Senin, 24 Agustus 2009

Merekat Ukhuwah dalam Perbedaan (Rekam Jejak Idul Fitri 1428 H)

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)


Memperbincangkan perbedaan hari raya, membuat penulis teringat pada kasus Idul Fitri 1428 H. Jika kita melakukan rekam jejak dan mengingat memori yang telah lalu, Idul Fitri di tahun tersebut diwarnai oleh perbedaan penetapan 1 Syawal. Perbedaan klasik, memang, yang terjadi karena perbedaan metode penetapan awal dan akhir Ramadhan. Akan tetapi, tahun 1428 H menjadi catatan unik karena Idul Fitri “diselenggarakan” selama empat hari berturut-turut.


Perbedaan Metode?


Tercatat ada empat hari yang diklaim oleh pihak yang berbeda Idul Fitri tahun terseut. Pertama, hari Kamis tanggal 11 Oktober 2007. Pada hari Kamis ini, Jamaah An-Nadzir di Sulawesi Selatan dan Tarekat Naqsabandiyah merayakan Idul Fitri seperti dilansir oleh MetroTV. Kedua, tanggal 12 Oktober 2007. Pada hari Jum’at ini, sebagian umat Islam di Indonesia, Filipina, Palestina, dan beberapa penjuru dunia lain menyelenggarakan shalat ‘Ied dan merayakan Idul Fitri.


Ketiga, tanggal 13 Oktober 2007. Pada tanggal ini, giliran Pemerintah RI dan beberapa negara seperti Malaysia dan Brunei Darussalam yang merayakan Idul Fitri. Keempat, tanggal 14 Oktober 2007 yang dianggap oleh Jamaah Naqsabandiyah Khalidiyyah di Peterongan, Jombang sebagai awal bulan Syawal.


Memang, ada lima kelompok yang memiliki metode tertentu dalam penetapan awal Ramadhan. Kelompok tersebut memiliki basis massa yang relatif besar. Berikut lima kelompok tersebut. Pertama, Nahdhatul Ulama (NU) yang berpatokan pada metode rukyatul hilal. Dengan metode ini, berarti harus ada proses melihat bulan secara langsung (ru’yat) untuk menentukan awal dan akhir Ramadhan.


Kedua, Muhammadiyah yang berpegangan pada metode hisab hakiki. PP Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid berpendapat bahwa jika bulan telah berada di atas ufuk (berada di atas 0o jika dihitung secara astronomis), umat Islam telah dapat mengakhiri Ramadhan. Jika tidak (berada di bawah ufuk), puasa tetap dilanjutkan.


Ketiga, Persatuan Islam (PERSIS) yang menggunakan metode wujudul hilal fi wilayatul hukmi. Pada dasarnya, metode ini tidak jauh berbeda dengan metode PP Muhammadiyah. Akan tetapi, metode ini mengisyaratkan bahwa bulan baru akan ditentukan jika hilal telah wujud di keseluruhan wilayah. Pendapat ini berbeda dengan PP Muhammadiyah yang berpendapat bahwa bulan baru telah masuk ketika ada wilayah yang telah melihat hilal.


Keempat, Pemerintah (Departemen Agama) yang menggunakan metode imkanur ru’yah sebagai patokan awal Ramadhan dan Idul Fitri. Metode ini pada dasarnya bertujuan untuk menjembatani perbedaan antara NU yang menggunakan rukyat dan Muhammadiyah yang menggunakan hisab. Dengan metode ini, hisab yang disyaratkan untuk dapat dijadikan patokan sebagai awal bulan baru adalah 20. Hasil hisab pemerintah ini kemudian dikaji melalui sidang itsbat yang tiap tahun diadakan.


Kelima, metode-metode lain yang digunakan oleh beberapa kelompok kecil seperti Jamaah An-Nadzir atau Tarekat Naqsabandiyah. Jamaah An-Nadzir diberitakan mengambil fenomena pasang-surut air laut sebagai patokan Idul Fitri. Kelompok lain memiliki perhitungan yang tersendiri, berbeda dengan mayoritas umat Islam.


Perbedaan Penafsiran?


Fenomena perbedaan Idul Fitri ini memang sangat sering terjadi di Indonesia. Perbedaan yang terjadi sebenarnya adalah pada metode penetapan awal bulan. Perbedaan ini terjadi dalam cara menafsirkan dalil penentuan awal dan akhir Ramadhan, yaitu sebuah hadits yang berbunyi, “Berpuasalah kamu dengan melihat bulan (li ru’yatihi), dan berbukalah kamu dengan melihat bulan (li ru’yatihi). Jika pandangan kamu tertutup awan, maka sempurnakanlah bulan Ramadhan menjadi 30 hari”.


Hal yang diperdebatkan dalam hadits tersebut adalah frase li ru’yatihi, atau melihat bulan. Ada yang berpendapat bahwa melihat bulan di sini harus diartikan secara letterlijk, atau melihat bulan dengan mata telanjang. Pendapat ini dipegang oleh pemerintah dan Nahdhatul Ulama sekarang.


Ada pula yang berpendapat bahwa melihat bulan di sini dapat dilakukan dengan ilmu pengetahuan, tidak harus dengan telanjang. Hadits di atas harus dihubungkan dengan asbabul wurud dari hadits tersebut, yaitu hadits “Kita adalah kaum yang ummi yang tidak dapat melakukan hisab”. Hadits li ru’yatihi di atas juga bukan menerangkan awal dan akhir Ramadhan, tetapi lebih pada penanda bahwa jika telah masuk bulan Ramadhan, umat Islam harus segera menunaikan Ramadhan.


Dengan kata lain, perlu adanya pendekatan sains yang lebih akurat untuk melakukan penentuan awal dan akhir Ramadhan. Pendekatan astronomis atau hisab dianggap cukup relevan dengan kondisi zaman. Kebolehan pendekatan ini juga dikarenakan penentuan awal dan akhir Ramadhan bukan merupakan persoalan ta’abbudi yang dituntut harus sesuai nash secara utuh, melainkan masuk pada persoalan furu’ yang memungkinkan ijtihad di dalamnya.


Pada hisab berdasarkan imkanur rukyah, masuknya awal bulan baru ditetapkan jika pada saat matahari terbenam, hilal masih berada di atas ufuk dan telah memenuhi kriteria bisa diamati. Departemen Agama mengambil kriteria tinggi minimum hilal bisa diamati adalah 2 derajat. Kriteria Departemen Agama ini sebenarnya masih banyak dipertanyakan oleh sebagian ahli falaq dan sangat debatable.


Sebagai perbandingan, dalam Persidangan Hilal Negara-negara Islam Sedunia di Istanbul, Turki (1978), disepakati kriteria hilal bisa diamati jika : (1) Tinggi hilal tidak kurang dari 5 derajat dari ufuk barat, (2) Jarak sudut hilal ke matahari tidak kurang dari 8 derajat, dan (3) Umur hilal tidak kurang dari 8 jam setelah ijtimak terjadi. Artinya, dengan kriteria ini, konsep Departemen Agama masih belum lengkap. Ini juga patut menjadi catatan.


Pertemuan Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura juga mengambil kesimpulan berbeda. Di negeri-negeri yang mayoritas penduduknya bermazhab Syafi’iyah ini, batas hilal justru berada dalam posisi 4 derajat (tinggi hilal). Sehingga, juga muncul disparitas dengan metode imkanur ru’yah yang ditetapkan, mesti mengambil kriteria yang mana. Persoalan seperti inilah yang kerap kali kita jumpai ketika hilal berposisi “kritis”, yang memicu perbedaan penetapan hari.


Pada awal Ramadhan 1428 H (mungkin juga terjadi tahun ini), semua hisab menunjukkan bahwa hilal di bawah ufuk, sehingga semua pihak sepakat bahwa hilal tidak mungkin dirukyat, karena memang di bawah ufuk. Semua sepakat untuk istikmal (menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari).


Akan tetapi di akhir bulan Ramadhan, posisi hilal pada posisi kritis yakni berada di bawah 2 derajat menurut perhitungan hisab yang akurat. Ada hilal yang berada di bawah 10, ada yang setengah dan di Indonesia Timur bahkan berada di bawah ufuk.. Karena itu timbul perbedaan dalam penentuan Idul Fitri.


Menyikapi Perbedaan


Poin penting yang harus digarisbawahi di sini adalah membangun ukhuwah dalam perbedaan. Adanya perbedaan pendapat dalam hal-hal metodologis semacam ini merupakan bentuk ujian yang menuntut kita agar berpengetahuan luas dan berlapang dada dalam menerima perbedaan tersebut. Apalagi jika perbedaan tersebut masih berada dalam koridor furu'iyyah. Perbedaan dalam bidang furu' merupakan alat untuk menjalin persaudaraan umat Islam, selama tidak dikondisikan untuk memecah-belah umat.


Lantas, bagaimana upaya meminimalisasi konflik karena perbedaan ini? Hemat penulis, diperlukan sebuah pemahaman untuk tasamuh (bertoleransi) antara kelompok-kelompok yang berbeda pendapat. Toleransi ini dapat dibuktikan dengan pemberian izin fasilitas shalat ied secara lapang dada atau tidak membuat pernyataan yang bernada provokatif dengan meminta kelompok yang berbeda untuk shalat ied bersama-sama.


Dengan kata lain, ukhuwah tidak selalu dinyatakan dalam kesamaan pendapat, tapi juga kelapangan dada dalam menerima perbedaan. Lantas, bagaimana tahun ini? Semoga saja, kita mampu bersikap arif jika perbedaan tersebut kembali terjadi.


Wallahu a’lam bish shawwab.


*) Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM

1 komentar:

haji 2012 dan umrah 2012 mengatakan...

Biro Travel Haji Plus dan Umrah terbesar di Indonesia menurut data maskapai penerbangan Garuda Indonesia, dan merupakan penyelenggara Haji Plus dan Umrah resmi dan legal yang didukung oleh tim yang sudah berpengalaman dalam memberikan pelayanan bagi jamaah haji plus maupun jamaah umrah. Sejak tahun 1990 telah memberangkatkan lebih dari 50,000 jamaah dari seluruh wilayah Indonesia, bergabunglah dan dapatkan solusi cerdas bagi yang berkeinginan menunaikan ibadah haji dan ibadah umrah dengan biaya murah dan bahkan gratis