Selasa, 10 Februari 2009

Pemilu 2009 dan Prospek Partai Politik Islam


Pengantar

Pemilu 2009 akan berlangsung sebentar lagi. 38 partai politik secara resmi akan berkompetisi dalam pesta demokrasi nasional, memperebutkan 550 kursi empuk di DPR-RI serta peluang untuk mempengaruhi kebijakan publik dalam level nasional. Mereka mewakili berbagai macam latar belakang ideologi, platform, dan golongan serta menjadi sebuah jalan bagi para calon wakil rakyat untuk menuju gedung DPR atau DPRD. Sehingga, Pemilu seakan menjadi ladang pekerjaan bagi pencari kekuasaan dan idealisme mereka yang termarjinalkan.

Permasalahannya, umat Islam tidak berada dalam satu suara untuk menghadapi pesta demokrasi ini. Setidaknya lebih dari lima partai menempatkan Islam sebagai asas, dan banyak partai yang mengambil konstituen dari floating mass umat Islam namun tidak menempatkan Islam sebagai dasar legal-formal partai atau haluan gerak. Di sisi lain, fenomena ketidakpercayaan atas Pemilu pun kian marak dengan aksi “Golongan Putih” yang juga banyak berasal dari kalangan umat Islam, sehingga menimbulkan implikasi terpecahnya suara umat Islam.

Masalah ini cukup pelik, karena situasi politik kian memanas. Jika umat Islam tak mengantisipasi hal ini, partai-partai yang merintangi jalan umat Islam akan semakin berjaya dan terkonsolidasi. Maka, sebagai awalan, ada baiknya kita mereview posisi politik dalam Islam serta fenomena rekonsolidasi suara umat Islam menjelang Pemilu.

Posisi Politik dalam Islam

Ibnul Qayyim Al-Jauzi sebagaimana dikutip oleh Abdul Hamid Al-Ghazali mengatakan bahwa politik merupakan kegiatan yang menjadikan umat manusia mendekat kepada hidup maslahat dan menjauh dari kerusakan, meskipun Rasulullah tidak meletakkannya dan wahyu tidak melarangnya. Jalan apapun yang ditempuh untuk menciptakan keadilan, maka ia adalah agama.

Mengapa politik sangat diperlukan dalam mewujudkan kebangkitan, terlebih di era reformasi sekarang ini? Dr. Daud Rasyid berpendapat, politik sangat berperan dalam menjalankan agenda-agenda reformasi, yaitu kebebasan bersuara, mengeluarkan pendapat, dan menyalurkan aspirasi. Untuk merealisasikan agenda tersebut, diperlukan sebuah kekuatan politik yang berorientasi pada kepentingan rakyat. Lebih tegas lagi, hal ini berarti bahwa ajaran Islam tak pernah memisahkan antara agama dan politik. Sebaliknya, ajaran Islam secara utuh mencakup urusan-urusan politik, baik politik yang bersifat kenegaraan maupun politik yang bersifat kemasyarakatan. Sebab, menurut Hassan Al-Banna, Islam memiliki karakter syumuliyyah dan takamuliyah yang mengimplikasikan integrasi semua hal ke dalam ruh Islam (Wahono, 2002).

Mari kita ambil Al-Qur’an,. Pada Surah Al-Baqarah: 208 Allah telah menyatakan, ”Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam keselamatan secara sempurna, sesungguhnya syaithan bagi kamu adalah musuh yang nyata”. Ayat tersebut telah menyatakan bahwa kita tak boleh meninggalkan bagian-bagian dari Islam secara parsial. Politik dalam konteks ini merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari Islam. Dr. Yusuf Qardhawi pernah mengatakan bahwa Islam mencakup semua kehidupan manusia, yaitu aqidah, ibadah, politik, kultur, perundang-undangan, dan aspek-aspek lain.

Politik seperti apa yang kita perjuangkan? Dalam terminologi Amien Rais, bangsa Indonesia sekarang ini seharusnya menjalankan praktik High Politics yang mengedepankan kerjasama antara para politisi dan rakyat untuk kepentingan bangsa, sehingga tercipta sinergisasi program dan kebijakan yang berorientasi pada kemaslahatan bersama. High Politics di sini harus selaras dengan kepentingan dakwah, karena dalam perspektif Islam politik harus memiliki nilai-nilai dakwah yang mengemuka dalam aktivitasnya. Hasan Al-Banna mengatakan, ”Kita adalah da’i sebelum segala sesuatunya”. Maksudnya, Kewajiban kita dalam berpolitik adalah untuk menyampaikan kebenaran dan menggagalkan kemungkaran.

Posisi Islam dalam Politik Indonesia

Indonesia, tak dapat kita pungkiri, merupakan sebuah negara demokratis yang cukup disegani di dunia dengan pesta demokratis yang dilaksanakan secara rutin dalam mekanisme Pemilu. Pada Pemilu yang akan datang, sedikitnya ada sepuluh partai yang berasas Islam atau berbasis massa kelompok umat Islam. Sebut saja PPP, PKS, atau PBB yang berasas Islam secara legal-formal, PAN dan PKB yang berbasis massa di kelompok umat Islam, atau PMB dan PKNU sebagai partai baru yang juga berhaluan Islam. Di luar partai-partai tersebut, masih begitu banyak partai berasas nasionalis yang, ironisnya, menarik konstituen di kalangan umat Islam. Praktis, suara partai-partai Islam terfragmentasi dan mengecil; jauh dari total penduduk yang beragama Islam di Indonesia yang konon terbanyak di dunia.

Melihat banyaknya jumlah partai politik tersebut, agaknya kita patut bercermin pada tesis Clifford Geertz (1960) mengenai tipologisasi umat Islam di Jawa, yaitu santri, priyayi, dan abangan. Dalam konteks peraturan politik teranyar, tipologisasi tersebut menjadikan kekuatan politik umat Islam terfragmentasi menjadi tiga kekuatan utama: partai Islam atau berbasis massa Islam (santri), partai nasionalis yang didominasi oleh kaum elit (priyayi), dan partai nasionalis yang berhaluan kerakyatan (abangan).

Apa implikasi dari fenomena tersebut? Setidaknya, penulis melihat tiga kemungkinan yang akan dihadapi. Pertama, mengecilnya suara partai Islam sehingga berpotens mengurangi jumlah kursi di parlemen. Kedua, terkonsolidasinya partai-partai non-Islam yang merepresentasikan agama lain. Ketiga, perpecahan politik yang melanda umat Islam akan semakin melebar sehingga mengurangi soliditas umat dan berpeluang menjadi konflik horizontal yang sia-sia.

Kemungkinan tersebut pada dasarnya berbahaya bagi masa depan umat Islam. Agaknya euforia Masyumi yang dulu pernah menjadi kekuatan politik utama umat Islam pada periode 1950-1955 tidak akan terulang kembali dalam waktu dekat. Kita tentu masih ingat, perpecahan pertama yang melanda partai Islam adalah keluarnya NU dari Masyumi yang disusul oleh PSII pada tahun 1953 hanya karena jabatan menteri agama diserahkan pada kalangan non-NU. Keluarnya NU tersebut melemahkan suara Masyumi pada Pemilu 1955, terutama di pulau Jawa. Data membuktikan bahwa NU mampu meraup 18,4%, Masyumi 20,9% suara, dan PSII 2,9% suara. Terfragmentasinya suara umat Islam tersebut memperkokoh suara PNI yang meraih 22,3% suara (Ricklefs, 1981: 377).

Secara politis, fragmentasi suara tersebut jelas mengurangi posisi tawar politik partai Islam. Dengan masuknya NU ke blok Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis) yang dibangun oleh Soekarno, praktis Masyumi berjalan sendirian dan kehilangan kekuatannya pada 1960. Tentunya implikasi dari kasus demikian cukup berbahaya. Oleh karena itu, kita perlu memikirkan cara untuk merekonsolidasi kekuatan politik umat dengan sebuah common platform yang mampu menyamakan persepsi semua partai pada satu kesadaran untuk menjadi mayoritas di masa yang akan datang.

Pertanyaannya, bagaimana upaya yang harus dilakukan oleh umat Islam dalam rangka menyongsong Pemilu 2009 nanti? Penulis mencoba mengelaborasi beberapa ide untuk dijadikan saran bagi partai-partai Islam.

Pertama, menjadikan Al-Qur’an, Sunnah, dan cita-cita umat sebagai tujuan utama. Maksud dari cita-cita umat di atas adalah terwujudnya masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera, atau dalam bahasa yang lebih jauh disebut sebagai Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur. Tiga alat pemersatu ini harus dioptimalkan oleh masing-masing partai sebagai ajang untuk mengonsolidasi kekuatan.

Kedua, mengetahui dengan pasti common enemy umat dalam percaturan politik. Common enemy di sini tentunya adalah kekuatan-kekuatan perintang yang dapat menghalangi kedamaian dan ketenteraman umat, atau dengan kata lain menghalangi terwujudnya. Dengan adanya sebuah single enemy, tentunya partai-partai Islam tak akan terkotak-kotak dalam berjuang. Mereka pasti akan berkonsolidasi dan menggalang kekuatan di parlemen untuk melawan common enemy tersebut.

Ketiga, mencari momentum untuk mempersatukan suara umat. Kita mungkin masih ingat dengan koalisi poros tengah yang digagas oleh partai-partai Islam pada Pemilu 1999 yang berhasil mengantarkan Amien Rais sebagai Ketua MPR, Akbar Tanjung sebagai Ketua DPR dan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden. Kendati poros tengah tersebut tidak bertahan lama dan mengalami perpecahan di tengah jalan, kita dapat memetik pelajaran bahwa kekuatan yang terkonsolidasi dapat mengalahkan sebuah hegemoni walau masing-masing partai berbeda haluan dalam bergerak.

Siapkah Partai Islam?
Partai-partai Islam memang bertambah banyak seiring dibukanya kran demokrasi. Akan tetapi, banyaknya kuantitas partai Islam ini jangan sampai membuat posisi tawar politik umat Islam melemah. Kita mesti ingat bahwa Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Jangan sampai modal besar ini terbuang percuma hanya karena perbedaan idealisme di masing-masing partai.
Pemilu 2009 telah berada di depan mata. Pertanyaan kontemplatif yang patut kita renungkan, sudah siapkah partai Islam menghadapinya?
Artikel ini digabung dari beberapa artikel yang pernah dimuat di Radar Banjarmasin.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

salam dari makasar, saya senang dengan semangt politik muda teman-teman... yang jelas kita pilihlah presiden yang akan membawa indonsia dan islam menjadi sebuah solusi d segala bidang,,, yang di segani dan paling kurang cacatnya ....thanks,,,