Rabu, 08 Oktober 2008

Analisis Sosial Kerusuhan Jum'at Kelabu (Banjarmasin, 23 Mei 1997)

Peristiwa kerusuhan 23 Mei 1997 di Banjarmasin yang dikenal sebagai peristiwa Jumat Kelabu telah berlalu 11 tahun yang lalu. Tercatat 123 orang tewas; satu gereja musnah dan 10 gereja rusak berat; 155 rumah, 144 toko, tiga pusat perbelanjaan, tiga swalayan, lima bank, empat kantor pemerintah, satu sarana hiburan, tiga sekolah, satu rumahy jompo, satu apotek, 36 mobil dan 34 sepeda motor musnah terbakar (Hairus Salim, Banjarmasin Post, 2007).

Kerusuhan Jumat kelabu ini dimulai pada siang hari setelah Shalat Jumat. Sebelumnya, situasi di Kota Banjarmasin cukup ramai karena hari itu adalah hari terakhir kampanye untuk Golongan Karya (bukan partai Golkar). Secara mengejutkan, dari beberapa sudut muncul kelompok-kelompok massa yang bertindak anarkis; beberapa di antara mereka membawa senjata tajam. Situasi kian tak terkendali. Mereka memasuki pusat kota dan membakar beberapa bangunan. Akhirnya kerusuhan mereda pada malam hari setelah aparat militer diterjunkan dari Balikpapan dan Jakarta.

Banyak yang bertanya-tanya, apa gerangan hal yang melatarbelakangi kerusuhan terbesar di penghujung era Orde Baru ini? Penulis memiliki beberapa pendapat mengenai hal-hal di balik kerusuhan tersebut.

Pertama, kerusuhan Jumat Kelabu dipicu oleh isu politik, mengingat kerusuhan ini terjadi di tengah euforia Pemilu 1997. Kompas, 24 Mei 1997 memberitakan bahwa banyak orang yang mengacungkan angka 2 dibalas dengan angka 1 pada pagi hari sampai menjelang shalat Jum’at sehingga mengundang kejengkelan warga.

Asumsi lain, kejengkelan masyarakat terhadap Golongan Karya (bukan Partai Golkar) terakumulasi pada kerusuhan ini. Golkar dinilai sangat mendominasi kehidupan masyarakat sehingga keberadaan partai lain dikesampingkan. Akibatnya, orang-orang yang tidak suka dengan Golkar memprovokasi massa untuk bertindak anarkis.

Kedua, kerusuhan Jumat Kelabu juga diperkuat oleh unsur agama. Dasar asumsi ini adalah adanya sekelompok oknum berbaju kuning yang memprovokasi massa dengan tidak shalat Jum’at dan konvoi keliling kota sambil membunyikan motor dengan irama yang khas. Mereka melintasi beberapa mesjid, termasuk mesjid Noor di Pangeran Samudera.

Penulis yang pada waktu itu bertempat tinggal di Jl A. Yani masih ingat bahwa banyak keresahan yang ditimbulkan dari aksi ini. Namun, H. Soenarso (mantan Ketua DPD I Golkar Kalsel) dalam pemberitaan di Banjarmasin Post membantah keterlibatan orang Golkar dalam konvoi provokatif tersebut.

Ketiga, kerusuhan Jumat Kelabu sedikit banyaknya didasari oleh konflik sosial. Asumsinya, terjadi kesenjangan sosial di antara warga Kota Banjarmasin. Di satu sisi, banyak kelompok yang merasa bahwa ada ketidakadilan dalam pemerataan pendapatan.

Di sisi lain, beberapa kelompok hidup dengan kemewahan akibat jasa-jasa politik mereka. Hal ini terjadi akibat overdominasi Golkar sebagai single majority yang dengan sekehendak hati memajukan satu daerah sementara daerah lain tertinggal.

Keempat, kerusuhan Jumat Kelabu merupakan imbas dari memanasnya suhu politik nasional pada waktu itu. Sebelum terjadi Jumat Kelabu, terjadi beberapa kerusuhan di beberapa kota lain. Di Jakarta, misalnya, massa bertindak anarkis di kawasan Otto Iskandar Dinata sehingga membuat situasi terasa cukup mencekam.

Berbagai kegetiran juga terjadi di beberapa daerah lain seperti Pasuruan yang merupakan basis kekuatan PPP. Aksi represif aparat sangat terlihat dalam pengendalian sosial.

Kelima, kerusuhan 23 Mei 1997 ini merupakan penanda dari krisis kepercayaan yang dialami oleh pemerintah Orde Baru. Memang, superioritas Orde Baru dengan jargon pembangunan dan kesejahteraan telah berkurang jauh di akhir 1996. Terjadi kerusuhan di Sambas, Jakarta, Pasuruan, dan lain sebagainya. Kerusuhan 23 Mei 1997 merupakan gambaran ketidakpercayaan masyarakat akan janji pembangunan Orde Baru yang telah mencengkeram bangsa ini selama 32 tahun.

Lima hal tersebut perlu kita telaah bersama-sama agar kerusuhan 23 Mei 1997 tidak terjadi lagi. Kita harus mendeteksi sinyal-sinyal konflik sejak dini, agar potensi konflik yang ada dapat dikelola secara demokratis. Juga, kita harus mencegah munculnya provokator-provokator baru yang menghembuskan isu di tengah keresahan masyarakat.


Apapun alasannya, kerusuhan ini tak boleh terulang lagi di tanah Banjar tercinta.

2 komentar:

Adi© mengatakan...

Masalahnya orang Banjarmasin ini kalau sudah mulai terpancing emosi, ya sudah. Tidak bisa ditenangkan. Namun, saya harap tidak ada lagi kerusuhan di Kalimantan Selatan.

Unknown mengatakan...

saya kurang setuju dengan pendapat Adi tentang masalah orang banjarmasin yang mudah terpancing Emosi. Karena tidak semua orang Banjarmasin yang mudah terpancing Emosi. karena itu jaman dulu mungkin pendidikannya masih kurang gitu aja sih