Selasa, 13 Januari 2009

Membaca Dinamika Ilmu Sosial Kontemporer

Pengantar: Berdialektika dalam Ilmu Sosial

Memahami ilmu sosial, berarti memahami sebuah proses dialektika yang panjang dan luas sejak era Yunani Kuno, Islam, sampai era Modern. Ilmu sosial telah menapaki sebuah garis waktu yang begitu panjang dengan berbagai dinamika di sekelilingnya. Aristoteles dan Plato telah memulai proses dialektika tersebut; pemikiran klasik yang kemudian dikenal dengan Rasionalisme dan Empirisme menjadi sebuah titik tolak proses dialektika dalam ilmu sosial yang berkembang hingga saat ini. Persoalannya, bagaimana sebenarnya perkembangan dan proses dialektika ilmu sosial tersebut dari masa ke masa? Esai ini akan menguraikan secara ringkas proses dialektika yang panjang tersebut beserta kondisi ilmu sosial di Indonesia.

Periode Klasik: Mencari Metode Penalaran

Fase penemuan fondasi dari ilmu sosial merupakan karakteristik utama dari periode klasik. Adalah Socrates (469-399 BC), seorang filosof Yunani Kuno yang menjadi pionir proses berpikir ilmiah tersebut, hingga lahirlah sebuah produk keilmuan yang sekarang kita kenal dengan ilmu sosial. Peran Socrates sangat vital: beliau mendirikan konstruksi dasar ilmu sosial dalam proses dialog dan perdebatan, memberi dasar logika dalam proses pencarian kebenaran, dan membuktikan sebuah fenomena dengan pendekatan deduktif-logis. Socrates pun harus membayar mahal upaya pembangunan ilmu sosial yang telah dilakukannya dengan hukuman mati karena dianggap telah “menyerang” kepercayaan masyarakat pada waktu tersebut. Ia telah menjadi “martir” bagi penemuan ilmu sosial.

Fondasi dasar yang telah digariskan oleh Socrates kemudian dikembangkan oleh pemikir generasi setelahnya: Plato dan Aristoteles. Plato (427-347 BC), murid terkemuka Socrates, melanjutkan upaya Socrates dalam membangun ilmu sosial dengan menulis ulang pembelaan Socrates di hadapan juri dalam karya klasiknya: Apologi. Plato juga memberi fondasi dasar bagi sistem ketatanegaraan Yunani yang kemudian mendasari lahirnya Republik sebagai sebuah model negara demokratis. Salah satu dasar pemikirannya ialah rasionalisme, yang ditegaskan oleh Descartes dengan istilah “Cogito Ergo Sum” yang cukup terkenal, dan Hegel dengan konsep dialektikanya.

Sebuah karya yang cemerlang, tentu saja. Namun, kita tak dapat mengesampingkan peran Aristoteles (384-322 BC), murid Plato. Inilah sebuah proses dialektika yang panjang: Meski Aristoteles merupakan murid dari Plato, tetapi kapasitas intelektualnya dapat disamakan dengan gurunya tersebut. Aristoteles melahirkan konsep Animal Rationale, hewan yang berpikir/rasional) dan Zoon Politicon, yang menganggap manusia adalah makhluk yang terikat dengan masyarakat dan terkait dengan kehidupan politik (berurusan dengan masyarakat). Produk pemikirannya, empirisme, kemudian menjadi sebuah mazhab tersendiri dalam ilmu sosial.

Aristoteles berbeda dengan Plato dalam memahami realitas: Plato, dengan rasionalismenya, beranggapan bahwa proses dan metode keilmuan manusia pada intinya adalah proses berpikir; Eksistensi ilmu diukur dari kadar pemikiran dan ide manusia. Namun, bagi Aristoteles, realitas harus dilihat secara empiris dan harus berdasarkan pengalaman yang ditangkap oleh pancaindera manusia. Persoalan inilah yang melahirkan dua mazhab besar ilmu sosial: Empirisme vs Rasionalisme.

Patut dicermati, ilmu sosial klasik di era Yunani Kuno sangat dipengaruhi oleh filsafat. Logika begitu dibangga-banggakan sehingga nuansa filsafat dalam ilmu sosial klasik sangat terlihat. Namun, seiring dengan penaklukkan Romawi atas Yunani serta munculnya The Dark Age, proses keilmuan tersebut terkubur oleh superordinasi gereja yang mengekang akal. Eropa mengalami fase kemunduran dalam ilmu pengetahuan karena feodalisasi dan proses politik yang sedemikan kalut. Cahaya keilmuan baru bangkit setelah abad ke-6 M, ketika sebuah kebudayaan baru muncul di padang pasir bernama Hijaz: Kebudayaan Islam. Filsafat Yunani kembali digali dan dibangunkan oleh kebudayaan Islam yang mencapai puncak kejayaan di akhir millennium pertama masehi.

Periode Abad Pertengahan: Transformasi dalam Kebudayaan Islam

Memahami ilmu dalam Islam akan berbeda dengan memahami ilmu dalam filsafat Yunani Kuno. Kebudayaan Islam, seperti ditegaskan oleh Al-Qaradhawi (2004), bukanlah kebudayaan yang mengekang akal. Islam sangat menghormati Ilmu dan meletakkan ilmu dalam kedudukan yang tinggi, sehingga Ali bin Abi Thalib r.a. pernah menyatakan bahwa ketika ilmu dihadapkan dengan harta, ilmu selalu berada dalam posisi yang lebih terhormat, bagaimanapun keadaannya.

Fase The Dark Age yang dialami oleh Eropa di setengah periode dari millennium pertama masehi justru menjadi momentum kebangkitan ilmu dalam kerangka kebudayaan Islam. Sejarah mencatat bahwa dasar-dasar antropologi ditemukan oleh Rayhan Al-Biruni, seorang ilmuwan Islam yang secara gamblang merinci kebudayaan orang-orang di Timur Tengah, Pesisir Mediterania, dan Asia Selatan. Upaya Al-Biruni mendapatkan dukungan penuh dari Khalifah Al-Ma’mun yang mendirikan Baitul Hikmah, sebuah pusat peradaban keilmuan yang menggali kembali puing reruntuhan filsafat Yunani. Selain Al-Biruni, sejarah Islam juga mencatat Ibnu Khaldun yang memiliki kepakaran dalam sosiologi dan sejarah. Ibnu Khaldun mengutamakan pentingnya historiografi dalam penelitian sejarah dan mencatat bahwa nasionalisme (ashabiyah) dan loyalitas (ath-tha’ah) sangat berperan dalam proses pembentukan dan eksistensi sebuah negara (ad-daulah).

Bahkan dalam ilmu eksakta pun Kebudayan Islam memberi kontribusi yang signifikan. Kita mungkin tak pernah lupa bahwa textbook yang dipakai oleh beberapa universitas di Barat sampai awal abad ke-20 adalah The Canon yang ditulis oleh seorang pakar kedokteran di Spanyol., yaitu seorang muslim dari Cordoba yang bernama Ibnu Sina. Beliau dikenal oleh lingkungan akademis di Barat sebagai Avicena. Begitu pula dengan astronomi yang sedikit banyaknya dipengaruhi oleh Al-Khawarizm di Baghdad. Fakta ini menegaskan bahwa kontribusi kebudayaan Islam dalam pengembangan keilmuan tak dapat dipandang remeh.

Hal ini jelas menjadi indikator bahwa Baghdad –dengan kebudayaan Islamnya—pada kurun waktu yang cukup panjang pernah menjadi raison d’etre pengembangan keilmuan dunia menggantikan Yunani. Ketika Eropa ‘terlelap’ dengan era kegelapan, Islam datang sebagai sebuah savior dari ilmu sosial, sehingga kontinuitas dari proses keilmuan tetap terjaga. Namun, runtuhnya Khilafah Abbasiyah di tahun 1292 akibat invasi Hulagu Khan dari Mongol telah menceraikan kembali ilmu sosial. Produk keilmuan kembali redup, interaksi antara Islam dan ilmu sosial sudah tidak lagi terlihat. Ilmu sosial baru mengalami setelah era renaissance di awal abad ke-15.

Periode Modern: Kebangkitan Kembali?

Banyak ilmuwan sosial beranggapan, Ilmu sosial yang berkembang secara modern memiliki titik tolak sejak era renaissance. Proses kebangkitan kembali tersebut muncul setelah seorang filsuf Perancis, Rene Descartes, mendengungkan sebuah adagium terkenal: “Cogito Ergo Sum!” Aku berpikir, maka aku ada. Sujana (2006) menerjemahkan adagium tersebut sebagai tingginya posisi kesadaran intelektual manusia dalam mencari sebuah kebenaran. Adagium tersebut berakar pada konsep rasionalisme Plato dan diteruskan sebagai fondasi keilmuan oleh Descartes. Pada era ini, kehidupan intelektual kembali digalakkan, proses berpikir kembali dibangun.

Namun, kebangkitan ilmu sosial di era tersebut masih sebatas terbebasnya ilmu dari intervensi penguasa atau pendeta (kaum gereja) sehingga penemuan sosial baru saja dimulai kembali. Kampanye Descartes yang menjadi momentum kebangkitan ilmu sosial baru menuai hasil pada abad ke-17. Adalah Augusto Comte, seorang ilmuwan Perancis yang memelopori kebangkitan ilmu sosial modern tersebut. Di awal abad ke-17, teori beliau tentang tahap perkembangan permikiran manusia telah menjadi batu loncatan bagi perkembangan sosiologi modern. Namun, sosiologi sebagai sebuah disiplin akademis baru terlembaga di era Emile Durkheim, ketika secara resmi Sosiologi dipelajari sebagai disiplin ilmu di universitas.

Comte menerangkan tahap-tahap perkembangan pemikiran dan intelektualisme manusia dalam bukunya, Cours De Philosophie Positive. Pada buku tersebut, setidaknya ada tiga tahap perkembangan pemikiran manusia, yaitu: (1) Tahap teologis, tahap di mana manusia berpikir bahwa ada kekuatan di atas manusia yang mengendalikan manusia; (2) Tahap metafisis atau filosofis, tahap di mana manusia mulai mencari pemaknaan atas sebuah fenomena; dan (3) Tahap positif, tahap di mana kerangka pemikiran ilmiah mulai dibangun dalam proses penalaran yang sesuai.

Teori Comte ini mengilhami perkembangan ilmu sosial, dalam hal ini sosiologi. Tampillah beberapa intelektual terkemuka yang pemikirannya berakar dari teori Comte ini. Muncul Karl Marx dengan teori materialisme historis; Emile Durkheim dengan fungsionalisme, Herbert Spencer dengan analogi organik, atau Max Weber dengan pendekatan verstehen­nya. Tak dapat dibantah, kemunculan sosiologi kemudian berimplikasi pada lahirnya cabang ilmu sosial lain. Metode keilmuan Sosiologi mengilhami pendekatan pada ilmu politik, ilmu ekonomi, atau ilmu hukum sehingga fase kelahiran sosiologi dianggap sebagai fase kebangkitan kembali ilmu sosial modern.

Ilmu sosial modern tak dapat dilepaskan dari berbagai macam mazhab keilmuan yang pada umumnya diwakili oleh masing-masing universitas. Jika pada era Yunani dulu ada dua mazhab besar dalam ilmu sosial, yaitu rasionalisme dan empirisme, maka pada era modern ilmu sosial terfragmentasi menjadi beberapa mazhab : fungsionalisme (Emile Durkheim), strukturalisme (Talcott Parsons), evolusionisme (Herbert Spencer), psikologi sosial (Sigmund Freud) atau materialisme dialektis (Karl Marx). Fragmentasi ini mengakar dari perbedaan dalam memandang sebuah realitas sosial dan kemudian mempengaruhi pendekatan yang digunakan dalam menganalisis realitas tersebut. Pada era ini, muncul pula berbagai macam teori yang menjelaskan berbagai realitas sosial. Muncul beberapa teori seperti teori konflik (Ralf Dahrendorf), teori kemiskinan bersel (Clifford Geertz), teori fungsionalisme struktural (Talcott Parsons), teori budaya politik (Gabriel Almond), teori tahap pembangunan (Walt Rostow), atau teori interdependensi (Michael Todaro).

