Kamis, 23 Juli 2009

Bom Kuningan dan "Politik Ketakutan"


Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar*)

"In the political sector, existential threats are traditionally defined in term of constituting principle -souvereignty, but sometimes also ideology- of the state"

(Barry Buzan, Ole Waever, & Jaap de Wilde, 1998)



Indonesia kembali berduka. Jumat (11/7) yang lalu, bom high explosive meledakkan dua hotel bertaraf internasional, Ritz Carlton dan JW Marriott, Jakarta. Peledakan tersebut terjadi hanya tiga hari sebelum Manchester United bertanding di Jakarta sebagai rangkaian tur Asia. Sedikitnya, 11 orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka akibat tragedi tersebut.

Dan dunia pun terkejut. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, Indonesia boleh dikatakan aman dari aksi teror bom. Apalagi, Indonesia baru akan melaksanakan dua event akbar, yaitu Pertandingan MU vs Indonesia All-Stars dan Pemilihan Presiden RI. Tentu saja, banyak yang tidak menyangka pengeboman akan terjadi.

Beragam spekulasi pun muncul. Sinyal keterkaitan jaringan teroris internasional menguat. Ada yang menyangka bahwa pengeboman memiliki muatan bisnis di baliknya. Ada pula yang mencoba mengaitkan aksi pengeboman dengan konstelasi politik pasca-Pemilihan Presiden 2009.

Yang jelas, pemerintah dan otoritas keamanan tak memprediksi bahwa akan terjadi pengeboman. Eksekusi mati Trio bom Bali serta tertembaknya Dr. Azahari rupanya membuat keamanan sedikit mengendor, sehingga antisipasi tidak lagi dilakukan secara ketat. Kewaspadaan rupanya menjadi begitu kendor pasca-eksekusi.

Kasus pengeboman di hotel JW Marriott dan Ritz Carlton ini pun menyisakan sebuah pertanyaan: akankah pengeboman ini berimplikasi pada berubahnya konstelasi politik global, serta bergesernya orientasi pengaturan keamanan internasional?

Masalah Keamanan

Jika kasus terror bom ini kita pandang secara lebih luas, jelas bahwa teror bom di Jakarta ini merupakan satu dari rangkaian aksi teror yang melanda dunia dekade ini. Sebelumnya, peledakan serupa terjadi di Mumbai, India yang juga menghentakkan publik dunia.

Fakta ini menunjukkan, jaringan yang dikenal oleh publik dunia sebagai “terorisme” telah kembali menampilkan wajahnya, meskipun tidak secara baru. Hal yang patut kita soroti, dalam konteks Indonesia, adalah bahwa pengeboman terjadi setelah pesta demokrasi dilangsungkan, sehingga membuat spekulasi menyebar ke mana-mana.

Kita pun patut melihat masalah ini ke dalam dua sudut pandang. Pertama, masalah pengeboman di Kuningan ini berpotensi membangkitkan kembali kesalahpahaman antara pemerintah dan sebagian kelompok agama yang merasa citranya tercoreng karena aksi pengeboman yang mengatasnamakan agama.

Kedua, bom Kuningan ini juga cukup rawan diikuti oleh sekuritisasi dalam kebijakan keamanan pemerintah ke depan. Kewaspadaan pasti akan ditingkatkan oleh pemegang otoritas keamanan. Di berbagai aspek, diprediksi akan pembatasan ruang gerak bagi sebagian kalangan dengan alasan “national security”.

Kewaspadaan ini adalah sesuatu yang sangat wajar. Hanya saja, jangan sampai kewaspadaan ini menjadi ketakutan berlebihan yang justru kontraproduktif dengan alam demokrasi dan kebebasan di Indonesia.

Sekuritisasi dan "Politik Ketakutan"

Dalam studi keamanan internasional, kita mengenal istilah sekuritisasi atau masuknya aspek-aspek keamanan dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan. Istilah ini sangat terkait dengan konsep konstruktivisme yang dikembangkan oleh mazhab Kopenhagen (Buzan, 1998).

Persoalan yang kadang kita lupakan dari tragedi ini adalah munculnya “politik ketakutan” pasca-pengeboman. Politik ketakutan tergambar dari munculnya asumsi keliru mengenai pelaku pengeboman, yang kemudian berimplikasi pada banyaknya penangkapan atas tokoh yang diduga terlibat.

Memang, dalam perspektif realis klasik, ketakutan adalah salah satu bentuk dari formasi kekuasaan. Thucydes, misalnya, mengambil contoh perang Peloponnesian sebagai bentuk ketakutan yang menjadi alasan dan penyebab asli dari peperangan.

Sedangkan Thomas Hobbes (1651) mengatakan bahwa jika tindakan dilakukan atas pertimbangan hawa nafsu dan kesimpulan yang keliru (fears), tindakan tersebut tidak akan lagi berekspektasi bahwa masih ada pertahanan dan perlindungan dalam melawan musuh. Inilah refleksi dari ketakutan: manusia tak lagi berpikir rasional.

Dalam menyikapi pengeboman, pemegang otoritas keamanan seharusnya tak boleh dihantui oleh rasa ketakutan ini. Karena, ketika pembuat keputusan mulai dihantui oleh ketakutan tak beralasan, kebijakan pun akan menjadi tidak rasional. Hasilnya, terjadi sekuritisasi berlebihan yang kemudian justru sikap skeptis dan penguatan rejim otoritarian.

Untuk menghindari ketakutan ini, ada sebuah paradigma yang perlu dibentuk. Pelaku pengeboman murni aksi pribadi, tidak terkait dengan kelompok atau agama manapun. Sehingga, aksi pengeboman seharusnya tidak membuat pemerintah mencurigai agama tertentu yang “dicatut” oleh pelaku peledakan.

Politik ketakutan ini harus diantisipasi dengan menghilangkan spekulasi dan bersikap objektif terhadap bukti-bukti yang ada. Jangan sampai, konteks keamanan bergeser ke arah keamanan konvensional yang melibatkan perangkat-perangkat militer.

Untuk itu, tak perlu berlebihan dalam bersikap waspada. “Perang terhadap terorisme” harus disertai oleh pikiran yang rasional dan bukti-bukti yang matang. Hindari spekulasi keliru. Bukankah sebagian prasangka hanya menyesatkan kita?

*) Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM

Tidak ada komentar: