Senin, 31 Desember 2012

Teologi Politik Muhammadiyah?


Pada tahun 1971, sidang tanwir Muhammadiyah telah mendeklarasikan sebuah khittah: bahwa Muhammadiyah bukanlah partai politik, akan menjaga jarak dengan semua kekuatan politik yang ada, serta membebaskan warganya untuk mengaktualisasikan kepentingan politiknya di manapun.

Namun, menjadi pertanyaan, seberapa relevan-kah khittah politik ini di tengah arus kebebasan politik era Reformasi? Kita perlu memberikan beberapa catatan kiritis terhadapnya.


Kebutuhan Politik
Harus diakui, walaupun Muhammadiyah telah mendeklarasikan dirinya sebagai sebuah kekuatan beyond politics (dalam bahasa Amien Rais tahun 1990an, High Politics), Muhammadiyah tak bisa berlepas dari kenyataan bahwa banyak kader dan warganya yang berkecimpung di dunia politik praktis, baik di kursi pemerintahan, kepala daerah, anggota legislatif, maupun pegiat partai politik.

Kondisi ini tak terhindarkan, karena meskipun Muhammadiyah sudah meng-khittah-kan diri untuk tidak terjebak pada arus besar politik, kebutuhan warga Muhammadiyah untuk mengekspresikan kepentingan politiknya masih demikian besar. Di era keterbukaan hak politik yang dimulai sejak 1999, aktivitas berpolitik menjadi sebuah hal yang lumrah. Konsekuensinya, sedikit-demi-sedikit, Muhammadiyah mulai 'terseret' arus yang besar itu.

Saya masih ingat, di arena Musyawarah Daerah Pemuda Muhammadiyah Banjarmasin yang sempat saya ikuti enam tahun silam, rekomendasi yang dinyatakan adalah tetap mengawal otonomi daerah melalui politik. Ini bukan berarti Pemuda Muhammadiyah turun ke politik, tetapi lebih pada 'menitipkan' agenda-agenda keumatan Muhammadiyah pada kadernya di parlemen. Artinya, ada interkoneksi antara Muhammadiyah dan politik pada level ini.

Begitu juga di pemilihan-pemilihan kepala daerah atau legislatif. Kendati tidak secara formal, dulu ketika menjelang Pemilu 2004, di pertemuan-pertemuan warga Muhammadiyah selalu dikenalkan tokoh yang akan mencalonkan diri menjadi anggota DPD-RI. Kondisi serupa terjadi pula menjelang tahun 2009 atau pemilihan kepala daerah, di mana ada warga Muhammadiyah yang akan bertarung pada pilkada.

Di tingkat desa, konsolidasi-konsolidasi serupa tentu lebih massif lagi, terkadang terjadi di pertemuan tingkat ranting.

Begitu juga di tingkatan kampus. Baik yang tergabung dengan ikatan atau tidak, kader Muhammadiyah yang terjun dalam pemilihan Ketua BEM di masing-masing universitas juga banyak. Apa yang membedakan perilaku politik warga Muhammadiyah dengan, misalnya, komunitas Tarbiyah yang sangat hegemonik di beberapa kampus besar? Pada level praksis, ini perlu kita address bersama-sama.

Tentu saja, ini menunjukkan bahwa walau Muhammadiyah bukan partai politik, lambat laun, ia punya kecenderungan untuk menjadi kekuatan politik yang besar. Jika kondisinya demikian, masihkah Khittah Politik Muhammadiyah tahun 1971 itu relevan dijadikan acuan dan pedoman?

Saya kira, persoalannya bukan terletak pada relevansi atau tidaknya, tetapi 'bagaimana' kita memaknai Khittah Politik Muhammadiyah yang lahir pada awal era Orde Baru itu. Bahwa prinsip Muhammadiyah (secara institusional) untuk tidak berpolitik praktis harus dipegang teguh, tetapi kebutuhan warganya untuk berpolitik juga perlu di-address.

Kondisi politik era reformasi sepertinya mengharuskan Muhammadiyah untuk memberikan rumusan baru terkait teologi politik baru, yang akan menjadi acuan warganya baik untuk menentukan sikap politik maupun merumuskan ijtihad-ijtihad politik. Ketika warga Muhammadiyah terjun dalam politik, setidanya ia punya 'bekal' moral untuk menentukan tindakan apa yang harus diambil, membedakan mana yang benar dan salah, dan strategi-strategi apa yang harus dibuat untuk mengejawantahkan keyakinan dan cita-cita hidup (KCH) Muhammadiyah di arena politik.

Selama ini, saya mencermati bahwa ada tiga kecenderungan besar kader Muhammadiyah dalam berpolitik. Pertama, kubu Islamis yang memilih mengekspresikan identitas politiknya ke partai Islam. Salah satu yang besar adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang di beberapa tempat (termasuk Yogyakarta) sempat menyulut konflik dengan Muhammadiyah. Kita bisa kenali nama Anis Matta dan Hidayat Nur Wahid di sisi sebelah ini,  

Kedua, kubu 'kultural' yang memilih haluan PAN karena didirikan oleh beberapa okoh Muhammadiyah, termasuk Amien Rais. Akan tetapi, di beberapa daerah, PAN justru mulai ditinggalkan karena masuknya tokoh non-Muhammadiyah sebagai pimpinan, salah satunya di Banjarmasin. Larilah sebagian warga ke Partai Mataharii Bangsa, walau juga tak banyak. Ketiga, kubu politisi. Kubu ini matang dan mengambil jalan di partai lain. Kita mengenal beberapa nama seperti Hajriyanto Tohari di Golkar atau Heri Akhmadi di PDIP.

Tipologi ini menunjukkan bahwa kader-kader Muhammadiyah tidak monolitik dalam mengekspresikan identitasnya. Tetapi, di sisi lain, kita juga harus aware dengan salah satu bahaya: bagaimana berhadapan dengan pragmatisme dan politik berbiaya tinggi yang kian menjangkiti semua partai politik di Indonesia? Kondisi demikian menyebabkan Muhammadiyah awan dipolitisasi atau kader Muhammadiyah justru terjerembab korupsi yang tidak perlu.

Maka dari itu, menurut saya, tajdid  politik ini perlu dirumuskan agar kader Muhammadiyah 'berbeda' dengan aktivis partai politik lain yang ada di parlemen. Walau Muhammadiyah bukan entitas politik, tetapi ia harus memberikan acuan bagi kader-kadernya yang ingin bermain di wilayah politik praktis.

Rumusan Teologis
Berangkat dari kebutuhan itu, saya rasa Muhammadiyah perlu menegaskan kembali landasan teologisnya dalam berpolitik. Hal ini akan membedakan Muhammadiyah dengan kelompok Islam lain seperti Tarbiyah (yang punya format teologi politiknya sendiri) dan dalam praksisnya akan membedakan warga Muhammadiyah dengan orang lain.

Pekerjaan untuk merumuskan landasan teologis ini sudah seharusnya masuk menjadi agenda tarjih, terutama dalam meng-address persoalan politik kontemporer. Bagaimana, misalnya, menghadapi tender proyek anggaran? Atau, bagaimana berurusan dengan lembaga-lembaga donor yang membawa proyek dan dana segar? Apa sikap politik kita menghadapi pembangunan yang menggusur rakyat kecil? Pembahasan ini menjadi pembahasan fiqh kontemporer yang perlu didekati tidak hanya secara legal hukum, tetapi juga sosiologis.

Era politik pasca-reformasi telah sampai pada politik yang hingar-bingar, penuh transaksional, dan dihegemoni media. Pencitraan menjadi begitu lumrah. Muhammadiyah perlu beradaptasi dengan hal ini. Dan langkah untuk adaptasi tersebut, kalau boleh mengutip Haedar Nashir, adalah kembali pada rumusan 'ideologi' Muhammadiyah sendiri.

Persoalannya, sudahkah basis ideologi politik Muhammadiyah ini dirumuskan? Tentu saja, jika dalam hal yang sangat spesifik, belum ada. Selain khittah politik yang memberikan garis batas politik Muhammadiyah dengan Orde Baru, belum ada teks yang begitu signifikan mengupas acuan moral politik Muhammadiyah.

Ada beberapa gagasan, misalnya, Tauhid Sosial atau High Politics yang dulu sempat digaungkan oleh Amien Rais. Akan tetapi, mengingat pendeknya usia intelektual beliau sebelum terjun ke politik, gagasan tersebut belum menjadi rumusan yang solid bagi Muhammadiyan, dan belum pula dibakukan. Pada level pengetahuan, ada gagasan intelektual profetik Kuntowijoyo, itu pun lebih berkutat pada basis pengetahuan dan keilmuan. Ada pula buku berjudul "Hadis-Hadis Politik" yang dikarang Anang Rizka Masyhadi, tetapi hanya meng-address beberapa isu dan belum sampai pada kesimpulan yang konklusif mengenai teologi politik Muhammadiyah.

Gagasan yang cukup relevan untuk menjadi 'pintu masuk' dalam teologi politik Muhammadiyah, menurut saya, adalah gagasan Ideologi Muhammadiyah yang dirumuskan oleh Haedar Nashir. Idelogi Muhammadiyah bersumber dari beberapa teks hasil kesepatakan Muktamar/Tanwir Muhammadiyah yang dibakukan secara organisasional. Gagasan ini yang perlu dikembangkan untuk melihat bagaimana Muhammadiyah memberi landasan berpolitik bagi warganya.

Haedar Nashir (2001) merumuskan kerangka idelogi gerakan Muhammadiyah pada enam dimensi. Di antaranya, Ideologi gerakan memiliki kerangka pemikiran dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Kepribadian Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, Khittah Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, dan pemikiran-pemikiran formal lainnya dalam Sistem Keyakinan dan Hidup Islami dalam Muhammadiyah.

Jika kita tafsirkan untuk landasan berpolitik, maka kita akan mendapatkan rumusan beriikut:

Khittah Muhammadiyah sebagai Sikap Politik
Khittah Muhammadiyah yang dirumuskan tahun 1971 telah menyatakan dengan jelas bahwa Muhammadiyah tidak anti-politik. Akan tetapi, "Muhammadiyah meyakini bahwa politik dalam kehidupan bangsa dan negara merupakan salah satu aspek dari ajaran Islam dalam urusan keduniawian (al-umur ad-dunyawiyat) yang harus selalu dimotivasi, dijiwai, dan dibingkai oleh nilai-nilai luhur agama dan moral yang utama". Jelas, Muhammadiyah meng-address politik sebagai bagian dari realitas yang perlu diisi oleh umat Islam, tak terkecuali kader Muhammadiyah sendiri.

Namun, "Muhammadiyah memilih perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui usaha-usaha pembinaan atau pemberdayaan masyarakat guna terwujudnya masyarakat madani (civil society) yang kuat sebagaimana tujuan Muhammadiyah untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya." Statement ini menunjukkan dengan tegas posisi Muhammadiyah, bahwa Muhammadiyah mengekspresikan politiknya secara kultural.

Hal ini dipertegas pada statement lain bahwa, "Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan kekuatan-kekuatan politik atau organisasi manapun. Muhammadiyah senantiasa mengembangkan sikap positif dalam memandang perjuangan politik dan menjalankan fungsi kritik sesuai dengan prinsip amar ma'ruf nahi munkar demi tegaknya sistem politik kenegaraan yang demokratis dan berkeadaban"

Bagaimana dengan kader-kader Muhammadiyah? "Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada setiap anggota Persyarikatan untuk menggunakan hak pilihnya dalam kehidupan politik sesuai hati nurani masing-masing... Muhammadiyah meminta kepada segenap anggotanya yang aktif dalam politik untuk benar-benar melaksanakan tugas dan kegiatan politik secara sungguh-sungguh dengan mengedepankan tanggung jawab (amanah), akhlak mulia (akhlaq al-karimah), keteladanan (uswah hasanah), dan perdamaian (ishlah). Aktifitas politik tersebut harus sejalan dengan upaya memperjuangkan misi Persyarikatan dalam melaksanakan da'wah amar ma'ruf nahi munkar"

Sehingga, sikap politik Muhammadiyah jelas: Muhammadiyah secara institusional tidak mengambil jalur politik, tetapi memberikan ruang kepada kader-kadernya untuk berpolitik sesuai dengan moralitas politik yang dimiliki Muhammadiyah.

Kepribadian Muhammadiyah  sebagai Moral Politik
Keprubadian Muhammadiyah adalah suatu persyarikatan yang merupakan Gerakan Islam. Maksud geraknya ialah Dakwah Islam dan amar ma'ruf nahi munkar yang ditujukan kepada dua bidang : perseorangan dan masyarakat. Dalam konteks ini, politik berarti ialah dakwah amar ma;ruf dan nahi munkar. Kebutuhan politisi adalah mendefinisikan yang ma'ruf dan munkar dalam konteks politik.  Moral politik Muhammadiyah adalah dakwah amar ma'ruf dan nahi munkar.

Apa parameter ma'ruf dan munkar tersebut? Kepribadian Muhammadiyah sudah merumuskan: "Berpegang teguh akan ajaran Allah dan Rasulnya, bergerak membangun di segenap bidang dan lapangan dengan menggunakan cara serta menempuh jalan yang diridlai Allah SWT". Konsep ini menunjukkan bahwa Muhamamdiyah menggunakan Islam sebagai dasar perjuangan politik, tetapi dilakukan dengan berorientasi pada pembangunan dan kemajuan masyarakat, demi masyarakat utama sebagai cita-cita politiknya. Islam yang dipahami Muhammadiyah tidak kaku, melainkan berkemajuan. Pada titik inilah logika politik diletakkan.

Amar ma'ruf didefinisikan mengacu pada Al-Qur'an, Sunnah, dan pendapat yang mu'tabar, serta dilakukan sesuai dengan keadaan masyarakat. Begitu juga dengan nahi munkar. Politik Muhammadiyah adalah politik keumatan. Maka dari itu, politisi Muhammadiyah seyogianya adalah politisi yang bergerak bersama umat dan memperjuangkan hak umat. Hal ini yang mendasari perjuangan politik Muhammadiyah abad ke-21.

Muqaddimah Anggaran Dasar sebagai Dasar Perjuangan Politik
Muhammadiyah mendasarkan segala gerak dan amal usahanya atas prinsip-prinsip yang tersimpul dalam Muqaddimah Anggaran Dasar, yaitu:

1. Hidup manusia harus berdasar tauhid, ibadah, dan taat kepada Allah.
Tauhid adalah dasar perjuangan politik Muhammadiyah yang paling utama. Seluruh aktivitas berpolitik harus dipandang sebagai ibadah, yang tentunya harus sesuai dengan rambu-rambu moralitas politik yang telah Allah gariskan. Tauhid adalah epistemologi politik Muhammadiyah, yang memandu laku gerak politik seorang warga Muhammadiyah untuk memperjuangkan aktivitasnya.

2. Hidup manusia bermasyarakat.
Pertanyaannya, cukupkah hanya bertauhid dengan segenap aspeknya yang bersifat ritus? Ternyata tidak. Hidup manusia juga tak lepas dari masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu, orientasi politik Muhammadiyah adalah memperbaiki, memperjuangkan, dan berdialog bersama masyarakatnya. Tauhid harus diejawantahkan dalam praksis kehidupan bermasyarakat. Inilah yang disebut Amien Rais sebagai "Tauhid Sosial".

3. Mematuhi ajaran-ajaran agama Islam dengan berkeyakinan bahwa ajaran Islam itu satu-satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk kebahagiaan dunia akhirat.
Konsekuensi dari tauhid sosial adalah menjadikan Islam sebagai landasan moral politik. Kepribadian Muhammadiyah telah tegas menyatakan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan dakwah amar ma'ruf nahi munkar. Maka, sudah seyogianya pula warga Muhammadiyah menjadikan dakwah sebagailandasan moral politik untuk menciptakan ketertiban bersama.

4. Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat adalah kewajiban sebagai ibadah kepada Allah dan ikhsan kepada kemanusiaan.
Karena Muhammadiyah percaya dengan Islam sebagai moral politik, maka konsekuensinya adalah melaksanakan ajarannya secara konsekuen. Pelaksanaan ajaran Islam itu tidak hanya pada aspek ritus, sebagai ibadah kepada Allah, tetapi juga dalam bentuk kebaikan terhadap kemanusiaan. Politik Muhammadiyah adalah politik yang berdasar pada kemanusiaan, sebagai wujud penghambaan kepada Allah.

5. Ittiba’ kepada langkah dan perjuangan Nabi Muhammad SAW.
Ittiba' berarti mengikuti Rasulullah dengan basis keilmuan. Artinya, tidak hanya memahami dakwah Rasulullah secara praksis, melainkan juga secara metodologis. Ini berarti, ruang-ruang tafsir atas sirah perjuangan nabi perlu dibuka kembali. Dan tentu saja, dikontekstualisasikan dengan kehidupan masa kini, sehingga lahirlah pemahaman Islam yang historis, juga pemahaman politik yang sesuai dengan koridor Rasul tanpa harus tercerabut dari zamannya. 

6. Melancarkan amal usaha dan perjuangannya dengan ketertiban organisasi.
Karena seorang warga Muhammadiyah tak bisa lepas dari Muhammadiyah, ketika berpolitik di manapun, ia harus kembali ke Muhammadiyah. Baik dari sekadar ikut pengajian atau menimba ilmu.  KH Ahmad Dahlan pernah berkata, "Muhammadiyah pada masa sekarang ini berbeda dengan Muhammadiyah pada masa mendatang... Menjadilah dokter sesudah itu kembalilah kepada Muhammadiyah. Jadilah master, insinyur, dan (propesional) lalu kembalilah kepada Muhammadiyah sesudah itu.” Mungkin, bisa pula ditambahkan: 'jadilah politisi, dan kembalilah kepada Muhammadiyah sesudah itu. wallahu a'lam bish shawwab.

Tajdid  sebagai Visi Politik
Muhammadiyah telah menyatakan diri sebagai gerakan tajdid. Secara letterlijk, tajdid berarti pembaharuan. Kepribadian Muhammadiyah menyebut tajdid sebagai mengembalikan pada ajaran Islam yang asli dan murni; sementara penggunaan kata lain tertera sebagai penggunaan akal dalam menjawab tantangan zaman, seperti dalam prinsip-prinsip Majlis Tarjih poin 14 disebutkan “Dalam hal-hal termasuk Al-Umurud Dunyawiyah yang tidak termasuk tugas para nabi, menggunakan akal sangat diperlukan, demi untuk tercapainya kemaslahatan umat.”

Ketika tajdid menjadi visi Muhammadiyah, maka  politisi yang lahir dari rahim Muhammadiyah hendaknya juga bervisi demikian. Orientasi berpolitik Muhammadiyah adalah tajdid, yang berbasis pada kemajuan umat, untuk menciptakan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Belakangan konsepsi masyarakat yang diidealkan Muhammadiyah itu disebut sebagai 'Masyarakat Utama'. Politik memainkan posisi penting untuk memastikan kekuasaan pada track  keumatan, agar pemerintahan dapat benar-benar membuka jalan bagi terwujudnya baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Strategi tajdid ini yang penting untuk dirumuskan. KH Ahmad Dahlan telah memberikan dasar bagi tajdid, yaitu melalui pengetahuan. Dalam salah satu wasiatnya Kyai Dahlan telah berpetuah, "“Hendaklah warga muda-mudi Muhammadiyah hendaklah terus menjalani dan menempuh pendidikan serta menuntut ilmu pengetahuan (dan teknologi) di mana dan ke mana saja." Tajdid sebagai oreientasi politik berarti membangun pengetahuan sebagai landasan pengambilan kebijakan publik, terutama di era di mana arus informasi beredar kian cepatnya.

Dan basis pengetahuan ini perlu diletakkan pada tujuannya yang mulia: memberdayakan serta membebaskan kaum miskin dari ketertindasan.

Al-Ma'un sebagai Misi Politik
Teologi Al-Ma'un merupakan pengejawantahan KH Ahmad Dahlan atas surah Al-Ma'un. Syahdan, ketika beliau mengajarkan surah Al-Ma'un kepada murid-muridnya, beliau tidak hanya mengajarkan tafsir dan tarjamahnya, tetapi juga bagaimana melaksanakannya secara nyata.

Kini, Teologi Al-Ma'un juga perlu dimaknai dalam kerangka struktural, sebab penindasan itu juga bersifat struktural. Politik Al-Ma'un adalah politik pemihakan, perlawanan, dan pemberdayaan. Pemihakan bagi mereka yang tertindas oleh struktur kapitalisme yang menjangkar di Indonesia, perlawanan terhadap koruptor dan penindas rakyat kecil, serta pemberdayaan bagi dhu'afa dan mustadh'afin.

Upaya-upaya pembelaan perlu digalakkan melalui politik advokasi dan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Teologi Al-Ma'un berarti advokasi; pembelaan atas hak-hak masyarakat yang terlupakan oleh negara.  Dan sebab itu, perbaikan terhadap paradigma pengambilan kebijakan menjadi penting dipadukan dengan kerangka Al-Ma'un. Partai politik yang tidak berpihak pada kaum miskin, yang memonopoli proyek anggaran untuk kepentingan golongan sendiri, yang bertindak kontraproduktif dengan iklim pemberantasan korupsi, yang justru melakukan korupsi di tengah kesusahan bangsa, harus diingatkan dengan Surah Al-Ma'un ini: untuk tidak menjadi para pendusta agama.

Kita hidup di tengah hegemoni partai-partai, yang bahkan sudah menjamah media-media massa sebagai juru bicaranya. Partai-partai yang hidup dari percaloan anggaran, cenderung menjadikan parlemen dan kementerian sebagai bancakan proyek. Kepada mereka, perlu kita ingatkan dengan Surah Al-Ma'un: jangan lupakan orang-orang fakir dan miskin agar tidak jadi pendusta agama. Partai politik yang terlampau banyak makan dari anggaran rakyat, harus diingatkan dengan Surah Al-Ma'un agar berhati-hati, jangan menjadi pendusta agama!

Al-Ma'un menjadi misi politik utama Muhammadiyah, sehingga mereka yang miskin dan tertindas bisa terangkat nasibnya. Dan dengan demikian, Muhammadiyah bisa memuluskan jalan untuk merengkuh cita-cita politiknya: menjadi masyarakat utama.

Masyarakat Utama sebagai Cita-Cita Politik
Dan akhirnya, cita-cita politik Muhammadiyah-pun kita daku bersama: "berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil dan makmur dan diridhoi Allah SWT" (Matan Keyakinan & Cita-Cita Hidup Muhammadiyah). Negara yang adil, makmur, dan diridhoi Allah memerlukan kontribusi berbagai bidang, tak terkecuali politik. Politik adalah salah satu jalan untuk mewujudkan masyarakat itu, agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Muqaddimah Anggaran Dasar telah menyatakan bahwa, "Masyarakat yang sejahtera, aman damai, makmur dan bahagia hanyalah dapat diwujudkan di atas keadilan, kejujuran, persaudaraan dan gotong royong, bertolong-tolongan dengan bersendikan hukum Allah yang sebenar-benarnya." Oleh sebab itu, karakter politik yang dibawa oleh warga Muhammadiyah juga mesti menampilkan keadilan, kejujuran, persaudaraan, dan gotong-royong. Ini adalah cita-cita mulia politik Muhammadiyah.

Dengan demikian, kita bisa membaca 'nafas' politik yang ingin ditampilkan Muhammadiyah dan dihembuskan melalui warga-warganya yang terjun dalam dunia politik: mengambil sikap politik yang jelas, berkepribadian dan bermoral dakwah amar ma'ruf nahi munkar, berdasar pada ideologi gerakan, bervisi tajdid, punya misi Al-Ma'un, dan mencita-citakan masyarakat utama.

Ikhtitam
Di penghujung tahun 2012 ini, ada baiknya kita mengambil sedikit renungan: sudah sejauh mana perilaku politik kita sesuai dengan kepribadian yang ingin ditampilkan persyarikatan? Politik Muhammadiyah jelas bukan politik yang menghiba pada kekuasaan; tetapi ia juga tidak lari dari tanggung jawab mengelola kekuasaan. Muhammadiyah memberikan ruang ijtihad untuk berpolitik pada warganya. Dan sejauh mana ruang itu digunakan sesuai dengan koridor nilai yang telah diberikan oleh persyarikatan?

Tahun 2013 perlu di-declare menjadi momentum tajdid baru Muhammadiyah. Dakwah konstitusional sudah digaungkan, apakah dakwah pemerintahan juga akan menyusul? Tentu saja, sesuai dengan khittah yang ia tegaskan 40 tahun silam.

Nasrun Minallah wa Fathun Qariib.

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Warga Muhammadiyah, tinggal di Warungboto, Yogyakarta

Minggu, 09 Desember 2012

Transformasi Kelembagaan Keluarga Mahasiswa UGM 1992-2012


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar*

Tak terasa, 20 tahun sudah Keluarga Mahasiswa UGM mewarnai kehidupan mahasiswa UGM. Sistem yang digadang-gadangkan sebagai 'student government' ini -dengan segenap kekurangan dan keterbatasannya- menjadi sebuah ikhtiar yang dilakukan oleh mahasiswa UGM untuk mendobrak kejumudan yang dihasilkan oleh rezim pendidikan saat itu, Beragam momentum gerakan, konflik, krisis, dan transformasi dilalui. Sampai diselenggarakannya Pemilihan Raya Mahasiswa pada tahun ini, 20 tahun sudah usia lembaga mahasiswa intrakampus di UGM ini dilalui.

Saya berkecimpung di KM UGM sejak tahun 2008, ketika masih berada di semester 1. Pada medio 2010-2011, saya dan beberapa rekan melakukan studi kecil-kecilan, diawali oleh keisengan untuk 'membongkar' sejarah organisasi yang saya tempati, yang akhirnya membawa kami pada beberapa pertemuan dengan beberapa senior serta alumni yang dulu sempat mendirikan organisasi ini. Tulisan ini adalah rangkuman beberapa hal terkait sejarah transformasi kelembagaan mahasiswa UGM yang sempat kami kumpulkan dari beberapa wawancara.

Genesis
Bicara soal keluarga mahasiswa UGM tak dapat dipisahkan dari sebuah entitas yang sempat menjadi salah satu kekuatan politik 'menakutkan' zaman Orde Baru: Dewan Mahasiswa (DM). Pada tahun 1978, secara serentak Dewan Mahasiswa di berbagai kampus di Indonesia dibekukan oleh rezim Orde Baru. Dewan Mahasiswa dianggap sangat politis. Mereka mengorganisir diri menolak kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka pada tahun 1976, yang akhirnya melahirkan Malapetaka 15 Januari (Malari), hingga mengorganisir penolakan terhadap rezim. Daoed Joesoef yang baru pulang dari Sorbonne dan diangkat jadi Menteri Pendidikan menjawab keras: Dewan Mahasiswa harus bubar.

Dalam sejarahnya, Dewan Mahasiswa UGM memiliki struktur kelembagaan yang sederhana namun sangat powerful. Dewan Mahasiswa bertipe 'negara kesatuan' (jika mengambil terminologi ilmu politik) dengan Dewan Mahasiswa Universitas sebagai entitas yang berdaulat dan Komisariat Dewan Mahasiswa di tingkat fakultas. Dewan Mahasiswa semuanya diisi oleh anggota yang telah dipilih dari masing-masing fakultas melalui pemilihan langsung. Pengambilan keputusan di Dewan Mahasiswa bersifat demokratis, dalam arti satu keputusan harus disetujui oleh lebih dari separuh jumlah anggota. Praktis, dinamika di dalam cukup dialektis namun secara kelembagaan legitimate dan powerful.

Setelah dibubarkan tahun 1978, UGM mengalami kevakuman aktivisme internal pada medio 1980an. Gagasan untuk kembali memunculkan lembaga di tingkat universitas kembali bergulir pada akhir dekade 1980-an. Pada tahun 1987 muncul sebuah Forum bernama Forum Komunikasi Sema/BPM. Forkom Sema/BPM inilah yang kemudian melahirkan Senat Mahasiswa UGM pada tahun 1991.Forum ini digiatkan oleh beberapa tokoh mahasiswa, di antaranya Sugeng Bahagijo (Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Filsafat), Abdul Latief (Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik) dan Mohammad Saefuddin (Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Geografi).

Forum Komunikasi ini sempat menginisiasi demonstrasi yang terkenal, yaitu penolakan Porkas/SDSB yang langsung didukung oleh Rektor UGM pada waktu itu. Rektor yang tak lain adalah Koesnadi Hardjasoemantri, mantan Ketua Dewan Mahasiswa UGM di era 1950an, langsung mengantarkan mahasiswa ke Gedung DPRD DIY pada waktu itu.

Pada tahun 1991, Mendilkbud baru (Fuad Hassan) mencoba mendinginkan situasi dengan mengeluarkan SK Mendikbud No 0457 yang mengatur pembentukan Senat Mahasiswa di tingkat Universitas. Bentuk kelembagaan baru itulah yang kemudian dikenal sebagai SMPT.  Dalam menyikapi SK Mendikbud 0457/1990 ini, ada dua perguruan tinggi yang menolak, yaitu ITB dan UGM.

ITB menolak SK ini dengan tidak membentuk organisasi kemahasiswaan di tingkat Institut. Mereka kemudian membuat Forum Komunikasi antar Himpunan mahasiswa jurusan. (FKHJ) yang hanya sebatas forum untuk koordinasi antara Himpunan untuk urusan yang sifatnya teknis. Kekuasaan tetap berada di Himpunan Jurusan. Baru tahun 1998, mahasiswa ITB kembali membentuk Keluarga Mahasiswa ITBB dengan Ketuanya yang pertama Vijaya Fitriyasa.

Sementara itu, UGM menyikapinya dengan membuat model Senat Mahasiswa yang berbeda dengan instruksi SK Mendikbud. Bentuk Senat Mahasiswa UGM ini diinisiasi oleh beberapa Ketua Senat Mahasiswa tingkat Fakultas waktu itu yang tergabung dalam Forum Komunikasi Senat Mahasiswa UGM. Rektor waktu itu, Koesnadi Hardjasoemantri, menyambut baik. Dibentuklah pola Senat Mahasiswa tingkat Universitas yang berawal dari Senat Mahasiswa di tingkat Fakultas.

Pada tahun 1991, tibalah masa  menandai Pada Kongres pertama SM UGM di Kaliurang, disusunlah AD/ART Keluarga Mahasiswa UGM sebagai legal basis dari kedudukan SM UGM. SM UGM menjalankan fungsi legislatif, dan fungsi eksekutifnya dijalankan oleh Badan Pelaksana SM UGM yang diketuai oleh Janoe Arijanto dan wakil ketua Kusuma SP.

Bentuk Senat Mahasiswa UGM pada awalnya adalah Lembaga Legislatif Mahasiswa biasa, dengan Senat Mahasiswa UGM yang menjalankan peran legislatif. Senat Mahasiswa kemudian menjadi lembaga tertinggi di UGM yang menggantikan peran Dewan Mahasiswa, hanya saja memegang fungsi legislatif. Bentuk ini merupakan embrio, karena posisi Senat adalah satu-satunya lembaga yang mengakomodasi kepentingan mahasiswa. Bagaimana dengan peran legislatifnya? Dibentuklah Badan Pelaksana Senat Mahasiswa yang merupakan “alat” eksekutif Senat Mahasiswa  UGM.

Terpilih sebagai Ketua Umum SM UGM yang pertama, Muhammad Khoiri Umar dari Fakultas Ekonomi. Ia terpilih di Kongres setelah mengalahkan Iwan Samariansyah, mantan Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Geografi. Iwan Samariansyah kemudian menjadi Sekretaris Jenderal Senat Mahasiswa. Sebagai Ketua Badan Pelaksana SM (BPSM), terpilih Janoe Arijanto dari FISIPOL, dengan Wakil Ketua Kusuma SP dari Fakultas Sastra. Senat Mahasiswa pada era ini menggunakan model parlementer, artinya Badan Pelaksana bertanggung jawab kepada Senat Mahasiswa dan dipilih melalui mekanisme yang diatur oleh Senat Mahasiswa.

Namun, format baku Senat Mahasiswa sendiri dimulai pada era Anies Baswedan yang memimpin sesudahnya. Anies melakukan reformasi kelembagaan Senat Mahasiswa UGM dengan membentuk BEM UGM sebagai lembaga eksekutif mahasiswa dan Senat Mahasiswa UGM sebagai lembaga legislatif dalam payung Keluarga Mahasiswa UGM. Ini praktis hampir sama posisinya dengan Dewan Mahasiswa UGM dulu yang powerful dengan posisi dan kewenangan eksekutif yang kuat.

Pembentukan Senat Mahasiwa ini bukannya tanpa resistensi. Ketika dilangsungkan Kongres I, beberapa kelompok mahasiswa menyatakan tidak setuju dengan Konsep SM dan melakukan walk-out dari persidangan. Kelompok mahasiswa yang menamakan diri sebagai Komite Pembela Mahasiswa ini kemudian menolak Senat Mahasiswa dengan melakukan aksi di kampus UGM. Beberapa aktivis yang menolak organ ini di antaranya Dadang Juliantara (Fakultas Matematika & Ilmu Pengetahuan Alam), Sugeng Bahagijo (Fakultas Filsafat), Ngarto Februana (Fakultas Sastra), dan Satya Widodo (Fakultas Filsafat). Beberapa aktivis KPM kemudian mendirikan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) yang berafiliasi ke Partai Rakyat Demokratik (PRD) pimpinan Budiman Sujatmiko.

Pada saat yang bersamaan, di Universitas Indonesia juga dibentuk embrio Senat Mahasiswa dengan Ketua Firdaus Artoni (Fakultas Kedokteran) dan Ketua Harian Chandra M. Hamzah (Fakultas Hukum). Kelak, SM UI tersebut berubah menjadi BEM UI pada era Zulkieflimansyah (1996).

Transformasi
Pasca-Kongres II tahun 1992, Anies Baswedan, mahasiswa Fakultas Ekonomi\ yang saat itu terpilih sebagai Ketua Senat Mahasiswa UGM melakukan beberapa perubahan format kelembagaan. Dari bentuk Badan Pelaksana Senat Mahasiswa, ia memperkenalkan BEM sebagai pengemban fungsi eksekutif dari pemerintahan mahasiswa UGM. Format BEM UGM sebenarnya lahir pada Kongres II tahun 1992, namun posisinya masih sama dengan posisi pada tahun sebelumnya.

Ketua BEM UGM yang pertama adalah Agustinus Anindya dari Fakultas Hukum. Ia masuk sebagai perwakilan dari UKM. Konsep SM UGM ini mengajukan Kongres sebagai forum tertinggi. Dengan demikian, posisi eksekutif dan legislatif setara. Eksekutif kemudian membawa peran sendiri yang cukup sentral. Jadi, embrio sistem presidensial di KM UGM sebenarnya sudah bermula pada era ini.

Perubahan kelembagaan ini merupakan bentuk “penolakan halus” atas konsep SMPT yang dibawa oleh Mendikbud Fuad Hassan di awal 1990an. Karakter kepemimpinan Anies Baswedan yang melakukan kritik secara halus dan dengan manuver yang tajam menjadikan penolakan itu diterima oleh pemerintah. Akhirnya, rumusan konsep yang dibuat oleh kepengurusan Anies dan diresmikan pada Kongres III tahun 1993 ini diterima sebagai konsep Senat Mahasiswa UGM dan efektif diberlakukan di UGM. Ini berbeda dengan kampus lain seperti UI yang menerima konsep SMPT dengan Ketua Senat Mahasiswa pertama Zulkieflimansyah pada tahun 1995-1996.

Pada Kongres III, barulah format BEM UGM yang baru diberlakukan. Format baru ini mengimplikasikan Senat dan BEM dalam posisi setara, dengan posisi mereka bertanggung jawab kepada Kongres. Formasi ini berbeda sekali dengan konsep SK Mendikbud yang tidak meletakkan adanya BEM dan hanya mengakui Senat. BEM dan Senat dalam formasi baru ini bertanggung jawab kepada Kongres Mahasiswa. Pada waktu itu, mulailah diadakan Pemilihan Raya Mahasiswa yang memilih anggota-anggota Senat.

Pemilihan tersebut dilakukan dengan sistem proporsional dengan basis pemilihan masing-masing fakultas. Masing-masing fakultas melakukan pemilihan anggota Senat seara proporsional, dengan kuota yang ditentukan berdasarkan kesepakatan. Sejak saat itu istilah “Keluarga Mahasiswa UGM” diperkenalkan. Ini adalah hasil amandemen yang dibuat oleh kepengurusan Senat era Anies Baswedan.

Persoalan berikutnya yang cukup penting adalah UKM. Dengan model pemilihan yang sifatnya proporsional dengan basis fakultas tersebut, di mana posisi UKM? Sebelumnya, UKM diakui sebagai bagian dari senat dengan perwakilan kluster. Ada sekitar 50an UKM pada tahun ini, dan jumlah ini signifikan. Posisi penting UKM sebagai bagian dari Senat diakomodasi hingga masa ini. Pada Kongres III, terpilih sebagai Ketua Senat yaitu Elan Satriawan. Sementara itu, Kongres memilih Musta’in Syamburi dari Fakultas Teknik sebagai Ketua BEM. Keduanya adalah mantan Ketua Senat Mahasiswa di tingkat Fakultas. Elan adalah Sekjen Senat Mahasiswa UGM era Anies dan memang sangat memahami operasi dari struktur baru KM UGM ini.

Kongres IV mengawali babak baru KM UGM dengan dua fenomena penting. Pertama, keluarnya UKM dari Senat Mahasiswa karena beberapa hal. Kedua,  munculnya Dewan Mahasiswa sebagai reaksi beberapa kelompok atas peristiwa yang terjadi pada era ini.

Keluarnya UKM dapat dipahami sebagai sebuah dialektika yang panjang, karena UKM sendiri sejak awal telah mendukung adanya Senat Mahasiswa. UKM lahir setelah Dewan Mahasiswa dibubarkan tahun 1978, dan keberadaan mereka di gelanggang mahasiswa dipayungi langsung oleh PR III. Setelah Senat berdiri, mereka support. Namun, karena adanya perubahan mekanisme di tubuh KM UGM sendiri, mulai ada perdebatan soal UKM, terutama untuk masalah pendanaan. Sebagai solusi, mereka akhirnya menyatakan keluar dari KM UGM namum tetap mendapatkan support pendanaan dari rektorat. Posisi mereka dalam konteks ketatanegaraan KM UGM menjadi “lembaga non-negara”.

Selain itu, pada waktu itu juga terjadi persaingan antara beberapa kubu untuk mendapatkan kursi Ketua Senat Mahasiswa UGM. Pada waktu itu, yang terpilih sebagai Ketua Senat Mahasiswa adalah Taufik Rinaldi dari Fakultas Hukum. Sebagai Ketua BEM adalah Restu Widyatmoko dari FMIPA. Kubu lain, yaitu Velix Wanggai –waktu itu Ketua SM FISIPOL— kemudian menggalang poros baru, yaitu Dewan Mahasiswa. Dema UGM muncul sebagai sebuah reaksi atas kontestasi politik pada waktu itu. Lahirlah friksi yang cukup kental dalam pemerintahan mahasiswa UGM waktu itu, menyisakan pergulatan kepentingan antara dua kekuatan terbesar di UGM waktu itu: HMI MPO (yang selama ini menguasai struktur KM UGM) dengan SMID atau gerakan kiri.

Akar sejarah Dewan Mahasiswa sebetulnya telah ada sejak penolakan beberapa elemen mahasiswa terhadap pendirian Senat Mahasiswa tahun 1991. Beberapa mahasiswa dari Filsafat, Sastra, dan Fisipol pada waktu itu berdemonstrasi menolak pendirian Senat Mahasiswa UGM. Namun, penolakan mereka gagal dan Senat tetap berdiri. Generasi berikutnya kemudian mencoba untuk menolak BEM setelah Kongres IV tahun 1994 dengan mendirikan Dewan Mahasiswa. Organisasi ini sempat berdiri selama beberapa tahun, walau akhirnya bubar di awal 2000an.

Situasi kembali coba dinormalisasi pada tahun berikutnya, yaitu 1995-1996. Waktu itu, terpilih sebagai Ketua Senat Mahasiswa UGM adalah Rizal Yaya dengan Ketua BEM Hasannudin M. Kholil. Spirit KM UGM tahun ini adalah penguatan eksekutif. Sehingga, BEM UGM lebih banyak bergerak ketimbang Senat Mahasiswa. Sebagai gantinya, diciptakan mekanisme check and balances antara legislatif-eksekutif. Senat berperan sebagai legislatif dan BEM mengemban fungsi eksekutif penuh.

BEM pada masa ini sempat menggelar seminar yang terkenal terkait kepemimpinan nasional, yang waktu itu menghadirkan Sri Bintang Pamungkas dan Megawati Soekarnoputri, walau tak jadi dihadiri oleh Bu Mega karena alasan politis.

Pada waktu itu, hampir semua posisi Senat dan BEM UGM diisi oleh Senator Fakultas. Hasannudin Kholil, Ketua BEM UGM waktu itu, secara ex-officio juga menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa FISIPOL UGM. Sekjennya di BEM, Aji Erlangga, adalah Sekretaris Umum Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi. Ketua Senat Mahasiswa UGM (Rizal Yaya) juga merangkap sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi. Begitu juga dengan beberapa Ketua Bidang seperti Bambang Misdiyanto (Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Pertanian) dan Yogo Susanto (Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Farmasi).

Dengan komposisi BEM dan Senat Mahasiswa yang merangkap dengan fakultas, secara otomatis BEM pada waktu itu berdiri dalam kebangunan struktur 'menyerupai' negara kesatuan. Tahun 1996-1997 tidak ada perubahan struktural yang berarti. Waktu itu, Senat dipimpin oleh Nasrullah dari Fakultas Hukum (kemudian digantikan oleh M. Rizal), dan Ketua BEM dijabat oleh Heni Yulianto dari Fakultas Geografi.Senat dan BEM pada masa ini masih dipilih pada Kongres KM UGM.

Perubahan signifikan baru terjadi pada tahun 1997-1998, di Kongres VII. Kongres VII memperkenalkan format demokrasi langsung bertajuk Pemilihan Raya Mahasiswa (Pemira) untuk memilih Ketua BEM UGM. Ketua Pemilihan Raya mahasiswa pada waktu itu dijabat oleh Mustafied dari Fakultas Filsafat. Pemilihan Raya diperkenalkan untuk memilih Ketua BEM UGM. Pada Pemilihan Raya tersebut, Anang Kurniawan dari Fakultas Teknik mendapatkan Secara popular vote terbanyak. Namun, suaranya tidak mencapai suara mayoritas, karena perbedaan suara yang tipis dengan dua orang lawannya (Haryo Setyoko dan Cahyo Pamungkas), sehingga mengakibatkan pemilihan harus dilanjutkan ke arena Kongres.

Dengan  dinamika politik yang terjadi pada Kongres pada waktu itu, BEM UGM akhirnya menganut sistem presidium. Sistem ini dibuat sebagai konsensus pada saat kongres. Dengan demikian, pengambilan keputusan dilakukan secara kolektif. Ketua BEM dijabat oleh Haryo Setyoko dari Fisipol dan didampingi oleh dua orang Wakil Ketua, yaitu Anang Kurniawan (Teknik) dan Cahyo Pamungkas (FE). Pada pemilihan di Kongres, Haryo Setyoko yang mendapatkan suara terbanyak. Namun, dengan sistem presidium, ia berada pada posisi yang sama dengan Cahyo dan Anang.

Adapun Ketua Senat dijabat oleh Ridaya La Ode Ngkowe dari Fakultas Geografi. Era ini  bertepatan dengan reformasi 1998, dan Senat Mahasiswa di bawah pimpinan Ridaya Laode Ngkowe menjadi pionir aksi mahasiswa yang cukup besar pada waktu itu, mencapai 50.000 mahasiswa.

Pasca-Reformasi
Pada Kongres tahun 1998, kembali terjadi perubahan signifikan. Kali ini, struktur kelembagaan Senat Mahasiswa yang mengalami perubahan. Senat Mahasiswa sebagai lembaga legislatif tidak lagi dipilih dengan basis fakultas, melainkan dengan basis partai. Sistem kepartaian efektif dijalankan pada Pemilihan Raya tahun 1999. Sedangkan BEM menjadi lembaga eksekutif murni yang dipilih melalui Pemilihan Raya secara langsung. Kongres hanya mengesahkan serta melantik Ketua BEM terpilih. Pada tahun inilah mulai dibakukan istilah Presiden Mahasiswa.

Pada waktu itu, terpilih sebagai Ketua Senat adalah Yusdinur Usman Musa dari Fakultas Kehutanan. Sementara itu, Presiden Mahasiswa dijabat oleh Subiantoro dari Fakultas Ekonomi. Kepengurusan tidak berjalan lama, karena pada pertengahan tahun 1999, digelar Pemilihan Raya Mahasiswa untuk ketiga kalinya dengan sistem pemilihan yang baru, yaitu memperkenalkan partai mahasiswa. Sistem baru secara efektif dijalankan, menandai fase kedua KM UGM. Pemilihan Raya pertama waktu itu dimenangkan oleh Partai Bunderan –yang berafiliasi dengan KAMMI— dengan menempatkan Presiden Mahasiswa terpilih, yaitu Huda Tri Yudiana dari Fakultas Teknik. Periode ini –awal mula sistem kepartaian dan sistem presidensial— menandai awal hegemoni KAMMI (tarbiyah) di UGM.

Namun, Kongres 1999 sendiri kemudian mengalami perubahan. Ketidakpuasan yang muncul menyebabkan adanya usulan untuk membubarkan KM UGM dan menggantinya dengan sebuah sistem baru. Akhirnya, kepengurusan tahun ini disebut sebagai era “Transisi”, dengan Ketua Eksekutif Transisi Huda Tri Yudiana dan Ketua Legislatif Transisi Muhammad Ali Fahmi (Alm) dari Fisipol. Sistem kepartaian tetap dipertahankan, bahkan menjadi trademark karena diikuti oleh universitas lain seperti UNY dan UMY. Legislatif Transisi kemudian berubah nama menjadi Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), dan Eksekutif Transisi tetap menjadi BEM UGM. Sistem berubah menjadi presidensialisme dengan penguatan BEM sebagai entitas yang benar-benar powerful sebagai sebuah lembaga mahasiswa.

Pada tahun 2002, sempat muncul wacana masuknya unsur mahasiswa sebagai anggota MWA. BEM UGM pada waktu itu dipimpin oleh Rahman Toha Budiarto membentuk tim persiapan yang beranggotakan dosen dan mahasiswa. Sementara itu, DPM KM UGM yang dipimpin oleh Maryati (FMIPA) melakukan referendum untuk menjaring aspirasi mahasiswa. Referendum sendiri berakhir dengan mayoritas mendukung mahasiswa masuk ke MWA, namun hasil tim persiapan yang melakukan lobi-lobi ke MWA justru sebaliknya. Pada tahun itu, terpilih rektor Prof. Dr. Sofian Effendi dari Fisipol. Unsur mahasiswa sendiri akhirnya tidak masuk ke MWA setelah proses dialektika yang cukup panjang.

Situasi tetap bertahan hingga kepengurusan selanjutnya. Transformasi kelembagaan yang cukup signifikan terjadi pada tahun 2006. Sistem legislatif menyepakati adanya sistem bikameral. Perwakilan Fakultas kembali dihidupkan dengan model pemilihan legislatif langsung, yang memilih anggota DPF dari masing-masing fakultas. DPF adalah perwakilan independen non-partai yang mengikuti Pemilihan Raya mahasiswa. Ini adalah bentuk akomodasi kelompok non-partai untuk berpartisipasi dalam KM UGM.

Namun, pemilihan DPF minim diikuti oleh mahasiswa. Pada Kongres tahun 2010, disepakati adanya Dewan Bikameral untuk koordinasi antar-lembaga pada saat ini. DPF kemudian lebih banyak melakukan penjaringan aspirasi dan melakukan kajian-kajian kemahasiswaan. Pada kongres 2011, DPF akhirnya dibubarkan dan format kelembagaan dikembalikan menjadi Senat Mahasiswa yang berisi dua komponen perwakilan, yaitu partai mahasiswa dan perwakilan fakultas. Perwakilan Fakultas baru efektif diperkenalkan di publik pada Pemira tahun 2012.

Pada tahun 2012 juga, lahir keputusan untuk mewakilkan seorang mahasiswa di kursi MWA untuk terlibat dalam Pemilihan Rektor. MWA akhirnya 'resmi' masuk AD/ART. Perwakilan MWA Unsur Mahasiswa dijabat oleh Luthfi Hamzah, mantan Presiden Mahasiswa UGM. MWA hanya aktif hingga pemilihan rektor berlangsung, yang mengangkat Prof Pratikno sebagai rektor baru. Pada tahun 2012 ini, Giovanni van Empel dari Future Leaders Party terpilih sebagai Presiden BEM KM UGM.

Masa Depan
Pertanyaannya, bagaimana masa depan KM UGM pasca-Pemira 2012 ini? Kemarin, saya berkesempatan menjadi panelis pada debat calon anggota Senat Mahasiswa UGM 2012. Ketika sampai pada pertanyaan soal sejarah, tak satupun calon anggota senat yang memahami secara persis sejarah dan transformasi kelembagaan mahasiswa UGM. Hal ini tentu saja cukup ironis. Bagaimana mungkin para calon anggota Senat itu mencalonkan diri tanpa tahu tentang sejarah lembaganya sendiri?

Oleh sebab itu, saya hanya berpesan: penting bagi semua pihak untuk membangun KM UGM dengan pengetahuan yang memadai soal sejarah dan format kelembagaan KM UGM. Jangan sampai, ketika masuk sebagai anggota senat atau BEM, yang dilakukan hanyalah komentar tanpa fakta, tudingan tanpa bukti, atau kekuasaan tanpa pencerdasan. Jangan lupakan sejarah! Mari berorganisasi secara cerdas!

Wallahu a'lam bish shawwab.


*Penulis adalah Menteri Koordinator Bidang Kebijakan Eksternal BEM KM UGM 2012

**Tulisan ini saya tulis pada tahun 2011 sebagai kompilasi atas beberapa wawancara yang saya lakukan bersama beberapa kawan kepada beberapa narasumber. Saya harus mengucap terima kasih banyak pada tim alumni BEM KM UGM  (Uswah Hasanah, Ivan Nashara, Aulia Rachman Alfahmy, dll) yang beberapa di antaranya akhirnya harus 'masuk' sebagai pengurus BEM di penghujung masa studinya di UGM. Juga, kepada beberapa narasumber yang patut disebut: mas Anies Baswedan, Iwan Samariansyah, Hasannudin M. Kholil, Aji Erlangga, Elan Satriawan, Cahyo Pamungkas, Anang Kurniawan, Hanta Yuda, mbak Maryati Abdullah (PATTIRO), Abdullah Dahlan (ICW), Hikmat Hardono, Arie Sujito, dll.

Selasa, 04 September 2012

Abul Futuh


Jika ada politisi yang paling ditakuti oleh Ikhwanul Muslimin beberapa bulan terakhir, mungkin Abdul Mun'im Abul Futuh-lah orangnya. 36 tahun berjuang di Ikhwan (sejak menjadi Ketua Dewan Mahasiswa di Universitas Kairo), di Pemilu 2012 ini ia dengan berani menantang mantan koleganya di Ikhwan, Mohammed Morsy, sebagai Calon Presiden Mesir.

Ikhwan mungkin tidak takut dengan SCAF - Dewan Tinggi Militer yang selama ini memegang komando atas Mesir. Hussein Tantawi, Komandan SCAF, dipecat dengan gagah berani oleh Morsy. Ikhwan mungkin juga tidak takut menghadapi kaum revolusioner yang tiap hari, tak bosan-bosannya, berdemonstrasi di depan markas Ikhwan di Attamiya, Kairo. Tapi, dengan para 'mantan' anggotanya, Ikhwan seperti siaga.

Tak kurang dari Mahmoud Ghozlan, juru bicara IM, yang harus turun setiap hari ke kader-kadernya di 'bawah' untuk memperingatkan: barang siapa mendukung Abul Futuh waktu Pilpres, harus siap dikeluarkan dari Jamaah! Sobhi Saleh, seorang tokoh senior Ikhwan, berbicara kepada Ahram dengan nada tinggi: tidak etis bagi seorang Ikhwah untuk menyatakan pemikirannya pribadi di atas kepentingan jamaah! (menunjuk ke Abul Futuh).

Ikhwan rupanya tak main-main dengan hal ini. Abul Futuh seakan menjadi representasi dari kubu Ikhwan yang kritis. Semua 'mantan' Ikhwan berkumpul mendukungnya. Abul A'la Al-Madi, Issam Sultan, dan Salah Abdul Karim, tiga tokoh Ikhwan yang keluar setelah insiden Partai Wasat tahun 1996, berada di garis terdepan untuk mendukung Abul Futuh. Menyusul generasi muda 6 April yang juga menerima konsekuensi pahit dikeluarkan dari jamaah: Muhammad Al-Qassas, Islam Lotfy, dan Asmaa Mahfouz. Lalu 'geng Alexandria': Haytham Abul Khalil, Ibrahim Al-Za'afarany, dan Mohammad Habib. Semuanya sudah keluar dari Ikhwan.

Yusuf Al-Qaradhawy pun sampai menyatakan dukungannya: lebih cocok Abul Futuh yang jadi presiden, dan Morsy adalah wakilnya. Beruntung tidak ada yang berani menggugat Al-Qaradhawy, karena ia tidak tinggal di Mesir.

Siapakah Abul Futuh?

Beberapa penelitian terdahulu tentang Ikhwan menyebutnya sebagai 'pemimpin masa depan Ikhwan'. Carrie Rosefsky Wickham (2002) sampai menyebutnya sebagai kandidat terkuat pengganti Musthafa Mashhur setelah Murshid 'Am Ikhwan kelima ini meninggal dunia (kendati akhirnya beliau digantikan oleh Ma'mun Hudhaiby, putera kedua Hasan Al-Hudhaiby). Ia adalah generasi Ikhwan yang masuk pada era 'moderasi', ketika Ikhwan dipimpin oleh Umar At-Tilmisany.

Abul Futuh sudah menunjukkan kegemilangannya sebagai aktivis mahasiswa ketika ia menjadi Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Kairo. Ia berasal dari Fakultas Kedokteran, satu angkatan dan satu fakultas dengan Issam Al-Erian yang waktu itu menjadi Ketua Jamaah Mahasiswa Muslim Kedokteran di Universitas tersebut. Keduanya kemudian sering disebut sebagai duet pimpinan generasi muda Ikhwan, dan masuk ke Ikhwan bersamaan.

Namun, di kemudian hari, keduanya berpisah jalan: Abul Futuh keluar dari Ikhwan dan mencalonkan diri sebagai Presiden, sementara Al-Erian sukses dengan karier politiknya sebagai Wakil Presiden FJP -Partai Ikhwan- dan menjadi kandidat terkuat untuk menggantikan Morsy sebagai Presiden FJP.

Abul Futuh sempat mengejutkan publik ketika ia dengan berani mendebat Presiden Anwar Sadat di sebuah forum atas kebijakan politiknya pada tahun 1975. Sejak saat itu, namanya melejit. Umar Al-Tilmisani kemudian merekrutnya sebagai anggota Ikhwan, konon atas bantuan Syeikh Abbas As-Siisi, da'i kondang Ikhwan.

Abul Futuh kemudian disebut-sebut sebagai bagian penting dari generasi muda Ikhwan. Ia menjadi Sekjen Perhimpunan Para Doktor dan kini masih menjabat sebagai Sekjen Asosiasi Dokter Arab.

Selain Al-Erian, ada nama-nama seperti Ibrahim Al-Za'afarani dari Minya, Haitham Abu Khalil dari Alexandria, Issam Sultan, Salah Abdul Karim, Khaled Dawoud, atau Mohammad Habib. Nama terakhir pernah menjadi orang nomor dua Ikhwan (Wakil Pemimpin Tertinggi) pada era Mehdi Aklif (2004-2009). Mereka kini mengikuti jejak Abul Futuh: konflik dengan 'kubu tua' dan dikeluarkan. Di kubu sebelah kanan yang masih sukses di Ikhwan, selain Al-Erian, ada nama Hamid Al-Gazzar, Ketua Perhimpunan Insinyur.

Generasi Muda yang tampil belakangan lain lagi: Ada Asmaa Mahfouz dan Islam Lotfy yang memprakarsai gerakan pemuda 6 April pada tahun 2008 untuk mendukung pemogokan buruh di Al-Mahallah Al-Kubra. Beberapa tokoh lain adalah Ayman Nour dan Ahmad Maher. Gerakan 6 April merupakan penentangan generasi muda pertama yang diorganisir sebelum Mubarak jatuh. Dua tahun kemudian, gerakan ini membesar dan menggagas Gerakan 25 Januari. Mubarak benar-benar tumbang. Dan semua Mesir berterima kasih kepada para pemuda!

Sayang, tokoh-tokoh muda Ikhwan ini terlalu jauh bermanuver. Mereka mendorong gerakan serupa melalui Revolution Youth Council dan berencana membentuk partai baru. Sayangnya gerakan mereka tak didukung oleh elite-elite Ikhwan, dan opsinya hanya dua: tetap di Ikhwan atau meneruskan di luar. Mereka memilih opsi yang kedua.

Kembali ke Abul Futuh. Abul Futuh memang dikenal cerdas. Ia mampu berbicara bersama faksi-faksi politik yang berseteru di era Mubarak dan dikenal sebagai salah satu intelektual paling progresif di Ikhwan -bersama Al-Erian. Ketika Mubarak akan jatuh di awal tahun 2011, ia masih sempat menulis di The Washington Post, mengampanyekan stand position Ikhwan pada masyarakat internasional, menyatakan bahwa Ikhwan bukan ancaman bagi demokratisasi Mesir. Koleganya, Al-Erian, menulis hal yang sama di New York Times.

Akan tetapi, aksi progresif Abul Futuh tetap saja menemui batasnya. Ia dihalangi bukan oleh lawan-lawan politiknya, melainkan oleh rekan-rekannya sendiri di Ikhwan: kubu konservatif dan pengusaha.

Ikhwan adalah organisasi yang sangat mengandalkan pengorganisasian, mobilisasi, dan ikatan-ikatan yang cukup kental dengan nuansa militeris. Ketidaksetujuan atas Keputusan Syura adalah sesuatu yang terlarang. Konsekuensinya cukup tegas: dikeluarkan dari jamaah. Dengan basis pengorganisian ini, Ikhwan mampu menjadi organisasi yang bisa memobilisasi massanya dalam waktu singkat, dan mampu membentuk kader-kader militan. Wajar jika FJP dapat dengan mudah memenangi Pemilu dengan suara hampir 50%.

Tetapi rupanya hal ini bukan tempat yang nyaman bagi seorang intelektual progresif seperti Abul Futuh. Pertengahan tahun 2011, ketika Ikhwan menyatakan tidak akan mencalonkan presiden dalam Pemilu, Abul Futuh melakukan manuver: ia menyatakan siap dicalonkan sebagai presiden. Statement ini jelas membuat elite-elite Ikhwan berang. Muncullah konflik di tubuh jamaah ini. Mahmoud Ghozlan, juru bicara Ikhwan, akhirnya menyatakan keputusan "Jamaah" beberapa hari kemudian: Abul Futuh dipecat.

Beberapa pihak mengaitkan hal ini dengan konflik internal Abul Futuh dengan Khairat Al-Shater, orang kuat di Ikhwan yang selama ini menjadi tokoh di balik kepemimpinan Mohammad Badie' sejak 2009. Al-Shater adalah representasi pengusaha sukses Ikhwan, penyumbang dana terbesar dengan Grup Juhainah yang dikemudikannya. Abul Futuh dan Al-Shater pernah satu penjara di dekade 1990an, dan cukup dekat dengan kubu "generasi tua" seperti Akif dan Badie'.

Ada yang menyebutkan bahwa pemecatan Abul Futuh disebabkan oleh sikap kritisnya terhadap generasi tua. Abul Futuh sudah lama terlibat perdebatan dengan faksi Qutbism Ikhwan, kata seorang blogger Mesir. Dan Al-Shater masih berada di lingkaran faksi tersebut. (catatan: Muhammad Badie' disebut-sebut sebagai bagian terkuat dari faksi itu, meski tidak kebenarannya belum bisa terkonfirmasi). Akhirnya, kedua tokoh kuat ini, Al-Shater serta Abul Futuh, berpisah jalan.

Keputusan ini membuat ramai media Mesir, terutama generasi muda. Beberapa tokoh muda Ikhwan, juga menyatakan keluar dan membentuk partai baru: Al-Tayar Al-Islamy. Ibrahim Al-Za'afarany dan Mohammad Habib mendirikan Partai An-Nahdha. Al-Madi, Abdul Karim, dan Sultan sudah lebih dulu mendirikan Al-Wasat. Lalu Dawoud mendirikan Al-Riyada, dan terakhir, Hamed Al-Dafrawi, mendirikan partai lain.

Sayangnya, partai-partai "sempalan" ini tak mendapat suara signifikan ketika Pemilu 2011-2012 lalu. Hanya Al-Wasat yang cukup perkasa, berada di urutan kelima. FJP tak terbendung dengan 47,2% suara.

Akan tetapi, ketika Abul Futuh benar-benar maju dalam Pemilihan, suara-suara kritis ini tiba-tiba terkonsolidasi. Mereka merebut basis-basis suara Ikhwan di Minya, Ismailiyah, dan Bani Suef, berhasil menempati posisi keempat. Suara Morsy yang didukung penuh Ikhwan merosot tajam: hanya mendapatkan 5 juta suara, selisih 1 persen saja dengan Ahmed Shafiq yang tiba-tiba melejit. Ikhwan kalah total di daerah-daerah perkotaan seperti Kairo, Alexandria, dan Port Said. Mereka takluk di tangan Hamdeen Sabbahi, seorang Nasserist yang populer di kalangan pejuang revolusi.

Meski demikian, Abul Futuh tetap gagal dalam menantang Morsy di putaran kedua. Alasannya, menurut saya, cukup sederhana: ketidakseriusan kubu Salafi mendukung Abul Futuh. Abul Futuh hanya sukses memukul Ikhwan di kantong-kantong suaranya. Di kalangan generasi muda perkotaan, ia kalah populer dibanding Sabbahi (Morsy hanya mendapat posisi keempat di sini). Abul Futuh hanya memenangi pemilihan di Damietta dan memperoleh urutan kedua di Giza dan Alexandria. Di daerah yang lain, ia tenggelam di antara pertarungan antara Sabbahi, Shafiq, dan Morsy.

Akan tetapi, bagi Morsy, hasil pemilihan presiden di putaran pertama menjadi pukulan telak. Afeef Al-Sadawy menggarisbawahi anjloknya suara Ikhwan, terutama di basis-basis suara Ikhwan (Alexandria, Port Said, Giza, Luxor, dll). Mehdi Akif, mantan Mursyid 'Am, menyatakan bahwa ada penurunan suara cukup tajam dalam hal ini. Hampir saja, Morsy dikalahkan oleh seorang Ahmed Shafiq, figur representasi rezim lama, yang cukup lama merepresi Ikhwan.

Beruntung, di putaran kedua Ikhwan menghadapi Shafiq. Alhasil, semua kubu oposisi rezim lama merapat ke Morsy. Hasilnya, kemenangan tipis 51,8% yang menandai masa baru Ikhwan dalam pentas kepresidenan: Morsy sebagai Presiden baru Mesir.

Sadar atau tidak, catatan-catatan selama Pemilu tersebut mengisyaratkan hegemoni yang rapuh. Dengan strategi Ikhwan sekarang yang sedang membangun hegemoni, popularitas menjadi sesuatu yang penting. Dan dengan citra Ikhwan selama ini, dengan demonstrasi-demonstrasi yang sedang ramai dilakukan, bukan tidak mungkin Ikhwan akan menjadi 'musuh publik nomor dua': setelah militer. Wacana "Ikhwanisasi" sedang ramai beredar di kalangan massa yang berdemonstrasi.

Untunglah, Ikhwan masih bisa bersyukur dengan kegarangan yang ditampakkan oleh Morsy pada militer dan Syria di Forum Gerakan Non-Blok, membuatnya masih dipuji oleh pendukung revolusi dan kaum Islamis lain, Selama performa kepresidenan Morsy masih 'garang' seperti ini, Ikhwan mungkin masih akan tetap bernafas panjang.

Akan tetapi, perlu dicatat: oligarki di tubuh organisasi Ikhwan menjadi sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan. Mungkin saja, jika oligarki itu masih tetap bertahan dan konflik dengan suara kritis masih terjadi, masa depan Ikhwan berada dalam pertaruhan.

Dan Abul Futuh-lah yang membuktikannya.

Jumat, 11 Mei 2012

Alabio: Potret Pergumulan Intelektual "Kaum Tuha" dan "Kaum Muda"

Berdasarkan penelitian Lemlita IAIN Antasari di tahun 2009, Muhammadiyah di Kalimantan Selatan  berdiri di mulai dari  Alabio  pada tahun 1925 yang dipelopori H. M. Japeri dan  H. Usman Amin. Baru setelah itu menyebar ke Rantau (1937), Kandangan (1931), Martapura dan Banjarmasin (1932), Haruai (1934), dan Marabahan (1939).

Berawal dari Alabio
Courtesy of Wikipedia
Mungkin agak sulit membayangkan bahwa Muhammadiyah, sebuah organisasi keagamaan yang disebut-sebut "modernis" -jika tipologi ini bisa dipakai- bermula perkembangannya di Bumi Kalimantan Selatan pada sebuah 'desa' yang letaknya hampir 5 jam dari Kota Banjarmasin dan terletak di hulu Sungai bagian utara: Alabio.

Pekan lalu, saya berkesempatan mengunjungi 'tanah kelahiran' dari Muhammadiyah di Kalimantan Selatan ini. Saya ke Alabio dalam rangka memberi pelatihan kepenulisan dan jurnalistik kepada kawan-kawan mahasiswa dan pelajar di Amuntai, ibukota HSU yang berjarak 8 km dari Alabio (memenuhi undangan KAMMI dan FOSPEL Amuntai).

Secara kebetulan, saya juga punya 'darah' Alabio. Kakek dari ibu saya, Guru Nasri, adalah seorang guru di Alabio yang juga terlibat dalam persyarikatan hingga akhir hayatnya. Sehingga, dari Amuntai, saya langsung menyempatkan untuk 'singgah' di Alabio, sekadar makan itik dan shalat zuhur.

Berbicara Muhammadiyah di Banjar takkan terlepas dari Alabio. Meskipun berkembang pesat dan bermarkas di Banjarmasin, Muhammadiyah terlebih dulu maju dan berkembang dari desa ini. Sampai-sampai, pada tahun 2010 silam calon Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah seakan-akan 'dipilih' pada latar primordial ini. Begitu penting dalam latar sejarah persyarikatan di Banua.

Alabio berjarak sekitar 5 jam perjalanan dari Banjarmasin. Wilayah ini sekarang masuk teritorial Hulu Sungai Utara. Warganya beternak itik  (bebek) yang menjadi ciri khas daerah ini. Begitu masuk ke Jembatan Alabio saja kita sudah disambut dengan patung itik.

Namun, selain beternak itik, jiwa dagang Urang Alabio juga kuat. Daerah ini juga dikenal dengan kelakar humornya, "mahalabio", sebagai bukti kepandaian 'urang banjar' dalam bersilat lidah.

Posisinya 'terkepung' di antara wilayah basis kaum Nahdhiyyin, seperti, misalnya, Amuntai (yang terkenal dengan KH Idham Chalid, mantan Ketua Umum PBNU), Pemangkih (Tuan Guru H Muhammad Ramli, pondok pesantren Ibnul Amin), atau Danau Panggang (Tuan Guru KH Asmuni/Guru Danau). Namun, dari daerah inilah bersemi benih 'modernisme' Muhammadiyah yang bergumul dengan tradisi 'kaum tuha' di Hulu Sungai.

Telaah Sosiologis
Sebagaimana jamak kita pahami, modernisme Islam biasanya berakar di wilayah-wilayah perkotaan. Di Jawa Tengah, misalnya, Muhammadiyah tumbuh pesat dari Yogyakarta, kota yang bersemai tradisi keraton yang cukup kuat. Wilayah lain di mana Muhammadiyah tumbuh pesat adalah Pekalongan, kota batik yang berada di pesisir utara pulau Jawa. 

Di Jawa Timur, Muhammadiyah terkembang dari Tambak Beras, di mana KH Mas Mansyur berdialektika dengan KH Wahab Chasbullah tentang modernitas, menjadikan mereka berpisah menjadi pimpinan dua organisasi Islam yang saling berhadapan.

Secara sosiologis, kita dapat memetakan pola konsentris masyarakat di Kalimantan Selatan menjadi dua bagian besar (lihat, misalnya: Darliansyah Hasdi, 2009). 

Pertama, masyarakat pahuluan yang tinggal di hulu Sungai Barito. Masyarakat Pahuluan ini tinggal di daerah yang kita kenal sebagai 'banua lima' (Rantau, Kandangan, Barabai, Amuntai, Tanjung). Ciri khas masyarakat ini adalah, kebanyakan, tidak bisa menyebut huruf 'e' dan 'o'. (ciri khas urang pahuluan).

Kedua, masyarakat Banjar Kuala yang tinggal di muara Sungai Barito, dari Marabahan, Banjarmasin, Banjarbaru, Martapura, Pelaihari. Entah mengapa, banyak di antara urang Banjar Kuala ini (termasuk saya) yang tidak bisa menyebut huruf R. Ini jadi ciri khas tersendiri. 

Wilayah Banjar Pahuluan dulu pernah menjadi ibukota kerajaan Banjar Hindu. Ibukota kerajaan pernah berpusat di Amuntai (Candi Agung) dan Margasari Rantau. Namun, masuknya Islam di abad ke-16 dengan berdirinya Kerajaan Banjar di Kuin mengubah peta konsentrasi penduduk. Wilayah perkotaan menjadi berpusat di daerah Muara.

Sehingga, jika kita lihat kategori masyarakatnya secara sosiologis, 'kelas menengah' akan banyak berada di wilayah Muara Sungai, terutama Banjarmasin. Mengapa? Sebab posisinya strategis, berada di Muara Sungai yang berarti membuka hubungan dengan pihak luar. Ini sebabnya dari dulu Banjarmasin terkenal sebagai kota perdagangan.

Sementara itu, pada abad ke-18, Kesultanan Banjar memindahkan pusat pemerintahannya ke Martapura (dulu bernama Kayutangi). Di era inilah lahir seorang ulama kenamaan, Syekh Arsyad Al-Banjari yang berdakwah dari Dalam Pagar (tanah yang diberikan oleh Sultan Rahmatillah). Sehingga, secara sosiologis ini menjelaskan mengapa wilayah Martapura sangat religius dan sangat fanatik dengan ulamanya.

Pembentukan 'style' faham keagamaan masyarakat Banjar, menurut saya, berakar dari tipologi ini. Jika kita simpulkan secara linear, seharusnya dengan interaksinya yang mudah dengan pihak luar, Banjarmasin akan sangat 'modernis'. 

Sementara itu, wilayah Martapura akan sangat fanatik dengan "Tuan Guru"-nya, terutama dengan 'trah' Palampayan (sebagai contoh, ada Mufti KH Jamaluddin dari Surgi Mufti atau KH Zaini Ghani dari Sekumpul yang merupakan keturunan Syekh Arsyad Al-Banjari). Ini bisa dilihat dari posisi Guru Sekumpul yang sangat disegani dan ketika beliau meninggal, masyarakat merasa kehilangan yang sangat besar.

Adapun Hulu Sungai, yang masyarakatnya banyak berhuma dan mencari nafkah dengan menangguk ikan (terutama di wilayah HSU), akan bertipe tradisional dengan solidaritas organik -meminjam bahasa Durkheim- yang sangat kuat. 

Masyarakatnya hidup mengelompok, sehingga tidak terkonsentrasi oleh figuritas ulama yang sangat dominan. Sebagai gantinya, menjamur pesantren sebagai wadah kaderisasi ulama. Seorang rekan penulis pernah mengatakan bahwa hal ini membedakan 'tipe' ulama di Hulu Sungai dan Martapura.

Jika kesimpulan tersebut kita ikuti secara linear, maka Muhammadiyah seharusnya tumbuh pesat dari wilayah Muara. Hal ini memang benar dan diafirmasi. Namun, pada faktanya, sebelum tumbuh di Banjarmasin dan wilayah Muara, Muhammadiyah justru bergeliat dari Alabio. Bagaimana hal itu bisa terjadi?

Kaum Tuha dan Kaum Muda
Sebagaimana dinyatakan Hairus Salim HS (2009), identitas suku dan agama di Banjar memang punya ciri yang sangat khas, yaitu ada 'ketumpang-tindihan' dua identitas itu. Bagi urang Banjar, ada sebuah adagium 'Banjar adalah Islam dan Islam adalah Banjar'. 

Menurut Hairus Salim, hal ini berimplikasi pada model keber-Islaman orang Banjar yang sangat menjunjung tinggi tradisi agama, biarpun itu sudah bercampur dengan sesuatu yang "di luar" agama (bahasa  kaum modernis: Bid'ah).

Hal ini terjadi di kalangan 'Kaum Tuha' menghadapi kelahiran kaum Muda atau Muhammadiyah ini. Beragam perdebatan agama terjadi, dan itu akhirnya menjadi sesuatu yang umum. Di Kandangan, Barabai, bahkan Banjarmasin, perselisihan paham agama ini terjadi.

Muhammadiyah bahkan awal mulanya disangka 'keluar dari agama' karena amalannya bertolak belakang dengan amalan Tuan Guru di pengajian. Misalnya, tidak pakai qunut subuh atau tidak ber-ushalli dalam Shalat. Tetapi, karena keteguhan prinsip agama dari para pendahulu, dialektika ini terjadi.

Ada sebuah istilah yang cukup sering digunakan melihat fragmentasi ini: 'kaum muda' dan 'kaum tuha'. Kaum Muda merujuk pada kalangan Muhammadiyah dan 'Islam Modernis', sementara Kaum Tuha merujuk pada NU dan 'Islam Tradisionalis'.

Istilah ini mengemuka karena yang membawa Muhammadiyah ke Banjar adalah orang-orang Muda. Nanti akan kita temukan pergumulan pedagang Usman Amin dan H. Jaferi yang membawa Muhammadiyah ke Alabio.

'Kaum Tuha' kukuh dengan adat dan tradisinya. Mereka ditopang oleh struktur pesantren dan jejaring pengajian (majelis Ta'lim) di desa-desa. Tuan Guru biasa membacakan 'kitab' dan peserta pengajian membacakan. Relasinya sangat kuat. 

Guru menjadi figur yang sangat dihormati karena ke-alim-annya. Dalam wilayah agama, tak ada yang bisa membantah kaum Tuha.

Belakangan, ada beberapa 'kaum Muda' yang kritis. Terlebih setelah akses informasi atas kitab terbuka. H. Jaferi yang menuntut ilmu ke berbagai daerah rupanya kurang puas. Ia berinteraksi dengan H. Usman Amin, seorang pedagang Alabio di Surabaya yang sudah menerima Muhammadiyah.

Singkat kata, pergumulan dua orang ini melahirkan Muhammadiyah. Respons kaum Tuha juga keras. Sebab, keberadaan Muhammadiyah akan merusak tradisi keagamaan yang berpilar kuat di Kalimantan Selatan. Ini mungkin dampak dari kultur masyarakat Banjar yang monolitik dalam keagamaan -meminjam bahasa Hairus Salim. 

Dan pertentangan ini terkadang menjalar juga pada relasi sosial. Kaum Muda dan Kaum Tuha menjadi sebuah fenomena sosial tatkala faham keagamaan juga meluber hingga pergaulan di warung-warung, di rumah-rumah, atau bahkan pada soal sosial lain.

Di Alabio, rupanya hal ini terjadi. Keluarga saya menuturkan, "sungai" seakan menjadi pembatas, mana wilayah kaum muda dan mana daerah kaum Tuha. Yang di seberang sungai terkadang 'kada merawa' dengan kaum muda, atau perdebatan berakhir agak panas. 

Tetapi, kerukunan tetap terjaga, karena terkadang pula terjadi pernikahan antara 'kaum muda' dan 'kaum Tuha'. Sesuatu yang bagi saya agak lucu, mengingat pada tingkat 'mertua' atau 'keluarga' perbedaan pendapat dalam hal agama terkadang membawa pada kada berawaan atau kada betaguran, walaupun setelah di mesjid berjamaah lagi.

Ini yang menjelaskan mengapa di keluarga saya, ketika terjadi perbedaan hari raya (yang hal ini sering terjadi antara Muhammadiyah dan NU), kakek dan nenek berbeda pendapat di satu rumah adalah hal yang biasa. Sebab, ada 'percampuran' kaum Muda dan kaum Tuha. Kakek adalah zuriyat Kalampayan yang sangat fanatik dengan tradisi, sementara nenek justru dibesarkan di lingkungan pendiri Muhammadiyah.

Friksi dan Pergumulan yang lebih bersifat intelektual ini jelas dipengaruhi oleh soal-soal sosial. Maka, yang jadi pertanyaan, mengapa justru Muhammadiyah bertumbuh dan berkembang dari sebuah desa yang 'terkepung' oleh tradisionalisme seperti Alabio?

Sejarah Muhammadiyah
courtesy of Radar Banjarmasin
Berbicara tentang Muhammadiyah di Alabio takkan lepas dari dua nama: H. Jaferi dan H. Usman Amin. Berikut saya kutipkan sejarah singkat Muhammadiyah di Alabio dari situs PW Muhammadiyah Kalimantan Selatan (http://kalsel.muhammadiyah.or.id/content-3-sdet-sejarah.html)

"Di Surabaya, ketika itu bertempat tinggal seorang berasal dari Alabio, yaitu alm. H. Usman Amin, seorang pedagang dan terkemuka di kalangan masyarakat Banjar (Kalimantan) dan penduduk Surabaya di Surabaya, dengan H. Usman Amin yang menjadi sahabatnya, H. M. Japeri sering mengadakan hubungan surat menyurat. Dari H. Usman Amin, H. M. Japeri mulai mendapat keterangan tentang adanya sebuah gerakan Islam di Yogyakarta, yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan, yang bermaksud menyiarkan agama Islam yang murni, bersumber Alquran dan Sunnah Rasul, dengan jalan mendirikan sekolah-sekolah, balai-balai kesehatan, panti-panti asuhan dan memelihara mesjid-mesjid, gerakan itu ialah Muhammadiyah.
 
H. M. Japeri sejak dari masa mengajinya di Mekkah kemudian dengan hasil bacaannya dari majalah-majalah, memang sudah selalu mengikuti perkembangan mulainya kebangkitan umat Islam, baik di Indonesia sendiri, terutama di Jawa dan Sumatera, maupun di luar negeri seperti Mesir, Arabia, India, dan lain-lain.
 
Semuanya itu menimbulkan rasa serasi dengan apa yang diterangkan oleh H. Usman Amin tentang Muhammadiyah kepadanya.
 
Sebelum secara resmi menerima dan menabur benih Muhammadiyah di Alabio, H. M. Japeri sudah mulai berusaha dengan lebih sungguh-sungguh untuk memperbaiki dan memajukan umat Islam di Alabio dan sekitarnya, yakni dengan jalan mengajak persatuan, memberikan pengajaran dan tabligh sepanjang kemauan ajaran agama Islam, berdasarkan Alquran dan Sunnah. Bersungguh-sungguh beliau merubah ke arah sikap yang baru. Menggantikan yang kolot dengan cara yang modern, yang tidak lepas dari rel agama.
 
Sejak itu sudah mulai beliau dapati tantangan dan reaksi dari ulama lainnya dan juga dari masyarakat yang tidak dapat menerima perubahan-perubahan itu. Sejak itu sudah beliau terima pahit getir dan kesukaran dalam usahanya mencari keridhaan Allah.
 
Dalam bulan Maret 1923, beliau berangkat ke Yogyakarta. Sengaja pergi sendiri mengantar puteranya untuk sekolah memasuki HIS met de Quran yang didirikan oleh Muhammadiyah. 

Ditemani oleh H. Usman Amin dari Surabaya. Kunjungan ke Yogyakarta itu sekaligus untuk melihat dan menyaksikan sendiri amalan-amalan usaha Muhammadiyah.
 
Sayang sekali beliau tidak sempat bersua dengan KH. Ahmad Dahlan, karena sudah meninggal dunia pada tanggal 23 Februari 1923. Yang beliau tengok ialah makam kubur KH. A. Dahlan di Karangkajen, Yogyakarta.
 
Sekembalinya dari Yogyakarta dan setibanya di Alabio dalam bulan April 1923, H. M. Japeri langsung mengadakan musyawarah dengan teman-teman beliau sendiri dari ulama, hartawan, dermawan dan budiman, yang berhasil kemudian secara resmi mendirikan organisasi Muhammadiyah di Alabio.
 
Teman-teman beliau yang menjadi orang-orang pertama bersama beliau mendirikan Muhammadiyah di Alabio, ialah alm. H. Djantera, H. Arsyad, H. Abulhasan, H. Sahari, H. Hanafiah, H. Bastami, H. Achmad (penghulu), H. Ahmad Hudari, H. Mansur, H. Hasbullah, H. Japeri Hambuku, Abdullah Maseri, H. Tahir (penghulu), Bastami Jantera dan lain-lain.
 
H. M. Japeri menjadi Anggota Muhammadiyah pertama untuk Kalimantan. Kartu anggota (bewys van Jidmaatschap) Muhammadiyah beliau bernomor I/12.541. No. 1 menunjukkan angka anggota Muhammadiyah dan No. 12.541 menyatakan jumlah anggota Muhammadiyah seluruh Indonesia dewasa ini. "

Itulah Muhammadiyah, menyebar dari sebuah desa bernama Alabio. Memang tidak bisa dikatakan bahwa semua orang Alabio adalah 'kaum muda'. Ada juga 'kaum tuha' di sini, tapi dialektika itu bermula dari sini, dan juga berjalan dengan harmonis di desa kecil ini.

Di Alabio pula berdiri salah satu Mesjid Muhammadiyah tertua di Kalimantan Selatan, Mesjid Al-Amin. Mesjid ini diberi nama dari pendiri Muhammadiyah, H. Usman Amin. Mesjid ini awalnya bernama mesjid Kajang, tidak jauh dari Muara Tapus.

Di samping Mesjid, ada Madrasah Muallimin Alabio yang kini dikembangkan menjadi Pesantren yang langsung dikelola oleh PW Muhammadiyah Kalsel. Salah satu pesantren Muhammadiyah di antara pesantren kaum tradisionalis. Amal usaha yang mula-mula berdiri, selain sekolah, adalah panti asuhan di pertengahan dekade 1930-an.

Muhammadiyah  dengan megah berdiri dari sebuah desa yang tak begitu besar: Alabio. Itulah sebabnya, beberapa tokoh Muhammadiyah Kalimantan Selatan adalah Urang Alabio. Sebut saja, misalnya, Syarwani Nunci, Adijani Al-Alabij, Umransyah Alie, Riza Rahman, Khairullah, sampai Abdul Chalik Dahlan.

Sudah berulang kali Ketua Muhammadiyah dijabat Urang Alabio. Mungkin H. Hasan Tjorong atau Gt Abdul Muis jadi pengecualian, berasal dari Banjarmasin dan Martapura. Tapi tetap saja banyak Urang Alabio-nya.

Jika anda berjalan ke Mesjid Al-Jihad di Cempaka Besar, salah satu Mesjid Muhammadiyah yang cukup terkenal di Banjarmasin, jangan terkejut jika di sana banyak Urang Alabio. Dan kebanyakan memang berprofesi sebagai pedagang atau guru.

Penjelasan Sosioekonomis
Lantas, mengapa Muhammadiyah berkembang dan kemudian menyebar, bergumul secara dialektis dengan 'kaum Tuha' justru dari sebuah desa bernama Alabio?

Perihal sosioekonomis mungkin jadi penjelasan. Harus diakui, kebanyakan Urang Alabio yang menjadi anggota Muhammadiyah adalah pedagang dan guru. Di Banjarmasin, urang Alabio banyak yang jadi jamaah Mesjid Al-Jihad, dan rata-rata punya mobilitas sosial ekonomi cukup kuat dengan berdagang. Bahkan seorang ustadz pun berdagang (Ustadz Riza Rahman). Selebihnya, menjadi guru atau dosen.

Profesi berdagang, baik sekadar di pasar maupun di wilayah yang lebih luas, mempengaruhi cara berpikir Urang Alabio. Bacaan kitab tidak lagi melulu terpaku pada Tuan Guru karena pergaulan yang luas mengakibatkan bacaan bertambah. Alhasil, daya kritis meningkat. Apalagi yang berprofesi sebagai guru atau dosen, jelas akan bergumul dengan yang namanya bacaan.

Hal ini menyebabkan kritisisme terhadap Tuan Guru dan tatanan Tradisi menguat. Lahirlah 'pemberontakan kultural', semisal dengan pendeklarasian Muhammadiyah. Posisi ini semakin kuat dengan masuknya beberapa ambtenaar di pemerintahan seperti Kyai Hasan Corong ke Muhammadiyah di Banjarmasin. Masyarakat semakin teredukasi.

Dalam corak berpikir semacam ini, kritisisme terhadap Tuan Guru menjadi ciri khas pemikiran keagamaan kaum Muda atas kaum Tuha. Dan penjelasan seperti ini bisa dibaca pada munculnya 'kelas menengah' Urang Alabio di Kalimantan Selatan.

Lemlita IAIN Antasari pernah merilis penelitian tentang korelasi antara profesi pedagang Urang Alabio dengan pemikiran keagamaan Muhammadiyah untuk mengupas hal ini. Tesis Kuntowijoyo bahwa agama dipengaruhi oleh struktur ekonomi bisa kita baca kebenarannya di sini.

Dan dengan hal ini, kemunculan Muhammadiyah di Hulu Sungai bisa terbaca dengan lebih mudah. Alabio, dengan segenap ciri khasnya, menjadi salah satu khazanah Islam di Kalimantan Selatan.

"Ulama" Mahalabio
"Wahini zaman sudah moderen jadi ulama kada tapakai lagi. Maka pas tekana jalan rusak, sidin sarik amun diaspal " Candaan seorang teman di salah satu blog. "Sekarang sudah moderen, ulama tidak lagi diakui", katanya . Kaum Tuha pasti akan sarik (marah), seandainya ini tidak dibaca dengan gaya 'mahalabio'.

Ya, humor khas Alabio yang menjadikan sesuatu yang serius menjadi candaan -karena diungkapkan dengan ambigu, he he. Humor khas urang Banjar ini mungkin menjadi salah satu sebab mengapa pergumulan kaum muda dan kaum tuha tidak berlatar konflik sosial.

 Jadi, meski 'kaum muda' dan 'kaum tuha' bergumul secara intelektual, kada berawaan secara sosial, tetap saja bercandaannya sama, alias katuju Mahalabio. Masyarakatnya memang sangat humoris.  

Bicara soal mahalabio, saya jadi terkenang dengan Ustadz Darliansyah Hasdi, penceramah Muhammadiyah di Sungai Lulut yang suka mahalabio ketika ceramah, baik di Al-Jihad sampai Hasanuddin. Kini beliau telah tiada, rupanya berpulang ke rahmatullah di tahun 2010 silam. Salah satu ustadz favorit saya ketika mengaji duduk di SMA dulu. Innalillahi wa inna ilaihi raaji'un.

Inilah yang bisa dipetk dari perjalanan kemaren, walau tak lama berada di Alabio. Itik panggang dan nasi lakatan di Pasar Alabio cukup menjadi pemuas kerinduan sebelum ke Yogya lagi. Ah, semoga bisa pulang lagi.

Yogyakarta, 11 Mei 2012.

Rabu, 25 April 2012

Menyambut Hari Buruh 2012

Kira-kira, apa yang akan menjadi isu ramai di hari Buruh tahun ini? Mari kita petakan masalah-masalah yang sebenarnya menjadi masalah kita bersama --rakyat, intelektual, mahasiswa, profesional, buruh, tani, dll-pada hari buruh tahun ini

Pertama, harus diakui, ekonomi kita saat ini sedang morat-marit. harga minyak dunia melambung tinggi, dan pemerintah dengan sangat reaktif menjawabnya dengan kebijakan paling gampang: menaikkan harga BBM Bersubsidi. Akibatnya, harga kebutuhan pokok naik, spekulan bermain di mana-mana.

Jelas, buruh paling dirugikan karena harus menghadapi bahaya lain: pemangkasan upah. Kenaikan harga BBM menaikkan ongkos produksi. Perusahaan akan dengan mudah menurunkan upah buruh -apalagi ditopang dengan UMP yang tidak layak- sehingga justru menempatkan buruh pada posisi paling dirugikan. Ini dampak riil yang akan dialami buruh.

Faisal Yusra, Ketua Serikat Pekerja Migas Indonesia (SPMI), telah menyatakan bahwa masalah penaikan harga BBM tak terlepas dari skema liberalisasi Migas yang menganaktirikan Pertamina di Indonesia (Yusra, 2012). Sebagai perusahaan negara, posisi Pertamina dalam industri hulu justru harus "bersaing" dengan perusahaan-perusahaan multinasional asing lain yang bercokol melalui UU 22/2001 tentang Migas [1].

Ketika pekerja pertamina bekerja keras penuhi pasokan BBM di Indonesia, perusahaan asing justru mengeruk kekayaan dengan bagi hasil tak seimbang. Ini ironis dan problematis. Artinya, hal ini juga terkait problem perburuhan yang berkorelasi dengan problem kedaulatan bangsa.

Kedua, kita masih dihadapkan pada "rezim upah murah". Secara teoretik, kita mengenal teori "hukum besi upah". Ketika berbicara soal upah dan kerja, Ricardo menyatakan: upah buruh tidak akan melebihi kemampuan seorang buruh memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut Ricardo, 'nilai suatu barang' sama dengan kerja yang dilakukan untuk mencapai produksi yang dihasilkan (Agung, 2009). "The value of a commodity, or the quantity of any other commodity for which it will exchange, depends on the relative quantity of labour which is necessary for its production, and not on the greater or less compensation which is paid for that labour.” (Ricardo, 1817). [2]

Artinya, jika 'nilai'=kerja, berarti nilai yang dipertukarkan untuk memenuhi kebutuhan barang adalah akumulatif kerja dari masing-masing buruh untuk memproduksi sebuah barang. Di sinilah kritik Marx masuk. Menurut Marx, Ricardo melakukan oversimplifikasi terhadap nilai yang menyebabkan upah buruh tak akan berada pada level yang tinggi. Justru, tenaga para buruh dihisap oleh para kapitalis untuk melipatgandakan keuntungan mereka dengan jam kerja dan rendahnya upah itu sendiri, sementara upah terus bertahan.

Mengapa? Berdasarkan law of diminishing return, keuntungan pada dasarnya akan selalu turun. Ricardo percaya bahwa turunnya tingkat upah akan menyebabkan majikan harus menaikkan tingkat upah agar keuntungan bertambah . Namun, kondisinya akan secara alamiah hanya akan cukup membuat buruh bertahan hidup, sebab jika keuntungan naik, maka upah pun akan dipangkas. Ini yang disebut dengan "hukum besi upah" (Agung, 2009).

Jadi, ekonomi yang morat-marit akan berdampak pada ongkos produksi yang naik pula. Dan artinya, buruh harus siap menghadapi pemangkasan upah. Pada titik inilah tesis Marx bahwa kaum buruh harus bersatu untuk menghadapi para kapitalis menjadi dapat kita terima. Sebab, kapitalisme secara alamiah akan menghisap tenaga para buruh demi kepentingan produksinya. Dan jika itu terjadi, yang ada hanyalah penindasan!

Inilah yang disebut oleh Marx sebagai "alienasi". Buruh yang dihisap tenaganya dengan upah yang tidak layak tidak lagi menikmati hasil kerjanya sendiri. Padahal, sifat dasar manusia adalah bekerja dan berproduksi. Dan artinya, tanpa campur tangan negara dalam pengupahan yang layak, hal ini akan berarti pemiskinan buruh atas fasilitasi negara!

Ketiga, kita menghadapi fenomena "proletarisasi petani" (Kompas, 14/4). Gejala ini ditandai oleh menghilangnya hak warga atas tanah karena diambil perusahaan-perusahaan besar. Nurkhoiron (2012) juga melihat gejala serupa di kalangan pesantren Nahdhiyyin, ketika gejala pembangunan meninggalkan pedesaan dan basis keagamaan di dalamnya, menjadikan tingkat pengangguran banyak di kalangan NU [3].

Kita patut melihat ini pada relasi tanah pertanian, yang sebenarnya terhubung pada penjelasan "proletarisasi" ini. Dalih pengambilan lahan ada banyak. Pertama, untuk pertambangan atau industri. Taktik yang dilakukan oleh perusahaan adalah membebaskan semua lahan warga dengan biaya tak sedikit. Namun, masalah sosial yang ditimbulkan tidak ditanggulangi dengan baik. Kedua, untuk infrastruktur. Taktik ini kadang membajak peran negara dengan dalih penyediaan lahan untuk kepentingan umum. Warga hanya mendapatkan ganti rugi, tetapi tidak mendapatkan akses atas tanah yang baru.

Baru-baru saja, kita terkejut ketika sebuah UU tentang Pengadaan Lahan bagi Kepentingan Umum lolos begitu saja di DPR-RI (UU Nomor 2 Tahun 2012). UU ini bisa menjadi celah kaum kapitalis membajak negara untuk membebaskan lahan para petani, tanpa memperhatikan dampak sosial yang menyertainya.

Masalah ini jelas terhubung dengan fenomena perburuhan. Meningkatnya jumlah buruh yang terjebak pada "hukum besi upah" salah satunya disebabkan oleh masalah ini. Ketika para petani kehilangan lahan, yang sebenarnya juga bisa dibaca sebagai "upaya pemiskinan", tak ada pilihan lain bagi mereka selain menjadi buruh. Modelnya bisa menjadi buruh tani (petani penggarap) atau masuk sebagai buruh di kelas industrial.

Keempat, apa benang merah yang bisa kita tarik dari masalah-masalah di atas? Jelas, buruh menghadapi masalah penaikan harga BBM yang tidak menguntungkan, upah yang tidak layak (karena UMP tak kunjung dinaikkan), "rezim upah murah", bayang-bayang PHK jika ongkos produksi naik dan perusahaan melakukan efisiensi, serta proletarisasi karena tanah sudah harus terjual untuk kepentingan industrial. Buruh kian tercekik. Dan masalah seperti ini akan tetap ada jika kapitalisme masih terus hegemonik, opresif, dan menindas kaum tak berpunya!

Jelas, masalah penaikan harga BBM adalah refleksi dari politik migas yang tak berdaulat. Rezim upah murah terjadi karena pemerintah tak punya keberpihakan yang kuat pada kaum buruh dalam berhadapan dengan pemilik modal. Proletarisasi terjadi karena petani tak lagi berdaulat atas tanahnya, dan pemiskinan buruh terjadi karena buruh tak lagi berdaulat atas hasil kerjanya.

Ketika buruh dihisap melalui rezim upah murah, dan ekonomi sedang morat-marit, kepada siapa kita menuntut? Jangan lupa, kita masih punya negara. Negara ini didirikan untuk "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum" (pembukaan UUD 1945). Jelas, tanggung jawab membebaskan buruh dari ketertindasan adalah tanggung jawab negara.

Untuk itulah, para founding fathers membuat pasal 33 dalam UUD 1945. "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Ada tiga poin penting di sini: (1) negara menguasai sektor produksi strategis; (2) hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal ini jelas menegaskan prinsip anti-liberalisasi, anti-korupsi, dan anti-kemiskinan dalam pengelolaan ekonomi.

Sekarang, persoalan kian kompleks. Kapitalisme masuk ke sendi-sendi kehidupan kita, bukan sekadar produksi manufaktur, tetapi juga ekstraktif. Tapi di sana pun, Sumber daya Alam kita sekarang sudah tidak lagi berdaulat. Kekuatan asing masuk dengan cepatnya. Dan artinya, hasil-hasil produksi buruh, seperti dipotret John Pilger (2001), tidak lagi hanya dipasarkan di pasar domestik, tetapi juga pasar internasional -dengan skema globalisasi. Artinya, negara semakin tidak berdaulat atas hasil

Dalam konteks ini, kita jelas telah menemukan musuh bersama kita. Mahasiswa, buruh, dan semua elemen masyarakat yang ingin bergerak pada 1 Mei 2012 mesti temukan musuhnya. Dan pada analisis ini, kita sudah temukan akar masalahnya: pemilik yang tak bertanggung jawab. Negara yang tak berdaulat. Dan rakyat yang tertindas.

Dan artinya, gagasan untuk mencetuskan "Gerakan Indonesia Berdaulat" akan menemui momentumnya pada 1 Mei 2012 ini. Wacana penaikan harga BBM harus dijawab dengan kedaulatan negara untuk menyejahterakan rakyatnya, tak terkecuali untuk kaum buruh. Jika ini bisa tersampaikan ke semua kalangan, tak mustahil bukan hanya buruh yang akan bergerak pada 1 Mei 2012 ini, tetapi juga intelektual, mahasiswa, profesional, dan lain sebagainya.

Artinya, sudah saatnya hari buruh kita jadikan isu bersama semua kalangan. Mari menyambut Mayday dengan semangat #IndonesiaBerdaulat.


Catatan Kaki
[1] lihat di http://www.faisalyusra.com/index.php?option=com_content&task=view&id=169&Itemid=29
[2] lihat di tulisan lengkapnya di http://www.marxists.org/reference/subject/economics/ricardo/tax/ch01.htm.
[3] lihat di http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,37555-lang,id-c,kolom-t,Proletarisasi+Nahdliyyin-.phpx