Selasa, 13 Januari 2009

(Israel) Langgar Hukum Internasional


Agresi militer Israel, selain membunuh ratusan warga sipil, juga menghancurkan ratusan fasilitas sipil (termasuk sekolah PBB dan masjid) melalui serangan udara dan menghalangi bantuan internasional yang akan masuk ke Palestina. Intifadhah kembali bergolak; Semangat jihad menggelora. Ironisnya, PBB belum mampu berbuat apa-apa, negara Arab tak mampu bersuara untuk membela saudara mereka yang tertindas.


Hans J. Morgenthau dalam bukunya, Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace (1948) jauh-jauh hari telah memperingatkan, realisme politik yang ditunjukkan melalui aksi show of force militer harus diredam dengan supremasi hukum internasional atau perimbangan kekuasaan (balance of power). Dominasi Israel –dengan dukungan Amerika Serikat, tentunya— harus diimbangi. Tanpa respons PBB dan penegakan supremasi hukum internasional, Israel tidak hanya menegakkan hegemoninya di Timur Tengah, tetapi juga telah menjadi mesin pembunuh bagi warga sipil Palestina.


Israel boleh saja mengklaim bahwa aksi militer sepihak mereka dipicu oleh serangan roket Hamas, tetapi fakta bahwa Israel telah melancarkan sebuah agresi yang menelan ratusan warga sipil juga melanggar hukum internasional. Apalagi, Israel tidak saja membunuh warga sipil, tetapi juga menghancurkan sekolah dan rumah sakit, memblokade perbatasan, mengisolasi daratan Palestina secara teritorial, bahkan membunuh wartawan yang meliput di Gaza.


Konvensi Jenewa IV (1949) tentang Perlindungan terhadap Warga Sipil pada Saat Peperangan article 3 dan 22 telah melarang militer untuk merusak fasilitas sipil atau menghalangi bantuan kemanusiaan yang mengobati warga sipil. Article 19, misalnya, menjelaskan bahwa proteksi terhadap rumah sakit yang mengurus warga sipil tidak boleh ditembaki, apalagi dihancurkan melalui serangan udara, sehingga mereka dapat melakukan tugas kemanusiaannya. Dalam hal ini, tempat pengungsi yang menjadi tempat pengobatan juga tak boleh dihancurkan.


(The protection to which civilian hospitals are entitled shall not cease unless they are used to commit, outside their humanitarian duties, acts harmful to the enemy. Protection may, however, cease only after due warning has been given, naming, in all appropriate cases, a reasonable time limit and after such warning has remained unheeded. The fact that sick or wounded members of the armed forces are nursed in these hospitals, or the presence of small arms and ammunition taken from such combatants which have not yet been handed to the proper service, shall not be considered to be acts harmful to the enemy).


Artinya, dengan serangan Israel terhadap sekolah PBB yang memuat para pengungsi, dan tindakan PBB yang menghalangi bantuan kemanusiaan untuk masuk ke Gaza telah melanggar pasal tersebut. Perlu diingat, pasal tersebut hanya salah satu pasal dari Konvensi Jenewa yang dilanggar oleh Israel. Hal ini menandakan agresi militer Israel sebenarnya adalah sebuah kejahatan kemanusiaan yang harus ditindak tegas secara hukum internasional.


Akan tetapi, mengapa PBB sebagai kuasa besar yang seharusnya mampu menekan Israel belum bergerak? Bukankah sekolah PBB sudah dirusak, bantuan kemanusiaan dihalangi, hukum internasional dilanggar, dan warga sipil dibunuh? Apakah PBB masih harus menunggu legitimasi dari Amerika Serikat yang keadilannya tak mungkin diharapkan? Ketika gencatan senjata tak dapat menghentikan aksi militer sepihak Israel, sudah selayaknya sebuah resolusi tegas yang memberikan sanksi kepada Israel turun. Kendati, hal ini akan berbenturan Sikap Amerika Serikat yang mendukung Israel tanpa reserve.


Agresi militer Israel ke Palestina, tak pelak lagi, merupajkan catatan kelam bagi supremasi hukum internasional. Hal ini menjadi penegas bahwa struktur dan perangkat PBB harus segera direformasi total. Kita menunggu tatanan dunia yang berkeadilan dan damai.


Artikel dimuat di "Mereka Bicara" Banjarmasin Post, 13 Januari 2008.

Tidak ada komentar: