Rabu, 08 Oktober 2008

Mahasiswa: Pilar Kelima Demokrasi?

Pemuda merupakan pilar kebangkitan, pemuda adalah rahasia dari sebuah kekuatan. Dalam setiap pergerakan, pemuda adalah pengibar panji-panjinya”.

(Hassan Al-Banna)[1]

Sudah berjalankah demokrasi di Indonesia? Pertanyaan tersebut menjadi permasalahan klasik sejak era reformasi sampai sekarang. Saya percaya, demokrasi di Indonesia masih terlalu muda untuk dapat disebut sebagai demokrasi yang baik. Sebab, hubungan antara demokrasi dengan variabel sosial lain seringkali tidak menunjukkan korelasi yang positif.

Pilar-Pilar Demokrasi

Secara teoritis, demokrasi dibangun oleh tiga pilar: legislatif, eksekutif, dan yudikatif[2]. Tiga pilar yang disebut oleh Montesquieu (1748) sebagai Trias Politica ini kemudian menjadi pedoman pelaksanaan demokrasi di berbagai negara, tak terkecuali Indonesia. Tiga pilar ini kemudian dilembagakan secara legal-formal sebagai bagian dari alat penyelenggara negara.

Hanya saja, praktik di lapangan seringkali bertolak belakang dengan konsep ideal yang ditelurkan pada awalnya. Indonesia mengalami hal ini selama lebih dari 32 tahun. Soeharto sebagai Presiden pada waktu itu memang memisahkan kekuasaan antara tiga lembaga ini. Akan tetapi, Soeharto melupakan substansi dari demokrasi yang terlembaga dalam tiga pilar demokrasinya: keseimbangan kekuasaan (balancing of power).

Tindakan Soeharto yang membatasi jumlah partai politik dalam paket UU Pemilu serta “Golkarisasi” yang dilakukan sampai ke pelosok desa melalui mesin eksekutif melahirkan kekuatan tunggal. Parlemen hanya menjadi alat untuk melegitimasi kebijakan korup yang dibuat oleh penguasa (baca: tukang stempel). Pendeknya, “demokrasi” yang terjadi pada waktu itu melenceng jauh dari substansi demokrasi yang sebenarnya.

Demokrasi kemudian mendapatkan momentum di penghujung kekuasaan Soeharto. Pada tahun 1997, Indonesia mengalami krisis ekonomi yang kemudian berimplikasi pada krisis politik. Kekuatan yang bergerak untuk menggulingkan kekuasaan korup Orde Baru justru didominasi oleh kekuatan ekstraparlementer, bukan pada kekuatan penyangga demokrasi yang terlembaga tersebut. Bertumpu pada fakta inilah, penulis mengatakan bahwa ada “pilar-pilar” lain dalam demokrasi. Pilar yang lain itu adalah media pers dan mahasiswa.

Pers: Pilar Demokrasi Keempat?

Mengapa pers (media massa) dianggap sebagai pilar demokrasi keempat? Banyak pihak yang beranggapan, pers memegang fungsi sebagai pilar demokrasi keempat karena kekuatan mereka yang signifikan dalam membentuk opini publik melalui pemberitaan.

Pers memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan para tiga pilar demokrasi lain, yaitu sifatnya yang elastis. Pers dapat bergerak dari lapisan masyarakat terbawah hingga lapisan masyarakat teratas dengan arus informasinya. Pers juga dapat membentuk opini publik yang kemudian menumbuhkan sikap kritis masyarakat. Sehingga, pers yang disertai dengan kejujuran dan objektivitas dapat menjadi sarana efektif dalam melakukan rekayasa sosial .

Akan tetapi, peran pers juga dapat dibungkam dengan berbagai cara. Di era Orde Baru, pers memiliki ruang gerak yang amat terbatas sehingga potensi mereka sebagai oposisi kritis terbungkam. Dengan adanya ketentuan pembredelan (SIUPP), banyak majalah dan surat kabar yang terpaksa harus tutup usaha atau minimal ‘tiarap’ karena bersikap terlalu kritis terhadap pemerintah. Sehingga, penerbitan yang tersisa adalah penerbitan yang pro-status quo dan menjadi alat pembenar bagi pemerintah dalam menindas rakyatnya.

Bagaimana di era Reformasi? Memang ketentuan pembredelan telah dicabut, kebebasan pers dibuka seluas-luasnya dan para wartawan bebas memberitakan apapun sesuai dengan fakta dan realitas yang ada. Akan tetapi, masalah yang muncul tidak lagi berkutat pada kebebasan pers. Sekarang, masalah terletak pada penguasaan media oleh kelompok bisnis tertentu sehingga idealisme pers beralih menjadi idealisme bisnis.

Beberapa media massa bertaraf nasional sekarang telah menjelma menjadi kelompok bisnis. Mereka menjadikan media sebagai alat untuk mendapat keuntungan. Media massa kemudian bertransformasi menjadi sebuah korporasi bisnis yang tidak lagi memandang pers sebagai pihak yang berpihak pada rakyat, melainkan sebagai alat pengumpul kekayaan.

Dengan kondisi seperti ini, pers tidak dapat lagi diharapkan perannya sebagai pilar demokrasi yang menyalurkan aspirasi rakyat. Mereka yang menjunjung tinggi peran pers sebagai pilar demokrasi akan berhadapan dengan kelompok pebisnis yang menjadikan media massa sebagai bisnis besar. Akibatnya, idealisme kembali terpasung. Kondisi seperti ini tak jauh berbeda dari kondisi di era orde Baru ketika pers dibatasi gerak-geriknya.

Oleh karena itu, demokrasi bertumpu pada pilar kelimanya, yaitu mahasiswa. Permasalahannya, siapkah mahasiswa menerima konsekuensi ini? Mari kita analisis.

Mahasiswa: Pilar Kelima Demokrasi?

Bagaimana gerakan mahasiswa Indonesia? Penulis yakin, kita sudah sering mendengar berbagai istilah yang menganggap kaum muda sebagai pelaku perubahan. Bung Karno mengatakan, “Tetapi apabila saya diberi sepuluh pemuda yang bersemangat dan berapi-api, kecintaannya pada bangsa dan tanah air tanah tumpah darahnya, saya akan dapat menggemparkan dunia[3]”. Mahasiswa tentu saja adalah bagian dari pemuda . Maka, sebuah beban untuk menuntaskan perubahan telah diletakkan di pundak para mahasiswa.

Mahasiswa dilahirkan untuk menjadi aktor perubahan. Oleh karena itu, mahasiswa pada dasarnya memiliki dua fungsi utama: fungsi intelektual dan fungsi sosial. Fungsi intelektual berarti mengasah pemikiran kritis mahasiswa melalui proses dialektika di kampus. Fungsi ini juga mengimplikasikan mahasiswa untuk berprestasi secara akademik dan mampu menganalisis sebuah fenomena sosial melalui disiplin ilmu yang digeluti.

Adapun fungsi sosial berarti mengontribusikan hasil pemikiran yang telah didapat di kampus kepada masyarakat. Kontribusi mahasiswa ini idealnya disalurkan melalui organisasi yang ada di kampus maupun gerakan ekstrakampus. Dengan adanya kontribusi sosial mahasiswa, pemikiran kritis yang telah dlahirkan dari proses dialektika di kampus akan diuji dan kesadaran akan realitas yang timpang terbentuk.

Ketika dua fungsi ini dapat dioptimalkan oleh mahasiswa, peran mahasiswa sebagai agen perubahan sosial dan pilar kelima demokrasi akan mudah dilaksanakan. Maka, masalah yang kemudian harus kita tuntaskan adalah strategi perubahan yang akan dibawa oleh mahasiswa dalam setiap aksi, diskusi, atau propagandanya.

Gerakan Moral atau Gerakan Politik?

Seorang pengurus harian BEM KM UGM pernah bertanya kepada penulis ketika wawancara anggota baru BEM, “Bagaimana sejatinya posisi gerakan mahasiswa dalam blantika politik Indonesia? Apakah gerakan mahasiswa sejatinya berpihak atau netral?” Dua pertanyaan ini cukup menarik untuk diulas karena berkaitan dengan strategi gerakan mahasiswa ketika dihadapkan kepada sebuah masalah sosial.

Dalam pengetahuan penulis, ada dua argumen yang muncul sebagai jawaban atas pertanyaan ini.

Pertama, mahasiswa adalah gerakan moral (moral force). Pergerakan mahasiswa dalam konteks ini tidak memainkan peran politik. Aspirasi mahasiswa dalam hal ini harus bersifat konstruktif bagi bangsa. Oleh karena itu, aktivitas mahasiswa juga harus bernafas intelektual dan sarat pesan moral tanpa aksi politis. Atau, meminjam istilah Kang Jalal (1999), cukup menjadi bagian dari supporters dalam rekayasa sosial[4].

Kedua, mahasiswa sebagai gerakan politik (political force). Dalam menyikapi sebuah masalah sosial, mahasiswa harus melakukan aksi yang menimbulkan efek politik bagi pemutus kebijakan. Mahasiswa harus berjalan sesuai dengan suara rakyat, karena, meminjam istilah Haryo Setyoko (1999), suara rakyat adalah suara mahasiswa[5]. Mahasiswa kemudian harus menjadi avant garde perubahan dan dengan demikian menjadi sebuah kekuatan politik.

Lantas, bagaimana seharusnya mahasiswa merancang strategi gerakan? Mengacu pada dua fungsi mahasiswa yang telah penulis uraikan, mahasiswa patut mempertimbangkan efektivitas gerakan dan implikasi-implikasi yang mungkin saja muncul. Strategi gerakan mahasiswa hendaknya tetap memperhatikan aspek intelektual dan aspek sosial. Untuk itu, aksi mahasiswa harus didahului oleh kajian dan analisis mendalam atas isu yang diangkat.

Strategi gerakan mahasiswa mungkin tidak akan sama dalam setiap aksi yang dilancarkan. Strategi akan mengacu pada momentum yang menyertai sebuah gerakan. Dalam konteks ini, gerakan mahasiswa tentu tidak hanya berkutat pada demonstrasi atau aksi massa saja. Jelas akan ada aksi-aksi lain yang bersifat advokasi, penyuluhan sosial, perdebatan, atau seminar-seminar yang menghasilkan rekomendasi untuk pemutus kebijakan.

Maka, penulis berpendapat bahwa fungsi mahasiswa merupakan kombinasi dua argumen di atas. Suatu ketika, mahasiswa dapat melakukan fungsinya sebagai moral force dalam menyikapi sebuah isu tanpa menutup kemungkinan untuk bertransformasi menjadi political force. Akan tetapi, ketika realitas sudah sedemikian timpang, tak ada pilihan lain bagi mahasiswa selain memainkan peran politik dalam wacana gerakan yang diangkat.

Epilog

Gerakan mahasiswa tentu memikul beban berat untuk menjadi pilar kelima demokrasi. Beban berat tersebut harus menjadi pekerjaan rumah bagi para aktivis mahasiswa untuk dapat menunjukkan bahwa mahasiswa masih pantas untuk disebut sebagai pilar kelima demokrasi. Mari bekerja keras untuk mengemban amanah tersebut.

Terakhir, sudahkah kita meyakini Al-Qur’an Surah Al-Isra’: 81 sebagai dasar dari pencapaian target gerakan kita?

Dan katakanlah, kebenaran telah datang dan kebatilan telah lenyap. Sesungguhnya kebatilan adalah sesuatu yang pasti akan lenyap”. [6]

Penulis

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar[7]

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahnya, Madinah : Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Fahd.

Al-Banna, Hasan. Risalah Pergerakan. (Solo : Era Intermedia, 2002, Cetakan keenam).

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1972).

Mahfudz Sidiq, KAMMI dan Pergulatan Reformasi: Kiprah Politik Aktivis Dakwah Kampus dalam Perjuangan Demokratisasi di Tengah Gelombang Krisis Nasional Multidimensi (Solo: Era Intermedia, 2003).

Prasetyo, Eko. Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin: Soekarno, Semaoen, dan Muhammad Natsir (Yogyakarta: Resist Book, 2008).

Rakhmat, Jalaluddin. Rekayasa Sosial: Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar? (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999).

Setyoko, Haryo. Realitas Politik dan Idealisme Mahasiswa. Kompas, 22 Mei 1999.



[1] Hassan Al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin (Solo: Era Intermedia, 2002).

[2] Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1972). h. 152

[3] Dikutip dari Eko Prasetyo, Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin: Soekarno, Semaoen, dan Muhammad Natsir (Yogyakarta: Resist, 2008). p. 10.

[4] Jalaluddin Rakhmat, Rekayasa Sosial: Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar? (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999). p. 187-189.

[5] Kompas, 22 Mei 1999. Dikutip oleh Mahfudz Sidiq, KAMMI dan Pergulatan Reformasi: Kiprah Politik Aktivis Dakwah Kampus dalam Perjuangan Demokratisasi di Tengah Gelombang Krisis Nasional Multidimensi (Solo: Era Intermedia, 2003). p. 186-187.

[6] Al-Qur’an Surah Al-Isra (17) ayat 81.

[7] Penulis adalah Staf Departemen Kajian dan Keilmuan BEM KM UGM.

3 komentar:

efmen mengatakan...

mahasiswa yang peduli rakyat>

Anonim mengatakan...

Keren tulisannya.
mau ikut komunitas blogger ga mas
di banjarmasin udah ada ko
bisa dilihat di alamat ini
http://kasturibanjar.com
klo mau daftar klik aja daftar
ntar disuruh ngisi form registrasi. Isi yang benar ya ato kontak via YM earfun_it@yahoo.com

Anonim mengatakan...

Benar-benar blog-nya pengamat politik! Salute tuk kreativitas sampeyan.