Mahasiswa aktif berdemonstrasi atau melakukan sederet aktivitas lainnya, tetapi tidak sadar bahwa aktivitas mereka digeret untuk melayani kepentingan kuasa tertentu di luar sana, seperti kepentingan elite-elite politik yang menjadikan aksi mahasiswa sebagai alasan sah untuk merebut kekuasaan demi kepentingan sendiri"
MENARIK jika kita menyimak apa yang disampaikan oleh Prof. Dr. Purwo Santoso, Guru Besar Politik & Pemerintahan Universitas Gadjah Mada dalam orasi ilmiahnya pada Dies Natalis FISE UNY, beberapa hari yang lalu.
Dalam orasi yang mengangkat tema “Ilmu Sosial Transformatif” tersebut, beliau menyinggung terma “aktivisme” sebagai pengejawantahan Ilmu Sosial Transformatif, salah satunya adalah aktivisme mahasiswa.
Jika selama ini aktivisme dianggap sebagai sesuatu yang sangat praksis, dianggap jauh dari akademik, dan seharusnya “dikembalikan” ke kampus untuk dididik, Prof. Purwo justru berpikir sebaliknya: aktivisme adalah sarana untuk meletakkan dasar transformatif bagi pendidikan, terutama dalam konteks pendidikan ilmu sosial dan ilmu politik.
Oleh sebab itu, aktivisme mahasiswa atau masyarakat sipil tidak seharusnya jauh dari wacana ilmu sosial. Keduanya punya keterkaitan yang sangat erat. Pertanyaannya, seperti apa wujud keterkaitan itu dalam konteks aktivisme mahasiswa, terutama dalam konteks Indonesia saat ini?
Pemisahan Teori dan Praksis
Dalam jangka waktu yang cukup panjang, kita disuguhi sebuah pemisahan antara “teori” dan “praksis”. F Budi Hardiman (“Kritik Ideologi”, 2009, pp. 22), melihat kelahiran ontologi sebagai titik tolak pemisahan antara teori dan praksis. Dalam sudut pandang yang positivistik, pengetahuan harus dipisahkan dari kepentingan-kepentingan praktis.
Ontologi ilmu adalah sesuatu yang murni; tidak terpengaruh oleh muatan-muatan kuasa. Ini yang disebut sebagai dis-interested knowledge; pengetahuan yang melampaui kepentingan-kepentingan tertentu, yang berorientasi pada ilmu dan pengetahuan.
Adalah Augusto Comte yang meletakkan dasar positivisme moderen dalam ilmu sosial. Titik pangkal pemikiran Comte adalah pemisahan fakta sosial objektif dari dimensi metafisis; ia mencoba memurnikan ilmu dari kepercayaan tradisional (baca: agama).
Oleh sebab itu, prosedur pembuktian kebenaran juga harus dilakukan secara objektif, meniadakan pikiran-pikiran subjektif manusia, alias menyadur logika ilmu alam yang melihat fakta sosial sebagai “hukum-hukum” ilmiah, dan punya standard kebenaran sendiri (Hardiman, pp. 27).
Maka, teori sosial merupakansebuah refleksi dari fakta sosial objektif yang empiris. Ia kemudian meniadakan subjek (diri) dalam relasi-relasi sosial tersebut karena akan mempengaruhi objektivitas dalam melihat sesuatu.
Sebab itu, seorang teoretisi sosial harus menjaga jarak dari fakta sosial yang ia telaah. Ini yang menciptakan jurang pemisah antara teori dan praksis. Di satu sisi, teori mengupas fakta-fakta sosial, sementara di sisi lain, praksis adalah wujud pengejawantahan fakta sosial itu dalam realitas sosial.
Ini tentu melahirkan setidaknya dua implikasi. Implikasi pertama, kampus, sebagai institusi yang memproduksi teori sosial dan mengemasnya dalam “ilmu” sosial, terpisah jauh dari masyarakat yang ia telaah. Implikasi kedua, warga kampus sebagai pengkaji ilmu sosial sendiri menjadi kian eksklusif, tidak membumi, dan kadang punya “jarak” antara posisinya sebagai seorang akademisi dengan statusnya sebagai masyarakat.
Aktivisme Mahasiswa
Dalam seting mahasiswa “positivistik” seperti ini, kita akan melihat dua jenis mahasiswa: Pertama, mahasiswa yang orientasinya adalah “teori”, pandai secara akademik, tetapi gagap di masyarakat. Kedua, mahasiswa yang prestasi akademiknya pas-pasan, waktu studinya mungkin lama, tapi begitu aktif bergiat di organisasi-organisasi sosial maupun kemahasiswaan untuk menghadapi realitas kemasyarakatan.
Pemisahan dua jenis mahasiswa ini adalah implikasi logis ketika positivisme yang memisahkan “teori” dan “praksis” dijadikan paradigma pendidikan. Pada dekade 1980-an, kita pernah menghadapi fenomena seperti ini melalui wujud NKK/BKK, bahkan iklimnya masih terasa hingga kini.
NKK/BKK bukan sekadar pembungkaman politik mahasiswa; ia punya dimensi yang jauh lebih luas. NKK/BKK adalah sebuah upaya sistematis untuk mengubah habitus mahasiswa, yang akrab dengan aktivisme dan pembelaan atas hak-hak masyarakat melalui gerakan mahasiswa, menjadi mahasiswa yang akademis, hanya belajar di kampus, dan disiapkan untuk melayani kepentingan pembangunan rezim.
Gejala kritik mahasiswa dan pelajar yang resisten terhadap kepentingan rezim, pada waktu itu, segera dibungkam. Mahasiswa “dikembalikan” pada ranahnya yang awal, yaitu “akademis”. Pendidikan di-seting untuk cepat lulus, agar bisa cepat bekerja. Sehingga, kampus tidak lagi memproduksi wacana rakyat, tetapi wacana kerja.
Kepentingan rezim pada waktu itu adalah industrialisasi. Oleh sebab itu, pembangunan ekonomi yang dijadikan acuan adalah pembangunan ekonomi berbasis pasar bebas. Inilah yang kemudian melahirkan terminologi “developmental-state” (lihat Richard Robison, “The Rise of Capital”). Developmentalisme ini mengharamkan segala sesuatu yang merintangi pembangunan. Jika itu terjadi, siap-siap menghadapi aksi represif aparat negara.
Cerita di atas merefleksikan sebuah hal: logika pemisahan “teori” dan “praksis” dalam paradigma positivisme tidak hanya terjadi pada level “wacana” ilmu pengetahuan, tetapi juga pada skala pelembagaan. “Jarak sosial” antara kampus dan masyarakat ini yang kemudian dikritik.
Teori Kritis
Di Barat, muncul gejala untuk menentang positivisme ilmu pengetahuan dalam wujud “teori kritis”. Teori ini pada awalnya adalah sebuah gerakan intelektual yang memproyeksikan keruntuhan ontologi positivisme melalui kritik.
Teori kritis hendak membangun kembali jembatan antara “teori” dan “praksis” tersebut melalui sebuah kritik atas ontologi positivisme yang dinilai digeret oleh kuasa-kuasa tertentu, alias punya kepentingan tertentu.
Saintifisme, atau gejala teori yang punya standard pembenaran positivistik itu, pada hakikatnya bukan teori yang netral dari relasi-relasi kuasa yang ada. Ia sesungguhnya digeret oleh sebuah kuasa tertentu untuk melayani kepentingan kuasa itu. Inilah yang disebut oleh Max Horkheimer sebagai “selubung ideologis atas teori tradisional” (Sunarto dalam Listiyono Santoso (ed), 2003, pp. 101).
Oleh sebab itu, teori kritis hendak membangun “teori dengan maksud praktis” (Hardiman, pp. 59). Teori dan praktik tidak seharusnya dipisahkan, karena keduanya saling terkait satu-sama-lain. Teori sosial mesti ditransformasikan dalam realitas sosial, sementara praktik perubahan sosial perlu pijakan teoretis.
Di Indonesia Orde Baru, terlihat bahwa ilmu sosial yang sifatnya positivistik itu digeret untuk melayani kepentingan industrial rezim. Sebagai implikasinya, kampus dipisahkan dari masyarakat agar dapat berkonsentrasi untuk berkarya untuk pembangunan. Mahasiswa yang kritis dan resisten terhadap proyek pembangunan dibungkam dan disuruh belajar agar dapat melayani pembangunan pada akhirnya.
Pasca-Orde Baru, relasi kuasa itu bukannya hilang, malah berubah menjadi semakin kompleks. Keterbukaan politik mengakibatkan akses ke ranah politik menjadi bertambah lebar. Namun, di sisi lain, terjadi sebuah “reorganisasi oligarki” yang terjadi antara kapital dan kekuasaan dengan modus-modus baru (lihat Vedi Hadiz dan Richard Robison, “Reorganising Power in Indonesia”, 2004).
Jika dulu oligarki mengandalkan kedekatan dengan rezim dengan ketertutupan politiknya, sekarang oligarki justru hadir dengan memanfaatkan keterbukaan politik melalui penguasaan modal. Akibatnya, hadirnya mereka di lingkar kekuasaan juga mengakibatkan relasi struktural dan relasi kuasa menjadi semakin kompleks.
Sementara itu, masyarakat kampus dilanda kegamangan. Apakah harus kembali pada ontologi positivisme yang mendikotomikan teori dan praksis, walaupun digeret oleh kepentingan kuasa tertentu, ataukah justru melahirkan sebuah muatan baru dalam ilmu sosial?
Ilmu Sosial Transformatif
Hal ini kemudian coba dipikirkan kembali oleh Prof. Dr. Purwo Santoso melalui terminologi “ilmu sosial transformatif”. Ilmu sosial bukan berarti penjarakan “subjek” atas “objek” yang ditelitinya. Seharusnya, subjek juga bagian dari realitas yang mengabdikan ilmunya untuk kepentingan masyarakat, dan artinya, meminjam istilah Antonio Gramsci, seorang intelektual sosial adalah intelektual organik, yang melakukan pemihakan pada kelas sosial tertentu secara organik.
Menurut Purwo Santoso, ilmu sosial mesti berdimensi transformatif. Ia tidak sekadar menjelaskan fakta-fakta sosial secara objektif, melainkan juga menghadirkan subjek dalam realitas tersebut. Berarti, ini menolak sebuah klaim pemisahan teori dan praksis.
Teori adalah sebuah instrumen normatif untuk melakukan perubahan sosial di masyarakat. Ia sangat tergantung pada “pembuktian” di tengah-tengah masyarakat melalui praksis. Dengan demikian, teori tanpa praksis menjadi tidak lengkap. Begitu juga praksis tanpa teori, juga akan tidak terarah.
Inilah yang kemudian relevan bagi aktivisme mahasiswa. Penyatuan kembali “teori” dan “praksis” sosial akan menjadikan mahasiswa tidak hanya kritis dan pandai, tetapi juga bisa menyelami realitas masyarakatnya.
Meminjam Al-Fayyadl, salah satu kealpaan gerakan mahasiswa pasca-reformasi adalah kegagalan dalam memetakan relasi kuasa dan relasi struktural di sekelilingnya. Mahasiswa aktif berdemonstrasi atau melakukan sederet aktivitas lainnya, tetapi tidak sadar bahwa aktivitas mereka digeret untuk melayani kepentingan kuasa tertentu di luar sana, seperti kepentingan elite-elite politik yang menjadi punya alasan sah untuk merebut kekuasaan demi kepentingan sendiri.
Oleh sebab itu, seorang aktivis harus membekali diri dengan ilmu sosial, dan seorang ilmuwan sosial harus aktif di tengah masyarakat dengan pelbagai aktivitas. Tentu saja tidak banyak varian aktivisme yang bisa dihadirkan, tergantung pada apa yang bisa diberikan kepada masyarakat sesuai kemampuan.
Ilmu sosial transformatif kemudian mengandaikan pendidikan sebagai medium aktivisme. Bagi mahasiswa, jembatan untuk menghubungkan teori dan praksis itu sebenarnya adalah aktivisme –dalam pelbagai bentuknya. Seorang mahasiswa yang belajar mengenai ilmu sosial, pada hakikatnya dibebani tanggung jawab praksis untuk mengenal dan memperjuangkan nasib masyarakatnya.
Jadi, dengan ilmu sosial transformatif, seorang aktivis tidak perlu mendapat label yang stigmatif. Justru, seorang aktivis mahasiswa yang mampu menerjemahkan ilmunya ke dalam pembelaan hak-hak masyarakat atau berkontribusi dalam kegiatan sosial, adalah seorang mahasiswa transformatif yang mampu menjembatani polemik antara “teori” dan “praksis”.
Simpulan
Untuk itulah, relasi antara aktivisme dan ilmu sosial seharusnya dimaknai sebagai sebuah relasi yang positif dan saling mendukung. Aktivis harus membekali diri dengan ilmu sosial untuk memetakan realitas secara komprehensif, sementara ilmu sosial juga perlu dipraktikkan untuk menguji kebenaran teori itu.
Semoga, dengan pengembangan wacana ilmu sosial transformatif yang digaungkan oleh Prof. Dr. Purwo Santoso ini, penelitian-penelitian tidak lagi sekadar teronggok di atas meja. Ilmu sosial transformatif berarti menjembatani teori dan praksis. Dan aktivisme mahasiswa adalah salah satu medium pembelajaran hal itu bagi mahasiswa.
Hidup Mahasiswa Indonesia!
Referensi
F Budi Hardiman. Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Muhammad Al-Fayyadl. “Bunuh Diri Kelas: Beberapa Refleksi tentang Gerakan Mahasiswa”. Jurnal Indoprogress, edisi Mei 2011.
Purwo Santoso. Ilmu Sosial Transformatif. Pidato Pengukuhan Guru Besar Politik & Pemerintahan, Fisipol UGM, 20 Juni 2011.
___________. Penguatan Jati Diri dan Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Ilmu Sosial Transformatif. Pidato Ilmiah, Dies Natalis ke-46, Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi, Universitas Negeri Yogyakarta, 14 September 2011.
Richard Robison. Indonesia: The Rise of Capital. Sydney: Allen and Unwin, 1986.
Richard Robison dan Vedi Hadiz. Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London: Routledge, 2004.
Sunarto. “Konstruksi Epistemologi Max Horkheimer: Kritik atas Masyarakat Modern” dalam Listiyono Santoso, et. al. Epistemologi Kiri. Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2003.
1 komentar:
Luar biasa
Ulasannya lebih dahsyat dari bahan yang dikomentari.
Salam
Puwo Santoso
Posting Komentar