Pengantar
Kasus suap aliran dana Bank Indonesia yang diterima oleh para politisi Senayan telah memasuki babak baru. Kesaksian Hamka Yandhu yang menyatakan bahwa 52 anggota Komisi IX DPR-RI periode 1999-2004 menerima aliran dana tersebut kemudian menjadi kontroversi karena dua anggota Komisi IX yang menerima aliran dana tersebut adalah anggota Kabinet Indonesia Bersatu, yaitu Paskah Suzetta (Meneg PPN/Kepala Bappenas) dan MS Kaban (Menteri Kehutanan).
Kasus ini menarik karena menyangkut kontrak politik di antara para menteri dengan presiden. Kontrak politik yang ditandatangani sebelum pelantika tersebut pada intinya menyatakan bahwa menteri bersedia dicopot jika terlibat sebuah kasus hukum. Kontroversi terjadi karena status hukum Paskah Suzetta dan MS Kaban masih menggantung dan keduanya masih belum diperiksa oleh penyidik kejaksaan atau KPK.
Memang dalam kasus ini belum ada bukti baru yang mendukung kesaksian Hamka Yandhu tersebut. Akan tetapi, posisi presiden menjadi dilematis karena banyak tekanan publik –termasuk dari Adnan Buyung Nasution—yang menuntut presiden agar mengganti Kaban dan Paskah. Kedua menteri pun menunggu keputusan : Reshuffle atau Bertahan?
Implikasi Politik: Peran Mafia Senayan?
Penulis mencatat setidaknya akan ada empat akibat yang berpotensi menghasilkan masalah baru bagi pemerintah terkait kesaksian Hamka Yandhu di pengadilan tersebut.
Pertama, terlibatnya dua menteri ini akan menjadi sebuah batu ujian bagi komitmen Presiden SBY dalam penegakan supremasi hukum dan pemberantasan korupsi. Laode Ida dalam artikelnya di Kompas (2/8) menyatakan bahwa keterlibatan “orang dalam SBY” adalah sebuah tantangan bagi upaya pemberantasan korupsi. Presiden SBY dituntut untuk tegas menyikapi sebuah kasus korupsi, kendati pelakunya adalah “orang dalam” sendiri.
Jika Presiden SBY memang konsekuen, sikap presiden adalah menyerahkan penyelesaian kepada proses hukum tanpa intervensi istana dan menggunakan hak prerogatif presiden secara bertanggungjawab. Sikap ini dapat menjadi pembuktian bahwa pemerintah tidak bertindak “tebang pilih” dalam pemberantasan korupsi.
Kedua, terlibatnya para menteri menuntut tindak lanjut dari KPK dan Kejaksaan untuk terus mengusut keterlibatan mafia senayan dalam aliran dana BI. Sudah ada dua mantan anggota DPR-RI yang menjadi tersangka, yaitu Hamka Yandhu dan Anthony Zeidra Abidin. Konsistensi KPK untuk terus menegakkan supremasi hukum dalam pemberantasan korupsi harus terus ditingkatkan di tengah tantangan yang kian besar.
Di sisi lain, kejaksaan juga harus terus mengembangkan kasus ini di jajaran Bank Indonesia. Koran Tempo (4/8) mencatat bahwa bukti-bukti di persidangan menunjukkan bahwa mantan Deputi Gubernur BI, Aulia Pohan, disinyalir turut terlibat dalam pencairan dana BI. Desakan ICW dan Ryaas Rasyid untuk mengusut Aulia Pohan patut dicermati, jangan sampai status Aulia Pohan sebagai besan Presiden menghalangi penyidikan.
Ketiga, keterlibatan dua menteri ini mengharuskan presiden untuk mereposisi kabinet dengan mempertimbangkan parpol, mengingat dua menteri ini berasal dari partai politik. Kita tentu masih ingat ketika Yusril Ihza Mahendra terkena reshuffle, muncul sikap politik Partai Bulan Bintang (PBB) untuk “keluar” dari posisi sebagai partai pendukung pemerintah sehingga menyebabkan keretakan hubungan dengan Partai Demokrat.
Secara politik, sikap untuk mereshuffle secara tergesa-gesa tentu tidak tepat. Presiden dalam hal ini perlu berkonsultasi dengan Wantimpres (bukan hanya kepada Adnan Buyung) dan perlu menegaskan sikap politik presiden yang diambil kepada kabinet. Memang, sikap terbaik bagi para menteri adalah mundur secara legowo, namun pengganti mereka harus disiapkan oleh presiden secara matang.
Keempat, terlibatnya para menteri harus membuka mata semua pihak bahwa korupsi bisa “menjangkiti” siapapun. Oleh karena itu, perlu dibangun sebuah paradigma bahwa menteri sekalipun tidak kebal hukum dan semua pejabat publik harus mempertanggungjawabkan amanah yang dipegangnya secara baik.
Prof Adrianus Meliala dalam simposium internasional di FKIP Unlam pernah menyatakan, awal dari korupsi ialah konflik kepentingan. Seorang pejabat publik harus mampu membedakan antara kewenangan dan larangan dalam menjalankan tugas. Uang yang diterima ketika menjalankan tugas harus diidentifikasi terlebih dulu, apakah itu merupakan gaji yang halal diterima atau gratifikasi yang haram dipergunakan.
Menunggu Sikap Bijaksana SBY
Keterlibatan empat menteri dalam aliran dana BI tersebut memang merupakan preseden dalam kabinet Indonesia Bersatu yang telah berjalan selama empat tahun. Sebagai seorang pejabat publik, kebijakan Presiden dalam menyikapi hal ini sangat diperlukan.
Sikap bijaksana presiden tersebut menurut penulis setidaknya mencakup tiga hal, yakni menyerahkan persoalan kepada proses hukum, menjaga kestabilan kabinet dengan memisahkan urusan hukum dan politik, serta menggunakan hak prerogatif secara bertanggung jawab.
Sikap bijaksana pertama yaitu menyerahkan kasus kedua menteri ini kepada proses hukum dapat dilakukan dengan cara memberi jalan kepada KPK untuk melakukan penyidikan. Bukan kapasitas presiden untuk membela atau mengeluarkan political statement yang terkesan menghalang-halangi penyidik dengan alasan melindungi kinerja kabinet. Sikap presiden harus menjunjung tinggi Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, yang mengimplikasikan penegakan supremasi hukum tanpa pandang bulu.
Sikap bijaksana kedua, menjaga kestabilan kabinet dengan pemisahan urusan politik dengan urusan hukum dilakukan dengan cara tetap membiarkan para menteri mengerjakan tugas-tugasnya sebagai seorang menteri secara baik tanpa menciderai upaya penegakan supremasi hukum. Di sisi lain, penyidik juga harus terus bekerja tanpa dihalang-halangi. Ini untuk menjaga stabilitas jalannya tata pemerintahan yang baik.
Sikap bijaksana ketiga, menggunakan hak prerogatif secara bertanggung jawab. Ketika status hukum para menteri yang terlibat telah mencapai level tertentu, presiden harus menggunakan hak prerogatif untuk mengganti menteri dengan mempertimbangkan posisi politik dan track record pengganti. Presiden sebaiknya tidak memaksa menteri lain untuk rangkap jabatan, sehingga tugas yang diberikan tidak tumpang tindih.
Ketiga sikap bijaksana tersebut menurut penulis sangat patut dilakukan oleh presiden sebagai manifestasi komitmen dan kontrak politik. Selanjutnya, biarlah hukum yang berbicara. Bukankah negara ini adalah negara hukum (rechtstaati), bukan negara kekuasaan (machstaati)?
Kasus suap aliran dana Bank Indonesia yang diterima oleh para politisi Senayan telah memasuki babak baru. Kesaksian Hamka Yandhu yang menyatakan bahwa 52 anggota Komisi IX DPR-RI periode 1999-2004 menerima aliran dana tersebut kemudian menjadi kontroversi karena dua anggota Komisi IX yang menerima aliran dana tersebut adalah anggota Kabinet Indonesia Bersatu, yaitu Paskah Suzetta (Meneg PPN/Kepala Bappenas) dan MS Kaban (Menteri Kehutanan).
Kasus ini menarik karena menyangkut kontrak politik di antara para menteri dengan presiden. Kontrak politik yang ditandatangani sebelum pelantika tersebut pada intinya menyatakan bahwa menteri bersedia dicopot jika terlibat sebuah kasus hukum. Kontroversi terjadi karena status hukum Paskah Suzetta dan MS Kaban masih menggantung dan keduanya masih belum diperiksa oleh penyidik kejaksaan atau KPK.
Memang dalam kasus ini belum ada bukti baru yang mendukung kesaksian Hamka Yandhu tersebut. Akan tetapi, posisi presiden menjadi dilematis karena banyak tekanan publik –termasuk dari Adnan Buyung Nasution—yang menuntut presiden agar mengganti Kaban dan Paskah. Kedua menteri pun menunggu keputusan : Reshuffle atau Bertahan?
Implikasi Politik: Peran Mafia Senayan?
Penulis mencatat setidaknya akan ada empat akibat yang berpotensi menghasilkan masalah baru bagi pemerintah terkait kesaksian Hamka Yandhu di pengadilan tersebut.
Pertama, terlibatnya dua menteri ini akan menjadi sebuah batu ujian bagi komitmen Presiden SBY dalam penegakan supremasi hukum dan pemberantasan korupsi. Laode Ida dalam artikelnya di Kompas (2/8) menyatakan bahwa keterlibatan “orang dalam SBY” adalah sebuah tantangan bagi upaya pemberantasan korupsi. Presiden SBY dituntut untuk tegas menyikapi sebuah kasus korupsi, kendati pelakunya adalah “orang dalam” sendiri.
Jika Presiden SBY memang konsekuen, sikap presiden adalah menyerahkan penyelesaian kepada proses hukum tanpa intervensi istana dan menggunakan hak prerogatif presiden secara bertanggungjawab. Sikap ini dapat menjadi pembuktian bahwa pemerintah tidak bertindak “tebang pilih” dalam pemberantasan korupsi.
Kedua, terlibatnya para menteri menuntut tindak lanjut dari KPK dan Kejaksaan untuk terus mengusut keterlibatan mafia senayan dalam aliran dana BI. Sudah ada dua mantan anggota DPR-RI yang menjadi tersangka, yaitu Hamka Yandhu dan Anthony Zeidra Abidin. Konsistensi KPK untuk terus menegakkan supremasi hukum dalam pemberantasan korupsi harus terus ditingkatkan di tengah tantangan yang kian besar.
Di sisi lain, kejaksaan juga harus terus mengembangkan kasus ini di jajaran Bank Indonesia. Koran Tempo (4/8) mencatat bahwa bukti-bukti di persidangan menunjukkan bahwa mantan Deputi Gubernur BI, Aulia Pohan, disinyalir turut terlibat dalam pencairan dana BI. Desakan ICW dan Ryaas Rasyid untuk mengusut Aulia Pohan patut dicermati, jangan sampai status Aulia Pohan sebagai besan Presiden menghalangi penyidikan.
Ketiga, keterlibatan dua menteri ini mengharuskan presiden untuk mereposisi kabinet dengan mempertimbangkan parpol, mengingat dua menteri ini berasal dari partai politik. Kita tentu masih ingat ketika Yusril Ihza Mahendra terkena reshuffle, muncul sikap politik Partai Bulan Bintang (PBB) untuk “keluar” dari posisi sebagai partai pendukung pemerintah sehingga menyebabkan keretakan hubungan dengan Partai Demokrat.
Secara politik, sikap untuk mereshuffle secara tergesa-gesa tentu tidak tepat. Presiden dalam hal ini perlu berkonsultasi dengan Wantimpres (bukan hanya kepada Adnan Buyung) dan perlu menegaskan sikap politik presiden yang diambil kepada kabinet. Memang, sikap terbaik bagi para menteri adalah mundur secara legowo, namun pengganti mereka harus disiapkan oleh presiden secara matang.
Keempat, terlibatnya para menteri harus membuka mata semua pihak bahwa korupsi bisa “menjangkiti” siapapun. Oleh karena itu, perlu dibangun sebuah paradigma bahwa menteri sekalipun tidak kebal hukum dan semua pejabat publik harus mempertanggungjawabkan amanah yang dipegangnya secara baik.
Prof Adrianus Meliala dalam simposium internasional di FKIP Unlam pernah menyatakan, awal dari korupsi ialah konflik kepentingan. Seorang pejabat publik harus mampu membedakan antara kewenangan dan larangan dalam menjalankan tugas. Uang yang diterima ketika menjalankan tugas harus diidentifikasi terlebih dulu, apakah itu merupakan gaji yang halal diterima atau gratifikasi yang haram dipergunakan.
Menunggu Sikap Bijaksana SBY
Keterlibatan empat menteri dalam aliran dana BI tersebut memang merupakan preseden dalam kabinet Indonesia Bersatu yang telah berjalan selama empat tahun. Sebagai seorang pejabat publik, kebijakan Presiden dalam menyikapi hal ini sangat diperlukan.
Sikap bijaksana presiden tersebut menurut penulis setidaknya mencakup tiga hal, yakni menyerahkan persoalan kepada proses hukum, menjaga kestabilan kabinet dengan memisahkan urusan hukum dan politik, serta menggunakan hak prerogatif secara bertanggung jawab.
Sikap bijaksana pertama yaitu menyerahkan kasus kedua menteri ini kepada proses hukum dapat dilakukan dengan cara memberi jalan kepada KPK untuk melakukan penyidikan. Bukan kapasitas presiden untuk membela atau mengeluarkan political statement yang terkesan menghalang-halangi penyidik dengan alasan melindungi kinerja kabinet. Sikap presiden harus menjunjung tinggi Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, yang mengimplikasikan penegakan supremasi hukum tanpa pandang bulu.
Sikap bijaksana kedua, menjaga kestabilan kabinet dengan pemisahan urusan politik dengan urusan hukum dilakukan dengan cara tetap membiarkan para menteri mengerjakan tugas-tugasnya sebagai seorang menteri secara baik tanpa menciderai upaya penegakan supremasi hukum. Di sisi lain, penyidik juga harus terus bekerja tanpa dihalang-halangi. Ini untuk menjaga stabilitas jalannya tata pemerintahan yang baik.
Sikap bijaksana ketiga, menggunakan hak prerogatif secara bertanggung jawab. Ketika status hukum para menteri yang terlibat telah mencapai level tertentu, presiden harus menggunakan hak prerogatif untuk mengganti menteri dengan mempertimbangkan posisi politik dan track record pengganti. Presiden sebaiknya tidak memaksa menteri lain untuk rangkap jabatan, sehingga tugas yang diberikan tidak tumpang tindih.
Ketiga sikap bijaksana tersebut menurut penulis sangat patut dilakukan oleh presiden sebagai manifestasi komitmen dan kontrak politik. Selanjutnya, biarlah hukum yang berbicara. Bukankah negara ini adalah negara hukum (rechtstaati), bukan negara kekuasaan (machstaati)?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar