Kamis, 16 Oktober 2008

Krisis Finansial vs Ekonomi Rakyat


Krisis yang menerpa pasar finansial dunia sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang mengejutkan. Pasalnya, gejala krisis sebenarnya telah muncul sejak kredit macet menghantui perusahaan-perusahaan asuransi AS. Seharusnya pihak perbankan AS dapat mengontrol aliran kredit perumahan (subprime mortgages) yang terlalu longgar. Ancaman resesi yang melanda As tidak disikapi secara serius oleh pemerintah yang terlalu berorientasi pasar, hingga krisis pun tak terhindarkan.

Dengan adanya krisis keuangan global ini, agenda liberalisasi ekonomi yang tertuang dalam resep-resep Washington Consensus harus dipikirkan sekali lagi, mengingat beberapa resep justru menjadi bumerang bagi pemerintah kita. Krisis ini juga menjadi pertanda bahwa teori ketergantungan (dependencia) antara negara core (inti) dan negara periphery (pinggiran) justru menghancurkan negara periphery ketika terjadi krisis di negara core. Praktis, trickle down effect tidak hanya terjadi dalam pembangunan, tetapi ternyata juga terjadi dalam konteks krisis ekonomi. Ini jelas berbahaya bagi negara-negara periphery.

Ada beberapa hal yang patut diperhatikan oleh pemerintah dalam menghadapi krisis ini.

Pertama, penyelamatan sektor perbankan. Bagi Indonesia, krisis di pasar modal akan memicu penarikan dana penarikan dana nasabah secara besar-besaran dari Bank. Implikasinya tentu akan menambah jumlah uang yang beredar di masyarakat –apalagi dengan tersendatnya investasi— sehingga dapat memicu inflasi. Persuasi moral kepada para nasabah penting untuk dilakukan agar nasabah tidak menarik dananya secara mendadak Tentunya kita tidak ingin krisis keuangan di era 1997-1998 terulang kembali.

Kedua, menghentikan agenda privatisasi BUMN. Kenyataan yang ada, krisis keuangan global telah menurunkan harga saham BUMN yang diprivatisasi. Implikasinya adalah munculnya sikap dari pemerintah untuk melakukan buyback BUMN yang notabene menghabiskan uang triliunan Rupiah. Krisis keuangan global telah memberi pelajaran bagi pemerintah untuk tidak secara sembarangan menawarkan asset negara kepada publik. Agenda nasionalisasi asset strategis dapat menjadi sebuah wacana alternatif.

Ketiga, pemberdayaan sektor ekonomi rakyat. Ketika Presiden beranggapan bahwa kita harus memberdayakan kembali sektor riil, secara tidak langsung kita juga akan melihat bahwa sektor ekonomi rakyat yang termarjinalkan keberadaan para pemodal kuat justru memiliki peran penting. Posisi mereka pada dasarnya tidak akan terpengaruh oleh terpuruknya IHSG karena memang tidak ada saham yang ditanamkan di bursa. Mereka justru akan terpengaruh dengan kenaikan tingkat inflasi yang terjadi jika tidak ada upaya penyelamatan dari pemerintah. Maka, agenda pembangunan kerakyatan sangat berperan dalam menanggulangi krisis.

Tiga hal ini patut direnungkan oleh pemutus kebijakan agar krisis keuangan yang terjadi dapat disikapi secara arif. Krisis ini memang tidak langsung menghambat perekonomian rakyat kecil, tetapi dapat berimplikasi negatif jika dampak jangka panjang tidak dihiraukan oleh pemerintah. Maka, mengapa kita tidak kembali ke sektor ekonomi rakyat dan melupakan agenda neoliberal yang menemui momentum kegalauannya?

Tidak ada komentar: