Kamis, 21 Mei 2009

Presiden RI 2009 dan Palestina

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar*

Indonesia telah melewati rangkaian pertama dari pesta demokrasinya: Pemilihan calon legislatif. Hasil Pemilu menunjukkan, Sembilan partai politik berhasil menempatkan kader-kadernya di kursi DPR-RI dengan berbagai latar belakang ideologi politik dan platform kebijakan yang dianut.

Percaturan politik sekarang akan berlanjut ke babak selanjutnya, yaitu perebutan kursi eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden). Sampai saat ini, peta koalisi politik untuk pertarungan di Pemilihan Presiden 2009 masih terspektrum pada tiga figur: Jusuf Kalla, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Megawati Soekarnoputri.

Siapapun Presidennya nanti, persoalan cukup berat akan menghadang sang presiden baru: diplomasi dan politik luar negeri. Political capital Indonesia yang cukup baik di PBB maupun organisasi internasional lainnya akan menunggu kiprah dan sikap politik luar negeri Presiden RI yang baru.

Terlebih, faktor resolusi konflik di beberapa kawasan, seperti Israel-Palestina atau krisis politik di beberapa negara Asia Tenggara membutuhkan respons yang bijak dari sang pemimpin.

Posisi Penting Presiden RI

Patut dicermati bahwa RI adalah anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Artinya, RI memiliki tanggung jawab untuk memediasi konflik beberapa negara yang memiliki kedekatan secara emosional maupun politik. Persoalan Palestina, sebagai persoalan internasional yang sampai saat ini masih belum dapat terselesaikan oleh PBB, patut mendapat perhatian RI.

Lantas, apa hubungan antara Presiden RI yang baru dengan Palestina? Dalam konteks ini, Indonesia dan Palestina memiliki kedekatan khusus, yaitu sama-sama memiliki mayoritas penduduk yang beragama Islam. Faktor ini mendekatkan hubungan emosional masing-masing warga negara.

Apalagi, Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas Islam terbesar di dunia, sehingga keberadaannya di Organisasi Konferensi Islam (OKI) menjadi cukup signifikan. Dus, tanggung jawabnya terhadap persoalan Palestina pun menjadi sangat besar.

Sehingga, Presiden RI yang baru mesti memiliki respons yang baik terhadap persoalan Palestina. Indonesia tidak hanya dituntut untuk proaktif dalam proses resolusi konflik, tetapi juga harus proaktif dalam memperjuangkan persoalan ini di Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Masalah gencatan senjata, misalnya, harus menjadi perhatian serius bagi RI untuk mencegah terjadinya konflik terbuka lanjutan yang justru kontraproduktif dengan misi perdamaian yang coba dibawa oleh PBB sekarang.

Selain itu, Presiden RI sebagai kepala negara juga harus menjalankan aspirasi rakyat Indonesia dalam memainkan perannya dalam resolusi konflik Israel-Palestina. Sebagaimana dikemukakan oleh Berridge (2002), seorang mediator selayaknya memiliki legitimasi dua arah: ke luar dan ke dalam.

Langkah serta kebijakan Presiden dalam memediasi konflik, di satu sisi, harus mendapat respons positif –setidaknya dari DPR— agar positioning-nya tepat dan tidak kontroversial di mata publik. Di sisi lain, Indonesia juga mesti memainkan posisi yang tepat di dunia internasional, agar political capital yang ada tidak rusak oleh langkah yang salah dari pemutus kebijakannya. Di sinilah kecerdasan seorang kepala negara diperlukan.

Membedah Visi Luar Negeri Capres RI

Dari tiga nama yang sekarang telah membangun komunikasi politik dengan partai lain, kita dapat melihat visi luar negeri yang berbeda. Penulis dalam hal ini tidak mendukung salah satu calon presiden, namun mencoba untuk secara objektif memprediksi arah kebijakan jika salah satu di antara mereka terpilih menjadi Presiden.

Calon pertama, Susilo Bambang Yudhoyono, memiliki kelebihan dalam positioning Indonesia di kancah diplomasi. Visi luar negerinya cukup moderat, mendukung perdamaian, dan mendorong terjadinya demokratisasi sebagai salah satu modal sosial dalam resolusi konflik.

Namun, Sby memiliki kelemahan pada sikapnya yang sering mencari safe position dan tidak ingin terjebak pada risiko-risiko politik yang muncul akibat langkah-langkah RI. Fenomena abstain di hampir semua kasus ketika menjadi anggota tidak tetap DK PBB patut menjadi bahan evaluasi.

Calon kedua, Jusuf Kalla memiliki kelebihan dalam memegang prinsip dan identitasnya ketika diplomasi. Sikap ini tercermin dari statement dan sikapnya ketika menerima kunjungan atau berkunjung ke negara lain yang tegas dan menekankan soft power Indonesia, seperti dalam konflik Thailand Selatan atau kunjugannya ke Amerika Serikat.

Akan tetapi, JK pun memiliki kelemahan dalam menjalin komunikasi dengan negara-negara yang berbeda pandangan. Visi luar negeri JK sangat normatif dan akan berbenturan dengan kepentingan berbeda dari negara-negara lain, terutama AS atau UE yang memiliki pola sendiri. Dalam kasus Palestina, JK cukup sulit untuk memediasi konflik tersebut.

Calon ketiga, Megawati memiliki kelebihan dalam menjalin komunikasi dengan negara besar seperti AS atau UE. Megawati, selama menjabat dulu, cukup intensif menjalin hubungan dengan beberapa negara yang memainkan peran besar dalam politik Internasional, terutama AS yang pada waktu itu cukup gencar mengampanyekan war on terrorism. Hal ini dapat menjadi capital diplomasi untuk resolusi konflik Israel-Palestina di PBB.

Tetapi jelas bahwa hal tersebut juga berpotensi menjadi kelemahan ketika dikomunikasikan ke parlemen atau publik dalam negeri. Sikap Megawati yang sering merapat ke blok Amerika Serikat dapat mengorbankan idealisme dan kurang sesuai dengan prinsip politik luar negeri bebas-aktif yang dianut Indonesia. Sehingga, muncul kekhawatiran terjadinya political disconnect atau defisit demokrasi di dalam negeri dari langkah-langkah politik tersebut.

Palestina: Masalah Kita Bersama!

Apapun hasil Pemilihan Presiden nanti, persoalan Palestina tetap merupakan sebuah agenda politik yang harus dilaksanakan sesegera mungkin. Inisiatif dan sikap proakif dalam resolusi konflik Israel-Palestina sangat diharapkan untuk muncul dari sang pemimpin baru RI nanti.

Maka, tak ada salahnya jika penulis berharap, kepedulian Indonesia terhadap persoalan-persoalan internasional dapat lebih ditingkatkan di pemerintahan baru nanti. Mari tentukan sikap: masalah Palestina, masalah kita bersama!

*) Koordinator Divisi Pengembangan Kualitas Intelektual, Biro JMF School, Jamaah Muslim Fisipol UGM

Tidak ada komentar: