Penghampiran Awal Menuju Filsafat Politik Postmodern
Mari
kita berandai-andai: bagaimana jika politik melepaskan dirinya
sama-sekali dari kekuasaan? Bagaimana jika ada orang yang secara
sukarela melepaskan kekuasaan dan membaginya kepada orang lain?
Bagaimana jika di dunia ini tidak ada kekuasaan?
Tapi,
pengandaian itu akan segera dianggap mustahil oleh para politisi dan
segera ditolak dalam proposisi ilmu politik. Terutama kaum realis.
Politik itu embedded dengan kekuasaan. Argumen etika soal "baik buruk perilaku" mungkin tidak akan make sense dalam logika politik yang sifatnya totalistik; seluruh sumber daya dikerahkan untuk mengakumulasi kekuasaan.
Totalitas
Dalam
pandangan umum selama ini, politik adalah totalitas. Politisi tidak
memerlukan banyak teori politik untuk membuat tindakannya benar. Yang
dilakukannya sederhana: mengakumulasi semua sumber daya dan
mengerahkannya untuk mendapatkan kekuasaan.Yasraf Amir Piliang -mengutip
John Protevi- menyebutnya sebagai "fisika politik".
Menurut
Yasraf, tubuh politik dibangun oleh totalitas kekuatan—dalam aneka
skala: perorangan, keluarga, kelompok, partai, geng, korporasi, sekte,
bangsa; aneka jenis: kekuatan konstituen, kekuatan modal (dana,
infrastruktur), kekuatan paramiliter (sayap partai), kekuatan geng
(premanisme), kekuatan umat (partai berbasis agama), kekuatan militer
(Orde Baru), kekuatan teknologi (negara adidaya)—yang semuanya
dikerahkan membangun kekuasaan politik [1].
Dengan
demikian, politik adalah upaya sistematis-pragmatis mendapatkan
‘kekuasaan’, dengan mengerahkan segala ‘kekuatan’, baik kekuatan
material, modal, ekonomi, sosial, kultural, simbolik, bahasa spiritual,
bahkan mistik [2]. Jika dipahami bahwa politik adalah
totalitas, logikanya adalah akumulasi. Sederhananya,
Kekuasaan=perkalian dari semua sumber daya yang tersedia (banyak
variabel). Semakin banyak variabel, semakin besar kuasanya. Kira-kira
seperti itu.
Dengan demikian, politik adalah
totalitas kekuasaan. Logika ini jelas mengesampingkan etika, sebab
etika itu sifatnya membagi. Keadilan direpresentasikan dari pembagian
sumber daya, bukan akumulasi (kali). Dalam perspektif etika, kekuasaan
itu seharusnya dibagi dengan variabel-variabel lain agar tercipta
keadilan. Jadi, etika akan melanggar prinsip totalitas; Ia hanya akan
membuat kekuasaan terbagi dan dimiliki oleh kelompok lain.
Namun,
paradigma sederhana soal kali dan bagi itu akan dipertanyakan karena
problematis bahkan jika ditinjau dari segi "totalitas" politik itu
sendiri. Jika kekuasan dipahami sebagai akumulasi, apakah ini berlaku
juga untuk sesuatu yang di luar fisik? Oleh karena politik adalah
totalitas, ia masuk tidak hanya pada realitas fisik, tetapi juga
mistik. Sesuatu yang mistik tidak dapat hanya dinalar dari rasionalitas
tunggal.
Percabangan itu terlihat manakala politik
masuk pada dimensi pata-fisik: bergulat dengan citra. Ia juga akan
problematis ketika masuk pada ranah meta-fisik: kekuasaan
tidak-langsung. Menariknya, klaim totalitas fisik itu tidak serta merta
runtuh, ia justru berubah. Totalitas itu mengubah dirinya menyesuaikan
realitas yang ada.
Abad ke-21 ditandai dengan
perkembangan teknologi yang kian pesat. Politik yang bertumpu pada
pengerahan sumber daya mungkin dilakukan atas landasan ideologis
tertentu, tapi kedatangan media melahirkan modus baru cara berpolitik;
imagosentris, kata Yasraf. Politik menjadi permainan citra, manipulasi
opini publik, hingga rekayasa kesadaran. Oleh sebabnya, permainan
realpolitik adalah permainan kesadaran yang berdimensi metafisik.
Di
aras metafisik, politik tidak lagi menampilkan dirinya sebagai
akumulasi sumber daya secara fisik. Tapi, watak totalitas politik itu
tetap ada. Ia tetap mengerahkan sumber daya yang ada, tapi tidak lagi
secara fisik, melainkan melalui perantara-perantara tertentu. Dalam
analogi sederhana saya, politisi bertindak sebagai "dukun"; ia memakai
rekayasa kesadaran oleh "makhluk ghaib" untuk menuju kekuasaan.
Metafisika
Dalam
literatur filsafat, ada satu nama yang sepertinya sering dilekatkan
dengan metafisika: Hegel. Pandangannya soal sejarah dan kesadaran sangat
dipengaruhi oleh satu konsep metafisika, yang ia sebut sebagai "roh
absolut". Ia melihat sejarah sebagai ranah roh absolut menemukan
kesadaran-dirinya, dalam bentuk kebebasan.
Sejarah
adalah pengejawantahan roh absolut dalam pencarian kesadarannya, dalam
bentuk relasi trilogi tesis-antitesis-sintesis; dalam jalinan hubungan
yang rumit.
Tentu saja tak ada yang tahu, siapa atau
apa yang disebut oleh Hegel sebagai "roh absolut" itu. Apakah ia adalah
Tuhan, sebagaimana dipahami oleh umat beragama? Memprasangkai roh
absolut sebagai tuhan jelas keliru, sebab dalam kacamata Hegel, roh
absolut ini senantiasa memperbarui kesadaran dirinya dalam relasi
sejarah yang dialektis.
Tapi jika bukan tuhan, apa itu
roh absolut? Ini yang menjadi titik perdebatan filsuf pasca-Hegel,
dari Marx yang melakukan penentangan atas metafisika Hegel ini hingga
Derrida yang mencoba membongkar kembali konsep tersebut melalui
"metafisika kehadiran" (logosentrisme)-nya.
Metafisika
menghampirkan dirinya pada sesuatu yang "melampaui-kenyataan". Ia
jelas tidak bisa dibilang tidak nyata, tetapi tak dapat ternalar dalam
rasionalitas. Ketika bicara soal "jin", misalnya, susah untuk menalar
bentuk dan wujudnya. Tapi sebagai sebuah fakta, ia ada. Begitu juga
dengan dukun. Mereka "beyond-rationality".
Walau
sering dibilang usang, pra-modern, atau sejenisnya, namun bentuk-bentuk
kuasa metafisik itu sepertinya sering sekali hadir saat ini. Terutama
dalam praktik politik yang kompleks. Kuasa-kuasa metafisik itu
seakan-akan dihadirkan kembali oleh para elite untuk melempangkan
jalannya dalam kekuasaan.
Kuasa metafisik pertama hadir dalam wujud "citra". Yasraf, meminjam Braudillard, membahasakannya sebagai "pata-fisika politik" [3].
Citra bermain di ruang bawah sadar manusia, mempermainkan kesadaran
politik warga untuk terpukau oleh balutan instrumental-artifisial yang
kini menjadi sebuah pesan politik. Eric Louw, ada istilah "political
professionalization"; manajemen impresi -dalam bahasa komunikasi
politik- menjadi sebuah ranah politik baru [4].
Citra
adalah tampilan dari sebuah permainan; relasi-kuasa yang kompleks di
luar sana. Citra membuat seseorang yang pada dasarnya sama dengan
manusia lain, ditampilkan dengan lebay. Biasanya citra dibentuk
oleh tindakan artifisial. Sesuatu yang tanpa-substansi sebetulnya bisa
menjadi sangat memukau dengan bantuan citra.
Kuasa
metafisik kedua dapat kita jumpai dalam bentuk-bentuk instruksi. Jika
"citra" memainkan alam bawah sadar melalui impresi, instruksi memainkan
kesadaran kita melalui doktrin. Ada doktrin yang diinternalisasikan
melalui praktik-praktik tertentu untuk melahirkan sebuah kesadaran
"baru" -yang bersifat semu- untuk menjadikan doktrin sebagai alat
berpijak.
Dengan demikian, doktrin menjadi instrumen
kekuasaan. Pada mulanya, ia adalah instrumen untuk membentuk karakter,
biasanya dalam organisasi kader. Akan tetapi, ketika organisasi
bersentuhan dengan ranah politik -yang berarti menjelmakan kekuasaan
sebagai tujuan- doktrin itu berubah fungsi. Ia adalah alat untuk
"mengerahkan sumber daya" menuju totalitas tertentu. Dan doktrin menjadi
"jin-jin" baru yang bertugas mengantarkan mantra yang dibuat sang
dukun agar semua kuasa (forces) dapat dimobilisasi.
Jika
proses indoktrinasi sudah kuat, mobilisasi melalui instruksi akan
lebih mudah dilakukan. Oleh sebab itu, instruksi tidak akan dipandang
rasional atau tidak, tetapi justru sesuai dengan doktrin atau tidak.
Jika yang menerima instruksi tidak kritis, terjebak pada kekakuan dan
kesadaran palsu (false consciousness) ia hanya akan menerima doktrin tanpa reserve. Dan artinya, dalam bahasa agama, akan men-taklidi siapa saja yang membuat doktrin.
Kuasa
metafisik ketiga adalah kuasa primordial. Jenis kuasa ini biasanya
terjadi pada tataran massa dan di masyarakat yang sudah melek informasi,
sudah mulai ditinggalkan. Biasanya, kuasa primordial dilakonkan oleh
politisi yang mengincar simpati atas dirinya melalui identitas-identitas
kolektif, yang tidak bermuatan intelektual, melainkan kesamaan
identitas primordial.
Kuasa primordial dibangun di atas
etnosentrisme. Ia akan mudah digerakkan jika ada momentum yang
menyentuh sisi psikologis seseorang. Misalnya, nasionalisme sempit.
Operasionalisasinya akan mengotak-ngotakkan. Ini sebenarnya rawan karena
akan berpeluang menggerakkan kekerasan massa. Dus, perlu dihindari dalam perspektif etika.
Alienasi
Lantas,
bagaimana kuasa-kuasa metafisik dalam politik itu berjalan? Jika
kembali pada proposisi awal teks, politik adalah jalan menuju totalitas.
Ia pasti akan mengerahkan semua sumber daya menuju satu titik:
kekuasaan. Dan metafisika hadir untuk menyentuh titik-titik ketaksadaran
agar dapat diarahkan pada titik utama yang ingin dituju.
Politik
yang berdimensi metafisik akan dikelola oleh "dukun-dukun". Para
politisi yang menggunakan citra, instruksi, atau ikatan primordial untuk
mengerahkan sumber daya tak ubahnya dukun yang memanggi jin-jin untuk
menjalankan tugasnya. "Dukun" ini bermain di wilayah ketaksadaran dan
menggunakan instrumen fisik, macam uang atau sumber daya, agar dapat
masuk ke ranah metafisik.
Akan tetapi, seseorang tidak
serta merta bisa menjadi dukun. Ia harus memiliki "keahlian"
tersendiri, yang sifatnya "para-normal", untuk bisa
mengoperasionalisasikan kekuatannya. Untuk mendapatkan kekuatannya itu,
ia harus meng-alienasi diri; memencil ke gua-gua tertentu,
tempat-tempat pesugihan atau semacamnya agar kekuatannya bisa tambah digdaya.
Konsep yang perlu dielaborasi adalah "alienasi". Pengasingan-diri. Konsep ini sering muncul dalam istilah sufistik sebagai tazkiyatun-nafs, pembersihan
Jiwa. Tetapi, juga muncul untuk menceritakan kondisi buruh di era
kapitalisme. Konsep ini diajukan Marx untuk melihat formula agama. Dalam
Introduction to A Critique on Hegel's Philosophy of Rights, ia
melihat konsep metafisika sebagai konsep yang mengasingkan manusia
dari realitasnya; Sebab itu, ia melihat "agama" sebagai candu [5].
Saya
tak akan melihat konsep "candu"-nya Marx. Tetapi, jelas bahwa untuk
masuk ke aras metafisik, ia harus mengasingkan diri terlebih dulu.
Bagaimana caranya mengasingkan diri, dalam konteks politik? Salah satu
jalan adalah dengan menjadi "elite". Menjadi elite dalam aras politik
kontemporer adalah memencilkan diri dari rakyat. Dengan jalan itu, ia
bisa mengerahkan sumber daya kekuatannya tanpa harus takut membaginya
dengan rakyat. Politik dimainkan dalam totalitas permainan.
Dengan
menjadi elite, sumber daya yang ingin dicapai melalui metafisik dapat
digunakan.Aji digdaya yang dipunya adalah kesaktian untuk mengorganisir
tanpa harus terlibat di garis depan; dan toh ia yang bisa menguasai
semuanya. Kesaktiannya, untuk itu, digunakan sebagai alat untuk meraih
kekuasaan. Dan banyak bentuk kesaktian yang mewujud dalam realpolitik.
Dalam
konteks metafisika citra, misalnya, sumber daya berupa uang, tenaga
profesional, media, impresi massa, dan lain sebagainya dapat diatur
dari belakang. Politisi tak perlu khawatir skandalnya dibongkar asalkan
citranya bagus. Oleh sebab itu, sikapnya menjaga citra akan
menyelamatkan dirinya dari lawan-lawan politiknya.
Dalam
konteks metafisika instruksi, ia bisa memegang sumber daya berupa
otoritas. "Dukun" politik perlu otoritas untuk melegitimasi tindakan
politiknya, dan memastikan doktrin yang ia berikan diterima sehingga
rasionalitas tindakannya tak dipersoalkan. Dengan demikian, ia dapat
memberi instruksi dan melakukan seting agenda atas massa di bawahnya.
Sementara
dalam konteks metafisika primordial, sumber daya identitas dan
kedekatan emosional warga dapat diaktivasi melalui manajemen isu. Oleh
sebab itu, ia mesti memencil menjadi elite, dan perlu tenaga untuk me-manage issue
agar mendorong massa turun. Ia tidak perlu ambil bagian, hanya
mengarahkan kesadaran. Hal-hal seperti ini, kendati tidak terlihat di
level nasional, kadang masih terjadi di level daerah.
Alienasi
akan semakin kokoh dan kuat mengendalikan kuasa metafisika yang
digunakan jika ia bisa mengendalikan massa/kader di bawahnya. Dalam
seting masyarakat yang fanatis, ikatan primordial yang digunakan. Dalam
seting masyarakat yang terstruktur/organisasional, instruksi dan
doktrin yang dipakai. Adapun dalam seting masyarakat yang kritis, citra
yang dikeluarkan.
Praktik politik kontemporer, di
kampus ataupun realpolitik, hal-hal semacam ini masih dapat disaksikan.
Kita bisa melihat, misalnya, bagaimana kandidat yang tidak punya
kapasitas, karena dia punya massa, bisa memenangkan pemilu. Atau, ia
yang sebenarnya tingkat ke-"elite"-annya tinggi, dipilih masyarakat.
Semua tentu dibangun di atas kuasa metafisik yang melampaui
rasionalitas.
Istilah beberapa kawan: "kalau botol
saja dicalonkan, niscaya akan menang". Jelas, untuk memenangkan botol
itu, ia perlu kuasa metafisika. Dan kuasa metafisika itu dikendalikan
oleh dukun-dukun yang memencil, menjadi elite. Dengan menjadi elite,
"jin-jin" politik dapat dikerahkan untuk menuju kekuasaan.
Relasi-Kuasa
Dalam
aras yang moderen seperti sekarang, mungkin akan sulit dipercaya bahwa
metafisika menemukan momentumnya kembali. Klaim-klaim bahwa semuanya
diatur berdasarkan kalkulasi matematis akan menemui pembuktiannya
sendiri. Bisakah matematika -yang digunakan sebagai instrumen untuk
membedah teori-teori fisika- membongkar kuasa metafisik di atas?
Jean-Francois Lyotard sudah memperingatkan kepada kita bahwa saat ini adalah saat dimana modernitas menjadi absurd [6].
Arsitektur modernitas akan kembali dibongkar oleh relasi-kuasa yang
posisinya metafisis. Oleh sebab itu, jalan untuk memahami realitasnya
adalah dengan membongkar kuasa-kuasa metafisik itu, yang diklaim sebagai
"kebenaran" oleh kelompok tertentu, secara kritis. Derrida menyebutnya
sebagai "metafisika kehadiran" [7].
Membongkar
relasi-kuasa bukan berarti menihilkan semua argumen tentang
"kebenaran". Justru, membongkar relasi-kuasa berarti membuka kemungkinan
akan adanya kebenaran baru. Hanya saja, klaim kebenaran tak perlu
diklaim tunggal dan memarjinalkan makna lain; Ia seharusnya membiarkan
dirinya terbuka, diinterpretasi, dan dikembangkan menjadi modus
kebenaran baru oleh orang lain. Ini kalau kita pakai dalam konteks
politik.
Membongkar relasi-kuasa yang metafisik itu
berarti membuka semua kemungkinan. Dan itu maknanya, membuka tabir yang
menyelubungi realitas. Dukun-dukun harus diungkap kepentingan dan
motifnya -jika tidak memungkinkan membuka identitasnya- dan itu berarti
menggelar subversi terhadap siapapun yang menggeret kuasa metafisik
itu.
Dan, menurut saya, mungkin ini yang menjadi salah
satu kehendak postmodernisme. Klaim metafisika Hegel tentang "roh
absolut" yang final di akhir sejarah, akan dibongkar dengan gagah oleh
kuasa yang bebas dan merdeka. Agak tepat, mungkin, jika saya
menggunakan istilah yang sempat menggema tahun lalu untuk membedah
metafisika politik ini: jangan ada dusta di antara kita.
Politik
bisa jadi adalah pengerahan sumber daya (kuasa) secara total untuk
kekuasaan. Tapi tentu saja jangan ada dusta di antara kita mengenai
relasi-relasi kuasa itu.
Nuun wal qalami wa maa yasthuruun.
-----
Catatan Kaki
[1] Yasraf Amir Piliang, "Patafisika Politik", Kompas, 6 Juni 2009.
[2] ibid.
[3] ibid.
[4] Eric Louw. The Media and Political Process. Sage Publications, 2010.
[5] Karl Marx. "Introduction". A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right. Paris, Deutsch-Französische Jahrbücher, 1844. diterbitkan ulang oleh Marxist Internet Archive http://www.marxists.org/
[6] Jean-Francois Lyotard. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. 1979.
[7] Muhammad Al-Fayyadl. Derrida. Yogyakarta: LKiS, 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar