Rabu,
25 Januari 2012. Hari ini, saya dan beberapa teman bertemu dengan
seorang senior di BEM UGM. Mantan aktivis Senat Mahasiswa era 90an awal,
sekarang mengelola sebuah yayasan yang cukup fenomenal dengan
penerjunan fresh graduate untuk mengajar ke daerah-daerah terpencil.
Beliau
ialah Hikmat Hardono. Sempat lama mengelola Senat Mahasiswa UGM -yang
sekarang menjadi BEM KM UGM- dan akhirnya terjun ke dunia masyarakat
sipil selepas lulus dari UGM. Sekarang, beliau menjadi Direktur
Indonesia Mengajar yang cukup dikenal mendobrak dunia pendidikan
Indonesia dengan program pengiriman pengajar muda ke Maluku, Kalimantan,
Riau, dan beberapa daerah terpencil lain.
Pertemuan saya dengan Mas Hikmat pada malam ini adalah pertemuan yang kedua. Sebelumnya, saya sempat bertemu dan ngobrol dengan
beliau di pertengahan tahun 2011 lalu dengan topik pembicaraan yang
sedikit berbeda: sejarah transformasi kelembagaan Senat Mahasiswa UGM
sampai menjadi BEM UGM.
Waktu itu, urusan saya masih
sebagai tim alumni BEM KM UGM yang sempat kami inisiasi dengan Ketika
itu hanya sempat berbincang beberapa lama bersama dua alumni Senat yang
lain: Bu Yundrie Erdani serta mas Cahyo Pamungkas (peneliti LIPI, mantan
Ketua BEM UGM) yang waktu itu sedang penelitian doktoral di Yogyakarta.
Membersamai
mas Hikmat kali ini adalah mas Icus (mas Susilo) yang sempat saya temui
beberapa kali di event Indonesia Mengajar. Saya baru tahu kalau beliau
juga mantan aktivis di UGM. Diskusi kali ini agak santai, di angkringan
lesehan Kali Code, tempat favorit saya dan beberapa kawan untuk diskusi
santai malam hari. Saya bersama beberapa kawan di BEM UGM 2012, termasuk
Giovanni van Empel, Presiden BEM sekarang.
Pemaparan mas
Hikmat kali ini cukup menarik, soal bagaimana IM lahir dan atas semangat
apa IM itu kemudian menjelma menjadi sebuah program yang cukup sustainable dan
fenomenal. Tapi saya tidak hendak mendeskripsikan Indonesia Mengajar
-tentu publik sudah tahu banyak soal ini. Yang ingin saya soroti adalah
sebuah sisi lain dari Indonesia Mengajar: pertautannya yang unik dengan
gelanggang mahasiswa UGM, wa bil khusus Senat dan BEM UGM era 1990an.
Indonesia
Mengajar lahir atas prakarsa Dr. Anies Baswedan, salah seorang
intelektual muda Indonesia yang kapasitasnya cukup diakui dunia.
Semangat yang mendasari Pak Anies untuk mendirikan IM sebetulnya tak
lepas dari pertautan gagasannya dengan Prof. Koesnadi Hardjasoematri,
mantan Rektor UGM yang di masa mudanya sempat menjadi Ketua Dewan
Mahasiswa UGM dan mensponsori projek pengerahan tenaga mahasiswa (PPTM)
-cikal bakal KKN-PPM UGM yang sekarang.
Dari latar
historis yang bisa saya lacak di Senat Mahasiswa UGM dulu, Pak Koesnadi
dan Pak Anies memang pernah bersentuhan langsung. Ketika Anies Baswedan
masih menjadi Ketua Senat Mahasiswa FE UGM, Prof. Koesnadi menjabat
sebagai Rektor. Dari penuturan beberapa aktivis yang sezaman dengan pak
Anies, Prof. Koesnadi memang dikenal dekat dengan mahasiswa. Beliaulah
yang mendorong untuk dibentuknya Senat Mahasiswa UGM -sesuatu yang
terlihat menakutkan bagi rezim Orde Baru waktu itu.
Tapi
ada sesuatu yang kemudian menarik dari beliau: gagasan yang sangat
orisinil soal kiprah mahasiswa di masyarakat. Ini yang menjadi semangat
zaman dari Dewan Mahasiswa era beliau. Ketika euforia gerakan mahasiswa
ekstra sangat mengakar di mahasiswa pada era-era tersebut, beliau
melakukan dobrakan: menginisiasi proyek pengerahan tenaga mahasiswa ke
daerah-daerah terpencil. Proyek ini diinisiasi oleh Dewan Mahasiswa UGM
-yang bermarkas di Gelanggang- serta difasilitasi oleh UGM yang waktu
itu dipimpin oleh Prof. Sardjito. Tujuannya adalah untuk memberikan
akses yang lebih besar bagi rakyat Indonesia untuk mengenyam pendidikan
tinggi.
Koesnadi muda ketika itu dikirim ke Kupang, Nusa
Tenggara Timur. Tak tanggung-tanggung, dua tahun beliau habiskan di sana
untuk mengajar. Dan selepas kembali ke Yogya, beliau membawa dua orang
anak Kupang untuk bersekolah di Yogyakarta. Salah satu di antara dua
anak itu bernama Adrianus Mooy, yang kelak di era Soeharto menjadi
Menteri Keuangan. Inilah kontribusi real mahasiswa pertama bagi
masyarakat.
Koesnadi sendiri akhirnya menyelesaikan
kuliahnya setelah 14 tahun menjadi mahasiswa. Selepas kuliah dan
akhirnya menjadi dosen, Koesnadi kemudian mencoba melembagakan program
tersebut ke dalam sebuah kurikulum pembelajaran mahasiswa yang
integratif. Jadi, mahasiswa tidak hanya cerdas konseptual, tetapi juga
harus cerdas sosial. Kira-kira itu yang dibayangkan Prof. Koesnadi. Dari
sini, lahirlah konsep KKN (Kuliah Kerja Nyata) yang hingga kini masih
menjadi 'menu wajib' bagi mahasiswa UGM untuk lulus.
Jadi,
pertautan antara KKN dan Proyek-proyek pemberdayaan mahasiswa ke daerah
-sebagaimana jadi tren saat ini- sebetulnya tak terpisahkan dari Dewan
Mahasiswa UGM. Kira-kira hal ini yang menjadi inspirasi Anies Baswedan
untuk menginisiasi Indonesia Mengajar, dalam konteks yang lebih berbeda,
sesuai nafas zaman saat ini. Dan secara kebetulan pula, Anies Baswedan
sendiri adalah mantan Ketua Senat Mahasiswa UGM.
Tapi,
apakah hanya karena Anies Baswedan adalah mantan Ketua Senat, lantas
Indonesia Mengajar kemudian identik dengan Senat atau Dewan Mahasiswa?
Entah kebetulan atau tidak, hampir semua lingkar dalam dari Indonesia
Mengajar adalah mantan aktivis Senat, atau minimal aktivis gelanggang.
Ada, misalnya, mas Hikmat, yang dulu sempat menjadi aktivis Senat dalam
jangka waktu yang cukup lama.
Selain mas Hikmat, saya
kenal mbak Chiku, dulu Sekretaris Umum Gama Cendekia, senior saya di HI
UGM. Lalu ada mbak Yundrie Erdani yang satu generasi dengan mas Hikmat
di Senat. Kebetulan pula suami Mbak Yundrie adalah eksponen Senat
Mahasiswa UGM yang cukup senior, salah satu peletak dasar Senat di tahun
1991. Sampai saat ini, keberadaan alumni Senat Mahasiswa UGM ini banyak
terwadahi di Forum Kagamamuda.
Di sinilah pertautan
dengan cerita mas Hikmat malam ini. Indonesia Mengajar mungkin terlihat
sederhana jika dibandingkan dengan KKN-PPM yang sudah jadi program
reguler UGM. Tapi karena konteks programnya yang out of the box, keluar dari mainstream pendidikan
atau "guru" yang selama ini dianggap harus berasal dari lulusan
Fakultas atau Universitas Pendidikan, berpadu dengan model pendidikan
yang bisa dilakukan oleh lulusan fresh graduate universitas ternama di negeri ini.
Mungkin ini pula yang terjadi ketika Prof Koesnadi menginisiasi PPTM tahun 1955 dulu. Alih-alih mengikuti stream mahasiswa
yang berpolitik praktis melalui gerakan mahasiswa, Prof. Koesnadi
memperkenalkan cara baru aksi mahasiswa melalui pendidikan. Dan outputnya berjalan baik. Hasil-hasil pemikiran yang out of the box ini yang perlu ditelaah lagi.
Kuncinya,
menurut Mas Hikmat, sederhana saja: Pertanyakan sesuatu yang selama ini
dianggap 'benar'. Pertanyakan saja apapun yang selama ini mapan dan
secara turun-temurun diwariskan. Hal ini yang perlu dilakukan di BEM KM
UGM saat ini. Saatnya membebaskan diri dari sekat-sekat apapun untuk
kemudian melakukan dobrakan dan menginisiasi kreativitas.
Sejarah Indonesia Mengajar tak terlepas dari kiprah mahasiswa yang berpikir keluar dari mainstream. Tak
perlu menjadi Ketua BEM hanya untuk mempertahankan hegemoni atau
merebut kekuasaan. Tapi, mampukah amanah ini dijawab dengan 'menuliskan
ulang' BEM KM UGM secara lebih baru lagi ke depan?
Kata mas Hikmat, konsepnya sederhana saja: mulai dari berpikir untuk tidak terikat pada belenggu mainstream yang
kadang menjebak dan membatasi gerak mahasiswa untuk berpikir lebih
kreatif. Indonesia Mengajar lahir dari serangkaian sejarah yang bertaut
dengan mahasiswa. Hanya semangat zaman yang kemudian membedakan.
Dan akhirnya, mari bersama-sama membangun kembali UGM, Indonesia, dan Dunia dengan Cinta, Cita dan Karya.
Nuun wal qalami wa maa yasthuruun. [umar]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar