Kamis, 16 Februari 2012

Akuntabilitas Publik dan Potensi Korupsi

Persoalan korupsi telah diperbincangkan sejak satu dekade silam. Pasca-Reformasi 1998, korupsi telah menjadi extraordinary crime, kejahatan yang pemberantasannya memerlukan pendekatan yang menyeluruh.  

Artinya, instrumen pemberantasan korupsi tidak hanya meliputi soal hukuman atau efek jera bagi pelaku korupsi, melainkan juga pencegahan terhadap potensi tindak pidana korupsi dan bentuk-bentuk korupsi di berbagai sektor, termasuk korupsi politik dan korupsi sektor publik.

Ini yang menjadi concern dari Tim Muhibah BEM KM UGM ketika berdiskusi dengan beberapa aktivis NGO di Jakarta, Rabu (1/2) lalu. Muhibah ini dilakukan dalam rangka penguatan jaringan eksternal serta basis jaringan alumni BEM KM UGM.

Dalam korupsi politik, sengkarut pemberantasan korupsi banyak disebabkan oleh tidak adanya akuntabilitas dalam institusi publik.

"Secara teoretis, korupsi itu disebabkan oleh minimnya akuntabilitas publik, ketika di saat yang bersamaan terjadi monopoli sumber daya publik dan diskresi pada penggunaan kekuasaan", kata Abdullah Dahlan, peneliti di Divisi Korupsi Politik ICW.

Sekjen BEM UGM 1998-1999 ini menambahkan, minimnya akuntabilitas ini ditunjukkan oleh keengganan banyak partai politik mempertanggungjawabkan sumber keuangan mereka.

"Hampir semua partai politik menolak memberikan transparansi keuangan mereka ketika kita (ICW) minta informasi laporannya. Alasannya bermacam-macam. Padahal, dari sana kita dapat mengetahui mana dana yang berasal dari proyek pemerintah atau mana yang  berasal dari mandiri", terang mantan pegiat Parwi Yogyakarta ini.

Ketika pertama kali diminta transparansi keuangan, hanya PKB yang mau memberikan rincian keuangannya. "Itupun sangat minim. Baru kemudian PKS dan PPP memberikan laporannya setelah berulang kali didesak. Saya heran, laporan pengurus mesjid saja lebih bisa dipercaya daripada partai yang katanya terpercaya ini", tambah Bang Abdullah.

Hal senada diungkapkan Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Yuna Farhan.

"Minimnya akuntabilitas publik di Indonesia dapat dilihat dari sengkarut proses anggaran di berbagai kementerian. Dari semua kementerian, hampir semua diisi oleh permainan dari calo anggaran yang berasal dari partai politik", kata Yuna.

Proses percaloan anggaran itu, menurut data yang ia kumpulkan bersama teman-teman Fitra, terjadi sejak masa penyusunan dan pembahasan. "Boleh-boleh saja proses perencanaan anggaran dilakukan secara partisipatif. Tetapi, tetap saja DPR yang menentukan", kata alumnus Universitas Mataram ini.

Untuk itu, lanjutnya, FITRA mencoba melakukan pengawalan rutin dengan monitoring pembahasan anggaran di DPR.

"Banyak sekali celah korupsi yang dilakukan di DPR. Mulai dari Spek harga yang di-markup dari harga pasar sampai modus pemborosan. Akhirnya, muncul kasus pemborosan anggaran seperti kursi Banggar dan lain-lain di DPR itu", tambah aktivis NGO yang baru saja mengadvokasi pemborosan anggaran DPR ini.

Intinya, proses anggaran di pemerintah minim akuntabilitas. "Pemborosan DPR ini hanya satu pintu masuk untuk membongkar kasus yang lebih besar, terutama calo anggaran di berbagai kementerian yang merepresentasikan oligarki partai", kata Yuna.

Korupsi Pendidikan
Bagaimana dengan sektor pendidikan? Febri Hendri, Ketua Divisi Monitorng Pelayanan Publik ICW, menjelaskan bahwa problem lemahnya akuntabilitas institusi pemerintah juga terjadi pada institusi pendidikan.

"Dalam kasus yang kita tangani kemarin, terlihat bahwa kesadaran institusi pendidikan untuk terbuka dalam informasi publiknya masih sangat lemah. Kita baru bisa membongkar carut-marut keuangan di perguruan tinggi yang bersangkutan setelah melakukan proses ajudikasi berdasarkan UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP)", kata Mas Katong, panggilan akrabnya.

Ia menuturkan, ICW baru saja membuka informasi publik soal keuangan salah satu kampus negeri yang akhirnya bermasalah. Hanya saja, dari pihak mahasiswa sendiri waktu itu yang kurang merespons.

"Informasi publik akan lebih mudah diakses jika didorong oleh pihak internal kampus itu sendiri. Selama ini, ketika ICW mengadvokasi masalah anggaran yang bermasalah, pasti ditanya: atas kepentingan siapa? Beda persoalannya jika mahasiswa sendiri yang meminta transparansi dan akuntabilitas" jelas salah satu aktivis senior di ICW ini.

Dengan menggunakan UU KIP, hak atas informasi menjadi lebih mudah diterima.

"Prosedurnya tidak begitu sulit. Pertama, tentukan dokumen apa saja yang ingin diminta informasinya oleh pemohon. Dokumen ini harus mendetail dan spesifik. Setelah ajukan permohonan, tunggu 10-14 hari. Jika tidak ada respons atau ada penolakan dari badan publik yang diminta anggarannya, pemohon bisa melakukan proses mediasi atau ajudikasi difasilitasi Komisi Informasi Daerah", tambah Mas Katong.

Mahasiswa sendiri, menurut beliau, perlu melakukan dobrakan-dobrakan untuk membumikan isu ini secara nasional. "Akan lebih baik jika upaya mendapatkan akses informasi terhadap data keuangan perguruan tinggi ini dikawal secara nasional. Bayangkan, respons apa yang akan dikeluarkan jika semua mahasiswa bergerak untuk mendapatkan haknya atas informasi keuangan perguruan tinggi", kata pria asal Ambon ini bersemangat.

Terkait RUU PT yang akan disahkan dalam waktu dekat, Mas Katong memberi beberapa catatan. "UU PT ini tidak mengakomodasi partisipasi mahasiswa dalam pengambilan keputusan perguruan tinggi. Ini akan menjadi celah bagi birokrat kampus untuk tidak transparan, karena proses pengawasan dapat diatur sedemikian rupa tanpa kontrol pihak eksternal", kata beliau.

Selain itu, dari segi transparansi dan akuntabilitas, RUU PT juga terkesan sangat longgar. "Akan muncul kekhawatiran tertutupnya keuangan yang akan mendorong proses korupsi. Cukuplah kasus Nazaruddin yang menyeret 7 perguruan tinggi ke proses hukum karena proses pengadaan barang dan jasa yang tidak dilakukan secara fair, penuh praktik percaloan", terang mas Katong.

Oleh sebab itu, upaya untuk mengawal proses akuntabilitas publik harus terus dilakukan oleh mahasiswa.

"Proses pengawalan korupsi akan sangat strategis jika dilakukan baik dari BEM KM UGM maupun BEM Seluruh Indonesia. Dan yang penting ada fokus, misalnya fokus untuk menyasar korupsi anggaran. Bisa saja, misalnya, membuat program inovatif untuk memerangi calo anggaran" komentar Lakso Anindito, alumnus BEM KM UGM yang bekerja di Satgas REDD+ di kantor kepresidenan.

Maka, meminjam rumus korupsi dari Klitgaard, korupsi itu adalah akumulasi dari monopoli dan diskresi tanpa disertai akuntabilitas. Penting bagi kita untuk merumuskan agenda strategis melawan korupsi dengan memperkuat akuntabilitas publik.

Dan terpenting, transparansi institusi pemerintahan wajib diperjuangkan sebagai agenda gerakan ke depan.. [umar]

Tidak ada komentar: