Senin, 02 Februari 2009

Impor Beras, Pembangunan Ekonomi, dan Politik Luar Negeri RI

A. Kedaulatan Ekonomi Indonesia di Persimpangan Jalan: Sebuah Pendahuluan

Gelombang reformasi telah mengawali sebuah fase baru kehidupan ekonomi Indonesia. Salah satu isu yang mengemuka dalam grand design reformasi ekonomi adalah kedaulatan ekonomi nasional yang mulai diancam oleh dua persoalan : investasi tanpa batas dan impor produk pangan.

Mengapa dua persoalan tersebut menjadi isu yang cukup menarik bagi tata perekonomian negara kita? Pertanyaan tersebut menarik untuk dielaborasi lebih lanjut karena pada saat ini kita tengah dikejutkan oleh isu impor beras. Ironis, karena sebagai produsen padi terbesar di dunia, Indonesia justru membeli beras untuk konsumsi masyarakat kita. Hal ini juga merupakan bukti dari salah kelola kebijakan pangan pemerintah. Padahal, Indonesia dulu sempat bangga atas prestasi swasembada pangan.

Persoalan lain yang juga menarik untuk diulas adalah investasi yang terlalu lebar. Kita mungkin sekarang tengah geram karena UU Penanaman Modal Asing yang dikeluarkan oleh pemerintah justru membuat investor asing –disebut sebagai korporatokrasi oleh Perkins (2004)[1]— bertepuk tangan karena mereka dapat menanamkan modal secara sangat bebas.

Apalagi, tren kebijakan pemerintah adalah privatisasi BUMN yang sekarang dijalankan secara sistematis dan periodik dengan alasan ingin memperoleh capital gain atas penjualan saham-saham tersebut. Tak hanya BUMN, beberapa aset negara lain seperti Blok Tangguh yang menghasilkan gas alam juga dijual kepada pihak asing karena alasan yang tak jauh berbeda: ingin mendapatkan fresh money dari penjualan tersebut.

Dua hal di atas sebenarnya memberi implikasi besar bagi kondisi perekonomian rakyat yang tidak didukung oleh modal besar.. Di satu sisi, pemerintah atau importir mungkin mendapat keuntungan. Tetapi, secara mikro hal tersebut justru berbahaya karena akan berakibat pada ketidakstabilan harga pasar. Posisi produk pangan domestik yang menjadi tumpuan ekonomi rakyat terancam jatuh. Ini tidak sehat bagi perkembangan usaha ekonomi rakyat dalam menghadapi era pasar bebas nanti

Dua hal tersebut menimbulkan pertanyaan, sejauh manakah keterlibatan pihak asing dalam bentuk impor atau investasi mempengaruhi usaha ekonomi rakyat yang notabene paling banyak di Indonesia? Hal tersebut akan kami elaborasi dalam paper ini.

B. Kebijakan Pembangunan Ekonomi dan Politik Luar Negeri

Variabel yang kami bahas di sini adalah impor dan investasi. Dua kebijakan ini pada dasarnya tidak jauh berbeda dan bermuara pada paradigma pembangunan neoklasik (Clements, 1999)[2].

Pertama, masalah impor produk pangan. Dalam teori perdagangan internasional, Adam Smith dan David Ricardo mengemukakan bahwa ekspor dan impor diperlukan oleh suatu negara karena adanya spesialisasi hasil produksi antarberbagai negara. Ricardo kemudian mengembangkan teori keuntungan komparatif[3].

Lebih jauh, Friedman (1970)[4] kemudian menyatakan bahwa perdagangan internasional memerlukan penghapusan proteksi dan intervensi negara, sehingga muncullah konsep perdagangan bebas. Model kebijakan seperti ini dipotret oleh Baswir dkk. (2003)[5] sebagai backward linkage and forward linkage dalam konteks Indonesia, karena ketika diterapkan di sektor pertanian yang notabene adalah ekonomi rakyat, kebijakan ini justru merugikan petani sebagai pelaku pasar dan menguntungkan spekulan dan importir yang mempermainkan harga ketika produk pertanian diimpor.

Kedua, investasi asing. Pada dasarnya, investasi adalah sebuah hal yang diperlukan dalam memacu pertumbuhan ekonomi. GDP suatu negara dalam sisi pengeluaran akan memuat investasi yang dilakukan Hanya saja, investasi memerlukan pengaturan-pengaturan. Dalam perspektif neoklasik, intervensi negara dalam mengatur investasi ini diusahakan sesedikit mungkin (Clements, 1999).

Perspektif neoklasik tersebut mengimplikasikan adanya pasar bebas, sebagaimana konsep Friedman (1970) di atas. Dengan adanya pasar bebas, Friedman berkeyakinan bahwa standard hidup masyarakat akan bertambah sebagai trickle down effect dari adanya investasi yang kompetitif. Pasar yang dibiarkan bekerja sesuai dengan mekanisme supply and demand akan mendorong kompetisi bagi warga, dan dengan sendirinya menumbuhkan pendapatan masyarakat. Investasi akan membuka lapangan kerja, dan secara makro ataupun mikro akan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Namun konsep ini dikritik oleh para teoritisi strukturalis yang menyatakan bahwa perlu adanya perombakan struktur sosial dan ekonomi masyarakat, sebagaimana yang dijelaskan oleh Hirschmann (1964). Pendekatan strukturalis menganggap persoalan kemiskinan atau persoalan ekonomi bukan terletak pada ketidakmampuan masyarakat dalam berkompetisi, melainkan pada struktur ekonomi yang menegaskan adanya kesenjangan antara pemilik modal dan tenaga kerja, atau dalam konteks ini masyarakat miskin dan pemilik modal besar.

C. Polarisasi Pemutus Kebijakan Ekonomi Indonesia

Sebuah dilema yang terjadi dalam pembangunan Indonesia sekarang adalah menentukan keberpihakan pemerintah kepada pasar (market-state) atau kepada kesejahteraan rakyat (welfare-state). Dilema tersebut kemudian menimbulkan adanya polarisasi dalam pemutus kebijakan pembangunan dari era awal kemerdekaan.

Kutub pertama menganggap pasar (market) sebagai basis perekonomian. Kutub ini menggunakan teori pembangunan Rostow[6] yang berciri neoklasik. Aliran ini berkeyakinan rantai kemiskinan dapat diputus dengan mengendalikan stabilitas makroekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi, investasi, atau pasar bebas sehingga akan terjadi trickle down effects kepada rakyat. Hal ini kemudian menghasilkan kebijakan pembangunan

Kutub ini diwakili oleh Widjojo Nitisastro, JB. Sumarlin, Soemitro Djojohadikoesoemo dan ekonom-ekonom lulusan University of California at Berkeley yang disebut oleh Baswir (1999) sebagai Mafia Berkeley. Seperti diutarakan oleh Lombard (1983), kubu ini sangat mendominasi pemutus kebijakan ekonomi Indonesia di Orde Baru.

Kutub kedua menganggap kesejahteraan rakyat sebagai basis perekonomian. Kubu ini disebut sebagai kubu welfare-state atau negara kesejahteraan. Kelompok ini beranggapan pemberdayaan sektor riil dengan sistem ekonomi kerakyatan berbasis demokrasi ekonomi sangat tepat dilaksanakan di Indonesia untuk mengurangi kesenjangan ekonomi dan memutus rantai kemiskinan.

Konsep ini berakar dari konsep berdikari yang pernah dicanangkan oleh Presiden Soekarno. Berada di garda terdepan, Prof. Mubyarto dan Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM (sekarang Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan) yang menelurkan berbagai gagasan tentang agenda pembangunan kerakyatan.

Terpolarisasinya paradigma kebijakan yang dianut oleh kedua belah pihak ini bermuara pada ideologi yang berbeda. Soekarno memegang prinsip-prinsip sosialisme yang diadaptasi ke dalam realitas Indonesia, sehingga melahirkan Marhaenisme.

Di sisi lain, pemutus kebijakan yang disebut oleh Baswir (1999)[7] sebagai mafia berkeley sangat terpengaruh dengan pandangan-pandangan developmentalisme yang cenderung liberal sehingga muncullah polarisasi. Pada gilirannya, perbedaan ini kemudian ditentukan oleh kebijakan yang diambil oleh presiden atau menteri.

D. Impor Produk Pangan: Bagaimana Nasib Petani?

Bangsa kita sejak dulu telah dikenal sebagai bangsa agraris, bangsa yang menyandarkan perekonomiannya pada sektor pertanian. Sebagai contoh, di Kalimantan Selatan saja produksi padi telah mencapai 313.815 ton dengan produksi gabah kering giling mencapai 1,95 juta ton (Radar Banjarmasin, 27 April 2008)[8]. Selain itu, data statistik tahun 1998 juga menyebutkan bahwa 62,7% dari 39,8 juta pengusaha yang tergolong sebagai pengusaha kecil dan mikro bekerja di sektor pertanian[9]. Ini berarti, sektor ekonomi rakyat di Indonesia terkonsentrasi di sektor pertanian.

Apa yang terjadi ketika sektor pertanian yang justru merupakan sektor vital kemudian diwarnai dengan impor beras? Volume impor beras pada era orde baru cukup fluktuatif. Akan tetapi, fenomena yang patut kita cermati adalah bahwa volume impor pada 1995 dan 1996 adalah lebih dari satu juta ton. Hal ini patut kita pertanyakan, apa yang terjadi dengan kebijakan pertanian di negara kita yang ternyata 62,7% dari 39,8 juta pengusaha yang tergolong sebagai pengusaha kecil dan mikro bekerja di sektor pertanian?

Data di atas, jika kita kaitkan dengan volume impor yang cukup besar, akan menunjukkan bahwa impor beras yang besar akan menurunkan kontribusi sektor pertanian dalam penciptaan tenaga kerja. Jika 62,7% dari UKMK pada tahun 1998 adalah sektor pertanian, kita dapat mengetahui bahwa jumlah tersebut sebenarnya menurun. Apalagi, tata niaga pangan yang dikembangkan oleh Bulog (memiliki backward linkage dan forward linkage) cenderung oligarkis karena ternyata pada akhir era Orde Baru perusahaan mitra Bulog sebagai perantara berada pada lingkaran elit kekuasaan, seperti Liem Sioe Liong atau Ayong (Baswir, 2003: 63)[12].

Bagaimana dengan sekarang? kebijakan impor beras justru menimbulkan kontroversi. Pada tahun 2005, muncul kebijakan impor beras 250.000 ton yang dianggap oleh Menteri Pertanian sebagai upaya untuk menekan laju inflasi (Tempo, 22 November 2005)[13]. Menteri Pertanian menyebut bahwa impor tersebut tidak terkait dengan stok beras di gudang Bulog, karena faktanya stok menunjukkan surplus. Kebijakan impor tersebut dibuat untuk memberi dampak psikologis bagi pasar agar harga tidak melambung terlalu tinggi.

Di berita yang lain, Kepala Bulog juga mengisyaratkan bahwa kebijakan impor juga sangat berkaitan dengan harga beras di pasar agar tidak jatuh atau tidak terlalu tinggi karena kelebihan permintaan atau kelebihan penawaran (Kompas, 24 September 2005)[14].

Pernyataan tersebut jika kita analisis memiliki beberapa implikasi.

Pertama, inflasi terjadi karena permintaan atas suatu barang bergerak meningkat. Mungkin saja, alasan pemerintah mengizinkan impor adalah untuk menambah penawaran beras sehingga harga jatuh. Namun yang mesti kita perhatikan, keputusan pemerintah untuk menambah penawaran beras berisiko menjatuhkan harga pasar. Hal ini akan berimplikasi pada kerugian yang diderita oleh petani sehingga produktivitas petani turun. Kebijakan ini sudah jelas tidak berpihak pada petani, melainkan pada pasar.

Kedua, kelebihan penawaran sebenarnya dapat diatasi dengan menambah produksi. Hal tersebut sebenarnya dapat dilakukan oleh pemerintah dengan memberdayakan sektor pertanian dengan menambah modal para petani. Kami melihat pentingnya peranan lembaga keuangan mikro yang menyalurkan kredit produktif dengan mekanisme yang tepat dan memang menguntungkan. Selain itu, keberpihakan pemerintah pada petani melalui fasilitas-fasilitas kredit juga perlu diperhatikan.

Ketiga, kebijakan impor beras jika kita tinjau dari perspektif politik luar negeri juga akan membawa masalah. Salah satu dilema yang dihadapi oleh negara berkembang, dalam hal ini Indonesia, adalah memilih antara bantuan (aid) atau kemandirian (independence)[15]. Seperti sudah kami jelaskan, kebijakan impor produk pangan merupakan sebuah bentuk dari ketergantungan antara Indonesia dengan negara lain. Hal ini jika diteruskan justru akan memperlemah kekuatan nasional Indonesia –dalam hal ini pertanian— yang berpotensi memperlemah posisi tawar Indonesia.



Footnotes

[1] John Perkins. Confession of an Economic Hit Men (San Fransisco: Berret-Koehler, 2004).
[2] Kevin Clements. From Left to Right in Development Theory, pent. Endi Haryono (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, cetakan kedua).
[3] Maksudnya, dua buah negara yang berdagang akan mendapat keuntungan ketika melakukan spesialisasi produksi dengan keuntungan masing-masing. Teori ini berbeda dengan keuntungan absolut (Adam Smith) yang menyatakan bahwa spesialisasi menghasilkan keuntungan mutlak dari satu produk yang kemudian membuat satu negara tergantung dari hasil produksi tersebut.
[4] Milton Friedman. Foreign Economic Aid: Means and Objectives (London: Penguin Books, 1970) sebagaimana dikutip dari Clements, 1999, op.cit.
[5] Revrisond Baswir dkk., 2003. op.cit.
[6] Pada intinya, teori Rostow mengemukakan lima tahapan pembangunan, yaitu masyarakat tradisional, prakondisi tinggal landas, tinggal landas, pematangan, dan konsumsi massa yang bersifat besar. Lihat W.W. Rostow,
[7] Revrisond Baswir, Mafia Berkeley (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).
[8] Radar Banjarmasin, 27 April 2008. Kalimantan Selatan Peringkat Dua: Peningkatan Produksi Padi di Indonesia.
[9] Adi Sasono. 1999. Ekonomi Kerakyatan dalam Dinamika Perubahan, Makalah disampaikan dalam konferensi internasional Ekonomi Jaringan: Menuju Demokratisasi Ekonomi di Indonesia, Hotel Shangri-La, Jakarta, 6-7 Desember 1999. Diakses melalui situs www.unhas.ac.id/~rhiza/makalah/adisas.html
[10] Baswir, op.cit. pp. 63.
[11] Ibid. pp. 6.
[12] Ibid. pp. 63..
[13] Lihat Tempo, Impor Beras Buat Menahan Laju Inflasi, 22 November 2005.
[14] Kompas, Impor Beras: Pertaruhan Kredibilitas Pemerintah. 24 September 2005.
[15] Presentasi mata kuliah Politik Luar Negeri dan Diplomasi Republik Indonesia, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UGM, Dr. Siti Muti’ah Setiawati dan Prof. Dr. Jahja A. Muhaimin, 2008.

Tidak ada komentar: