yang artinya menegaskan keberadaan korporasi asing untuk “menjajah” perekonomian negara kita.

Apa sebenarnya maksud pemerintah dari model kebijakan seperti ini?

Mungkin saja, masalah terletak pada kondisi makroekonomi kita beberapa kuartal terakhir. Kita mungkin terkena imbas dari resesi ekonomi yang melanda Amerika Serikat akibat rendahnya pembayaran kredit Subprime Mortgages di pasar finansial AS. Akibatnya, pemerintah AS mengalami kerugian sampai miliaran dolar sehingga mereka dikabarkan akan membentuk sebuah lembaga penyehatan perbankan seperti yang pernah dilakukan Indonesia ketika periode awal reformasi.

Krisis ini kemudian menyebar ke negara-negara lain, tak terkecuali Indonesia. Indikatornya, pasar modal Indonesia mulai sepi dan IHSG melemah akibat kurangnya investasi. Beberapa pengamat memprediksi, jika tidak ada langkah untuk mendapatkan fresh money, indikator makroekonomi yang lain juga akan mengalami pelemahan.

Akan tetapi, pemerintah juga seharusnya tidak terlalu kalap dalam pembuatan kebijakan publik apapun. Pertimbangan pemerintah tentu bukan hanya stabilitas makroekonomi, tetapi juga kedaulatan ekonomi dan alternatif kebijakan yang ada. Bahkan jika kita ulas, sebenarnya model kebijakan privatisasi ini merupakan salah satu dari model kebijakan Washington Consensus yang dipromosikan oleh lembaga-lembaga keungan internasional seperti IMF untuk “meredakan” krisis ekonomi di negara-neara berkembang.

Akan tetapi, kebijakan ini sebenarnya sangat absurd karena terbukti hanya menjerat negara-negara berkembang dengan utang yang begitu besar, tetapi pertumbuhan ekonomi tidak bergerak naik secara signifikan. Model kebijakan ini disebut oleh Joseph Stiglitz, peraih nobel ekonomi, sebagai arah menuju jurang kehancuran.

Mari Mengawal Privatisasi

Namun, pemerintah tetap saja tidak memperhatikan kritik yang masuk. Baru-baru ini, kita kembali dikejutkan dengan wacana privatisasi tiga BUMN: Krakatau Steel, BTN, dan Garuda Indonesia. Kabar paling mengejutkan tentu saja adalah privatisasi Garuda Indonesia, mengingat selama ini Garuda cukup eksis dan tidak terlalu bermasalah secara internal. Selain itu, perusahaan ini juga merupakan asset paling penting dalam industri transportasi nasional dan menjadi penjaga gawang negara dalam pembangunan image di dunia internasional. Apa maksud pemerintah dengan wacana ini?

Tentu saja, hal ini patut menjadi perhatian mahasiswa. Ketika kebijakan privatisasi ini tidak dikawal –baik dengan sekadar pernyataan kritis atau penolakan dari mahasiswa— pemerintah akan semakin panik dan tidak lagi mendasarkan kebijakannya pada pertimbangan kedaulatan seperti halnya kenaikan harga BBM beberapa waktu yang lalu. Langkah pengawalan mahasiswa ini harus dimulai dari sekarang, dengan mengintefsikan kajian-kajian di kampus dan memulai upaya counter-issue dengan pendekatan akademik.

Penyikapan isu privatisasi ini adalah tugas kita bersama. Lantas, di mana suara mahasiswa?

Artikel ini disarikan dari Diskusi Departemen Kajian dan Keilmuan BEM KM UGM pada Hari Senin, 22 September 2008;

Tidak ada komentar: