Rabu, 09 November 2011

Metafisika dan Alienasi

Penghampiran Awal Menuju Filsafat Politik Postmodern


Mari kita berandai-andai: bagaimana jika politik melepaskan dirinya sama-sekali dari kekuasaan? Bagaimana jika ada orang yang secara sukarela melepaskan kekuasaan dan membaginya kepada orang lain? Bagaimana jika di dunia ini tidak ada kekuasaan?

Tapi, pengandaian itu akan segera dianggap mustahil oleh para politisi dan segera ditolak dalam proposisi ilmu politik. Terutama kaum realis. Politik itu embedded dengan kekuasaan. Argumen etika soal "baik buruk perilaku" mungkin tidak akan make sense dalam logika politik yang sifatnya totalistik; seluruh sumber daya dikerahkan untuk mengakumulasi kekuasaan.

Totalitas
Dalam pandangan umum selama ini, politik adalah totalitas. Politisi tidak memerlukan banyak teori politik untuk membuat tindakannya benar. Yang dilakukannya sederhana: mengakumulasi semua sumber daya dan mengerahkannya untuk mendapatkan kekuasaan.Yasraf Amir Piliang -mengutip John Protevi- menyebutnya sebagai "fisika politik".

Menurut Yasraf, tubuh politik dibangun oleh totalitas kekuatan—dalam aneka skala: perorangan, keluarga, kelompok, partai, geng, korporasi, sekte, bangsa; aneka jenis: kekuatan konstituen, kekuatan modal (dana, infrastruktur), kekuatan paramiliter (sayap partai), kekuatan geng (premanisme), kekuatan umat (partai berbasis agama), kekuatan militer (Orde Baru), kekuatan teknologi (negara adidaya)—yang semuanya dikerahkan membangun kekuasaan politik [1].

Dengan demikian, politik adalah upaya sistematis-pragmatis mendapatkan ‘kekuasaan’, dengan mengerahkan segala ‘kekuatan’, baik kekuatan material, modal, ekonomi, sosial, kultural, simbolik, bahasa spiritual, bahkan mistik [2]. Jika dipahami bahwa politik adalah totalitas, logikanya adalah akumulasi. Sederhananya, Kekuasaan=perkalian dari semua sumber daya yang tersedia (banyak variabel). Semakin banyak variabel, semakin besar kuasanya. Kira-kira seperti itu.

Dengan  demikian, politik adalah totalitas kekuasaan. Logika ini jelas mengesampingkan etika, sebab etika itu sifatnya membagi. Keadilan direpresentasikan dari pembagian sumber daya, bukan akumulasi (kali). Dalam perspektif etika, kekuasaan itu seharusnya dibagi dengan variabel-variabel lain agar tercipta keadilan. Jadi, etika akan melanggar prinsip totalitas; Ia hanya akan membuat kekuasaan terbagi dan dimiliki oleh kelompok lain.

Namun, paradigma sederhana soal kali dan bagi itu akan dipertanyakan karena problematis bahkan jika ditinjau dari segi "totalitas" politik itu sendiri. Jika kekuasan dipahami sebagai akumulasi, apakah ini berlaku juga untuk sesuatu yang di luar fisik? Oleh karena politik adalah totalitas, ia masuk tidak hanya pada realitas fisik, tetapi juga mistik. Sesuatu yang mistik tidak dapat hanya dinalar dari rasionalitas tunggal.

Percabangan itu terlihat manakala politik masuk pada dimensi pata-fisik: bergulat dengan citra. Ia juga akan problematis ketika masuk pada ranah meta-fisik: kekuasaan tidak-langsung. Menariknya, klaim totalitas fisik itu tidak serta merta runtuh, ia justru berubah. Totalitas itu mengubah dirinya menyesuaikan realitas yang ada.

Abad ke-21 ditandai dengan perkembangan teknologi yang kian pesat. Politik yang bertumpu pada pengerahan sumber daya mungkin dilakukan atas landasan ideologis tertentu, tapi kedatangan media melahirkan modus baru cara berpolitik; imagosentris, kata Yasraf. Politik menjadi permainan citra, manipulasi opini publik, hingga rekayasa kesadaran. Oleh sebabnya, permainan realpolitik adalah permainan kesadaran yang berdimensi metafisik.

Di aras metafisik, politik tidak lagi menampilkan dirinya sebagai akumulasi sumber daya secara fisik. Tapi, watak totalitas politik itu tetap ada. Ia tetap mengerahkan sumber daya yang ada, tapi tidak lagi secara fisik, melainkan melalui perantara-perantara tertentu. Dalam analogi sederhana saya, politisi bertindak sebagai "dukun"; ia memakai rekayasa kesadaran oleh "makhluk ghaib" untuk menuju kekuasaan.

Metafisika
Dalam literatur filsafat, ada satu nama yang sepertinya sering dilekatkan dengan metafisika: Hegel. Pandangannya soal sejarah dan kesadaran sangat dipengaruhi oleh satu konsep metafisika, yang ia sebut sebagai "roh absolut". Ia melihat sejarah sebagai ranah roh absolut menemukan kesadaran-dirinya, dalam bentuk kebebasan.

Sejarah adalah pengejawantahan roh absolut dalam pencarian kesadarannya, dalam bentuk relasi trilogi tesis-antitesis-sintesis; dalam jalinan hubungan yang rumit.

Tentu saja tak ada yang tahu, siapa atau apa yang disebut oleh Hegel sebagai "roh absolut" itu. Apakah ia adalah Tuhan, sebagaimana dipahami oleh umat beragama? Memprasangkai roh absolut sebagai tuhan jelas keliru, sebab dalam kacamata Hegel, roh absolut ini senantiasa memperbarui kesadaran dirinya dalam relasi sejarah yang dialektis.

Tapi jika bukan tuhan, apa itu roh absolut? Ini yang menjadi titik perdebatan filsuf pasca-Hegel, dari Marx yang melakukan penentangan atas metafisika Hegel ini hingga Derrida yang mencoba membongkar kembali konsep tersebut melalui "metafisika kehadiran" (logosentrisme)-nya.

Metafisika menghampirkan dirinya pada sesuatu yang "melampaui-kenyataan". Ia jelas tidak bisa dibilang tidak nyata, tetapi tak dapat ternalar dalam rasionalitas. Ketika bicara soal "jin", misalnya, susah untuk menalar bentuk dan wujudnya. Tapi sebagai sebuah fakta, ia ada. Begitu juga dengan dukun. Mereka "beyond-rationality".

Walau sering dibilang usang, pra-modern, atau sejenisnya, namun bentuk-bentuk kuasa metafisik itu sepertinya sering sekali hadir saat ini. Terutama dalam praktik politik yang kompleks. Kuasa-kuasa metafisik itu seakan-akan dihadirkan kembali oleh para elite untuk melempangkan jalannya dalam kekuasaan.

Kuasa metafisik pertama hadir dalam wujud "citra". Yasraf, meminjam Braudillard, membahasakannya sebagai "pata-fisika politik" [3]. Citra bermain di ruang bawah sadar manusia, mempermainkan kesadaran politik warga untuk terpukau oleh balutan instrumental-artifisial yang kini menjadi sebuah pesan politik. Eric Louw, ada istilah "political professionalization"; manajemen impresi -dalam bahasa komunikasi politik- menjadi sebuah ranah politik baru [4].

Citra adalah tampilan dari sebuah permainan; relasi-kuasa yang kompleks di luar sana. Citra membuat seseorang yang pada dasarnya sama dengan manusia lain, ditampilkan dengan lebay. Biasanya citra dibentuk oleh tindakan artifisial. Sesuatu yang tanpa-substansi sebetulnya bisa menjadi sangat memukau dengan bantuan citra.

Kuasa metafisik kedua dapat kita jumpai dalam bentuk-bentuk instruksi. Jika "citra" memainkan alam bawah sadar melalui impresi, instruksi memainkan kesadaran kita melalui doktrin. Ada doktrin yang diinternalisasikan melalui praktik-praktik tertentu untuk melahirkan sebuah kesadaran "baru" -yang bersifat semu- untuk menjadikan doktrin sebagai alat berpijak.

Dengan demikian, doktrin menjadi instrumen kekuasaan. Pada mulanya, ia adalah instrumen untuk membentuk karakter, biasanya dalam organisasi kader. Akan tetapi, ketika organisasi bersentuhan dengan ranah politik -yang berarti menjelmakan kekuasaan sebagai tujuan- doktrin itu berubah fungsi. Ia adalah alat untuk "mengerahkan sumber daya" menuju totalitas tertentu. Dan doktrin menjadi "jin-jin" baru yang bertugas mengantarkan mantra yang dibuat sang dukun agar semua kuasa (forces) dapat dimobilisasi.

Jika proses indoktrinasi sudah kuat, mobilisasi melalui instruksi akan lebih mudah dilakukan. Oleh sebab itu, instruksi tidak akan dipandang rasional atau tidak, tetapi justru sesuai dengan doktrin atau tidak. Jika yang menerima instruksi tidak kritis, terjebak pada kekakuan dan kesadaran palsu (false consciousness) ia hanya akan menerima doktrin tanpa reserve. Dan artinya, dalam bahasa agama, akan men-taklidi siapa saja yang membuat doktrin.

Kuasa metafisik ketiga adalah kuasa primordial. Jenis kuasa ini biasanya terjadi pada tataran massa dan di masyarakat yang sudah melek informasi, sudah mulai ditinggalkan. Biasanya, kuasa primordial dilakonkan oleh politisi yang mengincar simpati atas dirinya melalui identitas-identitas kolektif, yang tidak bermuatan intelektual, melainkan kesamaan identitas primordial.

Kuasa primordial dibangun di atas etnosentrisme. Ia akan mudah digerakkan jika ada momentum yang menyentuh sisi psikologis seseorang. Misalnya, nasionalisme sempit. Operasionalisasinya akan mengotak-ngotakkan. Ini sebenarnya rawan karena akan berpeluang menggerakkan kekerasan massa. Dus, perlu dihindari dalam perspektif etika.

Alienasi
Lantas, bagaimana kuasa-kuasa metafisik dalam politik itu berjalan? Jika kembali pada proposisi awal teks, politik adalah jalan menuju totalitas. Ia pasti akan mengerahkan semua sumber daya menuju satu titik: kekuasaan. Dan metafisika hadir untuk menyentuh titik-titik ketaksadaran agar dapat diarahkan pada titik utama yang ingin dituju.

Politik yang berdimensi metafisik akan dikelola oleh "dukun-dukun". Para politisi yang menggunakan citra, instruksi, atau ikatan primordial untuk mengerahkan sumber daya tak ubahnya dukun yang memanggi jin-jin untuk menjalankan tugasnya. "Dukun" ini bermain di wilayah ketaksadaran dan menggunakan instrumen fisik, macam uang atau sumber daya, agar dapat masuk ke ranah metafisik.

Akan tetapi, seseorang tidak serta merta bisa menjadi dukun. Ia harus memiliki "keahlian" tersendiri, yang sifatnya "para-normal", untuk bisa mengoperasionalisasikan kekuatannya. Untuk mendapatkan kekuatannya itu, ia harus meng-alienasi diri; memencil ke gua-gua tertentu, tempat-tempat pesugihan atau semacamnya agar kekuatannya bisa tambah digdaya.

Konsep yang perlu dielaborasi adalah "alienasi". Pengasingan-diri. Konsep ini sering muncul dalam istilah sufistik sebagai tazkiyatun-nafs, pembersihan Jiwa. Tetapi, juga muncul untuk menceritakan kondisi buruh di era kapitalisme. Konsep ini diajukan Marx untuk melihat formula agama. Dalam Introduction to A Critique on Hegel's Philosophy of Rights, ia melihat konsep metafisika sebagai konsep yang mengasingkan manusia dari realitasnya; Sebab itu, ia melihat "agama" sebagai candu [5].

Saya tak akan melihat konsep "candu"-nya Marx. Tetapi, jelas bahwa untuk masuk ke aras metafisik, ia harus mengasingkan diri terlebih dulu. Bagaimana caranya mengasingkan diri, dalam konteks politik? Salah satu jalan adalah dengan menjadi "elite". Menjadi elite dalam aras politik kontemporer adalah memencilkan diri dari rakyat. Dengan jalan itu, ia bisa mengerahkan sumber daya kekuatannya tanpa harus takut membaginya dengan rakyat. Politik dimainkan dalam totalitas permainan.

Dengan menjadi elite, sumber daya yang ingin dicapai melalui metafisik dapat digunakan.Aji digdaya yang dipunya adalah kesaktian untuk mengorganisir tanpa harus terlibat di garis depan; dan toh ia yang bisa menguasai semuanya. Kesaktiannya, untuk itu, digunakan sebagai alat untuk meraih kekuasaan. Dan banyak bentuk kesaktian yang mewujud dalam realpolitik.

Dalam konteks metafisika citra, misalnya, sumber daya berupa uang, tenaga profesional, media, impresi massa, dan lain sebagainya dapat diatur dari belakang. Politisi tak perlu khawatir skandalnya dibongkar asalkan citranya bagus. Oleh sebab itu, sikapnya menjaga citra akan menyelamatkan dirinya dari lawan-lawan politiknya.

Dalam konteks metafisika instruksi, ia bisa memegang sumber daya berupa otoritas. "Dukun" politik perlu otoritas untuk melegitimasi tindakan politiknya, dan memastikan doktrin yang ia berikan diterima sehingga rasionalitas tindakannya tak dipersoalkan. Dengan demikian, ia dapat memberi instruksi dan melakukan seting agenda atas massa di bawahnya.

Sementara dalam konteks metafisika primordial, sumber daya identitas dan kedekatan emosional warga dapat diaktivasi melalui manajemen isu. Oleh sebab itu, ia mesti memencil menjadi elite, dan perlu tenaga untuk me-manage issue agar mendorong massa turun. Ia tidak perlu ambil bagian, hanya mengarahkan kesadaran. Hal-hal seperti ini, kendati tidak terlihat di level nasional, kadang masih terjadi di level daerah.

Alienasi akan semakin kokoh dan kuat mengendalikan kuasa metafisika yang digunakan jika ia bisa mengendalikan massa/kader di bawahnya. Dalam seting masyarakat yang fanatis, ikatan primordial yang digunakan. Dalam seting masyarakat yang terstruktur/organisasional, instruksi dan doktrin yang dipakai. Adapun dalam seting masyarakat yang kritis, citra yang dikeluarkan.

Praktik politik kontemporer, di kampus ataupun realpolitik, hal-hal semacam ini masih dapat disaksikan. Kita bisa melihat, misalnya, bagaimana kandidat yang tidak punya kapasitas, karena dia punya massa, bisa memenangkan pemilu. Atau, ia yang sebenarnya tingkat ke-"elite"-annya tinggi, dipilih masyarakat. Semua tentu dibangun di atas kuasa metafisik yang melampaui rasionalitas.

Istilah beberapa kawan: "kalau botol saja dicalonkan, niscaya akan menang". Jelas, untuk memenangkan botol itu, ia perlu kuasa metafisika. Dan kuasa metafisika itu dikendalikan oleh dukun-dukun yang memencil, menjadi elite. Dengan menjadi elite, "jin-jin" politik dapat dikerahkan untuk menuju kekuasaan.

Relasi-Kuasa
Dalam aras yang moderen seperti sekarang, mungkin akan sulit dipercaya bahwa metafisika menemukan momentumnya kembali. Klaim-klaim bahwa semuanya diatur berdasarkan kalkulasi matematis akan menemui pembuktiannya sendiri. Bisakah matematika -yang digunakan sebagai instrumen untuk membedah teori-teori fisika- membongkar kuasa metafisik di atas?

Jean-Francois Lyotard sudah memperingatkan kepada kita bahwa saat ini adalah saat dimana modernitas menjadi absurd [6]. Arsitektur modernitas akan kembali dibongkar oleh relasi-kuasa yang posisinya metafisis. Oleh sebab itu, jalan untuk memahami realitasnya adalah dengan membongkar kuasa-kuasa metafisik itu, yang diklaim sebagai "kebenaran" oleh kelompok tertentu, secara kritis. Derrida menyebutnya sebagai "metafisika kehadiran" [7].

Membongkar relasi-kuasa bukan berarti menihilkan semua argumen tentang "kebenaran". Justru, membongkar relasi-kuasa berarti membuka kemungkinan akan adanya kebenaran baru. Hanya saja, klaim kebenaran tak perlu diklaim tunggal dan memarjinalkan makna lain; Ia seharusnya membiarkan dirinya terbuka, diinterpretasi, dan dikembangkan menjadi modus kebenaran baru oleh orang lain. Ini kalau kita pakai dalam konteks politik.

Membongkar relasi-kuasa yang metafisik itu berarti membuka semua kemungkinan. Dan itu maknanya, membuka tabir yang menyelubungi realitas. Dukun-dukun harus diungkap kepentingan dan motifnya -jika tidak memungkinkan membuka identitasnya- dan itu berarti menggelar subversi terhadap siapapun yang menggeret kuasa metafisik itu.

Dan, menurut saya, mungkin ini yang menjadi salah satu kehendak postmodernisme. Klaim metafisika Hegel tentang "roh absolut" yang final di akhir sejarah, akan dibongkar dengan gagah oleh kuasa yang bebas dan merdeka. Agak tepat, mungkin, jika saya menggunakan istilah yang sempat menggema tahun lalu untuk membedah metafisika politik ini: jangan ada dusta di antara kita.

Politik bisa jadi adalah pengerahan sumber daya (kuasa) secara total untuk kekuasaan. Tapi tentu saja jangan ada dusta di antara kita mengenai relasi-relasi kuasa itu.

Nuun wal qalami wa maa yasthuruun.


-----
Catatan Kaki

[1] Yasraf Amir Piliang, "Patafisika Politik", Kompas, 6 Juni 2009.
[2] ibid.
[3] ibid.
[4] Eric Louw. The Media and Political Process. Sage Publications, 2010.
[5] Karl Marx. "Introduction". A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right. Paris, Deutsch-Französische Jahrbücher, 1844. diterbitkan ulang oleh Marxist Internet Archive http://www.marxists.org/
[6] Jean-Francois Lyotard. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. 1979.
[7] Muhammad Al-Fayyadl. Derrida. Yogyakarta: LKiS, 2005.

Tidak ada komentar: