Pengantar
Perang kembali melanda daratan kaukasus. Belum selesai konflik Chechnya yang memakan banyak korban dari warga sipil, dunia kembali dikejutkan dengan agresi Rusia ke wilayah Ossetia Selatan yang masuk dalam territorial Georgia. Kedua kubu seakan saling pamer kekuatan militer, padahal dulu mereka adalah satu kesatuan di bawah Serikat Uni Sovyet.
Konflik Berkepanjangan
Tak ayal, agresi yang memakan banyak kerugian ini memicu protes dari dunia internasional. Apalagi peperangan ini berlangsung ketika dunia tengah disemarakkan oleh penyelenggaraan olimpiade yang merupakan alat perekat perdamaian dunia dalam bentuk kompetisi olahraga.
Peperangan di Ossetia Selatan ini sebenarnya merupakan buah dari ketegangan berkepanjangan di kawasan tersebut. Konflik diawali dengan munculnya gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dengan Georgia di kawasan tersebut. Rusia secara diam-diam mendukung gerakan tersebut dengan dalih “melindungi warga negara Rusia yang berada di wilayah tersebut” (CNN, 9/8).
Situasi menegang pada awal Agustus 2008, ketika sebuah operasi militer Georgia pada tanggal 7 Agustus 2008 ke wilayah tersebut berhasil merebut Tskhinvali, ibukota Osetia Selatan (BBC, 9/8). Rusia merespons serangan ini dengan mengirimkan pasukan ke wilayah tersebut dengan alasan melindungi warga sipil Rusia. Kantor Berita Antara menyebutkan sekurangnya 100 tentara Georgia tewas dalam kontak senjata tersebut (Antara, 11/8).
Perlukah Perang?
Penulis menganalisis setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya peperangan ini.
Pertama, adanya intervensi Rusia dalam konflik internal Georgia-Osetia Selatan. Hal ini dibuktikan dengan dikirimnya tentara Rusia masuk ke territorial Georgia. Hal ini salah secara hukum internasional karena mengganggu kedaulatan negara lain dan bertentangan dengan prinsip Souvereign Equility of Nations yang mengimplikasikan adanya kedaulatan teritorial atas semua negara (Budiardjo, 1972). Hal ini juga akan menciptakan konflik baru yang mengakibatkan kerugian yang lebih luas.
Selain itu, penggunaan operasi militer dengan dalih perlindungan warga juga tidak tepat. Jika Rusia ingin melindungi warganya, bukankah langkah yang lebih tepat adalah dengan pendataan administratif atau penekanan diplomatik atas Georgia? Jika Georgia memang terbukti membunuhi warga sipil, Rusia dapat melaporkan Georgia ke PBB. Ini lebih baik daripada pengerahan kekuatan militer secdara membabi-buta.
Kedua, sikap represif Georgia atas gerakan separatis. Persoalan gerakan separatis memang merupakan sebuah ancaman bagi kedaulatan suatu negara., tetapi penyelesaiannya bukan dilakukan dengan operasi militer. Penggunaan kekuatan militer di basis gerakan separatis jelas akan menjadi polemik ketika kelompok separatis menggunakan warga sipil sebagai tameng. Ini akan menghambat proses penyelesaian.
Kita mungkin masih ingat dengan tragedi Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh pada era 1980-an untuk membasmi Gerakan Aceh Merdeka hingga mengakibatkan banyak warga sipil menjadi korban. Sekali lagi, Georgia seharusnya lebih menggunakan pendekatan diplomatik dan persuasif untuk mendinginkan gerakan separatis.
Prospek Resolusi Konflik
Bagaimana meredakan ketegangan yang terlanjur masuk ke level perang ini? Mari kembali kita analisis.
Dalam konteks Rusia-Georgia, syarat awal yang patut dilakukan adalah dengan gencatan senjata dan penarikan pasukan dari medan peperangan. Gencatan senjata ini paling tidak berlangsung hingga proses perundingan sesi dapat benar-benar dilaksanakan. Di sini, penulis melihat perlunya keterlibatan PBB sebagai organisasi internasional terbesar di dunia sebagai penengah dalam proses perundingan
Akan tetapi, keterlibatan PBB secara dalam perundingan (hard diplomacy) tidaklah cukup. Penulis melihat perlunya penggunaan media soft diplomacy berupa pemanfaatan olimpiade Beijing 2008 sebagai sarana untuk merekatkan hubungan yang retak antara Rusia dan Georgia. Atlet-atlet yang mewakili kedua negara, meminjam istilah Ban Ki Moon, harus membawa misi damai dalam kompetisi olahraga tersebut.
Upaya lain yang patut dilakukan adalah dengan penempatan pasukan perdamaian di wilayah ossetia selatan. Jika kita melihat pada peta pada Koran Tempo (9/8), terlihat bahwa zona penyangga (buffer area) yang ditentukan oleh PBB terletak di sebelah Barat Georgia, dekat perbatasan Abkhazia.
Seharusnya, dengan melihat peperangan yang terjadi, pasukan perdamaian PBB juga ditempatkan di osetia selatan dengan basis daerah sekitar Gori dan Tskhinvali. Apalagi Rusia, seperti dikabarkan oleh Antara (9/8), telah menghujani kota Gori dan daerah sekitar Kareli dengan serangkaian serangan udara.
Selain itu, penulis juga berpendapat sebaiknya NATO tidak terburu-buru turut campur dalam konflik ini. Sebagaimana diketahui, Georgia dan Ukraina—negara bekas Uni Sovyet lain—juga berpolemik dengan Rusia mengenai gagasan mereka untuk masuk ke NATO. Sebaiknya, NATO memberi porsi kepada Uni Eropa untuk membicarakan hal ini dalam sebuah konferensi setingkat menteri agar peperangan dapat berakhir.
Pintu Damai Masih Terbuka!
Adanya peperangan antara Georgia dan Rusia telah membuka mata dunia bahwa kaukasus masih belum sepenuhnya steril dari konflik. Untuk itu, prospek perdamaian yang ada di depan mata harus terus dikembangkan menuju tata dunia yang damai dan berkeadilan.
Penulis hanya berharap, resolusi konflik dalam peperangan ini dapat membawa hasil yang berarti. Salam Damai dari Banjarmasin!
*) Mr. Ban-Ki-Moon, pikirkanlah untuk mengalihkan pandangan anda sejenak dari Nuklir Iran yang sebenarnya untuk kepentingan damai ke peperangan ini. Pikirkan, berapa banyak warga sipil yang harus dikorbankan demi kepentingan minyak di Asia Tengah ini? Pikirkan, berapa kerugian yang harus diderita oleh kedua negara dengan peperangan ini? Save Civil Supremacy!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar