Jumat, 30 Desember 2011

Dari Warung Susu ke Gelanggang Mahasiswa (Bagian 4-Habis)

Majunya Sinyo sebagai capresma tentu di luar perkiraan banyak pihak. Apalagi dengan FLP yang menjadi kendaraan politik. Sebab, FLP digawangi oleh salah satu Menteri (Ketua Departemen) di BEM KM UGM, Zaki. Tetapi sampai verifikasi usai, keputusan maju tetap dijalankan. Jadilah tahun ini mengulang sejarah tahun 2007, ketika waktu itu Reza Ikhwan yang dicalonkan FLP tampil menantang Budiyanto, capres dari Partai Bunderan. Hasilnya memang berpihak pada Bunderan waktu itu.

Keputusan maju Giovanni van Empel langsung diiringi oleh konsolidasi tim. Ivan langsung bergerak merekrut tim kampanye dari beragam latar belakang. Tim Desain dan 'Media Promosi' memang punya keahlian desain poster yang prima. Juga dengan backup beberapa senior seperti Agung Baskoro, Lakso Anindito (yang mendukung jauh-jauh dari Jakarta), serta beberapa senior lain. Walaupun, saya harus mundur dari tim kampanye karena posisi saya di KAMMI.

Adapun apa yang terjadi setelahnya di tim kampanye Sinyo, saya tidak mengetahui. Sebab, posisi saya sebagai Pengurus Harian KAMMI UGM juga mengharuskan saya mengambil jalan berbeda. Apalagi setelah Ivan memutuskan untuk mundur dan fokus di tim kampanye Sinyo. Saya dan beberapa kawan yang mengambil posisi 'jalan tengah' akhirnya lebih memutuskan untuk membereskan urusan di dalam KAMMI sendiri sembari mempersilakan kedua kubu, baik Sinyo maupun Aufa, untuk saling berkompetisi dalam kampanye.

Saya tidak ingin berkomentar banyak lagi soal Pemira. Yang jelas, hasilnya sudah anda saksikan bersama-sama. Sinyo menang, mengakhiri dominasi tanpa henti Partai Bunderan -ataupun mesin di belakangnya- selama 13 tahun. Hasil kerja keras yang brilian dari tim kampanye, salut untuk mbak Uswah dan kawan-kawan yang sudah sangat profesional Tentu saja mengguratkan kekecewaan berat di kawan-kawan Partai Bunderan atau 'syuro' yang berada di belakangnya (politbiro).

Yang jelas, adalah sebuah kekeliruan jika ada yang mengatakan bahwa kemenangan kawan Giovanni van Empel adalah kemenangan citra dan penampilan fisik. Atau, "sekadar bungkus", memilih karena popularitas semata. Tentu saja tidak. Ini adalah momentum yang dibangun dan disiapkan dari hasil diskusi-diskusi sejak satu setengah tahun lalu. Meminjam istilah Rijalul Imam, momentum itu tidak hadir begitu saja, melainkan disiapkan dari kerja-kerja nyata.

Kami masih ingat, Lingkar Studi Bulaksumur lahir bukan dari sebuah konsolidasi politik yang kompleks. Jika Partai Bunderan lahir dari aksi massa tahun 1998, kami lahir dengan cara yang lebih sederhana: obrolan di warung susu seberang Indomaret Pandega Marta. Di lokasi itulah, diiringi rintik hujan yang cukup deras di malam minggu tanggal 19 Desember 2010, kami merumuskan pandangan kami soal landasan nilai yang akhirnya kita deklarasikan bersama-sama keesokan harinya.

Dan persis satu tahun setelah didirikan, 22 Desember 2011, LSB menemui momentumnya yang pertama: kemenangan politik Giovanni van Empel di Pemira. Tentu saja ini baru awalan. Bagi kami, keberhasilan ini justru adalah tamparan besar: mampukah BEM KM UGM benar-benar didekonstruksi -meminjam istilah Yusuf Maulana- untuk mengganti tradisi yang sangat 'political' menjadi BEM KM yang lebih 'intelectual'?  

Tentu harapan itu masih ada. Dan akhirnya, tantangan yang membentang ke depan itu harus dijawab. Nietzsche sudah mengajarkan kita untuk menjadi seorang ubermensch; manusia yang berani mengafirmasi tantangan hidup dan menjawab 'ya' pada segala macam keluh kesah tentang kehidupan.

Persoalan bukan terletak pada 'siapa yang memimpin', tapi pada 'apa yang akan dibawa pada masa kepemimpinan itu'. 'Ala kulli hal, saya hanya bisa berucap: innalillahi wa inna ilaihi raji'un atas terpilihnya Giovanni van Empel dalam Pemira 2011. Semoga mampu membumikan nilai-nilai kecendekiaan Gadjah Mada, serta meneruskan rantai intelektualitas yang telah terbangun dan terjalin dari era Sardjito, Koesnadi Hardjasoemantri, Kuntowijoyo, Ahmad Wahib, Dawam Rahardjo, hingga Anies Baswedan yang terkemudian.

BEM KM UGM adalah warisan sejarah. Dan seperti kata Hasanudin Abdulrakhman, seorang senior di Jama'ah Shalahuddin, lembaga publik seperti JS atau BEM sejatinya adalah ruang, bukan subjek. Mampukah ruang itu diwarnai dengan intelektualitas, bukan sekadar kepentingan politik? Semoga.

Nashrun minallah wa fathun qariib.

(habis)

Tidak ada komentar: