Senin, 24 Agustus 2009

Syirik-Syirik Politik

(Dari Tauhid Sosial Menuju Kesadaran Politik)


Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)

Ketika berbicara mengenai tauhid sebagai unsur paling sentral dalam membangun fondasi keberagamaan, kita akan berbicara pula mengenai lawan dari istilah ini. Jika tauhid merupakan unsur paling sentral, maka lawan atau antitesis dari kata tauhid ini jelas adalah “kesesatan” paling sentral dalam Islam. Perilaku yang akan meruntuhkan keislaman seseorang. Perilaku yang bahkan disebut oleh Al-Qur’an sebagai dosa yang takkan diampuni oleh Allah selama pelakunya belum bertaubat.

Syirik Aqidah

Antitesis dari Tauhid –unsur yang paling esensial dalam Aqidah Islam—adalah Syirik, menyekutukan Allah. Perbuatan syirik merupakan perbuatan dosa yang tak diampuni oleh Allah (Q.S. An-Nisa: 48). Di ayat lain, Allah menyebut bahwa perbuatan syirik merupakan kezaliman yang besar (Q. S. Luqman: 13). Sehingga, tidak salah jika kita menempatkan syirik sebagai ‘penyakit mematikan’ no. 1 dalam Aqidah Islam.

Syirik dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu dari segi rububiyah, mulkiyyah, dan ilahiyyah. Yunahar Ilyas (1992: 70) menjelaskan tiga dimensi tersebut secara jelas. Penulis mencoba untuk menyarikan tiga poin dari dimensi tersebut.

Pertama, syirik secara rububiyah tergambar dari perilaku meyakini adanya makhluk yang mampu memberi manfaat atau mudharat atas segala sesuatu. Perilaku yakin pada azimat, kesaktian para “wali”, hingga meminta tolong pada orang yang sudah meninggal karena ada keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk melakukan itu.

Kedua, syirik secara mulkiyyah tergambar dari perilaku meyakini dan mematuhi perintah-perintah pemimpin yang bertentangan dengan perintah Allah, menghalalkan apa yang diharamkan Allah, atau justru sebaliknya. Dalam konteks Mulkiyyah ini, perilaku yang dimaksud adalah menjadi bagian dari pemimpin yang jelas-jelas menyalahi perintah Allah dan mematuhi sepenuhnya, bahkan mendukung pemimpin tersebut. Keterpaksaaan, menurut Prof. Dr. Yunahar Ilyas, bukan bagian dari perilaku ini.

Ketiga, syirik secara Ilahiyah tergambar dari perilaku berdoa kepada Allah melalui perantara orang yang sudah meninggal. Atau, berdoa kepada Allah dengan perantara berhala-berhala. Syirik ilahiyah ini juga tergambar dari pemahaman keliru mengenai tawassul, sebagaimana sering diperdebatkan di kalangan umat Islam Perilaku ini merupakan defisit ilahiyah, dan sebenarnya juga terjadi pada kaum Quraisy di era Rasulullah SAW.

Salah satu perilaku yang dapat menjerumuskan diri kepada kesyirikan ialah perilaku meminta bantuan kepada dukun. Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah mengatakan bahwa jika seorang muslim pergi ke dukun, salatnya tak akan diterima selama 40 hari (HR. Muslim). Perbuatan ini mengisyaratkan kita meminta pertolongan kepada selain Allah, dan berarti menyalahi komitmen kita dalam syahadat. Ironisnya, siaran televisi justru menyiarkan kesyirikan-kesyirikan ini secara luas dengan media SMS.

Dalam konteks masyarakat yang masih berciri tradisional, “dukun” merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem religius masyarakat yang masih terpengaruh faham animisme-dinamisme. Di beberapa lokasi di Indonesia, keberadaan dukun merupakan warisan dari era sebelum masuknya Islam. Sehingga, keberadaan dukun menjadi tak bisa dihilangkan sepenuhnya. Ketika Indonesia bertransformasi ke dalam modernitas, “dukun” pun juga turut memodernisasi diri dengan mengubah istilah: “paranormal”. Akibatnya, praktik masyarakat pra-Islam seperti ini juga menjadi tak terhindarkan, kendati aktivitas ini merupakan “virus” aqidah yang mematikan.

Perbuatan lain yang juga dapat menjerumuskan kepada kesyirikan adalah percaya kepada ramalan nasib, kesialan, atau hal-hal yang sejenis. Hal ini dilarang dalam agama, karena akidah Islam dengan tegas menyatakan bahwa hanya kepada Allah-lah kita berserah diri dan memohon pertolongan. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa tidak ada thiyarah (percaya kepada ramalan-ramalan) dan hammah (suara burung yang mengabarkan suatu nasib tertentu). Bahkan, mengundi nasib dengan anak panah secara tegas dihukumi haram oleh Al-Qur’an. Dalam kacamata Islam, hal tersebut telah dikategorikan sebagai perbuatan syirik.

Hal-hal tersebut merupakan bentuk dari “Syirik ‘Aqidi” yang tergambar secara jelas dan langsung dapat kita lihat. Dalam konteks di atas, berhala fisik telah dikategorikan oleh Allah sebagai salah satu bentuk dari kesyirikan. Akan tetapi, bagaimana dengan “berhala-berhala modern” yang muncul seiring bergeraknya zaman? Bagaimana dengan "berhala-berhala politik" yang seringkali tak kita sadari muncul dalam aktivitas politik? Mari kita analisis.

Tauhid Sosial vis-a-vis Syirik Sosial

Jika antitesis dari tauhid adalah syirik, lantas bagaimana dengan konsekuensi-konsekuensi sosial dari tauhid?

Prof. Dr. Amien Rais pernah menelurkan konsep “Tauhid Sosial” dalam beberapa tulisan beliau. Tauhid sosial adalah pengejawantahan makna dan substansi tauhid dalam aktivitas sosial-politik di kehidupan sehari-hari. Menurut Amien Rais, Tauhid Sosial merupakan dimensi sosial dari konsep tauhid (pengesaan Allah secara mutlak), agar konsepsi tauhid yang telah terintegrasi di pola pikir umat Islam dapat dipraktikkan pada tataran masyarakat. Implikasi yang diharapkan dari Tauhid Sosial ini adalah munculnya manusia-tauhid (meminjam istilah Amien Rais, lihat Muzakki, 2006) yang mampu berpikir secara arif dengan landasan tauhid dan syariah sebagai sistem ajaran.

Dalam kacamata Amien Rais, ada lima dimensi Tauhid Sosial. Pertama, keyakinan terhadap keesaan Allah (Unity of Godhead); Kedua, keyakinan atas penciptaan dari Sang Pencipta (Unity of Creation); Ketiga, keyakinan atas dasar-dasar kemanusiaan (Unity of Mankind); Keempat, keyakinan atas adanya pedoman hidup yang mengatur manusia (Unity of Guidance); Kelima, keyakinan atas tujuan hidup manusia sebagai umat muslim (Unity of The Purpose of Life).

Kelima dimensi tauhid sosial tersebut jelas memiliki antitesis atau lawan masing-masing. Antitesis tersebutlah yang penulis sebut sebagai “syirik sosial”. Perilaku-perilaku tersebut merupakan konsekuensi dan turunan dari perilaku syirik, dan dalam konteks sosial merupakan kategori perbuatan maksiat. Karena, dalam aktivitas sosial, seringkali muncul perbuatan-perbuatan maksiat di jalan Allah, yang sebenarnya berakar dari perilaku menyekutukan Allah.

Pertama, keyakinan terhadap keesaan Allah memiliki antitesis yaitu perilaku menjadikan sesuatu hal sebagai berhala. Antitesis dari poin pertama ini tergambar dari praktik-praktik yang telah penulis jabarkan di atas. Konsekuensi dari jenis syirik pertama ini adalah syirik kabir, syirik yang besar, yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Masalah syirik ini telah penulis jabarkan di atas.

Kedua, kesatuan penciptaan, atau yakin bahwa semua makhluk adalah ciptaan Allah, memiliki antitesis berupa perilaku menduakan Allah. Menganggap bahwa ada sesuatu yang lain yang dapat menciptakan makhluk. Menganggap rendah makhluk hidup lain karena asal penciptaan dan bentuk fisiknya. Atau, menganggap bahwa makhluk itu ada dengan sendirinya. Inilah pemaknaan falsafi keliru yang sama sekali tidak bertumpu pada pemahaman tauhid. Perilaku seperti ini tergambar dari perilaku Iblis, yang tak mau bersujud kepada Adam, lantaran Adam diciptakan dari tanah dan Iblis dari api, meskipun Allah telah memerintahkannya. Perilaku ini masih terkait dengan syirik kabir di atas.

Ketiga, kesatuan kemanusiaan antitesisnya adalah perilaku zalim terhadap makhluk Allah yang lain. Pemahaman bahwa adanya kesatuan penciptaan, yang berarti semua makhluk yang diciptakan oleh Allah adalah sama –yang berbeda hanya ketakwaannya— mengimplikasikan perilaku adil kepada semua makhluk. Tak ada garis batas agama. Semua makhluk, baik yang beriman kepada Allah atau tidak, harus diperlakukan secara adil. Allah sendiri memerintahkan kita untuk berbuat adil dengan menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya (Q. S. An-Nisa: 58) Dalam konteks sosial, perilaku adil memiliki antitesis zhalim, menindas orang lain. Poin kesatuan penciptaan jelas tidak membiarkan adanya perilaku menindas dari suatu makhluk kepada makhluk lain.

Keempat, kesatuan petunjuk. Pada level ini, antitesisnya adalah mencari petunjuk-petunjuk lain selain yang diberikan oleh Allah. Dalam pemahaman yang sederhana, perilaku syirik jenis ini tergambar dari sikap tidak beriman kepada Al-Qur’an sebagai kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Tetapi, jika kita pahami secara lebih kompleks, perilaku syirik jenis ini dapat kita lihat pada perilaku menjadikan “isme-isme” lain yang tidak sejalan dengan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai petunjuk, dan menjadi pengikut setia dari “isme” tersebut. Anjuran sinkretisme kontemporer dengan sekularisme, pluralisme agama, atau liberalisme menjadi sebuah gambaran perilaku syirik jenis ini. Pemahaman ber-Islam yang disinkretiskan dengan faham lain, diputar-balik pemahamannya, atau dipelintir konteksnya, menjadi sebuah pemahaman yang sarat dengan syirik sosial.

Kelima, kesatuan pedoman hidup, atau keyakinan atas Allah sebagai orientasi dan tujuan hidup, memiliki antitesis berupa materialisme, perilaku menjadikan sesuatu selain Allah sebagai tujuan hidup. Perilaku syirik sosial ini yang seringkali kita hadapi dalam realitas sosial. Terkadang, dalam beraktivitas sosial, manusia lupa bahwa hidup ini hakikatnya adalah menyembah Allah, dan orientasi hidup harus mengacu pada ta’abbudi ilallah. Ketika bekerja, manusia lupa bahwa bekerja adalah sarana ibadah, sehingga orientasinya hanya uang. Dalam aktivitas politik, kekuasaan membutakan para pelaku politik, hingga akhirnya mereka lupa bahwa berpolitik itu adalah untuk menegakkan kalimat Allah agar menjadi tinggi. Hingga, uang dan kekuasaan menjadi “berhala” baru. Di sinilah perilaku syirik sosial muncul. Orientasi hidup menjadi penting, bahwa manusia hidup untuk mencapai ridha Allah, dan untuk beribadah kepada Allah dengan varian-varian ibadahnya.

Kelima antitesis dari unsur tauhid sosial inilah yang penulis sebut sebagai syirik sosial. Ketika lima sikap ini menyaru dalam kehidupan sosial, sebagaimana dikemukakan oleh Amien Rais (1997), terjadilah patologi-patologi. Makna Islam tak lagi menjadi visi hidup masyarakat muslim. Terjadilah sekularisasi perlahan-lahan, sehingga jika virus syirik sosial ini tidak dihilangkan, akan muncul implikasi-implikasi yang lebih kompleks.

Syirik Politik

Lantas, bagaimana relevansi tauhid dengan perilaku politik, terutama perilaku politik masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim? Jelas, perilaku politik mesti berakar dari pemahaman tauhid yang benar dan komprehensif. Tauhid tidak hanya menjadi simbol dalam aktivitas politik, dengan hanya menggunakan atribut-atribut Islam sebagai nama atau asas partai politik, misalnya, tetapi juga harus ditransformasikan ke dalam aktivitas-aktivitas politik. Fatsoen politik mesti ditegakkan. Kesadaran kasip bahwa politik adalah bagian dari perubahan menuju masyarakat yang lebih baik, juga mesti dibangun. Syariah sebagai sistem ajaran juga mesti dipegang teguh. Semuanya didirikan atas dasar tauhid, sebagai landasan sentral.

Demikian pula, ketika kita menyatakan bahwa tauhid mesti ditransformasikan dalam aktivitas politik, mesti pula disadari bahwa ada pula perilaku-perilaku negatif yang merupakan antitesis dari tauhid. Perilaku syirik sosial sebagaimana penulis ulas di atas, terkadang kita jumpai dalam kehidupan politik. Akibatnya, muncul politisi korup. Patologi politik merajalela. Pragmatisme politik pun kian menjadi-jadi.

Mengacu pada konsep “Tauhid Sosial” yang telah digulirkan oleh Prof. Dr. Amien Rais dalam beberapa tulisan beliau, penulis mencoba untuk mengidentifikasikan perilaku “Syirik Politik” yang rawan sekali terjadi dalam konteks Indonesia. Gagasan ini mungkin hanya mencakup segelintir dari aktivitas-aktivitas yang berpotensi menjadi patologi politik.

Pertama, orientasi politik tidak lagi agar kalimah Allah menjadi lebih tinggi, melainkan agar “berhala-berhala politik” yang ia yakini tetap bertahan dan menjaga posisinya. Ketika seseorang memegang tampuk kepemimpinan, syirik politik menjelma dalam bentuk kekuasaan, uang, dan syahwat politik yang tinggi. Akhirnya, perilaku politiknya hanya untuk mengamankan posisi kekuasaan. Kekuasaan tidak digunakan untuk memperbaiki hajat hidup umat Islam, melainkan untuk mendapatkan keuntungan material. Perilaku korupsi menjadi begitu lumrah, dan ketidakadilan dianggap sebagai suatu kemestian. Sehingga, kekuasaan pun menjadi berhala.

Syirik politik jenis di atas terjadi pada orientasi. Di sinilah letak relevansi dari hadits riwayat Umar ibn Al-Khattab, “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan tiap-tiap urusan bergantung pada apa yang telah ia niatkan (Arba’in An-Nawawiyah, hadits ke-1). Ketika niat tidak lagi bergantung pada Allah, muncul maksiat. Syirik Politik ini akan membuat perilaku-perilaku tidak lagi mempertimbangkan maslahat-mudharat atau syar’i-tidaknya lagi.

Kedua, munculnya “kezaliman politik”. Bentuk syirik politik kedua adalah adanya penindasan dari the ruling class (kelas yang berkuasa) kepada subordinated class (oposisi). Potret penindasan ini muncul dalam bentuk kooptasi dari partai yang memiliki kekuatan massa besar kepada kelompok oposisi. Atau, penindasan kepada rakyat dengan kebijakan-kebijakan berkedok konglomerasi dan oligarkhi. Praktik otoritarianisme, di mana kebebasan dibungkam dan aktivis-aktivis Islam yang menyuarakan aspirasinya ditangkap, justru berlawanan dengan konsep tauhid sosial, di mana setiap manusia yang merupakan ciptaan Allah memiliki hak dan kedudukan yang sama. Kezaliman politik hanyalah bentuk kesombongan dan deklarasi atas ketidak-abadian manusia.

Padahal, potret Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Khalifah Umar Ibn Al-Khattab saja membuka partisipasi masyarakat dengan luas, selama masih berada di atas koridor Al-Qur’an dan Hadits. Khalifah Abu Bakar, dalam pidato politiknya ketika baru terpilih sebagai Khalifatul-Muslimin, menyatakan bahwa, “Seandainya kalian menyaksikanku dalam kebenaran, maka ikutilah. Tetapi jika kalian menyaksikanku telah menyimpang, luruskanlah!”. Senada dengan Abu Bakar, Khalifah Umar setelah terpilih menjadi Khalifah juga menyatakan, “Dan saya adalah salah seorang di antara kalian.... Barangsiapa melihat penyimpangan dalam diriku, maka luruskanlah! (lihat Masyhadi, 2005).

Dengan demikian, potret yang ditunjukkan Khalifah adalah bahwa partisipasi publik dibuka dengan begitu luas, selama berada dalam koridor Islam. Kezaliman politik dengan membungka suara-suara kritis atau menangkapi para kritikus tidak sesuai dengan ketentuan Islam. Bahkan, jika kebijakan yang keluar bertentangan dengan perintah Allah, perbuatan tersebut mengarah pada kesyirikan yang lebih besar.

Ketiga, menyadarkan diri pada “isme-isme” yang bertentangan dengan Islam dalam aktivitas politik. Dalam konteks ini, kita patut berpikir secara kritis. “isme-isme” yang penulis maksud pada dasarnya bukan simbol dan atribut politik, tetapi substansi ide dan garis kebijakan yang dianut. Dalam berpolitik, para politisi dan pengambil kebijakan harus memahami garis-garis larangan yang telah diberikan oleh Allah dalam Al-Qur’an atau Hadits. Syirik politik muncul ketika garis kebijakan yang ada justru menyalahi rambu-rambu Al-Qur’an.

Banyak formulasi kebijakan ekonomi (baik yang diambil pemerintah atau tidak) yang mengarah pada aktivitas ribawi. Ketika para politisi mengambil kebijakan yang mengarah pada riba tersebut secara sadar dan dengan arogansi tertentu, ia telah menyandarkan diri pada “isme-isme” yang bertentangan dengan Islam. Alternatif UU pun ada yang tidak sesuai dengan ketentuan Islam. Ketika jenis kebijakan tersebut diambil secara sadar dan menafikan ketentuan dalam Islam secara arogan, ia akan terjatuh pada syirik politik.

Seringkali, kelompok yang menggunakan atribut Islam pun terjatuh, karena para politisinya tidak memahami esensi kebijakan yang ada. Contoh konkret yang dapat penulis berikan dalam konteks ini adalah pada panitia anggaran. Di sini, para politisi mesti cermat dengan substansi anggaran, agar tidak mengandung unsur-unsur yang memperkaya diri. Ketika seorang politisi membuat anggaran yang memiliki unsur tersebut secara sadar, secara otomatis ia akan jatuh pada syirik politik. Hal inilah yang perlu dihindari oleh para politisi muslim.

Mencari Pemimpin Ideal

Dengan demikian, pemutus kebijakan dan para politisi pun patut waspada terhadap gejala syirik politik ini. Menurut Masyhadi (2005), seorang pemimpin sejatinya memiliki minimal dua sikap, yaitu amanah (kredibel, mampu dipercaya) dan profesional. Dua sikap ini mengacu pada hadis nabi, “Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya”.

Di sinilah pentingnya memilih para politisi yang benar-benar memiliki kompetensi dan kredibilitas. Karena, syirik politik akan muncul ketika dua hal ini tidak dimiliki oleh para politisi dan pemutus kebijakan. Dengan adanya sikap dan orientasi yang bersandar pada tawhid (mengesakan Allah), patologi-patologi politik akan dapat direduksi.

Maka, tauhid menjadi penting untuk diintegrasikan ke dalam segenap aktivitas politik. Hal ini tentu saja memerlukan kerja yang panjang, terarah, serta ikhlas dalam tahun-tahun ke depan. Pembangunan karakter memiliki porsi yang begitu signifikan. Pembangunan sistem politik yang mapan juga penting. Untuk itulah, pendidikan tauhid yang transformatif kepada umat Islam menjadi penting. Mari kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits, mari membangun perilaku politik yang sejalan dengan Islam.


*) Penulis pernah Bergiat di Angkatan Muda Mesjid Al-Jihad, Banjarmasin


Bahan Bacaan

Al-Qur’an Al-Karim.

Akh. Muzakki. Mengupas Pemikiran Agama & Politik Amien Rais Sang Pahlawan Reformasi (Jakarta: Lentera, 2004).

Amien Rais. Demi Kepentingan Bangsa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997).

_________. Hubungan antara Politik dan Dakwah: Berguru kepada M. Natsir (Bandung: Mujahid Press, 2004).

_________. Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta (Bandung: Mizan, 1996).

Anang Rikza Masyhadi. Hadits-Hadits Politik: Aktualisasi Sunnah dalam Kehidupan Sosial dan Politik (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2005).

Daud Rasyid. Islam dan Reformasi: Telaah Kritis atas Keruntuhan Rezim-Rezim Diktator dan Keharusan Kembali pada Syariah (Jakarta: Usamah Press, 2001).

Firdaus Syam. Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya terhadap Dunia Ketiga (Jakarta: Bumi Aksara, 2007).

Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah.

Imam Nawawi. Arba’in An-Nawawiyah.

Jalaluddin Rakhmat. Rekayasa Sosial: Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar? (Bandung: Rosda, 1999).

Yunahar Ilyas. Kuliah Aqidah Islam (Yogyakarta: LPPI UMY, 1992).

Tidak ada komentar: