Beberapa
hari terakhir, publik diramaikan oleh beberapa pemberitaan di media
massa soal Nazaruddin. Kasus Hambalang yang menyeret mantan Bendahara
Umum Partai Demokrat ini terus bergulir. Rupanya, masih ada tujuh kasus
lain yang menunggu Nazar di meja hijau.
Semua kasus
tersebut berada pada ranah pengadaan barang dan jasa di beberapa
kementerian. Ironisnya, beberapa kasus justru terjadi pada lima
perguruan tinggi yang seharusnya menjadi avant garde tata kelola pemerintahan yang baik.
Apakah
memang korupsi sudah begitu akut, hingga menjalar hingga sektor
pendidikan tinggi? Mengapa proses anggaran di negeri ini begitu rawan
praktik korupsi?
Korupsi Anggaran
Beberapa
masalah di atas jelas merefleksikan komplikasi korupsi yang cukup akut
dalam penyelenggaraan negara, terutama dalam proses anggaran serta
pengadaan barang dan jasa.
Sesuai PP 54/2010 tentang
pengadaan barang dan jasa, setiap proyek yang nilainya lebih dari Rp 200
juta harus diselesaikan melalui proses lelang (tender).
Artinya, jika proyek pemerintah tersebut senilai miliaran Rupiah,
seluruh investor yang ingin berpartisipasi dalam proyek tersebut harus
berkompetisi terlebih dulu.
Tentu saja, melalui proses lelang tersebut, diharapkan terjadi persaingan yang sehat dan fair bagi
setiap investor untuk mendapatkan proyek. Akan tetapi, kasus Nazaruddin
membuka mata kita bahwa proses pengadaan barang & jasa tidak
serta-merta berjalan sebagaimana mekanisme yang ada.
Kita
dapat bedah beberapa kasus, misalnya, seperti kasus Hambalang
(Pembangunan Wisma Atlet). Proyek Kementerian Pemuda dan Olahraga
senilai 191 Milyar itu menyeret beberapa pejabat ke meja hijau karena
kasus suap, di antaranya Wafid Muharram, Sesmenpora.
Persoalan
pada proyek tersebut mungkin dapat digambarkan sederhana. Nazaruddin,
sebagai peserta lelang, melakukan suap kepada Sesmenpora (Wafid) untuk
mengegolkan proyek tersebut pada proses lelang. Hasilnya dapat
diketahui: proyek mengalir ke PT Anak Negeri, perusahaan Nazaruddin.
Praktik
suap untuk mengamankan proyek anggaran adalah modus yang, ironisnya,
sangat lumrah dalam kasus-kasus korupsi di Indonesia. Tetapi ketika
melihat perkembangan kasus, kita akan lebih terkejut lagi: permainan
terjadi tidak hanya pada proses lelang, tetapi sudah diatur hingga
menyeret anggota DPR lain –jika yang disampaikan Nazar benar.
Praktik
percaloan anggaran semacam ini dapat ditemui benang merahnya jika
melihat kasus Nazaruddin yang lain: kasus pengadaan alat dan penunjang
laboratorium di beberapa Universitas.
Salah satu modus
korupsi yang terjadi adalah penggelembungan harga. Kerugian negara pada
kasus yang juga melibatkan Nazaruddin di APBN 2010 itu kabarnya mencapai
7 Miliar.
Kasus ini menjadi ‘pintu masuk’ untuk menelisik
kasus korupsi dalam proses pengadaan barang dan jasa. Jelas, praktik
pengadaan barang dan jasa yang melalui proses tender tak lepas dari
permainan broker politik yang “menumpang” proyek untuk kepentingan modal politik.
Mengutip Abdullah Dahlan (ICW), Percaloan anggaran ini bisa melalui perantara dengan fee yang diajukan oleh anggota DPR maupun birokrasi yang memiliki link dengan pengusaha.
Jalinan
erat antara politisi, birokrat, dan pengusaha ini jelas bersifat
koruptif. Ia menguasai sumber daya publik yang ada dan
mengakumulasikannya untuk dana politik.
Jalan yang bisa
diajukan untuk mencegah hal ini tentu saja adalah dengan membongkar
pendanaan partai dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi.
Lagi-lagi, celahnya, aturan politik kita tidak menyiapkan infrastruktur
sistem yang mendukung proses ini.
Sehingga, proses politik
kita menjadi sangat oligarkis: diatur oleh segelintir pihak dan elit
untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
Oligarki
Dalam perspektif korupsi politik, otoritas yang tersentralisir secara penuh akan cenderung korup. Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely, kata Lord Acton.
Begitu
juga dengan praktik oligarki antara kementerian (birokrasi), DPR
(politisi), maupun perusahaan rekanan dalam pengadaan barang dan jasa.
Kasus Nazaruddin telah membuktikan bahwa proses anggaran yang tidak
sehat rawan berimplikasi pada munculnya calo-calo anggaran.
Ironisnya,
jika kita telaah kasus-kasus korupsi anggaran yang terjadi, modusnya
justru melibatkan orang-orang dari partai politik. Padahal, seharusnya
partai politik mengemban amanah mulia untuk melakukan pendidikan politik
kepada masyarakat.
Mengapa hal ini bisa terjadi?
Sengkarut oligarki antara kementerian, DPR, dan perusahaan rekanan ini,
meminjam analisis Hanta Yuda (2010), terjadi karena mismatch antara presidensialisme dan multipartai di Indonesia, atau “presidensialisme setengah hati”.
Dalam logika presidensialisme efektif, kabinet yang terbentuk seyogianya adalah zaken kabinet. Artinya, Presiden memiliki otoritas penuh untuk memilih jajaran menterinya tanpa harus tersandera kepentingan politik.
Dalam
konteks presidensialisme “setengah hati” –dalam bahasa Hanta Yuda—
posisi kementerian justru dihuni oleh figur titipan partai politik
sebagai implikasi deal antara presiden dan pemerintahan koalisi.
Implikasi
negatifnya, pemerintahan menjadi tersandera oleh kepentingan partai.
Yang lebih parah, masuknya unsur partai politik di kementerian justru
membuka peluang bagi pemburu rente dari partai yang bersangkutan untuk
menguasai proyek anggaran di kementerian yang bersangkutan.
Sehingga, alih-alih membuka persaingan tender proyek secara fair, proses
lelang menjadi “bancakan” permainan partai. Ujung-ujungnya, muncullah
kasus seperti “sapi jenggot” atau “hambalang” yang jelas menunjukkan
oligarki yang pelik itu.
Mereduksi Potensi Korupsi
Sehingga, jika konsisten dengan analisis ini, ada dua hal yang mesti menjadi perhatian. Pertama, kementerian mesti disterilkan dari kepentingan kapital partai untuk menumpuk bekal di 2014 nanti.
Cara paling radikal adalah me-reshuffle menteri
yang memang terbukti korup dan nepotis dalam proses anggaran dan
mekanisme pengelolaan proyek. Jika tidak memungkinkan, eksponen partai
dapat dilarang untuk terlibat dalam proses anggaran maupun pengelolaan
proyek untuk menghindari konflik kepentingan.
Kedua, segera
membongkar transparansi dan akuntabilitas pendanaan partai. Ini penting
untuk melihat arus dana tidak jelas yang masuk ke partai. Jika dana
yang bersangkutan berasal dari percaloan, perlu ada tindakan yang jelas
untuk menghentikan aliran dana ini.
Salah satu strategi
untuk mengantisipasi ini adalah melalui UU Pemilu baru –yang justru
dibuat oleh DPR sendiri. Tantangan beratnya tentu di sini. Jika tak ada
pengawalan serius dari elemen masyarakat sipil, UU Pemilu kita hanya
akan menjadi alat meneguhkan kekuasaan politik status-quo saat ini.
Dua
jalan tersebut meniscayakan adanya peran serta masyarakat sipil untuk
mengawal proses politik di negeri ini. Tak terkecuali, tentu saja,
gerakan mahasiswa. Pertanyaannya, sanggupkah gerakan mahasiswa berdiri
tegak di atas kepentingan mahasiswa sendiri, tanpa harus terpenjara oleh
kepentingan politik yang berkelindan dengan modal dan kekuasaan?
Biarlah
waktu yang menjawabnya karena ikhtiar kita untuk memerangi korupsi di
negeri ini. Salam cinta, cita, dan karya untuk pembebasan!
Billahi fi sabilil haq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar