Paulo Freire, seorang pakar pendidikan, pernah memperkenalkan sindroma “pendidikan bisu” dalam dunia pendidikan. Sindroma tersebut pada intinya membuat seorang pendidik dan peserta didik tak berdaya dalam menghadapi realitas, tak mampu berinovasi dengan kemampuan, serta hanya terkooptasi pada lakon pendidikan yang serba pragmatis.
Sindroma ini ternyata terjadi di negeri kita, sekarang. Berkedok ujian nasional, sistem yang berlaku ternyata mengadaptasi kebisuan ini. Begitu banyak siswa yang harus menggantungkan harapan pada handphone pada waktu ujian. Begitu banyak siswa yang harus berkonspirasi dalam mencari bocoran soal sebelum ujian nasional. Begitu banyak pula siswa yang menjadi korban “tidak lulus” hanya karena ujian yang gagal.
Kita patut prihatin. Mengapa pendidikan bisa jadi koruptif seperti ini? Siswa diajari kejujuran, tetapi dalam ujian nasional diajak untuk curang. Siswa diajari kepercayaan diri, tetapi dalam ujian nasional diajak berkonspirasi dengan memberi kunci jawaban. Pendeknya, siswa diajari moralitas tetapi juga diajari untuk melakukan kejahatan. Contradictio Interminis.
Lebih mengherankan lagi, guru dijadikan kambing hitam ketika terjadi kecurangan. Ketika soal ujian bocor, guru yang pertama kali disalahkan. Begitu pula ketika siswa tidak lulus, guru yang mendapat kemarahan orang tua. Apakah semua kesalahan siswa, kesalahan sekolah, atau kesalahan pemerintah mesti ditimpakan hanya kepada guru?
Tentu saja tidak. Guru tidak selalu salah. Motif para oknum guru yang membocorkan soal ujian sebenarnya hanya untuk memenuhi target yang ditetapkan oleh masing-masing sekolah. Selain itu, banyak juga para guru yang telah melakukan upaya maksimal dalam transfer pemikiran kepada siswa. Tentunya kita tidak dapat menggeneralisasi kesalahan segelintir oknum guru kepada semua orang yang berprofesi sebagai guru.
Kita juga tak dapat menyalahkan sekolah 100% walaupun sekolah juga berkontribusi dalam buruknya pendidikan kita.. Mereka melakukan konspirasi kecurangan pada dasarnya hanyalah karena tekanan kondisi dan menyelamatkan prestise sekolah. Dengan adanya ujian nasional, seakan-akan sekolah yang tak mampu meloloskan siswanya dianggap sebagai sekolah yang tak becus. Kembali, generalisasi tak dapat dilakukan kepada semua sekolah. Ini pun menjadi masalah baru dalam ujian nasional.
Kita pun tak dapat selalu menyalahkan siswa karena berbuat curang. Memang, kecurangan siswa adalah sesuatu yang salah secara moral atau secara peraturan. Namun, tekanan psikologis menjelang ujian tentu membuat siswa berpikir bahwa kerja kerasnya selama 3 tahun –bahkan selama 12 tahun—harus musnah ketika menghadapi ujian nasional yang hanya berlangsung selama tiga hari! Lebih jauh dari itu, siswa pun mendapat tekanan untuk mendapat nilai yang baik, tak peduli dengan cara apa ia mendapatkannya.
Apakah yang salah pemerintah? Jawabnya juga tidak selalu. Memang, hal ini adalah sebuah kesalahan struktural yang diawali dari pemerintah sebagai spektrum pemutus kebijakan pertama. Akan tetapi, terlepas dari penyimpangan yang terjadi, pada dasarnya pemerintah telah berpikiran benar dengan melakukan standardisasi melalui ujian nasional untuk menjaga kualitas sumber daya manusia bangsa. Apalagi, era pasar bebas yang kompetitif berada di depan mata sehingga wajar jika pemerintah memperketat standard kelulusan. Meskipun demikian, kebijakan pemerintah dalam hal ini memang salah kaprah dan asal-asalan.
Lantas, siapa yang salah? Kembali pada logika di atas, kesalahan tak dapat dilemparkan hanya pada satu pihak. Salah urus pendidikan adalah kesalahan kolektif sekaligus kesalahan struktural. Semua memiliki kesalahan masing-masing dan semua harus ikut bertanggungjawab karena semua memiliki kontribusi pada terciptanya kesalahan kolektif ini. Maka, penulis berpendapat ada beberapa hal yang patut dievaluasi untuk membenahi pendidikan kita.
Pertama, sistem ujian nasional yang koruptif harus dievaluasi. Pemerintah menetapkan standard berdasarkan ujian yang sangat rentan dengan kecurangan. Patut diingat, ujian memiliki faktor internal dan eksternal tersendiri. Kondisi psikologis, situasi kelas, dan persiapan mental siswa menjadi faktor yang berperan besar bagi siswa ketika menjawab soal ujian. Maka, pendekatan yang digunakan juga harus seimbang antara process dan result. Harus ada komponen ujian nasional yang dievaluasi agar kecurangan dapat diminimalisasi tanpa mengurangi kepercayaan diri siswa.
Kedua, fasilitas pendidikan harus dibenahi. Begitu banyak bangunan sekolah yang rusak dan suasana belajar yang tidak kondusif. Pemerintah tak dapat memaksakan sekolah-sekolah di daerah terpencil untuk mengikuti standard yang tinggi tanpa disertai perbaikan fasilitas sekolah. Bagaimana mungkin ujian seorang siswa di sebuah daerah terpencil nun jauh di Kalimantan ternyata disamakan dengan ujian seorang siswa yang berada di lingkungan elit di Jakarta? Tentunya, pemerataan harus dilakukan terlebih dahulu sebelum penetapan standard.
Ketiga, alokasi anggaran harus ditambah. Tidak mungkin pemerintah ingin memperbaiki pendidikan jika kuota 20% anggaran pendidikan tak kunjung direalisasikan. Perbaikan fasilitas sekolah di daerah terpencil tak mungkin dilakukan tanpa anggaran yang memadai. Selain itu, anggaran ujian nasional jelas harus ditambah untuk mengantisipasi kesalahan soal dan kekacauan yang terjadi di mana-mana. Kebijakan fiskal dari Departemen Keuangan harus disesuaikan dengan UUD 1945 terlebih dahulu.
Keempat, Kekeliruan logika pemerintah bahwa semua daerah harus mengikuti sebuah standard nasional patut diluruskan. Baik sekolah maupun siswa memiliki kemampuan yang terbatas. Apalagi pembangunan infrastruktur pendidikan di daerah dapat dikatakan tidak merata dan penuh dengan keterbatasan. Bahkan untuk ukuran beberapa sekolah, soal yang diberikan dianggap sangat sulit karena pembelajaran rutin tidak mencakup hal tersebut. Maka, saran penulis, perlu ada desentralisasi standard menjadi standard daerah atau provinsi, sehingga pemerataan dapat lebih mudah dilakukan. Ini tentu saja memerlukan kerja yang sistematis dan perubahan dalam model ujian nasional.
Persoalan-persoalan akan menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Untuk itu, tetaplah bijaksana karena pendidikan memiliki efek domino yang besar dalam kehidupan bangsa kita. Mari menyelamatkan pendidikan Indonesia.
1 komentar:
Memang begitu rumit masalah pendidikan kita. Menjadi pertanyaan besar apakah DPR dan Pemerintah hasil pemilu 2009 dapat memecahkannya
Posting Komentar