Kamis, 01 Januari 2009

Palestina dan Politik Luar Negeri RI

Pengantar

Gaza kembali bergolak. Rudal-rudal Israel secara membabi-buta menembaki pemukiman penduduk dan fasilitas umum di Gaza, menewaskan lebih dari 300 warga sipil Palestina tak berdosa. Militer Israel kembali menjadi mesin pembunuh atas warga Palestina yang sejak lama telah kehilangan tempat tinggal mereka. Ratusan syuhada kembali mengharumkan tanah Palestina dengan darah mereka, sebagai korban dari tank-tank dan pesawat tempur Israel yang menggempur Gaza.

Sabtu, 27 Desember 2008. Tak ada yang menyangka bahwa hari-hari terakhir di tahun 1429 H dan tahun 2008 M akan menjadi sebuah sejarah kelam baru bagi dunia: serangan besar-besaran Israel ke Gaza. Dalih pelanggaran gencatan senjata kembali menjadi justifikasi bagi Israel untuk melakukan operasi militer ke wilayah territorial Palestina, membunuh ratusan warga sipil tak berdosa. Hanya dengan kematian beberapa orang, ratusan warga sipil terbunuh.

Penegasan Hegemoni?

Dunia mencatat, operasi militer Israel kali ini merupakan salah satu yang terburuk dalam satu dekade terakhir. Ketika proses perundingan dalam konferensi peta jalan damai Israel-Palestina di Annapolis baru selesai dilaksanakan beberapa bulan waktu, Israel kembalu melakukan aksi militer sepihak. Proses negosiasi yang begitu alot di Annapolis tidak ada artinya ketika Israel membombardir Gaza dengan kekuatan militernya. Diplomasi dapat dikatakan gagal; Amerika Serikat sebagai mediator tak dapat berbuat apa-apa untuk mencegah Israel menyerang wilayah Palestina.

Sikap dunia internasional hampir sama: mengutuk (condemn) aksi militer sepihak Israel ini. Namun, kutukan tak berarti apa-apa ketika Amerika Serikat, dengan hak istimewa yang dimilikinya di Dewan Keamanan PBB serta hegemoninya yang begitu kuat di Israel, membela aksi militer Israel tersebut. Pihak US Department of State (Deplu-nya AS) justru menuding Hamas memicu konflik dengan menembakkan roket dan menewaskan warga Israel.

Apapun alasannya, tindakan Amerika Serikat ini berakibat sangat fatal bagi proses penyelesaian konflik selanjutnya. Posisi AS yang sangat istimewa di Dewan Keamanan PBB –sebagai pemilik hak veto—akan sangat menyulitkan keluarnya resolusi yang secara tegas memerintahkan Israel untuk menghentikan penyerangan serta bertanggungjawab atas aksi yang dilakukannya. Apalagi, rancangan resolusi tentang Israel sebelumnya selalu kandas ketika AS melakukan intervensi dengan memveto rancangan resolusi tersebut.

Inilah yang disebut oleh Prof. Charles W. Kegley, pakar Hubungan Internasional dari University of South Carolona,, sebagai hegemoni. Hegemoni AS dan Israel telah membuat stabilitas politik di Timur Tengah –khususnya Palestina—selalui menemui hambatan. Proses demokrasi yang telah berjalan secara fair di Palestina ternyata justru diingkari oleh negara yang mengklaim diri sebagai “kampiun” demokrasi. Ketiadaan balance of power di Timur Tengah mengakibatkan hegemoni tersebut meluas; diplomasi selalu mengalami kebuntuan. Dunia kembali dicengkeram oleh realisme politik yang kian menggurita.

Politik Luar Negeri RI

Indonesia, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, secara emosional jelas memiliki kedekatan dengan Palestina. Bagi umat Islam, setiap muslim adalah bersaudara satu sama lain (Al-Hujurat: 10). Kematian seorang muslim di Palestina berarti kemarahan bagi saudaranya di Indonesia. Sehingga, wajar jika Indonesia kemudian aktif menempatkan diri dalam proses resolusi konflik yang telah berlangsung sejak lebih dari setengah abad yang lalu ini.

Politik luar negeri RI yang dalam istilah Dino Patti Djalal merupakan “all directions foreign policy” akan menemukan momentumnya jika Indonesia aktif membantu perjuangan rakyat Palestina. Ini tak hanya tugas dari NGO atau civil society lain, tetapi juga tugas pemerintah. Diplomasi sumber daya (resource diplomacy) dapat menjadi sebuah sarana yang baik dalam membantu perjuangan rakyat Palestina.

Posisi politik luar negeri RI dalam hal ini harus jelas. Dasar politik luar negeri RI yang tercantum dalam pembukaan UUD 19945 harus benar-benar dimaknai sebagai landasan untuk membantu proses perdamaian dunia (peacemaking dan peacebuilding). Fenomena Palestina merupakan sebuah fenomena internasional yang memerlukan keterlibatan semua negara muslim. Indonesia, dengan kedekatan emosional yang dimiliki, juga turut berkewajiban membantu perjuangan tersebut. Setidaknya, Indonesia turut aktif dalam memberi bantuan dan logistik di bawah payung lembaga terkait (OKI)

Dengan situasi yang terjadi sekarang, tidak tepat jika RI menunggu keputusan PBB. Ada atau tidaknya keputusan PBB untuk mendobrak proses penyelesaian, keterlibatan RI tetap harus ada. Sikap proaktif ini dapat diawali dengan komunikasi dan penggalangan dukungan strategis dalam forum-forum multilateral. Kerjasama dengan lembaga-lembaga nonpemerintah sebagai salah satu konstituen diplomasi juga perlu dilakukan agar kesinambungan pasokan logistik dan bantuan dapat terjaga secara lebih terarah.

Masalah Internasional

Dengan terjadinya penyerbuan ini, masalah Palestina tak bisa lagi dianggap sebagai masalah lokal. Ketidakmampuan negara-negara Arab dalam memediasi konflik harus direspons oleh Indonesia dengan segera terlibat secara proaktif dalam penyelesaian konflik. Politik Luar Negeri RI yang dilaksanakan atas dasar anti-imperialisme dan pro-perdamaian harus diimplementasikan dengan diplomasi yang efektif dalam penyelesaian konflik.

Maka, tak ada pilihan lain bagi semua negara Islam selain membantu Palestina.

Wallahu a’alam bish shawwab.



1 komentar:

Anonim mengatakan...

Berharap pada negara-negara Timur Tengah. Jauh panggang dari api. Mereka tak pernah serius membebaskan Palestina. Paling yang ada kutukan dan seruan, termasuk dari Iran yang sepertinya paling vokal menentang Israel. Padahal menghentikan penjajahan Israel tak akan pernah berhasil dengan seruan. Yang dibutuhkan adalah tindakan nyata dalam kapasitas sebagai negara. Kekuatan negara tentu harus dihadapi juga oleh negara.