Satu hal lain yang tak dapat kita lupakan adalah ilmu politik. Ilmu politik sebagai sebuah disiplin akademis muncul pada 1870 di Perancis, pada Ecole Libre des Sciences Politiques. Namun sebelumnya, pada tahun 1858, Columbia College, New York mengangkat Francis Lieber sebagai guru besar sejarah dan ilmu politik. Ilmu politik kemudian berkembang sebagai sebuah disiplin akademis dan sampai sekarang dipelajari oleh mahasiswa dari berbagai penjuru dunia.

Ilmu Sosial di Indonesia: Wacana Akademis?

Perkembangan ilmu sosial di Indonesia sendiri pada dasarnya telah bermula sejak awal kemerdekaan, dengan didirikannya Universitas Gadjah Mada sebagai raison d’etre aktivitas keilmuan di Indonesia. Sebagai satu-satunya universitas pada waktu itu, UGM telah menjadi sarana awal dalam pengembangan ilmu sosial, kendati masih belum berbentuk sebuah fakultas. Ilmu sosial yang secara resmi dipelajari sebagai disiplin akademis baru dibangun pada akhir dekade 1950-an.

Dua universitas terkemuka di Indonesia, Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia, menjadi pelopor dalam pengembangan ilmu sosial sebagai bahasan akademik. UGM mendirikan Fakultas Sosial Politik (kemudian menjadi FISIPOL) dan UI mendirikan Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial (kemudian menjadi FISIP) sebagai satu fakultas yang khusus mempelajari ilmu sosial secara akademis. Dengan didirikannya dua fakultas tersebut, ilmu sosial telah mendapatkan pengakuan akademik di Indonesia dan secara formal telah menjadi bahasan studi bagi mahasiswa.

Tentunya, tantangan ilmu sosial di Indonesia begitu kompleks. Seiring perkembangan zaman, permasalahan sosial di Indonesia semakin banyak sehingga proses keilmuan tak hanya “terkurung” di dalam kampus, tetapi juga berlangsung di masyarakat. Praktis, para ilmuwan dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa penemuan-penemuan sosial harus secara kontinyu dilakukan agar masalah-masalah sosial tersebut dapat ditangani secara baik dengan memperhatikan implikasi-implikasi yang menyertai. Hal ini kemudian menjadi sebuah tantangan berat yang harus dihadapi oleh para ilmuwan sosial –terutama di Indonesia— agar eksistensi dan basis aksiologis ilmu sosial dapat terus terjaga.

Setidaknya, ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh para ilmuwan sosial Indonesia untuk menjalankan peran urgentnya tersebut.

Pertama, mengintesifkan penelitian. Selama ini, hanya sedikit ilmuwan Indonesia yang teorinya begitu terkenal dan dipakai sebagai teori. Mungkin hanya ada Koentjaraningrat yang menelurkan teori subsistem kebudayaan atau Nasikun yang mengusung teori sistem sosial di Indonesia. Selebihnya, teori tentang Indonesia justru didominasi oleh para “Indonesianist seperti Herbert Feith atau Clifford Geertz. Padahal, ketika kita berbicara tentang ilmu sosial sebagai ilmu murni (pure sciences), penelitian merupakan sebuah hal yang “wajib” dilakukan karena kontinuitas dan eksistensi ilmu sosial akan dibuktikan dengan adanya teori baru. Hal ini tak hanya berlaku untuk dosen atau peneliti saja, tetapi juga mahasiswa.

Kedua, mengefektifkan budaya tulis dalam bentuk publikasi buku. Boleh jadi, seorang dosen atau seorang peneliti memiliki kepakaran dalam bidang ilmu tertentu dengan kadar kepakaran yang tinggi. Tetapi, harus diakui, tidak semua ilmuwan produktif dalam menulis. Dalam tataran ilmuwan di UGM saja, misalnya, mereka yang produktif dalam menulis atau melakukan studi tidak banyak terkenal. Padahal, ilmuwan UGM telah memiliki basis intelektual dan pemahaman atas teori yang sangat kuat, juga telah memiliki wadah penerbitan sendiri, yaitu Gadjah Mada University Press (GMUP). Hal ini perlu menjadi bahan perhatian bagi para akademisi, intelektual, dan mahasiswa agar dapat membekali diri dengan kemampuan mengomunikasikan ide melalui media tulis.

Ketiga, merutinkan kebiasaan diskusi dan seminar. Sebuah proses dialektika dalam ilmu sosial takkan lengkap tanpa proses komunikasi verbal berupa diskusi atau seminar. Sebuah penelitian, wacana, atau kasus akan dapat diuji publik melalui seminar yang produktif dan konstruktif. Di sinilah kualitas dan kadar kepakaran seorang intelektual akan diuji dengan interaksi dan proses dialektika, meminjam istilah Hegel, di mana sebuah tesis akan melahirkan antitesis dan disintesiskan melalui interaksi tersebut. Hanya saja, perlu dicatat, sebuah proses seminar harus menghasilkan follow-up, atau minimal jawaban atas wacana yang beredar agar tidak menjadi wacana rutin yang menghilang setelah seminar selesai.

Simpulan Analisis: Ilmu Sosial dan Mahasiswa

Ilmu sosial telah melewati periode yang sangat panjang untuk diakui sebagai sebuah ilmu. Proses yang harus dijalani dengan hukuman mati, pengusiran, bahkan peperangan ini telah melahirkan sebuah bangunan ilmu yang sekarang menjadi bahasan akademik bagi mahasiswa di dunia. Arsitektur ilmu sosial yang telah dibangun oleh tangan-tangan para ilmuwan ini pun ternyata masih belum lengkap; Masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki oleh para ilmuwan sosial era sekarang dengan penelitian, diskusi, atau penulisan yang dilakukan secara intensif.

Era Socrates, Ibnu Khaldun, atau Emile Durkheim memang berbeda satu sama lain. Proses pencarian kebenaran dan pengembangan ilmu sosial harus menghadapi dinamika yang luas. Objek kajian yang dinamis, selalu berubah, serta tidak pasti akan memberi tantangan bagi para pengkaji yang terus berdialektika untuk mendapatkan kesimpulan yang memadai. Hal inilah yang menjadikan ilmu sosial selalu menarik untuk dijadikan objek kajian.

Sekarang, tugas berat terbentang pada mahasiswa sebagai calon intelektual. Akankah ilmu sosial kembali meredup, atau akan menjadi sebuah khazanah yang terus menerus diperkaya oleh para ilmuwannya? Para intelektual masa depanlah yang akan menjawabnya.

Referensi

Al-Qur’an dan Terjemahnya, Madinah : Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Fahd.

Suriasumantri, Jujun. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Penebar Swadaya. 1994, cetakan kedelapan).

Sujana, I Nyoman. “Berpikir Ilmiah”, dalam Bagong Suyanto dan Sutinah (ed). Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan (Jakarta: Kencana, 2006).

Al-Qaradhawi, Yusuf. Kebudayaan Islam: Eksklusif atau Inklusif (Solo: Era Intermedia, 2006, terjemahan).

Parsons, Talcott. “Natural and Social Science” dalam Dennis Wrong (ed). Max Weber: Makers of Modern Social Science (Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall, 1970).

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1993, cetakan kelimabelas).

Ralliby, Osman. Ibn Chaldun tentang Masyarakat dan Negara (Jakarta: Bulan Bintang, 1963).

http://en.wikipedia.org/augusto_comte

3 komentar:

Anonim mengatakan...

aslm. akh, gmn kbarnya? pasti kerasan di HI. subhanallah blog antum luar biasa, ane kapan2 mnta bwt referensi bacaan2 politik y? maklum dah g bergelut di dunia politik lagi.hehe..

minta saran2 biar bisa produktif dalam ngblog donkz..

semangat akhi!!

jzakallah khoir

Ahmad Sumitro Gammardi mengatakan...

kok anonim sih?

market value from ASP & Rekan mengatakan...

Artikelnya menarik banget... boleh kunjungan lagi kan??
http://marketvaluer.blogspot.com/