"Post-Islamism represents an endeavour to fuse religiosity with rights, faith and freedoms, Islam and civil liberties and focuses on rights instead of duties, plurality instead of singular authority, historicity rather than fixed and rigid interpretation of scriptures, and the future rather than the past." (Dr. Asif Bayat)
Artikel Darmaningtyas hari ini (15/12) di harian Tempo cukup menarik untuk diulas. Ia mengupas persoalan Arab Spring yang
diikuti oleh kemenangan dan inklusi politik kaum Islamis pada beberapa
negara Arab yang baru saja terlepas dari otoriterisme.
Kemenangan beberapa partai yang berafiliasi kepada gerakan Ikhwan di
Mesir, serta tampilnya kelompok Salafi yang selama ini mengklaim
anti-politik, terasa mengejutkan bagi langgam politik Islam yang selama
ini kita kenal bersama-sama.
Darmaningtyas menyebut bahwa
fenomena politik di negara-negara Arab saat ini merupakan imbas dari
perjuangan panjang kaum Islam Politik selama bertahun-tahun di pentas
politik Arab.
Akan tetapi, terselip sebuah fenomena
menarik: Ekspresi politik mereka justru semakin menginklusi diri
terhadap demokrasi, kebebasan berpendapat, serta toleransi yang selama
ini tak nampak dalam wajah maupun bahasa politik meereka.
Isu
'penegakan syariah' hingga 'negara Islam' yang dulu sempat dikobarkan
untuk melawan imperalisme Inggris (zaman Hasan Al-Banna masih hidup)
atau ketika melawan otoriterisme militeristik Mesir dari Nasser hingga
Mobarak (zaman Hudhaiby sampai seterusnya) serasa bergeser. Ikhwan kini terasa lebih 'liberal', terutama dalam praksis politik.
Mengapa
bisa terjadi demikian? Apakah ini pertanda terjadi liberalisasi dalam
gerakan politik Islam? Bagaimana masa depan 'Islam Politik'
pasca-Pemilu?
Inklusi Politik
Selama
masa-masa 'diktator Arab' dari Assad di Syria, Mobarak di Mesir, Saleh
di Yaman, hingga Ben Ali di Tunisia, kaum Islamis terpinggirkan. Kita
masih ingat bagaimana perjuangan bawah tanah Ikhwan ketika direpresi
rezim Nasser sejak pertengahan 1950-an hingga akhirnya tampil dalam
gerakan massa di revolusi Arab awal 2011.
Di Syria,
gerakan Ikhwan juga dipinggirkan dalam lingkungan politik Ba'ath dengan
Bashar dan Hafez Assad. Momentum perjuangan politiknya adalah ketika
rezim itu jatuh, apakah karena gerakan massa ataupun karena kontradiksi
di tubuhnya sendiri.
Krisis kapitalisme yang segera
berubah menjadi gerakan massa menjadi momentum politik bagi Ikhwan dan
beberapa kelompok Islamis lain. Salafi, yang selama ini berlindung
nyaman melalui basis sosial-keagamaannya, agaknya tak bisa berlama-lama
juga tertidur. Segera mereka membuat partai politik setelah kebebasan
politik terjamin.
Runtuhnya otoriterisme Arab melalui Arab Spring adalah
sebuah pintu gerbang perubahan struktur politik Arab. Akan tetapi,
kita juga menangkap sebuah sinyal lain: titik balik 'Islam Politik'.
Oposisi mereka terhadap otoriterisme dulu segera digantikan oleh
konsolidasi politik. Di beberapa negara, Ikhwan tampil menguasai akses politik dan ikut Pemilu.
Dan
hal ini segera dibuktikan. partai-partai berhaluan Islamis memenangi
pemilu, seperti Partai Nahdlah (Tunisia), Partai Kebebasan dan Keadilan
(Mesir), maupun Partai Keadilan dan Pembangunan (Maroko). Jika
mengikuti prosedur demokrasi yang ada, kemenangan mereka akan segera
diikuti oleh pemerintahan baru yang merepresentasikan kelompok
tersebut.
Menariknya, klaim bahwa kemenangan politik ini
akan diikuti oleh tampilnya wacana-wacana Islamis dalam politik Arab
justru belum terbukti. Alih-alih meng-kampanyekan syariat Islam secara
formal, mereka justru lebih mantap dengan wacana keberagaman
(pluralisme-multikulturalisme), kesejahteraan, hingga isu-isu lain yang
lebih populis.
Hal ini dapat kita lihat di Turki.
Keberhasilan politik Erdogan dan Gul dengan AKP-nya tidak lantas
diikuti oleh Islamisasi di Turki secara revolusioner. Perkembangan yang
mereka tampakkan justru lebih gradual, dengan mendekatkan isu-isu
populis di kalangan masyarakat Turki guna menopang legitimasi politik
mereka.
Sebagai contoh, momentum politik yang coba
dibangun oleh AKP justru adalah aksesi Turki ke Uni Eropa yang sejak
2003 belum selesai-selesai. Hal ini jelas merupakan manuver politik
untuk mendapatkan legitimasi. Masuknya Turki ke Uni Eropa adalah simbol
perubahan identitas: dari Arab-Islam menuju Eropa-Liberal. Dan
topangan pengusaha (modal) menjadikan AKP lebih ramah terhadap
kapitalisme, bahkan dibanding kaum Kemalis sendiri.
Turki
hanya satu contoh. Kita lihat Ikhwan di Mesir, misalnya. Ada
kecenderungan politik di negara-negara Arab untuk lebih menjadikan
borjuasi sebagai basis politik. Penelitian Prof. Vedi Hadiz -seperti
disampaikan di Fisipol UGM beberapa waktu lalu- memotret transformasi
Ikhwan: dari sekadar organisasi massa yang tandhimi (militeristik) menjadi gerakan politik borjuis yang moderat.
Strategi
mereka sederhana: menguasai basis modal untuk dikapitalisasi menjadi
basis politik, agar dapat melakukan manuver politik secara aman tanpa
harus mengandalkan mobilisasi yang dikenal di kalangan aktivis 'dakwah'
Indonesia sebagai 'taklimat'. Hal ini pula yang sepertinya coba dilakukan PKS (faksi Anis Matta) di Indonesia.
Apakah
hal ini menunjukkan kecenderungan baru dalam 'Islam Politik'? Apa
penjelasan yang relevan untuk mengungkap transformasi ini?
Post-Islamisme
Analisis
Dr. Asif Bayat terhadap fenomena gerakan politik Islam, terutama di
Iran dan Pakistan, pada tahun 2005 silam bisa menjadi media penjelas.
Saat ini, ada kecenderungan politik kaum 'Islamis' untuk bergerak
menjadi 'post-Islamis' dalam jangka waktu tahun-tahun ke depan.
Dalam
studi gerakan politik Islam di Timur Tengah, 'Islam Politik' sering
dicitrakan sebagai kaum revolusioner yang memimpikan negara Islam, serta
berorientasi kekuasaan untuk mewujudkan mimpinya itu. Bahasa yang
digunakan lebih mencerminkan kekuatan ideologi daripada strategi taktis,
semisal khilafah, daulah Islamiyah, tandhim, syari'ah, dan lain sebagainya.
Gagasan awal yang bisa ditangkap adalah bahwa 'Islamism' adalah bentuk historical end; Sebagaimana
Fukuyama menganggap bahwa kapitalisme-liberal adalah akhir sejarah,
ideolog kaum Islamis seperti Hasan Al-Banna atau Sayid Quthb dalam
beberapa bukunya banyak menyinggung tema seperti 'kemenangan Islam',
'kejayaan Islam', dan lain sebagainya. An-Nabhani membahasakannya dengan
'khilafah'. Dan lain sebagainya.
Namun, seiring
perjalanan waktu, penyampaian gagasan-gagasan tersebut ke publik segera
berubah. Proses moderasi wacana tersebut bisa dilihat dari produksi
buku dan pemikiran Ikhwan dari tahun 1970-an hingga kini. Tampilnya
Yusuf al-Qaradhawy mempertegas basis moderasi tersebut, mengimbangi
Sayyid Quthb di sisi lain. Ia memperkenalkan fiqh prioritas, melihat Islam secara lebih kontekstual.
Jika
dilacak, genealogi pemikiran Qaradhawy tersebut tentu akan lebih
senafas dengan modernisme Islam pilihan Muhammad Abduh yang lebih
rasional. Tetapi, jika Abduh kemudian mengekspresikannya pada tataran
wacana intelektual, Ikhwan mengambil jalan berbeda: rasionalisme Islam
tersebut harus diekspresikan pada level praksis, untuk jadi instrumen
mendapatkan kekuasaan.
Pemikiran Ikhwan dengan Qaradhawy dan beberapa mursyid 'am kemudian mengambil langgam berbeda. Walau sistem tandhim (struktur) tetap ada untuk basis mobilisasi dan ideologisasi gerakan melalui halaqah dan sel perkaderan, tetapi materi yang disampaikan sebagai basis ideologi mulai mengalami liberalisasi.
Inilah
yang disebut oleh Dr. Asif Bayat sebagai 'post-Islamisme'. Dari segi
wacana, Islamisme mulai menapak jalan baru yang tidak linear
(memoisisikan Islam sebagai 'historical end'), tetapi justru mengambil
langkah yang dekat dengan liberalisme.
Wacana-wacana
liberalisme Islam yang selama ini ditentang oleh kalangan Islamis,
menariknya, sebagian justru digunakan oleh mereka dalam praksis
politiknya. Wacana demokrasi, toleransi, dan lain sebagainya, kini
tampak makin akrab, walau sebatas sebagai jargon kampanye.
Dan dengan demikian, peta wacana 'Islam Politik' berubah. Dalam konteks studi Timur Tengah, apa artinya hal-hal seperti ini?
Transformasi Kelas
Prediksi
sebagian kalangan bahwa gerakan politik Islam kontraproduktif dengan
demokrasi terjawab dengan bantahan pada Pemilu Mesir, Tunisia, dan
Maroko beberapa waktu lalu. Justru, demokrasi kini tampak lebih 'segar'
daripada masa-masa lalu; membuktikan bahwa Islamisme tidak se-'sangar'
yang selama ini sering kita prasangkai.
Hal yang perlu
kita garis bawahi dalam proses politik Arab dewasa ini adalah wacana
'Islam' yang bergeser. Walaupun pada level pemikiran tidak banyak yang
berubah dalam pandangan politik gerakan Ikhwan, tapi pada level
aktualisasi dan implementasi politik, gagasan soal 'siyasah' banyak
berubah.
Mengapa hal ini terjadi? Analisis Prof. Vedi
Hadiz lebih mengarah pada soal transformasi kelas; bahwa topangan kaum
pengusaha menyebabkan basis sosial gerakan Ikhwan berubah. Dulu, Ikhwan
gampang diradikalisasi karena basis sosial mereka yang merupakan kelas
menengah ke-bawah. Al-Banna sendiri lahir dari keluarga pedagang kecil;
yang dalam literatur ekonomi-politik tidak banyak peran karena kalah
oleh borjuasi besar.
Pasca-represi politik, kita lihat
pergeseran wacana itu pada transformasi kelas yang dialami oleh Ikhwan.
Banyaknya pengusaha, seperti temuan Vedi Hadiz di Turki dan Mesir,
menyebabkan adanya aliansi kelas untuk menumbangkan rezim Mobarak dan
Kemalis sehingga melahirkan revolusi Arab 2011. Di Turki, penguasaan
terhadap modal juga penting sehingga basis politik mereka terjaga.
Dan
persinggungan antara Islam dan Kapitalisme ini yang kemudian lebih
banyak terjadi. Transformasi dari peminggiran ekonomi-politik menjadi
borjuasi, tak ayal lagi mengubah peta wacana Islamis saat ini. Inklusi
politik Ikhwan mengisyaratkan perlunya pembacaan-ulang terhadap gerakan
politik Islam saat ini. Sebab, masalah ini perlu dibongkar. Apakah
memang hanya strategi atau propaganda politik, ataukah imbas dari
transformasi kelas tersebut?
Yang jelas, tesis bahwa Islam
tidak kompatibel dengan demokrasi terbantah oleh fenomena di Timur
Tengah. Bukan benturan peradaban yang terjadi, melainkan liberalisasi di
kubu 'Islam Politik'. Inilah konsekuensi dari inklusi politik terhadap
demokrasi.
Dan meminjam pernyataan Al-Sayyid Yassin,
sebagaimana dikutip Dr. Darmaningtyas: Kalangan Islam-modernis kini
tampak semakin Islamis, sementara kalangan Islam-fundamentalis tampak
semakin liberal. Apakah ini terjadi pula di Indonesia?
Wallahu a'lam bish shawwab.
*) Penulis mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional UGM, peminat studi Timur Tengah
1 komentar:
makasih atas artikelnya, dapat menambah wawasan saya, trim
Posting Komentar