Senin, 11 Mei 2009

Kekerasan dan Nilai yang Hilang


Apakah kekerasan merupakan bagian dari budaya di masyarakat Indonesia? Pertanyaan tersebut mungkin akan mengemuka dalam benak para peneliti yang melakukan riset tentang Indonesia ketika ingin menganalisis kekerasan di masyarakat kita. Anggapan seperti ini wajar saja muncul, sebab kerusuhan sosial seringkali terjadi di Indonesia dengan berbagai faktor penyebab yang berbeda.


Penulis menjawab pertanyaan di atas dengan jawaban “tidak”. Anggapan bahwa kekerasan adalah budaya memiliki makna bahwa kekerasan merupakan identitas, karakter, serta nilai dalam masyarakat Indonesia sehingga kesan yang muncul tentang Indonesia adalah kekerasan. Padahal, masyarakat Indonesia memiliki nilai bersama yang mengutamakan perdamaian. Ketika kekerasan merebak di mana-mana, persoalan bisa saja terletak pada beberapa hal berikut: Pemahaman keliru mengenai perilaku masyarakat, perilaku individu yang menyimpang, konflik yang tak terselesaikan, atau ketimpangan struktur sosial yang merupakan ekses dari krisis legitimasi politik.


Masalah Sosial


Memang, fenomena kekerasan di masyarakat selama ini masih belum dapat sepenuhnya diatasi oleh semua pihak. Model-model konflik etnis di Indonesia masih menjadi sebuah ancaman bagi ketahanan nasional. Belum lagi jika kita berbicara mengenai konflik pasca-Pilkada, terorisme, sampai demonstrasi anarkis. Dengan merebaknya berbagai isu kekerasan tersebut, banyak pihak yang salah memahami bahwa kekerasan adalah bagian dari budaya di masyarakat Indonesia.


Seperti dikatakan oleh J.S. Furnival, karakter masyarakat Indonesia yang heterogen dan plural sangat rawan konflik. Akan tetapi, perlu diingat bahwa kekerasan dalam masyarakat Indonesia bukan penyebab konflik, melainkan implikasi dari konflik. Artinya, kekerasan justru memiliki faktor-faktor penyebab yang lain dan bukan merupakan karakter masyarakat. Pada titik ini, kekerasan tidak kita pahami sebagai sebuah budaya, melainkan sebagai sebuah masalah sosial.


Jika mengacu pada pendapat Furnival di atas, kekerasan merupakan implikasi dari konflik yang tak terkelola, sehingga penanggulangan kekerasan di masyarakat sebenarnya dapat dilakukan dengan proses resolusi konflik. Kecuali jika kekerasan tersebut merupakan bagian dari perilaku menyimpang yang berakar dari sosialisasi tidak sempurna kepada individu. Perilaku menyimpang ini kemudian mengimplikasikan adanya penanganan yang lebih bersifat personal pada pelaku kekerasan.


Dengan demikian, kita dapat menganggap bahwa kekerasan sosial merupakan bagian dari masalah sosial. Menurut J. P. Gillin, masalah sosial merupakan ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan dalam masyarakat yang membahayakan kehidupan kelompok sosial, atau menghambat terpenuhinya keinginan pokok warga dari kelompok tersebut sehingga menyebabkan kepincangan ikatan sosial.


Maka, kekerasan sosial sebagai sebuah masalah sosial harus diantisipasi atau diselesaikan dengan cara menyelaraskan unsur-unsur kebudayaan –disebut oleh Koentjaraningrat sebagai subsistem kebudayaan—dengan konsensus, norma dan nilai-nilai dasar di masyarakat tersebut. Dalam konteks kekerasan kolektif, konsensus dan komitmen baru perlu dibangun untuk mencegah kekerasan baru yang merusak tatanan dan subsistem kebudayaan lama.


Terkadang, kekerasan terjadi karena norma tidak diindahkan lagi. Kasus kerusuhan Sampit beberapa tahun lalu dipicu oleh sikap kaum pendatang yang dianggap tidak sesuai dengan norma lokal hingga menyebabkan terjadinya kekerasan kolektif. Kasus kerusuhan 23 Mei 1997 di Banjarmasin juga diakibatkan oleh tidak taatnya peserta kampanye pada aturan agama yang melekat sebagai norma sosial di masyarakat Banjar.


Penanganan yang Tepat


Oleh sebab itu, kekerasan harus ditanggulangi dengan institusionalisasi norma dan nilai ke dalam dimensi yang lebih luas, yaitu common value atau nilai bersama yang dipegang oleh masyarakat. Bagi masyarakat pedesaan yang menurut Ferdinand Tonnies lebih berorientasi pada gemeinschaft (paguyuban), institusionalisasi ini dapat dilakukan dengan penjagaan atas kearifan lokal yang ada. Namun, bagi masyarakat perkotaan yang lebih heterogen dan berkultur gesselschaft, nilai dan norma tersebut dapat diformalkan ke dalam aturan-aturan yang lebih baku, atau norma hukum.


Menurut penulis, setidaknya ada tiga dimensi penanganan yang perlu diperhatikan.


Pertama, jika kekerasan dihasilkan dari perilaku menyimpang, langkah penanggulangannya adalah resosialisasi norma-norma di masyarakat. Instrumennya bisa berupa penjara, pengucilan dari masyarakat, atau hal lain yang bersifat personal. Kekerasan dalam level ini merupakan kekerasan individu atau kelompok kecil masyarakat, bukan kekerasan massif.


Kedua, jika kekerasan dihasilkan dari konflik, penyelesaiannya dapat dilakukan dengan model-model resolusi konflik. Mekanismenya bisa bermacam-macam, baik dengan jalan akomodasi, konsiliasi, mediasi, atau turunnya pihak ketiga (arbitrase). Resolusi konflik harus memperhatikan akar masalah dari konflik tersebut dan kondisi sosiokultural masyarakat.


Ketiga, jika kekerasan dihasilkan dari struktur yang timpang, penyelesaiannya perlu menggunakan langkah-langkah politis. Kekerasan tidak hanya diselesaikan dengan dua pendekatan pertama, tetapi juga perlu langkah aksi dari pemerintah untuk memperbaiki kehidupan sosial yang ada. Pada level ini, persoalan legitimasi politik dan kepercayaan terhadap pemimpin formal akan sangat berpengaruh.


Maka, pada dasarnya kekerasan bukanlah sebuah hal yang pakem dalam masyarakat Indonesia. Kekerasan merupakan masalah sosial yang harus dijauhkan dari masyarakat yang penuh nilai. Untuk itu, kesalahpahaman mengenai karakter bangsa ini juga harus diluruskan. Mari memutus rantai kekerasan dengan pendekatan nirkekerasan.

Tidak ada komentar: