Sabtu, 23 Mei 2009

"Seteru Tetangga" dan "Pemain Asing" : Membedah Lingkungan Keamanan ASEAN


“As societal support for liberal values generally fails to differentiate between security communities and other peaceful societies, it would be perhaps more fruitful to concentrate future analytical efforts on what makes security communities special: greater tolerance of out-groups and, partially, greater trust.”

(Andrej Tusicisny, International Political Science Review, 2007)

Keamanan selalu menjadi isu penting dalam politik internasional. Konfrontasi antara Indonesia-Malaysia di awal dekade 1960-an, misalnya, dilatarbelakangi oleh persepsi yang berbeda mengenai keamanan nasional di antara dua negara tersebut. Begitu pula kasus perang Teluk I yang disebabkan oleh adanya sikap saling mengancam antara Irak dan Iran. Sehingga, tak salah jika keamanan menjadi sebuah isu penting yang harus dibahas ketika dua negara atau lebih berinteraksi di level internasional.

Untuk menyikapi hal tersebut, beberapa organisasi regional sepakat membentuki komunitas keamanan. Tak terkecuali ASEAN yang kini tengah menapaki langkah baru untuk menyatukan visi dan menyamakan persepsi di antara negara-negara anggotanya. Targetnya jelas, masyarakat ASEAN yang lebih bervisi regional dan mempunyai tingkat solidaritas sosial yang sedikit lebih tinggi, yakni dari nasionalisme berbasis nation-state menuju regionalisme berbasis kawasan.

Komunitas Keamanan ASEAN: Penelitian Tusicisny (2007)

KTT ASEAN IX di Bali pada 7-8 Oktober 2003 telah mendesain ASEAN Security Community (Komunitas Keamanan ASEAN) sebagai salah satu dari tiga pilar dari piagam ASEAN. Dengan adanya Komunitas keamanan ini, sebuah konsep regionalisme baru ditelurkan: ASEAN akan menyamakan visi bersama mengenai keamanan yang selama ini rawan benturan antara sesama anggota sendiri. Sebuah komunitas keamanan diharapkan dapat menanggulangi kerawanan konflik internal dan ancaman eksternal yang vulnerable terhadap eksistensi ASEAN.

Penelitian yang dilakukan oleh Andrej Tusicisny (2007), sebagaimana penulis kutip di atas, cukup menarik untuk diulas lebih mendalam. Menurut Tusicisny, konsep komunitas keamanan (security community) mula-mula diperkenalkan oleh Deutsch et. al. (1957). Dari studi yang mereka lakukan, security community didefinisikan sebagai,

“a group of people” integrated by a “sense of community,” that is, “a belief on the part of individuals in a group that they have come to agreement on at least this one point: that common social problems must and can be resolved by processes of ‘peaceful change
(Karl Deutsch, et.al., 1957, cf. Tusicisny, 2007)

Definisi Deutsch et.al. tersebut menggambarkan komunitas keamanan tidak lagi sebagai sebuah kewajiban bagi negara, tetapi lebih pada kepedulian orang-orang dalam suatu kelompok untuk menyelesaikan masalah sosial-politik dengan cara yang damai dalam sebuah region. Ketika kita kaitkan dalam konteks ASEAN, Komunitas Keamanan ASEAN menjadi sebuah media bagi negara anggota ASEAN untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dengan cara-cara damai.

Lebih jauh, Tusicisny membandingkan empat komunitas keamanan: ASEAN, MERCOSUR, ESC, dan NAFTA. Salah satu kesimpulan dari penelitian Tusicisny (2007) tersebut menunjukkan bahwa ASEAN memiliki kecenderungan tidak toleran terhadap out-groups. Tusicisny menganggap bahwa tingkat toleransi yang rendah ini dipengaruhi oleh dua variabel: internal violence (konflik internal) dan preponderant arms race (perlombaan senjata) yang sering terjadi antarnegara ASEAN. Tusicisny berkesimpulan,

It is perhaps not a coincidence that ASEAN, whose population is neither exceptionally tolerant nor trustful, faces outbursts of internal violence and a preponderant arms race despite the ongoing development of a security community.
(Andrej Tusicisny, 2007).

Temuan tersebut, disadari atau tidak, mencerminkan tingkat konflik yang cukup tinggi dari negara anggota. Fakta historis memang secara gamblang menjelaskan tingkat kesalahpahaman yang cukup tinggi pada internal ASEAN. Akan tetapi, kita juga patut menganalisis bahwa keberadaaan “pemain asing” seperti kepentingan AS dalam SEATO dan Sovyet di Vietnam juga turut mempengaruhi tensi konflik.

Penelitian Tusicisny juga menghasilkan pertanyaan baru: Apakah respons dari negara anggota ASEAN dalam menyikapi ancaman yang masuk ke wilayahnya begitu strict, ataukah karakteristik negara ASEAN yang sering terlibat dispute dan kesalahpahaman akibat perbatasan menghasilkan karakteristik yang tak jauh berbeda?

“Seteru Tetangga”: Kompetisi Kekuatan Militer?

Ada sebuah fakta yang cukup menarik untuk ditelusuri, yaitu bahwa komunitas keamanan yang coba dibentuk di ASEAN berkaitan erat dengan kompetisi kekuatan militer yang pernah terjadi di dalam ASEAN. Fakta tersebut tentu saja tidak bisa menjadi premis untuk menentukan kesimpulan bahwa terjadi perlombaan senjata atau kekuatan militer antarnegara ASEAN.

Akan tetapi, tak dapat dipungkiri bahwa dinamika hubungan antarnegara ASEAN sering diwarnai oleh kesalahpahaman dan perselisihan kecil, terutama masalah perbatasan atau perairan. Persoalan garis batas negara dan zona ekonomi eksklusif sering menjadi penyebab perselisihan antara dua negara atau lebih, seperti dalam kasus konflik Thailand-Kamboja atau Indonesia-Malaysia beberapa waktu yang lalu.

Persoalan lain yang juga cukup menarik jika kita ingin menjelaskan fenomena kompetisi kekuatan militer di antara negara-negara Asia Tenggara adalah anggaran pertahanan. Data International Institute for Strategic Studies menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 1994-1997, ada kecenderungan dari negara-negara ASEAN untuk terus menaikkan jumlah defense budget mereka. Indonesia, misalnya, dalam kurun waktu tersebut menaikkan jumlah anggaran pertahanannya dari 2,4 US$ Billion hingga 4,8 US$ Billion (kenaikan 100%). Kendati, pascakrisis 1998, anggaran mereka turun drastis hingga mencapai hanya 1%.

Masalah kompetisi kekuatan militer ini memang cukup problematis ketika dihadapkan pada isu konflik akibat perbatasan yang dialami oleh beberapa negara. Klimaks konflik tersebut dapat dilihat pada konflik bersenjata Thailand-Kamboja yang sempat menjadi isu kawasan di tahun 2008. Kondisi ini diperparah oleh agenda war on terrorism atau pengeboman di beberapa negara yang memperkeruh suasana. Maka, keamanan di ASEAN memerlukan langkah antisipasi yang jelas.

Persoalan ini kemudian coba diselesaikan melalui The ASEAN Way yang mencoba untu membuat sebuah visi bersama dalam memandang masalah keamanan. Dari lima prinsip utama The ASEAN Way, salah satu prinsip yang cukup menarik yaitu menabukan penggunaan force yang diidentikan dengan kekerasan dan penggunaan kekuatan militer, serta tidak membolehkan campur tangan dalam masalah domestik negara lain (non-intervention). The ASEAN Way ini kemudian diintegrasikan dalam ASEAN Charter 2007 yang lebih mempertegas batasan-batasan keamanan di ASEAN.

Namun, persoalan kompetisi kekuatan militer ternyata bukan satu-satunya masalah. Persoalan lain yang juga sangat penting dalam lingkungan keamanan ASEAN adalah “pemain asing” yang menjelma dalam wujud Amerika Serikat atau Cina. Seberapa signifikankah pengaruh “pemain asing” tersebut dalam keamanan ASEAN?

“Pemain Asing”: Kepentingan Strategis AS

Keberadaan Amerika Serikat di Asia Tenggara pada dasarnya dimulai sejak sebelum Perang Dunia II. Amerika Serikat pertama kali masuk ke Asia Tenggara dengan menguasai Filipina sejak awal abad ke-20. AS mengambil-alih kepemimpinan di Filipina pasca-penjajahan Spanyol dan mengkooptasi gerakan Katipunan yang ingin menegakkan kedaulatan Filipina.

Sejak itu, AS memiliki saham kekuasaan di Asia Tenggara hingga Perang Asia Timur Raya. Sejarah mencatat pula bahwa Amerika Serikat –bersama sekutunya yang lain—berhasil memukul mundur Jepang dari kepulauan Pasifik, melalui Filipina, hingga akhirnya berhasil mencapai Hiroshima dan Nagasaki. Maka, sejarah keberadaan Amerika Serikat sebenarnya telah ada sejak sebelum menjadi negara hegemon.

Namun, Amerika Serikat benar-benar memiliki kepentingan strategis pada Perang Dingin. Pada saat itu, konstelasi politik internasional diwarnai oleh bipolaritas kekuasaan yang mengerucut pada dua negara super-power: Uni Sovyet dan Amerika Serikat. Keberadaan SEATO dan Perang Vietnam menjadi bukti konflik dua negara yang eksesnya dapat dirasakan secara lintas benua. Sehingga, ASEAN muncul sebagai upaya untuk bersikap independen dan lepas dari pengaruh dua negara ini.

Pasca-perang dingin, konstelasi politik berubah. ASEAN merevitalisasi diri dengan mengubah haluan geraknya karena tidak ada lagi konflik antara dua negara “super-power”. Di sisi lain, tren keamanan internasional telah bergeser dari isu keamanan konvensional (persenjataan, industri militer, dll.) kepada isu keamanan manusia (narkoba, terorisme, atau penyakit menular) sehingga preferensi ASEAN dalam menyikapi keamanan juga berubah.

Pada tahun 2001, kecenderungan ASEAN dalam menyikapi masalah keamanan kembali berubah. Pengeboman WTC yang disusul oleh pengeboman di Bali dan Jakarta membuat keamanan kawasan kembali memanas. Amerika Serikat, dengan perang terhadap terorisme-nya menekan beberapa negara ASEAN untuk bekerjasama dalam memberantas terorisme. Singapura, sebagai sekutu dekat AS, secara aktif membantu AS sehingga keberadaan AS menjadi cukup sifnifikan.

Hanya saja, ASEAN masih belum terpengaruh untuk membentuk blok atau aliansi dengan AS. ASEAN dalam hal ini masih memegang prinsip The ASEAN Way sehingga secara kelembagaan, ASEAN tentu tidak terkait dengan Amerika Serikat. Persoalan hubungan yang mesra antara Singapura-AS tidak lantas membuat ASEAN tergantung dengan AS. Independensi ASEAN, nyatanya, masih terjaga hingga saat ini.

Kemudian, bagaimana peran “pemain asing” ini dalam keamanan ASEAN pasca-perang dingin? Kita patut membagi fase-fase hubungan mereka ke dalam dua periode: era Clinton dan era Bush. Bill Clinton yang berlatarbelakang Partai Demokrat menggunakan prinsip non-kekerasan dalam menjaga hubungannya dengan negara ASEAN. Akan tetapi, Bush dengan perang terhadap terorisme lebih intervensionis dalam menjalin hubungan dengan negara-negara ASEAN, dan lebih berkarakter realist. Pendekatan mereka pun berbeda, hingga menyebabkan persepsi dan pengaruh yang berbeda terhadap lingkungan keamanan ASEAN.

Quo-Vadis The ASEAN Way?

Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi lingkungan keamanan ASEAN: “seteru tetangga” atau faktor internal dan “pemain asing” atau faktor eksternal. Maka, The ASEAN Way dan Komunitas Keamanan ASEAN diharapkan dapat menyikapi dua masalah ini untuk membentuk regionalisme ASEAN yang lebih komprehensif dan utuh.

Lingkungan keamanan ASEAN, di satu sisi, sangat rawan terhadap kepentingan negara lain. Namun di sisi lain, lingkungan keamanan ASEAN juga belum sepenuhnya bebas dari territorial dispute intraregional yang memiliki potensi konflik relatif tinggi. Untuk menyikapi hal tersebut, sikap mental yang lebih terbuka dari masyarakat ASEAN menjadi penting sehingga kesamaan visi mengenai ASEAN dapat terwujud di era yang akan datang.

Saatnya ASEAN berbenah: satukan visi, samakan persepsi!


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Koordinator Divisi Pengembangan Kapasitas Intelektual, Biro JMF School, Jamaah Muslim Fisipol UGM


Kamis, 21 Mei 2009

Presiden RI 2009 dan Palestina

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar*

Indonesia telah melewati rangkaian pertama dari pesta demokrasinya: Pemilihan calon legislatif. Hasil Pemilu menunjukkan, Sembilan partai politik berhasil menempatkan kader-kadernya di kursi DPR-RI dengan berbagai latar belakang ideologi politik dan platform kebijakan yang dianut.

Percaturan politik sekarang akan berlanjut ke babak selanjutnya, yaitu perebutan kursi eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden). Sampai saat ini, peta koalisi politik untuk pertarungan di Pemilihan Presiden 2009 masih terspektrum pada tiga figur: Jusuf Kalla, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Megawati Soekarnoputri.

Siapapun Presidennya nanti, persoalan cukup berat akan menghadang sang presiden baru: diplomasi dan politik luar negeri. Political capital Indonesia yang cukup baik di PBB maupun organisasi internasional lainnya akan menunggu kiprah dan sikap politik luar negeri Presiden RI yang baru.

Terlebih, faktor resolusi konflik di beberapa kawasan, seperti Israel-Palestina atau krisis politik di beberapa negara Asia Tenggara membutuhkan respons yang bijak dari sang pemimpin.

Posisi Penting Presiden RI

Patut dicermati bahwa RI adalah anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Artinya, RI memiliki tanggung jawab untuk memediasi konflik beberapa negara yang memiliki kedekatan secara emosional maupun politik. Persoalan Palestina, sebagai persoalan internasional yang sampai saat ini masih belum dapat terselesaikan oleh PBB, patut mendapat perhatian RI.

Lantas, apa hubungan antara Presiden RI yang baru dengan Palestina? Dalam konteks ini, Indonesia dan Palestina memiliki kedekatan khusus, yaitu sama-sama memiliki mayoritas penduduk yang beragama Islam. Faktor ini mendekatkan hubungan emosional masing-masing warga negara.

Apalagi, Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas Islam terbesar di dunia, sehingga keberadaannya di Organisasi Konferensi Islam (OKI) menjadi cukup signifikan. Dus, tanggung jawabnya terhadap persoalan Palestina pun menjadi sangat besar.

Sehingga, Presiden RI yang baru mesti memiliki respons yang baik terhadap persoalan Palestina. Indonesia tidak hanya dituntut untuk proaktif dalam proses resolusi konflik, tetapi juga harus proaktif dalam memperjuangkan persoalan ini di Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Masalah gencatan senjata, misalnya, harus menjadi perhatian serius bagi RI untuk mencegah terjadinya konflik terbuka lanjutan yang justru kontraproduktif dengan misi perdamaian yang coba dibawa oleh PBB sekarang.

Selain itu, Presiden RI sebagai kepala negara juga harus menjalankan aspirasi rakyat Indonesia dalam memainkan perannya dalam resolusi konflik Israel-Palestina. Sebagaimana dikemukakan oleh Berridge (2002), seorang mediator selayaknya memiliki legitimasi dua arah: ke luar dan ke dalam.

Langkah serta kebijakan Presiden dalam memediasi konflik, di satu sisi, harus mendapat respons positif –setidaknya dari DPR— agar positioning-nya tepat dan tidak kontroversial di mata publik. Di sisi lain, Indonesia juga mesti memainkan posisi yang tepat di dunia internasional, agar political capital yang ada tidak rusak oleh langkah yang salah dari pemutus kebijakannya. Di sinilah kecerdasan seorang kepala negara diperlukan.

Membedah Visi Luar Negeri Capres RI

Dari tiga nama yang sekarang telah membangun komunikasi politik dengan partai lain, kita dapat melihat visi luar negeri yang berbeda. Penulis dalam hal ini tidak mendukung salah satu calon presiden, namun mencoba untuk secara objektif memprediksi arah kebijakan jika salah satu di antara mereka terpilih menjadi Presiden.

Calon pertama, Susilo Bambang Yudhoyono, memiliki kelebihan dalam positioning Indonesia di kancah diplomasi. Visi luar negerinya cukup moderat, mendukung perdamaian, dan mendorong terjadinya demokratisasi sebagai salah satu modal sosial dalam resolusi konflik.

Namun, Sby memiliki kelemahan pada sikapnya yang sering mencari safe position dan tidak ingin terjebak pada risiko-risiko politik yang muncul akibat langkah-langkah RI. Fenomena abstain di hampir semua kasus ketika menjadi anggota tidak tetap DK PBB patut menjadi bahan evaluasi.

Calon kedua, Jusuf Kalla memiliki kelebihan dalam memegang prinsip dan identitasnya ketika diplomasi. Sikap ini tercermin dari statement dan sikapnya ketika menerima kunjungan atau berkunjung ke negara lain yang tegas dan menekankan soft power Indonesia, seperti dalam konflik Thailand Selatan atau kunjugannya ke Amerika Serikat.

Akan tetapi, JK pun memiliki kelemahan dalam menjalin komunikasi dengan negara-negara yang berbeda pandangan. Visi luar negeri JK sangat normatif dan akan berbenturan dengan kepentingan berbeda dari negara-negara lain, terutama AS atau UE yang memiliki pola sendiri. Dalam kasus Palestina, JK cukup sulit untuk memediasi konflik tersebut.

Calon ketiga, Megawati memiliki kelebihan dalam menjalin komunikasi dengan negara besar seperti AS atau UE. Megawati, selama menjabat dulu, cukup intensif menjalin hubungan dengan beberapa negara yang memainkan peran besar dalam politik Internasional, terutama AS yang pada waktu itu cukup gencar mengampanyekan war on terrorism. Hal ini dapat menjadi capital diplomasi untuk resolusi konflik Israel-Palestina di PBB.

Tetapi jelas bahwa hal tersebut juga berpotensi menjadi kelemahan ketika dikomunikasikan ke parlemen atau publik dalam negeri. Sikap Megawati yang sering merapat ke blok Amerika Serikat dapat mengorbankan idealisme dan kurang sesuai dengan prinsip politik luar negeri bebas-aktif yang dianut Indonesia. Sehingga, muncul kekhawatiran terjadinya political disconnect atau defisit demokrasi di dalam negeri dari langkah-langkah politik tersebut.

Palestina: Masalah Kita Bersama!

Apapun hasil Pemilihan Presiden nanti, persoalan Palestina tetap merupakan sebuah agenda politik yang harus dilaksanakan sesegera mungkin. Inisiatif dan sikap proakif dalam resolusi konflik Israel-Palestina sangat diharapkan untuk muncul dari sang pemimpin baru RI nanti.

Maka, tak ada salahnya jika penulis berharap, kepedulian Indonesia terhadap persoalan-persoalan internasional dapat lebih ditingkatkan di pemerintahan baru nanti. Mari tentukan sikap: masalah Palestina, masalah kita bersama!

*) Koordinator Divisi Pengembangan Kualitas Intelektual, Biro JMF School, Jamaah Muslim Fisipol UGM

Analysis on Interaction between Human and Environment in Yogyakarta River Area

RESEARCH PROPOSAL

  1. Research Background


Many scientists and researchers found that river has many crucial funtions for world (see, for example, Mulyanto, 2007). When we are talking about sustainable development, we cannot forget that river, as an essential part of environment, will play a significant role in in ecological balance of our environment. Many creatures and fishes who live in river makes a new habitat and ecosystem of land-water. It might not be beneficial for an unsustainable development, especially for a city planning, because take care of water possibly means minimalize the profit they produce from the business.


But on the other hand, river for a big ciy like Yogyakarta has a very important function on sustainable development. Morphologically, river is used in cycle of erosion and cycle of hidrology (van Noordwijk, et.al., 2005)1. It is very useful in establishing an ecosystem balance, especially for a big city. Sustainable development itself, according to WCED (1987), has to reach intragenerational and intergenerational equity, and it should fit the ability of each generation to fulfill their basic needs2. A clean environment and a proper housing, doubtlessly, is a basic need for a human being. A good quality of river is an important aspect to be fulfilled in order to maintain those significant points.


For a city like Yogyakarta, river is a very important thing that should be cared by society and government. There should be some open space for the riverstream area (Daerah Aliran Sungai). The river should not only clean and cared, but also protected from industry, fabric, warehouse, or housing. On the other side, the interaction between people and river to fulfill their daily need should also limited on some points, like garbage disposal.


In fact, the place for garbage in Dabag, Condong Catur, Sleman, is located very close to river, and the pollution happens. Unfortunately, people who live near the river does not care with the pollution, even they use the river for their own need. It will be a very vital concern for every elements of academic life. The river in Yogyakarta is not as complicated as river in Banjarmasin, which cover almost half of Banjarmasin but diminished by development. It is not too late to prevent the river from pollution in Yogyakarta, but the action agenda should be proposed. It is not only a homework for government, but also for the academic life who care with the fate of environment.


This research, in order to responds that problem, tries to explain the quality of rivers in Yogyakarta on social perspective and the interaction between human and environment around the river Area. Yogyakarta will be a case study to reflect sustainable development implementation.


  1. Research Question


Research question I formulated in this research is : “How is the interaction between human and environment in Yogyakarta river Area?”


Within this research question, in general, this research will explore two variables:

  1. Interaction between human and river in their daily life;

  2. Sustainability of government’s housing policy and river management.


  1. Conceptualization


a. Sustainable Development


The first basic concept used in this sustainable development concept. A Sustainable development is defined by World Commission on Environment and Development (1987) as “development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”. It means, sustainable development –reflected on government’s policy— should take care the existence of next generation and their ability to fulfill their basic needs.


The basis of sustainable development itself is built in two pillars: political economy and environment. WCED (1997) put two key concepts to explain sustainable development:


  1. the concept of 'needs', in particular the essential needs of the world's poor, to which overriding priority should be given;

  2. the idea of limitations imposed by the state of technology and social organization on the environment's ability to meet present and future needs.


Turner (2004) put human awareness as a vital point to sustainable development. He categorized human awareness to environment into several levels. Similar to Turner, van der Heijden (2002)3 also put political awareness by political parties and NGOs as a crucial point in establishing sustainable development. In global environment politics, political parties represent anxiety from several elements of people who concern with this world’s fate. Sustainable development will also include political will from political parties and advocacy or campaign from civil society.


Another problem in sustainable development is biological diversity. According to Van Der Heijden (2002), biological diversity refers to the richness of genes, species and ecosystems. There are three different areas of concern, as been told by UN Convention on Biological Diversity: (1) problems relating to genetic erosion and genetic engineering; (2) the endangering and extinction of species; and (3) the destruction and loss of whole ecosystems. In Yogyakarta, the biological diversity will be harmed if the river –as an important factor in environment—does not managed well.


In Yogyakarta, biological diversity is connected with urban development. Alberti (2005) analyzes urban development from ecological perspective. Within that context, urban development affects patch structure by altering the size, shape, interconnectivity, and composition of natural patches. It also produces a variety of unprecedented and intense disturbances through physical changes in the landscape. It means, urban development should consider environmental aspects by the policy that government produces4.


  1. River Functions in Sustainable Development


Morphologically, river is used in cycle of erosion and cycle of hidrology. van Noordwijk et.al., (2006) said that riverstream hidrology functions have corelations with riverstream capabilities, especially in: (1) water transmission; (2) pillars in the top of rain; (3) water removal; (4) water quality; and (5) decreasing the movement of soil mass.


But nowadays, the condition of water seems to be destructed by unsustainable development. Wen et.al. (2006) estimated that more than 60% of the rivers in the world have been experienced high levels of human modification5. It implies a fact that river systems have now become one of the most deeply human-affected ecosystems in the earth. Further, Alberti (2005) analyzed that urbanization is a factor that influence the interaction between ecosystem and human being. Wen et.al. (2006), refers to several researches before, also assume that urbanization had a dramatic impact on the health of river system,


In Indonesia, the condition even worse. Ministry of Environment report their anxiety by these words,


Sempadan sungai, bahkan bantarannya sudah menjadi tempat pembuangan sampah bagi masyarakat yang bermukim di sepanjang sungai. Sungai belum dipandang sebagai wilayah yang indah dan nyaman bagi seluruh lapisan masyarakat yang memanfaatkannya sebagaimana yang diinginkan dalam penerapan water front city.

(Ministry of Environment Republic of Indonesia. Menghentikan Praktek Membuang Sampah Ke Sungai)6


Those words show us that there is a big problem of river in Indonesia. It is also including the excess of urbanization, as been explained by Alberti (2005) and Wen et. al. (2006). River function has been deviated, not for hydrological cycle anymore, but for housing and business interest. If the river is mismanaged by government or city stakeholders, the function of water as hydrological cycle will be decreased. It is vulnerable with natural disaster such as landslide, flood, or even disease.


According to a survey from Ministry of Environment and JICA, 29% of respondents who live near river seems to waste their garbage or disposal to the river. That survey also inform us that 30% of respondents who live less than 10 meters from river throw their disposal to the river. So, many people who live around the river area seems not to be responsible to their environment.


This behaviour, linked to sustainable development, is obviously contraproductive. The garbage does not only harm the environment, but also vulnerable with disaster like flood or landslide. The tragedy of Situ Gintung can be a real model to the excess of that behaviour. One kind of sustainable development concept who concern with this behaviour is reorienting technology and managing risk that possibly produced (WCED, 1987).


  1. Research Method


This paper will tries to observe the quality of a big river in Yogyakarta: Kali Code. It is obvious that I will focus my observation at some locations which are near and familiar with public life (near with citizen’s housing). There will be some samples of the location in Yogyakarta, based on sample’s characteristic which is designed by observer.


This research use two methods: Observation and interview. The observation will be focus on how the river is treated by citizen and government, and its social implication for environment, public health, and poverty. This observation will also tries to make some recommendations for political ways that government should take to prevent the destruction and pollution of river in Yogyakarta. Interview is used to strengthen the observation and make an objective data on citizen’s opinion.


Although is difficult to ge a high point of reliability (Shively, 1974), but in order to get an acceptable data, this observation will be based on some measure instrument that we designed before do the observation. Of course it will be subjective, because the basis is observer’s conclusion on what happen in the field of research. This observation will analyze some variables:


  1. The cleanliness of water;

  2. Citizen behaviour;

  3. Government attention in taking care the river;


In process, researcher will break down these variables into several indicators. Each indicator will be graded in scale, from 1-5 (bad good), according to the real condition of water. Researcher will also make an interview with some citizens to strengthen the observation data. The interview will decrease the degree of subjectivity that may be produced by the observation.


This is the scheme of this research mechanism:


Input: Observation

(researcher’s view)

Output: Data

(analysis of two inputs)

Input : interview

(citizen’s view)



Conclusion

(generalization, synthetizing data)






This research also uses several instruments:

  1. Observation worksheet;

  2. Interview guide;

  3. Recommendation Letter from Jurusan HI as a legal basis.

  4. Camera.


  1. Place Description


Yogyakarta is the capital of Daerah Istimewa Yogyakarta Province, which is located in the south of Central Java. Since this city is located in the south of Java, some cities around Yogyakarta like Bantul has some borderlines with Indies Ocean. It implies a riverstream which is emptied in the Indies Ocean.


There are three primary rivers in Yogyakarta: Kali Code, Kali Winongo, and Kali Gajah Wong. Among these rivers, Kali Code is the most popular river because of its density and its location which divide Yogyakarta into two regions. Kali Code flow from the south side of Yogyakarta until the north side, and continued to antoher Kali in Merapi.


This research will focus on two Kecamatans: Mergangsan and Jetis. These three Kecamatan is located around Kali Code and dense with population. The residence around those Kecamatan is densed by people, and the interaction between human and environment also happened more intensive than the other place. Researcher will choose a dusun in a kelurahan to be observed and a villager to be interviewed.


  1. Research Objectives


This research is designed with some objectives:


  1. To get some informations about citizen activities near Kali Code;

  2. To analyze citizen behaviour in their interaction with environment around the river.

  3. To analyze sustainability of government’s housing policy in Yogyakarta, according to sustainable development concept

  4. To analyze quality of river that has some corelations with the sustainable development in Yogyakarta.


Bibliography

Alberti, Marina. The Effects of Urban Patterns on Ecosystem Function. International Regional Science Review 28, 2: 168–192 (April 2005). Downloaded from http://irx.sagepub.com/cgi/content/refs/28/2/168

Ministry of Environment, Republic of Indonesia. 2008. Menghentikan Praktek Membuang Sampah ke Sungai. Downloaded from http://www.meneglh.go.id/

Van der Heijden, Hein-Anton. Political Parties ad NGOs in Global Environmental Politics. International Political Science Review (2002), Vol 23, No. 2, 187–201. Downloaded from http://ips.sagepub.com/cgi/content/refs/23/2/187

Van Noordwijk. et. al. 2006. Peranan Agroforestri dalam Mempertahankan Fungsi Hidrologi Daerah Aliran Sungai. Document downloaded from http://www.worldagroforestry.org/sea/Publications/files/bookchapter/BC0223-06.PDF

World Commission on Environment and Development. 1987 .Our Common Future. Report of World Commission on Environment and Development. Document downloaded from http://www.un.document.org/

Wen, Yuan et. al. Impact of Urbanization on Structure and Function of Water System. Chinese Geographical Science Volume 16, Number 2, pp. 102-108, 2006.



Endnotes

1 Van Noordwijk. et. al. 2006. Peranan Agroforestri dalam Mempertahankan Fungsi Hidrologi Daerah Aliran Sungai. Document downloaded from http://www.worldagroforestry.org/sea/Publications/files/bookchapter/BC0223-06.PDF

2 World Commission on Environment and Development. 1987 .Our Common Future. Report of World Commission on Environment and Development. Document downloaded from http://www.un.document.org/

3 Van der Heijden, Hein-Anton. Political Parties ad NGOs in Global Environmental Politics. International Political Science Review (2002), Vol 23, No. 2, 187–201. Downloaded from http://ips.sagepub.com/cgi/content/refs/23/2/187

4 Alberti, Marina. The Effects of Urban Patterns on Ecosystem Function. International Regional Science Review 28, 2: 168–192 (April 2005). Downloaded from http://irx.sagepub.com/cgi/content/refs/28/2/168

5 Wen, Yuan et. al. Impact of Urbanization on Structure and Function of Water System. Chinese Geographical Science Volume 16, Number 2, pp. 102-108, 2006.

6 Ministry of Environment, Republic of Indonesia. 2008. Menghentikan Praktek Membuang Sampah ke Sungai. Downloaded from http://www.meneglh.go.id/

Rabu, 13 Mei 2009

Islamophobia dan Muslim Australia: Potret ‘Benturan Peradaban’?

Prof. Samuel P. Huntington, analis politik dari Colmbia University, telah memprediksi sebuah fenomena bahwa benturan peradaban antara Barat dengan Islam takkan terhindarkan di abad ke-21. Huntington memotret relasi dan interaksi antara peradaban-peradaban dunia dalam bukunya, The Clash of Civilization (1997). Tesis Huntington ini disandarkan atas sebuah asumsi bahwa ada nilai-nilai ideologis yang secara tegas memberi garis batas antara Islam –sebagai peradaban—dan Barat. Maka, selama Barat tetap memegang nilai-nilai Barat, dan umat Islam tetap konsisten memegang nilai-nilai Islam, takkan ada titik temu antara dua peradaban ini.


Tesis Huntington ini dapat kita lihat pembuktiannya dalam kasus Australia. Kecemasan masyarakat Australia terhadap masyarakat muslim menjadi sebuah cerminan bahwa terjadi opini yang keliru terhadap Islam atau generalisasi berlebihan atas beberapa perbuatan keliru yang dilakukan oleh sekelompok kecil orang Islam.


Kasus Bom Bali yang menewaskan banyak orang Australia, di satu sisi memang telah memperburuk citra masyarakat Muslim –terutama Muslim Indonesia—di mata Australia. Opini publik Australia pasca-Bom Bali memberi pandangan yang sangat buruk terhadap Islam. Tak hanya itu, politik luar negeri Australia terhadap negara-negara mayoritas Muslim –seperti Indonesia—juga turut terpengaruh. Muncul pula regulasi-regulasi yang cenderung diskriminatif dalam beberapa tradisi dan kewajiban Ibadah umat Islam. Sehingga, pada titik ini, beragam kecemasan justru berkembang menjadi sebuah isu politik di Australia. Hal ini cukup berdampak buruk terhadap posisi masyarakat Muslim Australia yang tidak semuanya bersikap radikal atau eksklusif..


Jika kita analisis, gejala kecemasan terhadap Islam di Australia yang terjadi pasca-Bom Bali telah membawa beberapa implikasi bagi hubungan antara masyarakat Australia dengan masyarakat Muslim di daerah tersebut. Dari studi dokumen media yang kami lakukan, kami menangkap beberapa dampak kecemasan


Pertama, kecemasan terhadap Islam berdampak pada munculnya beberapa aturan diskriminatif terhadap masyarakat muslim di beberapa tempat kerja. Kantor Berita ANTARA menyebutkan bahwa seorang penyiar Radio 4C di Brisbane telah menggulirkan sebuah wacana yang melarang penggunaan jilbab atau hijab bagi muslimah yang bekerja di radio tersebut. Wacana ini langsung mendapat respons dari Ketua umum Federasi Dewan Islam Australia (AFIC) Ikebal Adam Patel. Patel mengingatkan bahwa pelarangan Muslimah berjilbab tidak hanya membatasi hak seseorang menjalankan ajaran agamanya ,tetapi juga membuka peluang terjadinya diskriminasi melembaga terhadap umat Islam.


Persoalan ini menunjukkan bahwa nuansa Islamophobia masih melekat dalam pikiran warga Australia. Argumentasi yang berkembang, hijab atau burqa yang digunakan muslimah memunculkan risiko keamanan karena menutup bagian muka menyulitkan orang lain mengenali identitas diri pemakainya. Hal ini akan berakibat pada tidak dikenalinya pelaku pada pelaku kejahatan—menurut asumsi warga Australia. Jelas, dengan argumentasi seperti ini, muslimah akan mengalami diskriminasi hanya karena identitas dan sikapnya tersebut. Islamophobia, dalam konteks ini, adalah sebuah cerminan dari salah memandang Islam yang dicitrakan eksklusif dan proterorisme.


Kedua, kecemasan terhadap Islam berdampak terhadap opini publik Australia. Pemberitaan media-media Australia terhadap Islam pasca-Bom Bali 2002 memberi porsi yang tidak berimbang terhadap pencitraan masyarakat Muslim. Harian Sidney Herald dan ABC, dalam pemberitaannya menanggapi eksekusi hukuman mati pengebom Bali dengan berbagai ekspresi pemberitaan (Antara, 1/11/2008). Setelah Bom Bali pun, pers Australia ramai memberitakan aksi sekelompok muslim ini sehingga terciptalah opini keliru mengenai Islam di Australia.


Opini publik yang memojokkan muslim Australia dapat dipahami sebagai sebuah respons atas pengebobman di Bali. Hanya saja, di sini terjadi generalisasi berlebihan terhadap wajah Islam yang mereduksi toleransi dan semangat kebersamaan yang mewarnai kehidupan di Australia. Padahal, banyak Muslim yang tinggal di Australia justru bersikap moderat dan menolak pengeboman Bali. Hal ini, disadari atau tidak, justru semakin mempertegas tesis Huntington mengenai benturan peradaban sebagaimana telah disebutkan di atas.


Ketiga, kecemasan terhadap Islam berdampak terhadap hubungan antara Ausralia dengan negara berpenduduk mayoritas Islam, dalam konteks ini Indonesia. Periode pasca-pengeboman Bali 2002 merupakan sisi tegang hubungan kedua negara, karena Australia memersepsikan Indonesia –dalam hal ini militan Muslim Indonesia—sebagai ancaman. Tak hanya dengan Indonesia, Australia pun juga menjaga jarak dengan negara Muslim lain. Bahkan, dalam invasi ke Iraq, Australia turut serta mengirimkan pasukan untuk membantu Amerika Serikat dalam war on terrorism.


Jelas, selama kepemimpinan John Howard yang liberal, banyak ketegangan yang dihasilkan akibat salah persepsi dan generalisasi berlebihan terhadap aksi sekelompok orang yang menggunakan identitas keislaman. Sehingga, pada era John Howard, politik luar negeri Australia praktis lebih bertumpu pada hubungan dengan AS atau sekutu-sekutunya. Salah satu alasan mengapa terjadi keretakan hubungan dengan negara-negara Muslim adalah aksi sekelompok orang yang mengancam Australia ini.


Dengan demikian, ada satu hal yang dapat kita simpulkan ketika menganalisis fenomena Islamophobia, bahwa pada dasarnya Islamophobia adalah sebuah respons dari masyarakat Australia yang merasa terancam akibat aktivitas teror sekelompok orang. Persoalannya, publik Australia salah memahami bahwa aktivitas sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam tersebut dianggap sebagai perwajahan sebenarnya dari Islam. Padahal, masih banyak silent majority yang bersikap moderat dan lebih ramah terhadap peradaban lain. Hal inilah yang kemudian membenarkan tesis Huntington tentang clash of civilization antara Islam dan Barat.


Pada titik ini, kita dapat memahami bahwa Islam sebenarnya tidak mengajarkan kekerasan kepada entitas peradaban lain. Maka, perlu dipahami pula bahwa Islam mengajarkan tatacara beragama yang begitu kompleks dengan spirit yang ramah dan bersahabat, sehingga aturan-aturan yang membatasi penggunaan atribut keislaman tidak seharusnya terjadi. Perwajahan Islam yang baik dan dapat diterima semua pihak harus terus dilakukan oleh elemen-elemen umat Islam sebagai respons atas tantangan tersebut.


Wallahu a’lam bi’l shawwab.


Senin, 11 Mei 2009

Kekerasan dan Nilai yang Hilang


Apakah kekerasan merupakan bagian dari budaya di masyarakat Indonesia? Pertanyaan tersebut mungkin akan mengemuka dalam benak para peneliti yang melakukan riset tentang Indonesia ketika ingin menganalisis kekerasan di masyarakat kita. Anggapan seperti ini wajar saja muncul, sebab kerusuhan sosial seringkali terjadi di Indonesia dengan berbagai faktor penyebab yang berbeda.


Penulis menjawab pertanyaan di atas dengan jawaban “tidak”. Anggapan bahwa kekerasan adalah budaya memiliki makna bahwa kekerasan merupakan identitas, karakter, serta nilai dalam masyarakat Indonesia sehingga kesan yang muncul tentang Indonesia adalah kekerasan. Padahal, masyarakat Indonesia memiliki nilai bersama yang mengutamakan perdamaian. Ketika kekerasan merebak di mana-mana, persoalan bisa saja terletak pada beberapa hal berikut: Pemahaman keliru mengenai perilaku masyarakat, perilaku individu yang menyimpang, konflik yang tak terselesaikan, atau ketimpangan struktur sosial yang merupakan ekses dari krisis legitimasi politik.


Masalah Sosial


Memang, fenomena kekerasan di masyarakat selama ini masih belum dapat sepenuhnya diatasi oleh semua pihak. Model-model konflik etnis di Indonesia masih menjadi sebuah ancaman bagi ketahanan nasional. Belum lagi jika kita berbicara mengenai konflik pasca-Pilkada, terorisme, sampai demonstrasi anarkis. Dengan merebaknya berbagai isu kekerasan tersebut, banyak pihak yang salah memahami bahwa kekerasan adalah bagian dari budaya di masyarakat Indonesia.


Seperti dikatakan oleh J.S. Furnival, karakter masyarakat Indonesia yang heterogen dan plural sangat rawan konflik. Akan tetapi, perlu diingat bahwa kekerasan dalam masyarakat Indonesia bukan penyebab konflik, melainkan implikasi dari konflik. Artinya, kekerasan justru memiliki faktor-faktor penyebab yang lain dan bukan merupakan karakter masyarakat. Pada titik ini, kekerasan tidak kita pahami sebagai sebuah budaya, melainkan sebagai sebuah masalah sosial.


Jika mengacu pada pendapat Furnival di atas, kekerasan merupakan implikasi dari konflik yang tak terkelola, sehingga penanggulangan kekerasan di masyarakat sebenarnya dapat dilakukan dengan proses resolusi konflik. Kecuali jika kekerasan tersebut merupakan bagian dari perilaku menyimpang yang berakar dari sosialisasi tidak sempurna kepada individu. Perilaku menyimpang ini kemudian mengimplikasikan adanya penanganan yang lebih bersifat personal pada pelaku kekerasan.


Dengan demikian, kita dapat menganggap bahwa kekerasan sosial merupakan bagian dari masalah sosial. Menurut J. P. Gillin, masalah sosial merupakan ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan dalam masyarakat yang membahayakan kehidupan kelompok sosial, atau menghambat terpenuhinya keinginan pokok warga dari kelompok tersebut sehingga menyebabkan kepincangan ikatan sosial.


Maka, kekerasan sosial sebagai sebuah masalah sosial harus diantisipasi atau diselesaikan dengan cara menyelaraskan unsur-unsur kebudayaan –disebut oleh Koentjaraningrat sebagai subsistem kebudayaan—dengan konsensus, norma dan nilai-nilai dasar di masyarakat tersebut. Dalam konteks kekerasan kolektif, konsensus dan komitmen baru perlu dibangun untuk mencegah kekerasan baru yang merusak tatanan dan subsistem kebudayaan lama.


Terkadang, kekerasan terjadi karena norma tidak diindahkan lagi. Kasus kerusuhan Sampit beberapa tahun lalu dipicu oleh sikap kaum pendatang yang dianggap tidak sesuai dengan norma lokal hingga menyebabkan terjadinya kekerasan kolektif. Kasus kerusuhan 23 Mei 1997 di Banjarmasin juga diakibatkan oleh tidak taatnya peserta kampanye pada aturan agama yang melekat sebagai norma sosial di masyarakat Banjar.


Penanganan yang Tepat


Oleh sebab itu, kekerasan harus ditanggulangi dengan institusionalisasi norma dan nilai ke dalam dimensi yang lebih luas, yaitu common value atau nilai bersama yang dipegang oleh masyarakat. Bagi masyarakat pedesaan yang menurut Ferdinand Tonnies lebih berorientasi pada gemeinschaft (paguyuban), institusionalisasi ini dapat dilakukan dengan penjagaan atas kearifan lokal yang ada. Namun, bagi masyarakat perkotaan yang lebih heterogen dan berkultur gesselschaft, nilai dan norma tersebut dapat diformalkan ke dalam aturan-aturan yang lebih baku, atau norma hukum.


Menurut penulis, setidaknya ada tiga dimensi penanganan yang perlu diperhatikan.


Pertama, jika kekerasan dihasilkan dari perilaku menyimpang, langkah penanggulangannya adalah resosialisasi norma-norma di masyarakat. Instrumennya bisa berupa penjara, pengucilan dari masyarakat, atau hal lain yang bersifat personal. Kekerasan dalam level ini merupakan kekerasan individu atau kelompok kecil masyarakat, bukan kekerasan massif.


Kedua, jika kekerasan dihasilkan dari konflik, penyelesaiannya dapat dilakukan dengan model-model resolusi konflik. Mekanismenya bisa bermacam-macam, baik dengan jalan akomodasi, konsiliasi, mediasi, atau turunnya pihak ketiga (arbitrase). Resolusi konflik harus memperhatikan akar masalah dari konflik tersebut dan kondisi sosiokultural masyarakat.


Ketiga, jika kekerasan dihasilkan dari struktur yang timpang, penyelesaiannya perlu menggunakan langkah-langkah politis. Kekerasan tidak hanya diselesaikan dengan dua pendekatan pertama, tetapi juga perlu langkah aksi dari pemerintah untuk memperbaiki kehidupan sosial yang ada. Pada level ini, persoalan legitimasi politik dan kepercayaan terhadap pemimpin formal akan sangat berpengaruh.


Maka, pada dasarnya kekerasan bukanlah sebuah hal yang pakem dalam masyarakat Indonesia. Kekerasan merupakan masalah sosial yang harus dijauhkan dari masyarakat yang penuh nilai. Untuk itu, kesalahpahaman mengenai karakter bangsa ini juga harus diluruskan. Mari memutus rantai kekerasan dengan pendekatan nirkekerasan.

UN, Kecurangan, Pendidikan Koruptif

Paulo Freire, seorang pakar pendidikan, pernah memperkenalkan sindroma “pendidikan bisu” dalam dunia pendidikan. Sindroma tersebut pada intinya membuat seorang pendidik dan peserta didik tak berdaya dalam menghadapi realitas, tak mampu berinovasi dengan kemampuan, serta hanya terkooptasi pada lakon pendidikan yang serba pragmatis.


Sindroma ini ternyata terjadi di negeri kita, sekarang. Berkedok ujian nasional, sistem yang berlaku ternyata mengadaptasi kebisuan ini. Begitu banyak siswa yang harus menggantungkan harapan pada handphone pada waktu ujian. Begitu banyak siswa yang harus berkonspirasi dalam mencari bocoran soal sebelum ujian nasional. Begitu banyak pula siswa yang menjadi korban “tidak lulus” hanya karena ujian yang gagal.


Kita patut prihatin. Mengapa pendidikan bisa jadi koruptif seperti ini? Siswa diajari kejujuran, tetapi dalam ujian nasional diajak untuk curang. Siswa diajari kepercayaan diri, tetapi dalam ujian nasional diajak berkonspirasi dengan memberi kunci jawaban. Pendeknya, siswa diajari moralitas tetapi juga diajari untuk melakukan kejahatan. Contradictio Interminis.


Lebih mengherankan lagi, guru dijadikan kambing hitam ketika terjadi kecurangan. Ketika soal ujian bocor, guru yang pertama kali disalahkan. Begitu pula ketika siswa tidak lulus, guru yang mendapat kemarahan orang tua. Apakah semua kesalahan siswa, kesalahan sekolah, atau kesalahan pemerintah mesti ditimpakan hanya kepada guru?


Tentu saja tidak. Guru tidak selalu salah. Motif para oknum guru yang membocorkan soal ujian sebenarnya hanya untuk memenuhi target yang ditetapkan oleh masing-masing sekolah. Selain itu, banyak juga para guru yang telah melakukan upaya maksimal dalam transfer pemikiran kepada siswa. Tentunya kita tidak dapat menggeneralisasi kesalahan segelintir oknum guru kepada semua orang yang berprofesi sebagai guru.


Kita juga tak dapat menyalahkan sekolah 100% walaupun sekolah juga berkontribusi dalam buruknya pendidikan kita.. Mereka melakukan konspirasi kecurangan pada dasarnya hanyalah karena tekanan kondisi dan menyelamatkan prestise sekolah. Dengan adanya ujian nasional, seakan-akan sekolah yang tak mampu meloloskan siswanya dianggap sebagai sekolah yang tak becus. Kembali, generalisasi tak dapat dilakukan kepada semua sekolah. Ini pun menjadi masalah baru dalam ujian nasional.


Kita pun tak dapat selalu menyalahkan siswa karena berbuat curang. Memang, kecurangan siswa adalah sesuatu yang salah secara moral atau secara peraturan. Namun, tekanan psikologis menjelang ujian tentu membuat siswa berpikir bahwa kerja kerasnya selama 3 tahun –bahkan selama 12 tahun—harus musnah ketika menghadapi ujian nasional yang hanya berlangsung selama tiga hari! Lebih jauh dari itu, siswa pun mendapat tekanan untuk mendapat nilai yang baik, tak peduli dengan cara apa ia mendapatkannya.


Apakah yang salah pemerintah? Jawabnya juga tidak selalu. Memang, hal ini adalah sebuah kesalahan struktural yang diawali dari pemerintah sebagai spektrum pemutus kebijakan pertama. Akan tetapi, terlepas dari penyimpangan yang terjadi, pada dasarnya pemerintah telah berpikiran benar dengan melakukan standardisasi melalui ujian nasional untuk menjaga kualitas sumber daya manusia bangsa. Apalagi, era pasar bebas yang kompetitif berada di depan mata sehingga wajar jika pemerintah memperketat standard kelulusan. Meskipun demikian, kebijakan pemerintah dalam hal ini memang salah kaprah dan asal-asalan.


Lantas, siapa yang salah? Kembali pada logika di atas, kesalahan tak dapat dilemparkan hanya pada satu pihak. Salah urus pendidikan adalah kesalahan kolektif sekaligus kesalahan struktural. Semua memiliki kesalahan masing-masing dan semua harus ikut bertanggungjawab karena semua memiliki kontribusi pada terciptanya kesalahan kolektif ini. Maka, penulis berpendapat ada beberapa hal yang patut dievaluasi untuk membenahi pendidikan kita.


Pertama, sistem ujian nasional yang koruptif harus dievaluasi. Pemerintah menetapkan standard berdasarkan ujian yang sangat rentan dengan kecurangan. Patut diingat, ujian memiliki faktor internal dan eksternal tersendiri. Kondisi psikologis, situasi kelas, dan persiapan mental siswa menjadi faktor yang berperan besar bagi siswa ketika menjawab soal ujian. Maka, pendekatan yang digunakan juga harus seimbang antara process dan result. Harus ada komponen ujian nasional yang dievaluasi agar kecurangan dapat diminimalisasi tanpa mengurangi kepercayaan diri siswa.


Kedua, fasilitas pendidikan harus dibenahi. Begitu banyak bangunan sekolah yang rusak dan suasana belajar yang tidak kondusif. Pemerintah tak dapat memaksakan sekolah-sekolah di daerah terpencil untuk mengikuti standard yang tinggi tanpa disertai perbaikan fasilitas sekolah. Bagaimana mungkin ujian seorang siswa di sebuah daerah terpencil nun jauh di Kalimantan ternyata disamakan dengan ujian seorang siswa yang berada di lingkungan elit di Jakarta? Tentunya, pemerataan harus dilakukan terlebih dahulu sebelum penetapan standard.


Ketiga, alokasi anggaran harus ditambah. Tidak mungkin pemerintah ingin memperbaiki pendidikan jika kuota 20% anggaran pendidikan tak kunjung direalisasikan. Perbaikan fasilitas sekolah di daerah terpencil tak mungkin dilakukan tanpa anggaran yang memadai. Selain itu, anggaran ujian nasional jelas harus ditambah untuk mengantisipasi kesalahan soal dan kekacauan yang terjadi di mana-mana. Kebijakan fiskal dari Departemen Keuangan harus disesuaikan dengan UUD 1945 terlebih dahulu.


Keempat, Kekeliruan logika pemerintah bahwa semua daerah harus mengikuti sebuah standard nasional patut diluruskan. Baik sekolah maupun siswa memiliki kemampuan yang terbatas. Apalagi pembangunan infrastruktur pendidikan di daerah dapat dikatakan tidak merata dan penuh dengan keterbatasan. Bahkan untuk ukuran beberapa sekolah, soal yang diberikan dianggap sangat sulit karena pembelajaran rutin tidak mencakup hal tersebut. Maka, saran penulis, perlu ada desentralisasi standard menjadi standard daerah atau provinsi, sehingga pemerataan dapat lebih mudah dilakukan. Ini tentu saja memerlukan kerja yang sistematis dan perubahan dalam model ujian nasional.


Persoalan-persoalan akan menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Untuk itu, tetaplah bijaksana karena pendidikan memiliki efek domino yang besar dalam kehidupan bangsa kita. Mari menyelamatkan pendidikan Indonesia.



Rabu, 06 Mei 2009

Di Balik Rendahnya Partisipasi Politik

Pemilu 2009 telah terlewati. Sebuah perhelatan demokrasi yang melibatkan ratusan juta rakyat Indonesia ini berhasil dilaksanakan pada 9 April 2009 yang lalu, menandai awal baru dari sebuah pergantian kepemimpinan nasional secara periodik.


Masalah Partisipasi Politik


Tentu banyak catatan yang menyertai Pemilu tahun ini. Seperti halnya tahun-tahun sebelumnya, atau pemilu di negara lain, Pemilu 2009 di Indonesia kembali menghadapi sebuah problem: rendahnya partisipasi politik masyarakat. Sedemikian rendahnya partisipasi masyarakat dalam pemilu, Fajroel Rahman dalam tulisannya di Kompas beberapa waktu lalu menyebut bahwa tahun 2009 ini adalah tahun kemenangan golput, dan menandaskan sebuah keprihatinan terhadap kualitas pemerintahan –setidaknya menurut beliau—selama ini.


Meminjam proposisi Lipset (1960), semakin besar perubahan struktur sosial dan politik di masyarakat, akan semakin tinggi pula tuntutan partisipasi dari masyarakat. Artinya, tingkat kedewasaan demokrasi sangat ditentukan oleh tingkat partisipasi rakyatnya. Rakyat tidak hanya menjadi basis legitimasi dari pemerintahan yang ada, tetapi juga menjadi salah satu faktor yang menentukan stabilitas politik pemerintahan ke depan. Dalam konteks Indonesia, partisipasi politik yang rendah akan menghambat proses pendewasaan demokrasi yang sekarang sedang berlangsung.


Masalah partisipasi politik yang rendah di Indonesia memang menjadi sebuah persoalan klasik di setiap penyelenggaraan Pemilu. Setidaknya, ada dua kategori (penyebab) dari sikap tidak berpartisipasi masyarakat tersebut.


Pertama, kategori golongan putih, atau kelompok yang tidak menggunakan hak politiknya secara sadar dan sengaja karena berbagai faktor yang melatarbelakangi. Golongan putih bisa saja berasal dari persoalan apatisme individu atau ideologi politik yang dianut, juga bisa berasal dari ketidakpercayaan rakyat terhadap pemimpin yang akan dipilihnya.


Kedua, kategori gagal berpartisipasi, atau kelompok yang tidak dapat menggunakan hak pilihnya karena alasan-alasan administratif, baik karena kekacauan DPT atau pindah domisili. Persoalan kedua ini yang sebenarnya menjadi hal yang problematis dalam Pemilu 2009, karena tidak semua dari mereka yang terkena masalah di sini bersikap apolitis terhadap Pemilu. Persoalan justru terdapat pada penyelenggara pemilu atau keruwetan birokrasi.


Masalah tersebut cukup penting untuk diselesaikan di alam demokrasi. Lipset (1960) berpendapat bahwa rendahnya partisipasi politik masyarakat mencerminkan apatisme yang tidak sehat dan melemahnya demokrasi. Padahal, dalam logika demokrasi yang dianut oleh negeri ini, pergantian kepemimpinan dan perubahan struktur politik akan sangat bergantung pada partisipasi politik masyarakat. Rakyat tidak hanya menjadi basis legitimasi politik bagi pemerintah, tetapi juga menjadi aktor di balik kepemimpinan tersebut.


Pemilu akan memiliki peran yang signifikan dalam menentukan masa depan bangsa ini, setidaknya dalam lima tahun ke depan. Partisipasi politik masyarakat akan sangat berpengaruh dalam menentukan figur yang akan mewarnai pemerintahan selama lima tahun ke depan. Ketika parlemen telah cenderung koruptif, kinerja pemerintah tidak memuaskan, dan haluan perekonomian sangat tidak berpihak pada kepentingan rakyat, pada dasarnya rakyat juga memiliki tanggung jawab atas kesalahan-kesalahan tersebut. Karena, pada saat ini jajaran pemerintahan dipilih oleh rakyat secara demokratis.


Itulah sebabnya, dalam demokrasi, pemilu harus legitimate di mata rakyat. Basis legitimasi pemilu ini berbanding lurus dengan basis legitimasi pemerintah. Maka, pengaturan Pemilu seyogianya adalah tanggung jawab dari eksekutif, legislatif, dan panitia penyelenggara (KPU) secara bersama-sama, bukan hanya tanggung jawab satu pihak.


Persoalan Daftar Pemilih


Persoalannya, mengapa partisipasi politik masyarakat kita dalam pemilu 9 April yang lalu dapat dikatakan rendah? Kembali pada kategorisasi di atas, kita dapat menganalisis bahwa permasalahan yang cukup rigid terdapat pada kategori kedua, yaitu kategori “gagal berpartisipasi” karena alasan-alasan administratif, seperti kekacauan DPT atau mutasi. Kategori ini sebenarnya dapat dihindari, karena tidak semua dari mereka bersikap apatis terhadap pemilu. Mereka yang tidak berpartisipasi justru ada yang sangat ingin memilih, tetapi harus kecewa karena kacaunya daftar pemilih yang ada.


Masalah ini memang menjadi tanggung jawab dari KPU sebagai penyelenggara Pemilu. Akan tetapi, tidak semua kesalahan mesti ditimpakan kepada KPU. Justru banyak kesalahan dari kekacauan DPT dan keruwetan birokrasi ini yang disebabkan oleh kesalahan perancang UU Pemilu (UU No 20 Tahun 2008), karena ternyata ada masalah birokrasi ketika UU tersebut dilaksanakan. KPU, sebagai penyelenggara Pemilu, dalam hal ini hanya menjalankan amanah UU. Ketika ada persoalan birokratis yang muncul, KPU tidak dapat bersikap menyalahi amanah UU dan harus menyesuaikan dengan kondisi mereka.


Aturan daftar pemilih tersebut terletak pada Pasal 33 Ayat 1-4. Ayat (1) menyatakan bahwa “KPU kabupaten/kota menggunakan data kependudukan sebagai bahan penyusunan daftar pemilih”. Ayat tersebut tentu menghasilkan masalah berkaitan dengan waktu untuk pendaftaran pemilih. Perlu diperhatikan bahwa UU baru lahir pada tahun 2008, satu tahun sebelum Pemilu dilaksanakan. Dengan waktu yang sangat singkat tersebut, sensus tidak mungkin dilaksanakan oleh BPS. Sehingga, data kependudukan dari pemerintah pada akhirnya juga menggunakan data lama. Hal ini tentu akan mengakibatkan perbedaan dengan data-data de facto yang memungkinkan adanya kematian, penambahan pemilih, atau perpindahan domisili. Ini juga menjadi problem.


Namun, hal tersebut tidak lantas menjadikan hasil pemilu ini tidak legitimate atau harus diulang. Langkah partai politik untuk menolak hasil Pemilu, menurut penulis, kurang bijaksana secara fatsoen politik. Sebab, kesalahan Pemilu sebenarnya juga merupakan kesalahan mereka. Legitimasi Pemilu juga masih dapat diterima karena persentase dan jumlah pemilih juga cukup besar, serta tidak ada gerakan yang massif menolak hasil pemilu.


Faktor legitimasi Pemilu, terlepas dari angka golput ideologis dan apatisme, sebenarnya tidak hanya diukur dari jumlah pemilih, tetapi juga efektivitas pemilih tersebut dalam mempengaruhi kebijakan publik yang ada. Sebagaimana diungkapkan oleh Lipset (1960), persoalan jumlah pemilih tidak menjadi soal selama ada mekanisme kontrol dari rakyat ke pemerintah. Pada titik ini, kekacauan DPT tidak berdampak pada keabsahan Pemilu, tetapi harus diperbaiki pada Pemilihan Presiden yang akan datang.


Memperbaiki Pemilu


Masalah partisipasi politik akan sangat berkaitan dengan legitimasi politik dari pemerintah. Persoalan kekacauan DPT yang menimbulkan persoalan rendahnya partisipasi politik juga mesti dibenahi, setidaknya untuk pemilihan presiden 5 Juli 2009 nanti Oleh sebab itu, kesadaran politik kita sebagai seorang warga negara Indonesia juga harus diaktifkan. Selamat berdemokrasi, selamat memilih pemimpin baru.