catatan: Artikel ini dimuat di Harian Nasional Sindo, 17 Juni 2009.
Oleh: Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)
KABAR dari Malaysia menunjukkan kepada kita bahwa Ambalat,garis batas paling vulnerable di Indonesia, tengah menjadi bahan provokasi dan sengketa diplomatik.
Kita perlu lebih serius ketika menyikapi masalah ini untuk menghindarkan opsi perang yang tak menguntungkan. Patut dicatat,Ambalat sangat bertautan dengan kepentingan nasional kedua negara,yaitu minyak.Di Ambalat bercokol dua perusahaan multinasional. Jelas, dengan adanya dua perusahaan ini, opsi perang tidak akan menguntungkan siapa pun.
Karena,jika Indonesia merespons provokasi dengan operasi militer, pihak yang tertawa bukan siapa-siapa, tetapi dua perusahaan tersebut. Lantas,apa yang harus dilakukan RI? Jelas,diplomasi menjadi sebuah opsi strategis jika digunakan secara tepat dan efektif. Diplomasi tidak hanya dilaksanakan di meja perundingan, tetapi juga dilakukan dengan model-model lain.
GR Berridge (2002) berpendapat bahwa dalam tahap diplomasi di waktu krisis, ketika terjadi konflik antara dua negara, telekomunikasi menjadi salah satu variabel yang penting untuk digunakan untuk meredam konflik. Dalam konteks Ambalat, komunikasi menjadi hal penting. Untuk itu, posisi seorang Presiden SBY dan PM Najib Razak menjadi sangat penting untuk menyelesaikan persoalan.
Presiden SBY atau Menteri Luar Negeri seharusnya mengambil posisi penting dengan menelepon otoritas diplomatik Malaysia untuk meminta klarifikasi berkaitan dengan provokasi di Ambalat. Penulis cukup mengapresiasi sikap Presiden yang tidak langsung terpancing emosinya dengan provokasi ini.
Akan tetapi,penulis juga cukup menyayangkan kelambanan respons dari pemerintah hingga masalah ini ter-blow-up media massa dan sentimen negatif rakyat di akar rumput kembali mencuat. Selain masalah telekomunikasi, langkah strategis yang perlu dilakukan dalam diplomasi RI adalah mengikutsertakan stakeholder diplomasi atau yang dikenal sebagai multi-track diplomacy (Diamond & MacDonald, 1996).
Diplomasi tidak hanya melibatkan negara sebagai aktor tunggal,tetapi juga dapat melibatkan elemen masyarakat yang lain. Diamond&MacDonald menyebut ada sembilan track (pihak) yang bisa dilibatkan dalam diplomasi. Jika kita kaitkan dengan konteks Ambalat,pemerintah dapat melibatkan elemen ulama sebagai penjembatan kepentingan kedua negara, mahasiswa yang studi di Malaysia, media massa, atau jaringan bisnis dan investasi yang cukup intensif berhubungan dengan pebisnis di Malaysia.
Mereka harus difasilitasi dengan kendaraan diplomasi publik yang sekarang tengah menjadi proyek Deplu. Di sinilah pentingnya diplomasi publik sebagai salah satu instrumen diplomasi RI.Ketika pemerintah ingin melakukan pendekatan nonmiliter dalam penyelesaian konflik, diplomasi publik dapat menjadi salah satu media.
Kendalanya, fungsi koordinatif dari Deplu sebagai pemain dalam diplomasi publik ini belum berjalan. Ini yang patut diperbaiki oleh pemerintah ke depan. Sikap Malaysia yang mengirim kapal perang ke Blok Ambalat memang tak dapat dibenarkan. Akan tetapi, Indonesia pun tidak boleh turut terpancing dengan provokasi tersebut.
Oleh karena itu, diplomasi publik dan multi-track diplomacy akan menjadi pintu pertahanan utama dalam penyelesaian konflik.Persoalannya, sudah seberapa efektifkah diplomasi Indonesia dilakukan? Sebuah pekerjaan besar menanti para calon presiden.(*)
Oleh: Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)
KABAR dari Malaysia menunjukkan kepada kita bahwa Ambalat,garis batas paling vulnerable di Indonesia, tengah menjadi bahan provokasi dan sengketa diplomatik.
Kita perlu lebih serius ketika menyikapi masalah ini untuk menghindarkan opsi perang yang tak menguntungkan. Patut dicatat,Ambalat sangat bertautan dengan kepentingan nasional kedua negara,yaitu minyak.Di Ambalat bercokol dua perusahaan multinasional. Jelas, dengan adanya dua perusahaan ini, opsi perang tidak akan menguntungkan siapa pun.
Karena,jika Indonesia merespons provokasi dengan operasi militer, pihak yang tertawa bukan siapa-siapa, tetapi dua perusahaan tersebut. Lantas,apa yang harus dilakukan RI? Jelas,diplomasi menjadi sebuah opsi strategis jika digunakan secara tepat dan efektif. Diplomasi tidak hanya dilaksanakan di meja perundingan, tetapi juga dilakukan dengan model-model lain.
GR Berridge (2002) berpendapat bahwa dalam tahap diplomasi di waktu krisis, ketika terjadi konflik antara dua negara, telekomunikasi menjadi salah satu variabel yang penting untuk digunakan untuk meredam konflik. Dalam konteks Ambalat, komunikasi menjadi hal penting. Untuk itu, posisi seorang Presiden SBY dan PM Najib Razak menjadi sangat penting untuk menyelesaikan persoalan.
Presiden SBY atau Menteri Luar Negeri seharusnya mengambil posisi penting dengan menelepon otoritas diplomatik Malaysia untuk meminta klarifikasi berkaitan dengan provokasi di Ambalat. Penulis cukup mengapresiasi sikap Presiden yang tidak langsung terpancing emosinya dengan provokasi ini.
Akan tetapi,penulis juga cukup menyayangkan kelambanan respons dari pemerintah hingga masalah ini ter-blow-up media massa dan sentimen negatif rakyat di akar rumput kembali mencuat. Selain masalah telekomunikasi, langkah strategis yang perlu dilakukan dalam diplomasi RI adalah mengikutsertakan stakeholder diplomasi atau yang dikenal sebagai multi-track diplomacy (Diamond & MacDonald, 1996).
Diplomasi tidak hanya melibatkan negara sebagai aktor tunggal,tetapi juga dapat melibatkan elemen masyarakat yang lain. Diamond&MacDonald menyebut ada sembilan track (pihak) yang bisa dilibatkan dalam diplomasi. Jika kita kaitkan dengan konteks Ambalat,pemerintah dapat melibatkan elemen ulama sebagai penjembatan kepentingan kedua negara, mahasiswa yang studi di Malaysia, media massa, atau jaringan bisnis dan investasi yang cukup intensif berhubungan dengan pebisnis di Malaysia.
Mereka harus difasilitasi dengan kendaraan diplomasi publik yang sekarang tengah menjadi proyek Deplu. Di sinilah pentingnya diplomasi publik sebagai salah satu instrumen diplomasi RI.Ketika pemerintah ingin melakukan pendekatan nonmiliter dalam penyelesaian konflik, diplomasi publik dapat menjadi salah satu media.
Kendalanya, fungsi koordinatif dari Deplu sebagai pemain dalam diplomasi publik ini belum berjalan. Ini yang patut diperbaiki oleh pemerintah ke depan. Sikap Malaysia yang mengirim kapal perang ke Blok Ambalat memang tak dapat dibenarkan. Akan tetapi, Indonesia pun tidak boleh turut terpancing dengan provokasi tersebut.
Oleh karena itu, diplomasi publik dan multi-track diplomacy akan menjadi pintu pertahanan utama dalam penyelesaian konflik.Persoalannya, sudah seberapa efektifkah diplomasi Indonesia dilakukan? Sebuah pekerjaan besar menanti para calon presiden.(*)
*) Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/247694/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar