Minggu, 24 Agustus 2008

Washington Consensus dan Transnasionalisme: Adakah “Alternatif Baru”?

Pengantar

The Washington Consensus yang dicetuskan pertama kali oleh John Williamson (Rais, 2008; Stiglitz, 2002) telah membawa arus perubahan dalam tata ekonomi dan politik dunia. Tiga ikon utama Washington Consensus, yaitu deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi (Stiglitz, 2002), yang disebarluaskan oleh lembaga keuangan liberalis telah membuat posisi tawar politis korporasi multinasional menguat di negara yang fundamental ekonominya lemah.

Kondisi tersebut jelas membuat kapitalisme semakin hegemonik. Perkins (2004) telah menjelaskan –berdasarkan pengalamannya— bahwa perpaduan para ekonom perusak (economic hit men), pemerintah, dan korporasi multinasional telah melahirkan sebuah kekuatan baru yang disebut sebagai “corporatocracy”. Istilah ini mengacu pada kolaborasi berbahaya yang memuluskan jalan segelintir pihak untuk menguasai tatanan ekonomi dunia.

Doktrin Margaret Thatcher, “There is No Alternative” (Kleden, 2004; Rais, 2008: 16) seakan menggelora ketika dunia dilanda krisis keuangan (1996-1997). Salah satu ikon Washington Consensus , IMF, telah memberi sebuah resep usang: Tak ada pilihan lain selain ekonomi pasar bebas. Dengan kata lain, negara berkembang “disarankan” untuk mengikuti narasi besar Washington Consensus yang memuluskan jalan korporasi asing di negaranya (Rais, 2008).

Konteks Indonesia

Sesuaikah narasi besar tersebut dalam konteks Indonesia? Stiglitz (2002) membuktikan hal yang sebaliknya. Pengalamannya dalam pembangunan ekonomi Cina justru membuktikan bahwa tanpa privatisasi, kestabilan ekonomi tetap dapat dipertahankan dan produk nasional dapat ditngkatkan. Padahal, sentralisme ekonomi Cina masih tetap dirasakan meski tak seketat dulu.

Stiglitz membandingkan kinerja ekonomi Cina (non-privatisasi) dan Rusia (pro-privatisasi) sebagai dua paradoks. Rusia cenderung membuat kebijakan fiskal yang inefisien, tetapi pencatatan kinerja ekonomi yang jutru menurun (Stiglitz, 2002). Kondisi ini juga dibenarkan oleh Rais (2008:36) yang menyebutkan bahwa pendapatan nasional Cina justru bertambah secara pesat tanpa perlu adanya privatisasi atau resep-resep IMF lain.

Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Kita hanya perlu mengulas satu kebijakan saja dari Washington Consensus, yaitu privatisasi. Kesalahan pemerintah paling nyata adalah memasukkan unsur swasta ke dalam pengelolaan BUMN. Kabar terbaru pada beberapa media massa menyebutkan bahwa dua perusahaan milik negara, yaitu Garuda Indonesia dan Krakatau Steel, telah siap melakukan penawaran saham perdana (IPO). Apakah pemerintah ingin menjual asset bangsa untuk menghidupi oknum pejabat yang gajinya semakin membebani APBN?

Bahkan lebih jauh lagi, transnasionalisme berkedok korporasi mutinasional telah menyebabkan pemerintah lagi-lagi melanggar Pasal 33 UUD 1945 yang mengimplikasikan pengelolaan hasil bumi nasional oleh pemerintah. Ironi yang terjadi di Kalimantan Selatan, pengelolaan batubara oleh Adaro dan beberapa perusahaan lain justru merusak jalan negara dan merugikan pemerintah daerah karena pembagian keuntungan yang tak seimbang. Itu belum termasuk penguasaan blok Cepu oleh Exxon Mobile yang berujung pada swastanisasi minyak.

Adakah Alternatif Baru?

Gerakan transnasionalisme ekonomi telah membawa negara berkembang pada jurang keterpurukan. Krisis Moneter 1997-1998 membuktikan bahwa pembangunan ekonomi berbasis swasta (bukan rakyat) hanya memberi kesenangan semu bagi para korporat yang menguasai pasar. Wajar jika Stiglitz (2002) menyatakan bahwa the invisible hand versi Adam Smith tidak sepenuhnya benar; perlu adanya campur tangan pemerintah dalam pengelolaan pasar.

Sebagai sebuah perbandingan, kita perlu melirik keberhasilan Iran, Bolivia, atau Cina yang telah memberikan sebuah alternatif baru bagi tata ekonomi dunia. Iran dengan pengembangan nuklirnya, Bolivia dengan nasionalisasi aset-aset strategis bangsanya, dan Cina dengan keberhasilan untuk mengentaskan kemiskinan tanpa privatisasi. Bahkan ketika Daniel Ortega dari Sandinista memenangi pemilu 2006 di Nikaragua, muncul sebuah harapan bahwa Perjuangan melawan neoliberalisme masih terus berlangsung (Soyomukti, 2008).

Kita memang tak dapat mengelak dari globalisasi. Akan tetapi, jangan sampai globalisasi tersebut berubah arah menjadi sebuah gerakan transnasionalisme ekonomi yang pada gilirannya nanti akan mengubah tatanan ekonomi kita. Nasionalisme, terutama di bidang ekonomi, harus terus diperkuat agar kita tidak terseret oleh kepentingan the axis of evil ekonomi dunia: Korporasi Multinasional-Economic Hit Men-Kepentingan Pemerintah (Perkins, 2004; Rais, 2008).

Sebagai refleksi, penulis ingin mengajukan sebuah pertanyaan kontemplatif : Masih adakah nasionalisme pada orang yang telah menjual kekayaan bangsa kepada bangsa lain?


Referensi:

Kleden, Paskal. 2005. Menuju “Tengah Baru” : Labour Party Inggris dan SPD Jerman di Bawah Tekanan Neolibralisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Perkins, John. 2004. The Confession of an Economic Hit Men, Pengakuan Seorang Ekonom Perusak (pent: Herman Tirtaatmadja dan Dwi Karyani). Jakarta : Abdi Tandur.

Rais, Amien. 2008. Agenda-Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia! Yogyakarta : PPSK Press.

Soyomukti, Nurani. 2008. Revolusi Sandinista: Perjuangan Tanpa Akhir Melawan Neoliberalisme. Yogyakarta: Garasi.

Stigltiz, Joseph. 2002. Washington Consensus (Deregulasi, Liberalisasi, Privatisasi): Menuju Arah Jurang Kehancuran (Pent.: Darmawan Triwibowo). Jakarta: INFID, diakses melalui versi .pdf pada situs http://www.dadangsolichin.com/ .
Ini adalah tugas Ospek HI 2008.

Tidak ada komentar: