Sabtu, 01 Agustus 2009

Demokrasi vis-à-vis Putusan MA


Hasil Pemilihan umum 2009 telah mencengangkan kita semua. Pasca-keputusan MA yang membatalkan penghitungan kursi tahap kedua, publik dikejutkan oleh komposisi kursi hasil Pemilu yang menambah perolehan kursi partai-partai besar.

Pokok Persoalan

Berdasarkan perhitungan Cetro, putusan MA telah menghasilkan komposisi kursi di DPR yang menguntungkan partai besar. Partai Demokrat bertambah menjadi 180 kursi, Partai Golkar menjadi 125 kursi, dan PDIP menjadi 111 kursi. Persoalannya, perolehan kursi PAN, PKS, PPP, Gerindra, dan Hanura berkurang signifikan.

Di sini, dapat kita lihat bahwa keputusan MA no. 15 yang membatalkan penghitungan kursi tahap II memunculkan ketidakpuasan. Jelas sekali terlihat bahwa komposisi kursi, selain akan menumbuhkan disparitas kekuatan politik yang signifikan, juga berpotensi memunculkan hegemoni dan persaingan elit di antara partai besar.

Hairansyah, anggota KPUD Kalsel dalam opininya di Radar Banjarmasin (31/7) menandaskan bahwa putusan MA yang menjadi masalah adalah Putusan MA no. 15 yang membatalkan Peraturan KPU no. 15 tahun 2009 tentang perhitungan perolehan kursi tahap kedua DPR-RI. Dua putusan lain yang senada adalah putusan MA no. 13 dan no. 16 yang membatalkan penghitungan kursi tahap kedua DPRD provinsi dan kabupaten.

Dengan dibatalkannya perhitungan kursi tahap kedua ini, sisa suara yang belum terkonversi ke dalam bentuk kursi pada perhitungan tahap pertama tidak lagi dibagi ke partai-partai yang memperoleh suara. Akan tetapi, kursi diberikan kepada partai yang suaranya telah mencapai BPP (Bilangan Pembagi Pemilih) di sebuah daerah pemilihan.

Ada dua persoalan kunci yang menjadi titik tekan penulis untuk menganalisis masalah ini, yaitu dilema proporsionalisme vs sistem presidensial dan potret demokrasi mayoritarian vs demokrasi konsensus. Dua masalah ini perlu kita lihat untuk memperjelas fondasi pembangunan politik di Indonesia saat ini.

Proporsionalisme dan Demokrasi Mayoritarian

Perdebatan mengenai sistem Pemilu di Indonesia sebenarnya telah terjadi sejak awal reformasi. Sebelum Pemilu 1999, terjadi perdebatan mengenai hal tersebut di antara dua pengamat Indonesia terkemuka di sebuah media massa, yaitu Prof. William Liddle dari Ohio University dan Prof. Dwight Y King dari Northern Illinois University. Perdebatan tersebut terjadi pada satu pokok masalah, yaitu sistem proporsional atau sistem distrikkah yang perlu diterapkan oleh Indonesia.

Dua sistem Pemilu ini menjadi sistem pemilu yang debatable di kalangan ilmuwan politik. Negara-negara yang pembangunan politiknya dianggap maju pun tidak terlihat bersepakat dalam penerapan sistem ini. Amerika Serikat masih kokoh dengan sistem distrik yang menopang presidensialisme, sementara negara-negara Skandinavia meneguhkan sistem proporsional yang mendukung welfare-state (Lijphart, 1994).

Fenomena ini memang cukup dilematis bagi sebuah negara yang pembangunan politiknya masih on the move seperti Indonesia. Perlu dicatat, Indonesia masih menganut sistem presidensial yang memerlukan stabilitas politik untuk membentuk pemerintahan yang efektif. Ini artinya, dukungan parlemen sangat diperlukan.

Hanya saja, sistem presidensial tidak dapat serta-merta diiringi oleh sistem distrik. Pemberlakuan sistem distrik sangat berpotensi menimbulkan personalisme politik yang begitu luar biasa. Karena, hanya ada sedikit partai politik yang dapat mewakilkan suaranya di parlemen sehingga disparitas elit-massa justru kian membesar. Maka, untuk mengakomodasi suara yang tak terwakili, diberlakukanlah sistem proporsional.

Jika kita kaitkan dengan putusan MA, jelas akan ada pertentangan dengan sistem Proporsional terbuka yang diterapkan di negara kita. Faktanya, putusan MA hanya akan memperkokoh posisi partai-partai besar, sehingga membuat partai-partai kecil mudah terkooptasi oleh konstelasi politik yang bakal terjadi.

Semangat yang dibawa oleh sistem proporsional terbuka adalah agar semua suara dapat terkonversi menjadi kursi, sehingga partai-partai gurem sekalipun dapat merepresentasikan suara konstituten mereka di parlemen. Putusan MA ini bertentangan dengan semangat yang dibawa oleh sistem tersebut dengan disparitas yang diciptakan.

Dalam sudut pandang yang berbeda, kita juga dapat melihat bahwa putusan MA akan menegaskan keberadaan demokrasi mayoritarian dalam sistem politik Indonesia. Arend Lijphart (1994) mengkritik demokrasi yang didominasi oleh segolongan elit dan sedikit partai, atau disebut oleh Fredrik Ingelstad sebagai aristocratic radicalism.

Dalam pandangan Lijphart, ada dua jenis demokrasi yang kontras satu sama lain: demokrasi mayoritarian dan demokrasi konsensus. Demokrasi mayoritarian ditandai oleh keberadaa, partai mayoritas yang hegemonik, minoritas yang terkooptasi, atau sistem kepartaian yang mono-dimensional. Sistem ini dikontraskan dengan demokrasi konsensus yang berkarakter multipartai, koalisi terkait isu dan kebijakan serta balance of power antara legislatif-eksekutif.

Jika logika Lijphart ini kita kaitkan dengan konteks putusan MA, akan muncul kekhawatiran bahwa sistem politik Indonesia akan kian berkarakter mayoritarian. Implikasinya, kekuasaan eksekutif akan menjadi kian kuat karena presiden dan partai pendukungnya sama-sama memiliki kekuatan yang sangat kuat di parlemen.

Memang, demokrasi mayoritarian ini akan sejalan dengan spirit pemerintahan presidensial yang kuat dan efektif, sebagaimana dibawa oleh Presiden SBY dalam berbagai kampanyenya. Hanya saja, potret demokrasi pada jenis ini akan melemahkan kontrol dari oposisi, dan rawan berimplikasi terhadap munculnya personalisme politik yang diiringi oleh penguatan kembali gejala-gejala otoritarianisme. Apalagi, jika eksekutif kemudian melakukan sekuritisasi yang berlebihan di berbagai sektor publik.

Dengan demikian, putusan MA juga akan memiliki dampak-dampak politis di kemudian hari. Selain konstelasi politik akan berubah, disparitas kian terbentuk, putusan MA ini juga akan meneguhkan oligarkhi dalam sistem politik Indonesia. Seymour Martin Lipset menyebut fenomena ini sebagai “demokrasi aristokratis”.

Bagaimana KPU?

Lantas, apa yang mesti dilakukan oleh KPU sebagai pelaksana putusan MA ini? Menolak putusan MA no. 15 memang bukan keputusan tepat. Apalagi, KPU hanya melaksanakan titah UU Pemilu. Namun, tidak tepat pula jika KPU langsung menerapkan putusan MA ini tanpa mempertimbangkan dampakpolitis yang mungkin muncul.

Maka, rapat pleno KPU yang membahas masalah ini patut kita nantikan. Semoga saja, hasil pemilu tak lagi dipolitisasi secara berlebihan. Mari mengawal pembangunan politik Indonesia, mari menuju pendewasaan demokrasi.


1 komentar:

Fairuz mengatakan...

Ky, aku pindah rumah ke http://d3wdr0p.com
Maen2 ya =D