Sabtu, 04 Juli 2009

Perbatasan Laut RI: Masalah atau Peluang?

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)


Sebagai sebuah negara-bangsa, Indonesia merupakan salah satu negara yang cukup unik. Pada umumnya, sebuah negara-bangsa dibangun oleh satu satuan bangsa, dengan batas-batas geografis yang mengacu pada daratan sebagai border. Namun, Indonesia justru dibangun di atas ratusan etnis dengan berbagai varian budayanya, dan dibentuk oleh formasi negara kepulauan (archipelago) dengan lautan sebagai batasnya.


Menilik Teori Mahan


Posisi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan serta terletak di antara dua benua ini telah memberi sebuah keuntungan sekaligus kerawanan tersendiri bagi RI. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi laut yang cukup luas dengan berbagai macam biota laut di dalamnya. Di samping itu, kandungan sumber daya mineral yang potensial bagi perekonomian juga terdapat di lautan nusantara.


Posisi geografis tersebut memiliki banyak implikasi. Mengacu pada teori geopolitik klasik Alfred Thayer Mahan, laut yang luas merupakan sebuah keuntungan geopolitik yang sangat besar bagi suatu negara. Posisi geografis Indonesia yang dikelilingi oleh lautan akan memberi banyak keuntungan secara politis dan ekonomis.


Persoalannya, benarkah keuntungan geopolitik tersebut dapat berlaku di Indonesia? Setidaknya, sebuah negara yang memiliki keuntungan lautan juga harus memiliki pelabuhan yang representatif, armada pertahanan laut yang kuat, optimasi industri kelautan, serta karakter bangsa yang juga berorientasi maritim.


Indonesia memiliki wilayah perbatasan dengan sepuluh negara tetangga. Dari kesepuluh perbatasan tersebut, beberapa titik berpotensi memberi keuntungan jika dikelola secara optimal. Beberapa perbatasan tersebut antara lain Selat Malaka atau Zona Ambalat yang kini menjadi perdebatan antara Indonesia-Malaysia.


Konflik Ambalat


Kita perlu sedikit serius ketika menyikapi persoalan Ambalat. Wilayah laut yang sampai sekarang masih dipersengketakan oleh RI-Malaysia ini memang memiliki keterkaitan dengan sumber daya alam yang terdapat di dalamnya, yaitu minyak. Eksplorasi awal beberapa perusahaan asing menunjukkan, wilayah ini memiliki kandungan minyak yang cukup besar. Akibatnya, kedua negara mengklaim bahwa wilayah ini merupakan bagian dari wilayah mereka.


Persoalan pada dasarnya terdapat pada peta yang dikeluarkan oleh masing-masing negara. Indonesia mengklaim bahwa Ambalat masuk ke wilayah Indonesia berdasarkan peta yang dibuat oleh PBB (UNCLOS). Namun, Malaysia pun juga mengklaim keabsahan wilayah ini berdasarkan peta yang dibuat pada abad ke-19.


Sebenarnya, kesalahpahaman dapat dihindari jika tidak ada provokasi berlebihan dari salah satu negara. Keberadaan kapal perang Malaysia di Ambalat, jelas merupakan sebuah provokasi. Tentu saja Malaysia paham bahwa Ambalat adalah wilayah sengketa. Dengan mengirimkan kapal perangnya, penulis menduga bahwa Malaysia ingin menggerakkan emosi bangsa Indonesia, sehingga masalah ini tersorot ICJ di Den Haag.


Patut dicatat, Ambalat sangat bertautan dengan kepentingan nasional kedua negara, yaitu minyak. Di Ambalat, bercokol dua perusahaan multinasional. Jelas, dengan adanya dua perusahaan ini, opsi perang tidak akan menguntungkan siapa pun. Sebab, jika Indonesia merespons provokasi dengan operasi militer, pihak yang tertawa bukan siapa-siapa, tetapi dua perusahaan tersebut.


Masalah Selat Malaka


Kita dapat melihat potensi Selat Malaka, misalnya, yang menjadi salah satu transit kapal-kapal asing. Posisi tersebut memberi keuntungan bagi Indonesia dalam hal penerimaan devisa dari kapal-kapal asing yang melintas perairan nusantara.


Selat Malaka juga memberi peluang bagi Indonesia untuk menegaskan eksistensi pertahanannya. Di wilayah ini, kekuatan pertahanan tiga Negara serumpun dipertaruhkan. Baik Indonesia, Singapura, atau Malaysia berkepentingan untuk menjadikan Selat Malaka sebagai gerbang lalu lintas laut mereka. Ini peluang bagi RI.


Namun, potensi ini belum sepenuhnya dioptimalkan oleh RI. Fenomena pendangkalan selat Malaka justru terjadi beberapa tahun terakhir, sehingga menyebabkan berpindahnya alur lalu lintas maritim. Indonesia juga tidak membangun sinergisasi dengan Singapura atau Malaysia, sehingga tak jarang terjadi kesalahpahaman di antara ketiga negara tersebut.


Selain itu, pertahanan maritim Indonesia di daerah ini juga cukup lemah. Laporan International Maritime Bureau (IMB) menyebutkan bahwa wilayah Selat Malaka merupakan salah satu wilayah laut yang rawan kejahatan. Fakta ini tidak berlebihan, karena baik Indonesia, Singapura, maupun Malaysia masih belum dapat menghentikan sepenuhnya aktivitas perompak di sekitar Malaka.


Sebenarnya, potensi dapat dimaksimalkan dengan menerapkan kebijakan berbasis maritim. Persoalan pendangkalan Selat Malaka dapat diselesaikan dengan kerjasama strategis Indonesia-Malaysia dan pengalihan jalur yang tepat. Persoalan ini kemudian menjadi tugas Malaysia dan Indonesia untuk membawanya ke level bilateral.


Masalah atau Peluang?


Dua kasus di atas menjadi titik berat dalam upaya menyikapi perbatasan RI. Masalah pertama, yaitu Ambalat, perlu direspons dengan upaya diplomasi dan penegasan kembali batas-batas wilayah RI, disertai dengan pengelolaan wilayah perbatasan secara tepat oleh negara. Masalah kedua, yaitu Malaka, juga memerlukan pengelolaan.


Sehingga jelas, wilayah perbatasan seharusnya tidak menjadi masalah bagi RI, tetapi justru menjadi peluang untuk mengelolanya secara lebih baik. Mari mengelola kembali perbatasan laut Indonesia. Bukankah sejarah kejayaan atas dunia dibangun dari penguasaan atas lautan (Alfred T. Mahan)?

*) Peneliti di Tim Kajian Asia Timur, FISIPOL UGM

Tidak ada komentar: