Jumat, 28 November 2008

HAM, Jilbab, dan UK Government

Pengantar

Sebagai sebuah negara demokratis dan menerapkan nilai-nilai liberalisme, UK (Inggris) jelas sangat menghormati hak-hak asasi manusia. Inggris telah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan European Convention of Human Rights (EHCR) yang telah menggariskan adanya perlindungan atas hak-hak kaum sipil. Protocol dari ICCPR dan Protocol 12 dari EHCR menyebutkan, hak-hak minoritas harus mendapat proteksi hukum dari tindakan-tindakan pelanggaran HAM[1].


Payung Hukum Proteksi Hak-Hak Minoritas


Pada dasarnya, proteksi terhadap hak minoritas telah diregulasi oleh pemerintah Inggris melalui Human Rights Act di tahun 1998 yang telah membuka pintu perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Mengingat sistem hukum Inggris yang menyesuaikan diri dengan sistem hukum di Negara-negara bagian, maka regulasi yang bersifat komprehensif dapat kita temui di Negara-negara bagian tersebut.


Laporan Open Society Institute tahun 2002 menyebutkan bahwa perlindungan hak-hak minoritas dalam hal anti-diskriminasi dapat ditemukan dalam peraturan perundang-undangan di Inggris (Britain) dan Irlandia Utara. Setidaknya ada empat undang-undang yang berkaitan dengan perlindungan tersebut [2].

Masih menurut laporan Open Society Institute, setidaknya ada 30 undang-undang yang relevan, 38 statutory instruments (instrument hukum yang digunakan di Irlandia dan Irlandia Utara), 11 codes of pratices (peraturan khas anglo-saxon), dan 12 petunjuk langsung yang relevan dalam mengatur persoalan anti-diskriminasi secara legal[3]. Adanya peraturan-peraturan tersebut


Selain itu, masing-masing daerah juga memiliki biro yang khusus menangani persoalan diskriminasi. Akan tetapi, tidak semua daerah meregulasi persoalan mengenai diskriminasi beragama –persoalan yang kami jadikan focus analisis utama— dalam tata hukum di daerahnya. Laporan Open Society Institute menyebutkan bahwa hanya Irlandia Utara yang memberi porsi perlindungan atas diskriminasi berbau agama.[4]


Dalam konteks proteksi terhadap hak-hak minoritas, Human Rights Act (HRA), legal basis dari proteksi dan anti-diskriminasi yang disahkan pada tahun 1998 pada dasarnya merupakan penyesuaian dari European Convention on Human Rights and Fundamental Freedoms (EHCR) yang dilaksanakan dalam sistem Anglo-Saxon. Section 13 dari HRA telah menjamin bahwa ada kebebasan individu untuk beragama. Hal ini juga tertuang dalam EHCR Article 9 yang pada intinya memberi kebebasan pada individu untuk melaksanakan pemikiran, ajaran, dan aktivitas keagamaan yang dianutnya secara bebas.


Article 9 tersebut berbunyi,


Article 9. Freedom of Thought, Conscience, and Religion

(1) Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief, in worship, teaching, practice and Observance;

(2) Freedom to manifest one's religion or beliefs shall be subject only to such limitations as are prescribed by law and are necessary in a democratic society in the interests of public safety, for the protection of public order, health or morals, or for the protection of the rights and freedoms of others.

European Convention on Human Rights, Article 9[5]


Pada ruang lingkup yang lebih luas, yaitu Uni Eropa, peraturan anti-diskriminasi telah ada seiring dengan munculnya EHCR. Bagian terpenting dari konvensi tersebut, berdasarkan rekomendasi Open Society Institute, adalah protocol 12 yang membahas persoalan non-diskriminasi terhadap minoritas secara lebih mendetail.


Protocol 12 tersebut merupakan penjabaran dari Article 14 European Convention on Human Rights and Fundamental Freedoms[6]. Tidak jelas apakah pemerintah Inggris mengadopsi protocol ini dalam sistem hukum mereka. Article 14 tersebut selengkapnya berbunyi,


Article 14. Prohibition of discrimination

The enjoyment of the rights and freedoms set forth in this Convention shall be secured without discrimination on any ground such as sex, race, colour, language, religion, political or other opinion, national or social origin, association with a national minority, property, birth or other status.

European Convention on Human Rights, Article 14[7]

Adapun protocol 12 yang merupakan penjelasan dari Article 14 tersebut secara lengkap berbunyi sebagai berikut,

Protocol 12

(1) The enjoyment of any right set forth by law shall be secured without discrimination on any ground such as sex, race, colour, language, religion, political or other opinion, national or social origin, association with a national minority, property, birth or other status;

(2) No one shall be discriminated against by any public authority on any ground such as those mentioned in paragraph 1.

European Convention on Human Rights, Article 14, Protocol 12[8]


Protocol 12 tersebut menyebutkan bahwa semua orang harus dijamin hak-haknya dari semua bentuk diskriminasi, salah satunya berkaitan dengan agama. Dengan adanya protocol ini, kasus-kasus diskriminasi yang dialami oleh beberapa muslimah dengan alasan mengenakan jilbab atas dasar ajaran Islam seharusnya tidak terjadi. Setiap orang memiliki hak untuk menjalankan ajaran agamanya secara bebas dan non-diskriminatif selama ajaran tersebut tidak mengganggu hak orang lain.


Kasus Bushra Noah dan Shabina Begum: Bukti Lemahnya Proteksi?


Persoalannya, ada beberapa kasus yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan keagamaan yang “dilarang” oleh masyarakat. Beberapa bulan yang lalu, media terkemuka Inggris, BBC, melaporkan bahwa seorang muslimah, Bushra Noah (19), memenangkan tuntutan sebesar £4,000 atas sebuah salon yang tidak mengizinkannya mengenakan jilbab untuk bekerja (BBC, 16/6/2008)[9].


Ms. Noah menyatakan pada BBC bahwa pihak salon telah menolak lamaran pekerjaannya dengan alasan, “due to headscarf (jilbab, pent). Ms. Noah kemudian mengajukan sebuah gugatan kepada pihak salon di pengadilan Inggris terkait hal ini yang kemudian dimenangkan oleh Ms. Noah. Kasus ini juga diberitakanan oleh harian The Sun ((17/6/2008) yang menyebut kasus ini dalam pemberitaannya sebagai “religious discrimination[10].


Kemenangan Bushra Noah dapat dipandang dari dua perspektif. Pertama, kasus yang dihadapi oleh Bushra Noah menunjukkan bahwa keberadaan minoritas masih menghadapi suara-suara yang tidak diinginkan dari masyarakat Inggris. Penolakan dari pemilik salon mengindikasikan adanya kecenderungan negatif terhadap minoritas atau bahkan islamophobia. Hal ini patut menjadi perhatian pemerintah karena berkaitan erat dengan hak asasi manusia.


Kedua, kemenangan dari Bushra Noah ini mengindikasikan masih adanya perhatian pemerintah Inggris berkaitan dengan persoalan hak minoritas kendati regulasi hukum yang bersifat permanen dan mendetail masih belum ada. Pemerintah Inggris masih melihat hak yang dimiliki oleh Bushra Noah sebagai sebuah kasus hukum, sehingga diskriminasi terhadap minoritas dapat terselesaikan. Hanya saja, regulasi hukum yang mengatur hak-hak minoritas ini masih sangat diperlukan, terutama dalam hal diskriminasi di kehidupan beragama.


Kasus serupa dialami oleh Shabina Begum (15) yang juga sempat memenangkan gugatan atas Denbigh High School, Luton, Bedfordshire, Inggris atas tuduhan serupa, mengenakan jilbab sebagai seragam sekolah. Kemenangan Shabina Begum di tingkat Court of Appeal ini juga diberitakan oleh BBC (2/3/2005)[11]. Majalah Gatra (6/3/2005) dalam pemberitaannya menyambut hasil di Court of Appeal ini dengan memberi judul berita “Kemenangan Kecil Shabina”[12].


Namun, secara mengejutkan pihak sekolah memenangkan kasus ini di tingkat House of Lords dengan pertimbangan, a person's right to hold a particular religious belief was absolute (i.e. could not be interfered with), but that a person's right to manifest a particular religious belief was qualified (i.e. it could be interfered with if there was a justification)[13]. Pengajuan kasus di tingkat House of Lords yang menjadi tempat pengajuan banding tertinggi di Inggris ini diberitakan oleh BBC (22/3/2006)[14].


Dalam kasus ini, tidak adanya regulasi permanen dari pemerintah Inggris mengenai diskriminasi berbasis agama menjadi sebuah permasalahan. Fakta bahwa tidak semua daerah memiliki regulasi yang cukup untuk memproteksi hak-hak kaum minoritas menjadikan adanya multi-interpretasi atas aktivitas keagamaan tertentu. Selain itu, fakta bahwa adanya stigma tertentu atas minoritas juga mempersulit proteksi.


Kasus Shabina Degum di atas juga menjadi persoalan serius ketika pemerintah Inggris dihadapkan pada penghargaan atas HAM dengan disiplin pendidikan di sana. Laporan Open Society Institute di atas menyebutkan bahwa banyak umat Islam yang belajar di sekolah lokal dengan keberagaman siswanya[15]. Pada dasarnya, disiplin pendidikan bukan merupakan sebuah penghalang bagi seorang siswi untuk melaksanakan ajaran agamanya. kendati menurutu House of Lords kebebasan untuk melaksanakan ajaran agama di tempat umum dibatasi oleh peraturan.


Kesimpulan


Pada dasarnya, Inggris telah memiliki perangkat perlindungan hukum atas hak-hak minoritas, dalam hal ini Human Rights Act tahun 1998. Perlindungan ini jika diintegrasikan ke semua daerah di UK, terutama England yang notabene memiliki banyak penduduk muslim, akan dapat menjaga hak-hak minoritas. Persoalan minoritas yang banyak terjadi di Inggris harus diselesaikan dengan pendekatan legal dengan mengesahkan produk hukumnya terlebih dulu.


Maka, hal yang perlu dievaluasi dari sistem perlindungan hak-hak minoritas di Inggris adalah aksesibilitas dari semua orang di Inggris untuk menjalankan keyakinannya masing-masing tanpa diskriminasi. Prinsip non-diskriminasi yang menjadi salah satu aspek penting dalam HAM harus dapat diterapkan di Inggris untuk menjamin hak-hak minoritas di sana.



[1] Open Society Institute. 2002. Monitoring Minority Protection in The EU: Situation of Moslems in The UK, accessed in http://ww.mcb.org.uk/downloads/osi.pdf/

[2] ibid.

[3] ibid.

[4] ibid.

[5] Council of Europe. 2003. European Convention on Human Rights and Fundamental Freedoms, accessed in http://ww.echr.coe.int/nr/rdonlyres/d5cc24a7-dc13-4318-b457-5c9014916d7a/0/englishanglais.pdf

[7] Council of Europe, op.cit.

[8] Ibid.

[9] British Broadcasting Channel, June 16, 2008. Muslim Stylist Wins £4,000 Payout. Accessed in BBC Official website, http://news.bbc.co.uk/1/hi/england/london/7457794.stm

[10] The Sun, June 17, 2008. Muslim Wins in £4K Scarf Row. Accessed in The Sun Official Website, http://www.thesun.co.uk/sol/homepage/news/article1302833.ece

[11] British Broadcasting Channel, March 2, 2005. Schoolgirl Wins Muslim Gown Case . Accessed in BBC Official website, http://news.bbc.co.uk/1/hi/england/beds/bucks/herts/4310545.stm

[12] Gatra, 6 Maret 2005. Kemenangan Kecil Shabina. Diakses dalam situs Gatra, http://www.gatra.com/2005-03-06/artikel.php?id=82475

[13] Kesimpulan ini diambil oleh lima lords di House of Lords ketika menangani kasus banding tersebut. Shabina kalah di tingkat High Court tetapi memenangkan kasus di tingkat Court of Appeal. Selengkapnya lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Shabina_Begum

[14] British Broadcasting Channel, March 22, 2006. School Wins Muslim Dress Appeal. Accessed in BBC Official website, http://news.bbc.co.uk/1/hi/education/4832072.stm

[15] Open Society Institute, op.cit.

Rabu, 26 November 2008

Seputar Hubungan Internasional: Isu-Isu Kontemporer

Dosen Bertanya, Mahasiswa Menjawab

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM


1. Penanya: Jelaskan mengapa AS dan Cina berebut Sumber Daya Alam (terutama minyak) di Afrika dan mengapa strategi mereka berbeda?

Jawab : Seperti diketahui, Amerika Serikat dan Cina adalah dua negara besar yang menggantungkan hidup dari minyak. Persoalannya adalah, produksi minyak yang ada di wilayah negara mereka tidak mencukupi konsumsi yang begitu besar. Terlebih pasokan minyak untuk industri yang begitu pesat perkembangannya di dua negara ini menyebabkan perlunya pasokan minyak yang cukup Untuk itulah kedua negara ini melakukan ekspansi ke negara-negara berkembang untuk mencari sumber minyak baru.

Afrika sendiri bagaikan “surga” bagi produksi minyak dunia. Sumber minyak Cina yang berasal dari Afrika mencapai 28% total produksi Cina, sementara AS menghasilkan 15% dari total produksi mereka dari Afrika. Jumlah 15% ini diperkirakan meningkat menjadi 25% sepuluh tahun mendatang karena kebutuhan minyak yang besar dari AS. Sebagai sumber daya tak terbarukan, minyak memiliki kecenderungan untuk habis jika tidak dikelola dengan baik. Oleh karena itu, AS dan Cina memiliki kepentingan yang sama dalam persoalan ini dan harus memperebutkan sumber daya yang tersedia dengan strategi masing-masing.

Jika kita tinjau dari komposisi negara di dalamnya, Afrika terdiri atas banyak negara yang tingkat ekonominya lemah dan rentan konflik. Kendati demikian, sumber daya alam yang ada di Afrika tak bisa dikatakan sedikit. Dua variabel ini –lemahnya kondisi perekonomian dan sumber daya alam melimpah—menjadi peluang bagi negara-negara besar, dalam hal ini Cina dan AS, untuk mengekspansi pasar mereka ke sana sembari mencari sumber daya baru. Metode yang diterapkan jelas berbeda, tetapi sama-sama menggunakan pendekatan negara (realis) sebagai media.

Mengapa strategi yang diterapkan oleh kedua negara ini berbeda? Berdasarkan presentasi kelompok yang menyajikan masalah ini, AS dan Cina memiliki perbedaan dalam pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan sumber daya tersebut. Cina menggunakan pendekatan Beijing Consensus yang menitikberatkan strategi pada pendekatan yang saling menguntungkan kepada negara-negara yang berkepentingan dengan jalan perbaikan ekonomi, diplomasi publik, mengintensifkan leader’s visit (kunjungan kepala negara ke masing-masing negara) serta metode lain yang berkaitan dengan soft diplomacy. Mereka juga menerapkan prinsip non-intervensi dalam menjalin kerjasama.

Strategi berbeda diterapkan oleh AS. Seperti halnya strategi AS di negara-negara dunia ketiga lainnya, AS lebih mengedepankan hard power untuk mendapatkan sumber daya yang diinginkan. Tentu saja cara ini memerlukan dukungan berbagai elemen. Strategi AS, seperti diutarakan kelompok yang menyajikan masalah ini, adalah dengan menggunakan MNC (Multinational Corporation) untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang diinginkan, intervensi pada negara-negara yang tidak menurut pada kepentingan AS, serta penggunaan kekuatan lain yang bersifat koersif. AS juga menggunakan konsep Washington Consensus seperti privatsasi BUMN, perdagangan bebas, liberalisasi pasar, atau deregulasi kebijakan ekonomi (Williamson, 1990) yang pada intinya merupakan agenda besar liberalisasi ekonomi dunia.

Perbedaan strategi ini bermuara pada ideologi yang berbeda antara kedua negara tersebut. AS masih menerapkan konsep ekonomi neoliberal yang bertumpu pada penggunaan korporatokrasi atau kolaborasi antara negara, korporasi, dan ekonom-ekonom propasar untuk mendapatkan sumber daya yang diinginkan (Perkins, 2004). Akan tetapi, Cina dengan sentralisme ekonomi yang begitu kuat lebih mengedepankan pendekatn persuasif untuk mendapatkan simpati negara-negara Afrika.

Dengan demikian, perbedaan metode dalam proses kerjasama antara AS dan Cina pada gilirannya berimplikasi pada kompetisi yang semakin ketat.

2. Penanya: Jelaskan mengapa masalah domestik Myanmar membuat ASEAN menghadapi dilema dan dikecam dunia internasional?

Jawab : Salah satu prinsip pendirian ASEAN yang disepakati sejak awal pendiriannya adalah prinsip non-intervensi pada persoalan domestic suatu negara. Negara-negara anggota ASEAN pada umumnya masih menghormati kedaulatan negara lain dan enggan mencampuri konflik internal yang melanda salah satu negara anggotanya. Hal ini dimaksudkan agar hubungan baik yang terjalin antaranggota ASEAN dapat dijaga. Selain itu, hal ini juga menjadi penegasan bahwa ASEAN bukanlah pakta pertahanan dan tetap bersikap independent terhadap negara-negara di kawasan lain yang memiliki tendensi tertentu terhadap negara anggota ASEAN.

Sebenarnya, prinsip ini tidak menimbulkan masalah bagi negara-negara lain. Akan tetapi, masalah muncul di Myanmar (Burma) yang merupakan salah satu negara anggota ASEAN. Konflik internal yang terjadi antara junta militer pimpinan Jenderal Than Swee dengan kelompok prodemokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi telah membawa implikasi luas bagi politik luar negeri Myanmar. Dunia Internasional menganggap tindakan represif junta telah menodai demokrasi dan HAM. Apalagi sejak kerusuhan 2007 yang melibatkan para biksu meletus di beberapa kota besar di Myanmar, dunia internasional mulai berpikir bahwa isu Myanmar bukan lagi isu domestik, melainkan telah menjadi isu internasional yang memerlukan perhatian negara-negara tetangganya.

Lantas, bagaimana dengan ASEAN? Sebagai sebuah organisasi yang mewadahi partisipasi Myanmar dalam program-program yang dijalankannya, ASEAN tentu memiliki tanggung jawab moral yang cukup besar untuk mengembalikan stabilitas politik di negara tersebut. Akan tetapi, tanggung jawab tersebut harus berhadapan dengan prinsip non-intervensi yang dianut oleh ASEAN. Keengganan negara-negara anggota ASEAN untuk membantu Myanmar dalam tataran yang lebih luas mungkin dapat dimengerti, karena membantu menyelesaikan persoalan politik dalam negeri Myanmar berarti sama dengan mengintervensi negara tersebut. Sebab, kunci penyelesaian ada pada Aung San Suu Kyi dan Jenderal Than Swee, sementara mempertemukan dua tokoh ini akan membawa implikasi politik.

Jelas, ini menjadi dilema bagi ASEAN. Jika ASEAN membantu penyelesaian konflik internal Myanmar dengan pendekatan politik, misalnya dengan menemui Aung San Suu Kyi, akan terjadi ketegangan dengan junta militer yang tengah mengisolasi Suu Kyi. Akan tetapi, jika masalah ini didiamkan dengan membiarkan Myanmar menyelesaikan masalahnya dengan cara mereka sendiri, dunia internasional akan mengecam ASEAN karena tidak proaktif dalam penegakan HAM.

Dilema ini memerlukan langkah strategis dari pemimpin ASEAN. Pertanyaannya, sudah sejauh mana peran konkret kepala-kepala negara ASEAN dalam membantu penyelesaian konflik tersebut?Kita lihat saja nanti.

3. Penanya: Jelaskan peranan hukum internasional dalam menyelesaikan konflik Rwanda?

Jawab : Konflik Rwanda dapat kita lihat dari dua sisi.

Pertama, sisi politik. Konflik Rwanda sebenarnya lebih bernuansa etnis dan pada dasarnya memerlukan pihak ketiga sebagai penengah. Dalam kasus Rwanda, pertikaian etnis Huttu dan Tutsi merupakan implikasi dari sentimen antaretnis berkepanjangan. Konflik yang terjadi di antara mereka sebenarnya merupakan akumulasi dari konflik-konflik kecil yang dipelihara sehingga tumbuh menjadi ancaman bagi stabilitas negara.

Akibatnya, sebuah serangan sporadis yang dilancarkan oleh segelintir oknum suku Tutsi justru menjadi momentum serangan terencana yang dilakukan oleh suku Huttu, sehingga memicu genosida yang berimplikasi hukum. Lebih ironis lagi, tindakan suku Huttu ini justru dilegitimasi oleh negara dengan perangkat-perangkat politiknya, sehingga kelompok yang menjadi lawan suku ini semakin ditindas.

Kedua, sisi hukum. Kasus Rwanda, sebagaimana dipaparkan oleh kelompok yang mempresentasikan masalah ini, jelas merupakan kasus yang berkaitan dengan pelanggaran hukum internasional. Ada beberapa pasal dari Konvensi Jenewa yang dilakukan oleh kelompok terkait, misalnya pasal yang berkaitan dengan pembunuhan missal, penelantaran, atau pengusiran paksa. Dalam kacamata hukum humaniter internasional, pelanggaran ini sudah dapat digolongkan pada genosida atau pembersihan etnis.

Dua perspektif di atas saling berkaitan jika kita kaitkan dengan konteks pertanyaan “bagaimana peranan hukum internasional dalam penyelesaian konflik Rwanda?”. Perkara mengadili pelaku kejahatan genosida di Rwanda merupakan perkara hukum internasional. Akan tetapi, sejauh manakah efektivitas hukum internasional tersebut dalam mengembalikan stabilitas politik di Rwanda?

Peranan hukum internasional pertama di sini adalah dengan tribunal genosida yang dilakukan di Rwanda. Penuntut dari pengadilan kriminal internasional telah bertindak sesuai statuta Roma, Pasal 13 B, "A situation in which one or more of such crimes appears to have been committed is referred to the Prosecutor by the Security Council acting under Chapter VII of the Charter of the United Nations”. Dengan langkah ini, hukum internasional telah memberikan langkah preventif atas melebarnya konflik.

Selain itu, hukum internasional dalam hal ini juga mengusut indikasi pelanggaran HAM atas pasal-pasal yang dilanggar oleh suku terkait. Peluang yang muncul untuk menjadi titik terang adalah peluang untuk dapat mengembalikan hak-hak kaum yang termarjinalkan akibat konflik antaretnis yang terjadi. Konvensi Jenewa juga diharapkan dapat mengatur kedua belah pihak untuk meneruskan penyelesaian konflik ke meja perundingan dengan kekuatan yang lebih berimbang tanpa adanya indikasi pelanggaran HAM.

Dengan adanya ketentuan yang mengikat dari hukum internasional tersebut, subordinasi dari satu suku ke suku yang lainnya dapat dihilangkan dan keadilan dapat lebih dijamin.

4. Penanya: Jelaskan pengaruh isu nuklir Iran dan Korea Utara terhadap politik interasional!

Jawab : Isu nuklir menjadi isu yang cukup hangat pasca-perang dingin. Ketika dunia tidak lagi dikhawatirkan oleh perang teknologi nuklir antara Uni Sovyet dan Amerika Serikat, muncul inisiatif dari dua negara berkembang, yaitu Iran dan Korea Utara, untuk mengembangkan teknologi nuklir sebagai sumber energi. Ide ini cukup beralasan: Dua negara ini mengalami krisis energi di tengah keterbatasan sumber daya yang mereka miliki.

Namun, masalah muncul ketika Amerika Serikat sebagai negara adidaya menganggap ide pengembangan teknologi nuklir untuk energi ini sebagai “ancaman” bagi kemaslahatan dunia. Alasannya sederhana: dua negara yang akan mengembangkan teknologi nuklir ini tidak masuk dalam negara yang memiliki lisensi untuk mengembangkan nuklir sesuai perjanjian proliferasi nuklir yang telah ditandatangani.

Oleh karena sikap Amerika Serikat inilah, terjadi ketegangan dalam forum-forum PBB yang kemudian melibatkan IAEA sebagai badan pengawas atom internasional untuk melakukan penyelidikan di negara-negara ini. Situasi semakin menghangat karena Iran dan Korea Utara dipimpin oleh dua kepala negara yang cukup tegas dalam menentukan sikap serta tidak mudah diintervensi.

Iran yang dipimpin oleh Mahmoud Ahmadinejad jelas khawatir hasil inspeksi IAEA disalahgunakan oleh Amerika Serikat sebagai alat untuk melegitimasi kepentingan mereka seperti halnya di Irak. Begitu pula Korea Utara yang dipimpin oleh Kim Jong-Il yang juga menolak kepentingan asing masuk ke dalam negeri mereka, apalagi hal ini dapat mengganggu proses perundingan antara Korea Utara dan Korea Selatan yang masih berlangsung. Kendati demikian, kedua negara masih bersikap terbuka terhadap IAEA dan memberi informasi strategis terkait persoalan ini.

Akan tetapi, sikap tegas dua negara ini menyebabkan konstelasi politik internasional menghangat. Amerika Serikat telah menawarkan rancangan resolusi terkait nuklir Iran ke PBB, yang disambut oleh serangkaian adu urat saraf dari Ahmadinejad. Apalagi, AS memasukkan Iran bersama Korea Utara dan Venezuela sebagai negara “poros setan”. Perdebatan di forum PBB seringkali diwarnai oleh pernyataan-pernyataan politis dari delegasi masing-masing negara, sehingga muncul indikasi kasus ini akan membawa elemen militer, seperti halnya Irak.

Kondisi ini jelas mengkhawatirkan. Ini artinya, sistem politik internasional yang unipolar telah membawa sebuah masalah bagi pengembangan teknologi nuklir yang sebenarnya ditujukan bagi kepentingan pendidikan dan energi. Memanasnya konstelasi politik internasional ini seharusnya menjadi perhatian semua negara yang berinteraksi dengan Iran, tak terkecuali Indonesia yang memiliki kedekatan dengan Iran secara ideologi dan agama.

5. Penanya: a. Jelaskan Peran ASEAN dalam memajukan pariwisata di antara negaranya?
b. Apa yang dimaksud dengan AFTA?


Jawab : a. ASEAN merupakan organisasi yang salah satu programnya adalah peningkatan kerjasama di bidang pariwisata, pendidikan, dan kebudayaan. Pengembangan pariwisata ASEAN dilakukan dengan berbagai program yang bersifat promosi dan propaganda di dunia internasional untuk mendatangkan turis dan investor.

Ada beberapa langkah yang dilakukan oleh ASEAN terkait masalah ini.

Pertama, ASEAN melakukan program pertukaran pemuda/pelajar. Program pertukaran pemuda/pelajar ini dilakukan dengan memperkenalkan budaya negara-negara di ASEAN kepada para pelajar yang terpilih menjadi duta negaranya, sehingga diharapkan para pelajar/pemuda tersebut memiliki pengetahuan yang luas mengenai budaya negara lain, serta juga memiliki cultural understanding yang memadai. Dengan pengetahuan tersebut, para duta dapat melakukan sosialisasi berkaitan dengan potensi pariwisata dari negara yang didatanginya kepada masyarakat di negaranya. Dari sinilah peluang investasi dan pariwisata dapat ditangkap.

Kedua, potensi media massa sebagai alat propaganda untuk pariwisata. Media massa yang disebut-sebut sebagai pilar demokrasi keempat akan sangat besar peranannya dalam mempromosikan pariwisata. Salah satu program ASEAN yaitu pertukaran berita antaranggota ASEAN yang pernah melibatkan TVRI, TV3, dan stasiun TV lain cukup potensial untuk merebut hati turis. Potensi ini akan semakin berkembang jika disertai promosi ke media massa luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah.

Ketiga, promosi pariwisata ke dunia internasional melalui pertemuan setingkat menteri antara anggota ASEAN dengan negara-negara luar. Salah satunya adalah pertemuan antara para pemimpin negara ASEAN dengan Cina beberapa waktu yang lalu. Tak hanya itu, para menteri pariwisata negara-negara ASEAN telah meluncurkan sebuah komitmen bersama untuk perbaikan kualitas kepariwisataan negara-negara ASEAN melalui Deklarasi Langkawi, 2005. Komitmen bersama itu dapat menjadi tolak ukur pengembangan pariwisata. Apalagi, liberalisasi sektor jasa pariwisata akan diterapkan pada 2010 mendatang.

Sejauh ini, tiga langkah di atas masih dijalankan dalam bentuk program-program ASEAN. Kita nantikan saja kemajuan yang diperoleh dengan inisiasi lain dari negara-negara anggotanya

b. AFTA (Asian Free Trade Area) merupakan sebuah kawasan perdagangan bebas yang berada di Asia Tenggara dan berlaku untuk negara-negara yang siap melakukan perdagangan bebas dengan mekanisme CEPT (Common Effictively Preferential Tariffs). AFTA bukan merupakan sebuah organisasi dan tidak memiliki hubungan administratif dengan ASEAN, tetapi memiliki beberapa keterkaitan dengan negara-negara anggota ASEAN tersebut.

CEPT sendiri adalah metode preferensi tarif perdagangan bagi ekspor dan impor beberapa produk. Situs Departemen Perindustrian menyebutkan bahwa mekanisme CEPT adalah program tahapan penurunan tarif dan penghapusan hambatan nontarif. Pembatasan kuantitatif dihapuskan segera setelah suatu produk menikmati konsesi CEPT, sedangkan hambatan nontarif jangka waktu lima tahun setelah suatu produk menikmati CEPT. Prasetiantono (2000) menyatakan bahwa Indonesia sebenarnya telah mempersiapkan era ini dengan serangkaian kebijakan deregulasi di sektor riil dengan penurunan tarif dan adanya kemudahan investasi melalui UU Penanaman Modal Asing.

Ketika kita berbicara mengenai AFTA, kita tentu tidak akan melupakan dua forum/organisasi lain yang juga cenderung mengagendakan pasar bebas: APEC dan WTO. Meski secara internal masih banyak perdebatan, APEC dan WTO tampaknya sangat ingin mengagendakan liberalisasi perdagangan dengan mekanisme penurunan tarif. Akan tetapi, krisis finansial yang merontokkan pasar modal AS dan Eropa setidaknya membuat para pemimpin di APEC dan WTO berpikir dua kali untuk segera menerapkan skema perdagangan bebas ini. Karena, rontoknya pasar modal akan sangat berpengaruh pada sektor riil yang menjadi tulang punggung masing-masing negara di perdagangan bebas.

Begitu pula dengan AFTA. Ketika pasar modal tidak beroperasi secara efisien, skema perdagangan bebas yang menuntut adanya deregulasi dan kemudahan berinvestasi dapat menjadi bumerang bagi negara-negara yang menyandarkan perekonomiannya pada sektor riil seperti Indonesia. Meski demikian, persiapan masih perlu dilakukan, termasuk menyelamatkan perekonomian kita sebelum badai krisis di pasar modal ini menyentuh sektor-sektor penting lain yang melemahkan indikator makroekonomi kita.

6. Penanya: Jelaskan mengapa konflik Darfur, Sudan, sulit diselesaikan oleh hukum internasional?

Jawab : Membaca kasus pelanggaran HAM di Sudan berarti juga membaca konflik yang melatarbelakanginya. Sebelum mengulas kesulitan penyelsaian konflik dengan hukum unternasionak, kita perlu menganalisis akar dan proses terjadinya peperangan yang melatarbelakanginya secara ringkas karena proses penyelesaian kasus Darfur berkaitan erat dengan konstelasi politik, sistem hukum, dan dimensi internasional yang ada di sana.

Berdasarkan telaahan kelompok yang membahas isu ini, terungkap bahwa konflik Darfur bermula dari ketegangan antara milisi Janjaweed yang didukung oleh pemerintah dengan kelompok pemberontak di Selatan Sudan. Implikasinya fatal: Ratusan ribu waga sipil mengungsi; ada yang tewas karena peperangan tanpa perlindungan. Sedikitnya 200.000 orang menjadi korban atas konflik ini sehingga beberapa kelompok pegiat HAM dan PBB menganggap telah terjadi genosida di daerah ini. Arus pengungsi bahkan sampai ke Chad dan memberi ekses bagi negara tersebut.

Kesulitan pertama yang muncul untuk menyelesaikan masalah ini datang dari Sudan sendiri. Omar Bashir, presiden Sudan yang dituduh oleh International Criminal Court (ICC) telah melakukan genosida masih dianggap oleh warga Sudan sebagai presiden yang sah; parlemen dan pemerintahan Sudan secara resmi tidak ingin Presiden mereka dibawa ke ICC. Selain itu, pemerintah Sudan tidak menganggap kasus ini sebagai genosida dan pihak militer masih berkuasa untuk membatasi hal-hal yang mengganggu stabilitas negara.

Kesulitan kedua, Sudan ternyata tidak meratifikasi Statuta Roma sehingga mereka tidak terikat pada ketentuan untuk menyerahkan tersangka kejahatan internasional yang dituduhkan oleh ICC. Sistem hukum Sudan yang merupakan gabungan dari hukum sipil, syariah, dan hukum adat juga tidak memiliki mekanisme untuk mengadili presiden mereka atau pelaku kejahatan yang lain sehingga hukum di Sudan tidak menjamah kasus genosida ini. Ketika pendekatan hukum internasional ditawarkan, muncul penolakan dari pemerintah.

Kesulitan ketiga adalah dominasi militer Sudan yang tampaknya menganggap kasus Darfur adalah kasus nasional serta lemahnya peran tentara dari Uni Afrika yang hanya berkisar dalam jumlah 7.000. Akibatnya, posisi Uni Afrika hanya sebagai penjaga perdamaian di wilayah konflik. Mereka tidak memiliki otoritas untuk melemahkan kekuatan militer Sudan. Hal ini berbeda dengan kasus Rwanda yang memiliki tribunal genosida serta kekuatan militer yang mampu tunduk pada otoritas sipil (diplomasi).

Tiga faktor di atas menjadi titik lemah penegakan hukum internasional dalam penyelesaian kasus Sudan. Untuk itu, peran serta negara tetangga (Uni Afrika) sangat diperlukan dalam mediasi konflik dan tuntutan dari ICC perlu diteruskan untuk menjaga keadilan dan stabilitas hukum di kawasan konflik.

Sabtu, 15 November 2008

Bureaucracy Reform for UGM: Facing Global Challenge of Research University

“The reformer’s task is to identify correctly the problems and supply answers which are feasible both technically and politically. The reforms need to address the fit between organizations and environment”

(Mark Turner and David Hulme, 1997)

Urgency of Bureaucracy Reform: An Introduction

As the oldest university in Indonesia, Gadjah Mada University (UGM) has many experiences in education. Established on early 1946, right after the proclamation of independence, UGM has been declared by our leaders as a “struggle university”. This title is reasonable because our republic was on war situation and our leaders thought that education was a very potential asset to be saved for younger generations.

By the journey of time, UGM has been transformed into a better university with better level of academic quality. As one of the biggest university in Indonesia with many students from all over Indonesia, UGM has contributed many things to Indonesia. Many intellectuals come from UGM like Anies Baswedan, Amien Rais, Anggito Abimanyu, Siti Fadhillah Supari, or Sri Sultan Hamengku Buwono X. UGM now become a research university, a prestigious predicate which imply many changes over its curriculum, academic activities, and quality of public service.

The development of UGM as a research university also implies a significant point: bureaucratic reform. We should remember, a good university does not only need facilities. It also need a system who support the implementation of academic agenda. Bureaucratic reform here refers to enhancing service quality, reducing bureaucracy obesity, and reinventing an efficient administrative procedure.

Why is bureaucratic reform needed in UGM? UGM has two ideal visions: “stuggling campus (kampus perjuangan)” and “populist campus (kampus kerakyatan)”. Both of these visions need a real manifestation. As “struggling campus”, UGM has to make campus as a dialectical arena for its students. It needs a model of bureaucracy which supports the academic culture in the campus.

Also as “populist campus”, UGM has to be open to people from all social strata, as long as the he/she could compete academically. UGM should concern any students who have intellectual capability but having no financial capacity. It needs a model of bureaucracy which helps the poor people to get normal education in campus.

This essay will try to answer a question, “how is a model of bureaucracy reform for UGM?” within some theoretical perspectives.

Model of Bureaucracy: Weberian Perspective

Olsen (2005) sees bureaucracy as an expression of cultural values and a form of governing with several intrinsic values . It means that bureaucracy is very normative; Bureaucracy needs a more practical view two answer the question above. According to Blau (1968) , Max Weber has given some principles of special characteristics in realizing ideal bureaucracy. Those principles, which are popular as “Weberian Bureaucratic”, are made of ideal types of bureaucracy which is used by our government as philosophical foundation of bureaucracy.

There are six important points of those principles according to Blau (1968).

First, organizational duty or job are divided into several positions as a formal duty. It means, the organization’s member has to be specialized in implementing their duties and it needs a specialty and professionality in bureaucrat’s character. The professionality also reflected by their attitude in doing the job description and in taking the public service.

Second, structural positions are organized into a hierarchical structure of authority. The hierarchy is made into a pyramid. All functionaries in all structure have their own responsibilities in implementing policy which is made by the very top management (decisionmaker). The authority is decentralized and the range of authority is designed with a hierarchical line. It implies a level of job and structure in bureaucracy.

Third, the rule system and regulations made by the very top management control the decision and functionaries’ attitude. It implies a general “Standard Operating Procedure” or “bureaucratic-politics” in foreign policy making (Allison, 1971) that is made for the whole activity of organization. The rules will take care of policy coordination and also take care of the effecitivity in organization’s programs. Generally, the regulations also made to reduce the misnomerity in organization’s activity,

Fourth, There should be special administration staffs whose duties are taking care of organization stability and bridge the differences or communication web inside of organization. These staffs are functional staffs; they work as the “implementator” of policy made by the very top management. They will face the real organizational problems and become the real “face” of organization, representing the organization outside. This kind of staff is very important for students in UGM.

Fifth, The functionaries of organization should have “impersonal orientation” with their jobs and clients. The functionaries should throw all emotional and personal relations to the clients, jobs, or workmates. It will reduce the corruption risks from the organizational activity and will prevent the emotional feeling among the staff and functionaries which will distort the rational attitude in implementing their duties.

Sixth, duties given by organization are kind of career for staffs. Staffs will start their career in bureaucracy from the very beginning, as a “special staff (look at the fourth point)”. Typically, a duty is given based on qualification of the candidate, not by political relations. A functionary of the bureaucratical organization will be examined before he/she remain on the position in order to knowing the clear qualification of the candidate.

Thus, bureaucratical organization is different with political organization that allows someone to hold some crucial positions without internal caderization process. Bureaucracy is full of system and evaluation, while politics is full of intrigue and . As the implication, it implies separation between politics and bureaucracy in our daily life .

These kind of bureaucracy principles is critisized because of its ideality and normativity. Our government actually tries to implement these principles in model of administrative system in our nation. But actually there are some misnomerity in practice. There are several bureucratical pathology like “envelope bureaucracy” or gratification which destroy the ideal means of bureaucracy. Another problems, corruption and nepotism became an usual activity of bureaucracy in the past.

So, there should be a bureaucratical reform to bring back the norms of Weberian bureaucracy in bureaucratical activity.

Model of Bureaucracy Reform: Alternative Perspective

Allison (1971) categorized three levels of decisionmaking: Rational Actors, Governmental Organization, and Bureaucratic-Politics . Essentially bureaucratic-politics is a vital part of decisionmaking, especially for university policy. According to Kegley (2006), bureaucracy should be rational and efficient . Bureaucracy could increase its efficiency and rationality by assigning responsibilities for different duties or jobs to different persons. Kegley (2006) recommend that large-scale bureaucracy can be managed efficiently by devising standard operating procedures in general policy that is printed by the policy maker.

From the analysis of Weberian perspective, we can conclude that Weber’s purpose in designing bureaucracy is basically positive; Weber wants to design a characteristic of bureaucracy which is discipline, professional, well-coordinated and high-structured. But in fact, I assume that the normative purpose of bureaucracy in Indonesia is blurred by some pathologies. So, bureaucratic reform should be designed and give emphasize to local characteristics of the political system itself.

How can we redefine bureaucracy in our local context, especially in UGM? Bureaucracy reform, indeed, is an agenda. The first thing that should be done is identify the problem or deviation in bureaucracy itself and try to a paradigmatical change to handle the problem. We should remember, the change that is needed in reforming bureaucracy is a paradigmatical change; it is related to mindset. If we want a total bureaucracy reform, we should first change the actual paradigm of bureaucracy itself.

After the paradigmatical change, we should make the follow-up agenda of the bureaucracy reform. The change that is set from our mindset should be transformed to the public agenda. Academic stakeholders and bureaucrats should share the vision to change the model of bureaucracy. Here, the role of idea is very important. Discourses and dialogue between bureaucrat and academic stakeholders maybe inevitable, but the agenda should be move step by step.

The next level in reforming bureaucracy is executing the follow-up agenda to the real policy. After the discourses and the agenda is ready to be transformed as a real policy, the role of insider (decisionmaker and staff) will be important. The action plan should be clear; The execution of the bureaucracy reform needs contribution from insider and outsiders. We should also consider the intended and unintended consequences that may be happened on the process. So, the existence of new platform is also needed.

Turner and Hume (1997) categorizes five items which are considered as administrative reform strategies. Those items are restructuring the organization, optimalizing participation from members and stakeholders, Upgrading human resources or staffs, increase organization’s accountability, and mixing public interest and private strength. These items, according to Turner and Hume (1997), are functionally required to make an administrative reform in an organization.

Thus, is the bureaucracy reform possible to be implemented in UGM? Let us analyze. At first we can identify that there are some things that should be reformed in UGM bureaucracy. Those things are service quality and administrative procedure, information accessibility, academic planning and student’s welfare, rectorate’s leaderships, and transparency of crucial aspects like UM-UGM and RKAT. The most important point of these reform model, besides the rationality and efficiency, is a kind of pro-poor policy which was concepted and concreted by our national founding fathers in early age of UGM.

Concretizing Agenda with Real Acts

I have some agendas related to bureaucracy reform for UGM. First, the problem of service quality and also administrative procedure. On that problem, bureaucracy needs to be modernized by three solutions: developing Information and Technology (IT) to most sectors of academic life, Decentralizing university administration system, and placing a capable person as administration staff whose professionality is good.

Information and Techonology system in academic life is actually in progress; UGM has develop this system in UM-UGM or registration. But, we need more comprehensive acts by university. The existence of academic portal is questioned by UGM students: It is only used before and after the semester. Many students even do not like to open the portal because it does not give detail academic informations. For me, quality of academic portal should be increased by developing the content and adding suitable academic informations.

Decentralization in university is also needed. It will ease students to make the administrative procedure more effective and efficient. Sometimes students have to go to several places in central administration office (balairung) to finish one problem. It is very complicated and time-wasted. My opinion, university can decentralize the crucial problems for students in faculty; university only takes control and takes responsibility for vital things. With decentralization, administrative procedure will be easier than before.

Another important thing is the administrative staff. The competency of staff is highly required; It will influence the work of the system. The administrative staff should be professional, highly-committed, well-disciplined, and has a competency as a bureaucrat. In UGM context, academic staff will play a very important role. Academic staff should has basic competency of a bureaucrat because they adjust the parameter of academic quality.

Second, information accessibility. A good competition between students require the information accessibility to all sides. Here, bureaucracy should support students in getting sufficient information, like scholarships, seminars, or events held in UGM. The existence of Career Development Center (UGM-CDC) needs this aspect. If UGM wants to give the same opportunity to its alumni and students, information accessibility is a “dead price”.

A way to make information accessible to all UGM students, in my opinion, is by optimalizing the Information and Technology system. Each students have their own academic portal. With an accessible IT system, the information will come to the students and there will no injustice except the student is lazy to open the portal. Thus, it is important to the university bureaucrats to upgrade the quality of IT system first.

Third, rectorate’s leadership. According to Blau (1970), bureaucracy needs supports, both internal and externally . Weber identify that the leadership –charismatical leadership—and authority are main parts in the supporting systems of bureaucracy. There are three types of authority: traditional authority, charismatical authority, and legal authority (Blau, 1970) . Beindix (1970) remarks that charisma of leadership is also important for a leader to get legitimacy .

In UGM context, rector and his staffs play a very significant role. If a rector has delegitimated by the students by several demonstrations, rector’s charisma will be decreased, even it will be lost. Rector should accommodates every “inputs” which come to UGM; Rector should also show his stance on policy he produced and also, it is the most important, show his credibility as an UGM rector.

There are several points to match the bureaucracy reform to leadership: accountability, transparency, Intelligence, and responsibility. Rectorate shuld be accountable to all civitas academica by managing the programmes well and transparent with crucial projects such as UM-UGM or research funds. It needs intelligency and sense of responsibility from rectorate.

Fourth, academic planning and student’s welfare. Each students in UGM has a right to get an optimal process of education. A good academic planning is highly required; a dialectical process needs a well-planned academic system with a well-educated lecturer. In UGM context, schedule, presency system, and curriculum should be concerned. Academic schedule should be consistent in time, place, and agenda with a good presency system. A curriculum also important to be redesigned; Student-centered learning can be developed to a better curriculum which accommodates global challenge in competitive labour markets.

On other hand, student’s welfare cannot be forgotten. Each student has a right to get access for scholarship, career information, and university’s facility. These rights are legalized by Kode Etik Mahasiswa UGM Chapter I, Article 1 . That ethic code tells us that each students has a right to (1) gets sufficient academic service; (2) use facilty in university; (3) active in student’s organization or UKM; and (4) speak his/her idea to all civitas academica fairly and consequently.

Fifth, transparency. Transparency is needed in some important projects like research, UM-UGM, or RKAT itself. Students has a right to know the use of money they paid in the first year, and it implies a honesty from university bureaucrat. UGM should open its reports on financial condition or income-outcome condition over the project or activity. Maybe it is hard to be implemented, but as long as the bureaucrats take care of their honesty and credibility, what is to be feared?

We can look at UM-UGM. Every year, UGM gets much money from new students, by PBS, UTUL, PBUPD, or PBOS in UM-UGM. As information, PBS or PBUPD require a student to pay more than Rp 30 Millions if he/she is selected as UGM student. It is not included UTUL (Selection Test) which require a student to pay more than Rp 5 Millions if he/she is selected as UGM student.

We can imagine how much money that rectorate gets in UM-UGM. As an implication, there will be a question: what is the money for? This question should be answered by transparency to UGM stakeholders, students, and public about the total income of money in UM-UGM and the expenditure reports. Turner and Hulme (1997) called this decision –to be transparent—as “public-private mixes” .

Conclusion: Will Bureaucracy Reform Succeed?

Bureaucracy, according to Hulme and Turner (1997), is ubiquitous in developing countries like Indonesia. Thus, bureaucracy is an important aspect in our government. Yet the bureaucracy is ubiquitous, bureaucracy can also be met in university with all of its variation. In an academic institution like UGM, bureaucracy should be rational and efficient (Kegley, 2006) . It implies a search for new bureaucracy model that conforms important aspects and supports dialectical process in academic activity.

Thus, bureaucracy reform will be a vital agenda to build a research university. The agenda to reform UGM bureaucracy is not an easy task; but it is not an impossible mission. By five items that I recommend, agenda to implement bureaucracy reform can be started as well. It needs contributions from the whole civitas academica of UGM, especially students who use facility and are the main part of UGM bureaucracy.

Yet the reform is not maximally implemented, but at least we could see a new hope come by this agenda to transform UGM into an ideal university. Immediate acts are needed and comprehensive solutions are required. Begin from now on, begin from ourselves, and begin from the smallest thing to bring a brighter future of Indonesia.

“Opinions alter, manner change, creeds rise and fall, but moral laws are written on the table of eternity”

(Lord Acton)


References

Allison, Graham T. Essence of Decision: Explaining the Cuban Missile (New York: Longman, 1971).

Beindix, Reinhard. Reflections on Charismatic Leadership in Dennis Wrong (ed). Max Weber, Makers of Modern Social Science (Englewood Ciffs, N.J.: Prentice-Hall, 1970).

Blau, Peter M. Weber’s Theory of Bureaucracy in Dennis Wrong (ed). Max Weber, Makers of Modern Social Science (Englewood Ciffs, N.J.: Prentice-Hall, 1970).

___________. Critical Remarks on Weber’s Theory of Authority in Dennis Wrong (ed). Max Weber, Makers of Modern Social Science (Englewood Ciffs, N.J.: Prentice-Hall, 1970).

Kegley, Charles and Eugene Wittkopf, World Politics: Trend and Transformation (Belmont: Thomson Wadsworth, 2006, Tenth Edition).

Kode Etik Mahasiswa UGM, downloaded by user at http://www.ugm.ac.id/ in .pdf version.
Olsen, Johan P. Maybe It Is Time to Rediscover Bureaucracy. (Journal of Public Administration Research and Theory Advance Access, March edition, 2005).

_____________, Citizen, Public Administration, and Search for Theoretical Foundations (Advance Search for Europeanisation of The Nation-State Working Paper, August 2003).

Rais, Amien. Agenda-Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia! (Yogyakarta: PPSK Press, 2008).

Turner, Mark and David Hulme, Governance, Administration, and Development: Making the State Work (Hampshire: Macmillan, 1997).

Wrong, Dennis (ed). Max Weber, Makers of Modern Social Science (Englewood Ciffs, N.J.: Prentice-Hall, 1970).

Kamis, 13 November 2008

APBS dan Transparansi Sekolah


Anggaran Penerimaan dan Belanja Sekolah (APBS) merupakan anggaran sekolah yang dikumpulkan dari uang pangkal siswa baru dan uang komite sekolah yang tiap bulan dibayarkan oleh siswa. APBS ini merupakan acuan dari pengeluaran sekolah selama setahun, dan biasanya dibahas pada rapat orangtua siswa untuk kemudian disahkan. Di beberapa sekolah, APBS ini memiliki jumlah nominal yang cukup besar, bahkan ada yang mencapai satu milyar per tahun.


Jumlah pemasukan dan pengeluaran yang cukup besar ini tentunya berpengaruh pada besarnya tanggungjawab yang dibebankan kepada pengelola. Di samping harus memberikan laporan secara periodik, pengelola APBS juga dituntut untuk accountable dalam tiap pengeluaran yang ia lakukan. Kesalahan sedikit saja yang dibuat oleh pengelola, baik yang bersifat administratif atau kelalaian personal, dapat mengakibatkan persoalan ini berbuntut pada persoalan yang lebih panjang, atau meminjam istilah Si Butet Yogya sebagai “ persoalan sensitif”.


Tanggung jawab yang sangat besar ini jelas mengimplikasikan adanya transparansi dan akuntabilitas yang tinggi dari pengelola dana APBS. Semua bentuk kegiatan dan kebijakan berkaitan dengan keuangan yang dibuat oleh otoritas sekolah mesti jelas kepentingannya, diketahui oleh publik (dalam hal ini warga sekolah), dan yang paling penting dapat dipertanggungjawabkan secara nyata. Jika salah satu saja dari poin ini hilang, APBS akan menjadi persoalan akut yang sangat serius, bahkan berpotensi memicu gejolak dari siswa dan orang tua.


Dengan adanya tanggungjawab yang besar ini, sudah seharusnya otoritas sekolah memberikan kejelasan dalam penggunaan dana APBS. Jangan sampai para warga sekolah (terutama siswa) bertanya-tanya mengenai penggunaan dana. Pihak sekolah juga seharusnya memerlihatkan APBS tersebut kepada perwakilan siswa yang absah, agar pengeluaran dan program-program sekolah menjadi nyata dan dapat dipertanggungjawabkan secara nyata. Selain itu, sekolah juga harus bersikap kredibel dengan memberikan penjelasan yang terperinci dan jujur. Semuanya ini sangat penting, agar semua pihak dapat dipuaskan dan keingintahuan mereka mengenai persoalan dana sekolah yang sangat “sensitif” dapat terobati.


Selain itu, sekolah juga harus mempertanggungjawabkan penggunaan dana taktis yang ada pada APBS tersebut. Penggunaan dana taktis haruslah tepat guna dan hemat, agar semua keperluan tak terduga dapat diselesaikan. Pertanggungjawabannya pun juga harus terperinci dan menyertakan semua bukti transaksi secara utuh agar tidak terjadi kesalahpahaman, baik di kalangan guru, anggota komite sekolah, siswa, atau karyawan.


Sebagai contoh, penggunaan dana taktis untuk keperluan pembuatan taman sekolah. Jika memang pembuatan taman sekolah itu tidak urgent, rasanya tidak perlu dana taktis dikucurkan sementara ada siswa yang ketika berkompetisi di tingkat nasional dengan membawa nama sekolah ternyata tidak diberi dana dengan alasan sekolah “kekurangan” dana. Pengeluaran yang tidak tepat seperti ini harus dihindari agar dana taktis sekolah dapat dikeluarkan seefektif dan seefisien mungkin.


Pertanggungjawaban sekolah tidak cukup hanya dengan membagikan beberapa lembar kertas laporan kepada siswa, namun harus dengan forum dan rapat yang melibatkan seluruh elemen. Katakanlah, tidak semua siswa yang datang adalah siswa yang kritis dan concern terhadap persoalan keuangan sekolah. Tetapi, bagaimanapin perwakilan siwa harus tetap diundang dalam rapat karena merekalah yang merasakan kualitas pendidikan. Selain itu, hal ini juga perlu untuk menghindari kesalahpahaman dalam penafsiran item-item anggaran dan realisasinya.


Terakhir, penulis hanya ingin mengkritisi laporan APBS, bahwa realisasi harus jujur dan jelas. Kita tak perlu menyebut item anggaran yang perlu dikritisi karena mengandung ambiguitas dan ketidakjelasan, tapi yang jelas kita perlu mengoreksi validitas laporan tersebut. Jangan sampai, misalnya, dana Study Tour siswa yang tidak pernah dilaksanakan tetapi dalam laporan APBS tercantum realisasi 100%. Bukanlah ini sesuatu yang aneh dan terkesan mengada-ada?


Oleh karena itu, dengan momentum hari korupsi sedunia tahun ini, sudah seharusnya otoritas sekolah bersikap kredibel, transparan, dan jujur dalam penggunaan dana APBS. Ingatlah, dana APBS merupakan persoalan yang sangat “sensitif”. Jangan sekali-kali membuat persoalan ini membawa buntut yang lebih panjang. Terapkanlah prinsip-prinsip Good Governance dan Clean Government dalam semua aspek kehidupan.


Bagaimana, otoritas sekolah?


*) Pelajar SMAN 1 Banjarmasin,

Aktif Menulis Opini di Radar Banjarmasin dan Banjarmasin Post


Selasa, 11 November 2008

Peran Birokrasi dalam Rekonstruksi Sosial Pasca-Bencana Kabut Asap


A. Memahami Kabut Asap: Latar Belakang Penulisan

Kabut asap merupakan sebuah fenomena alam yang berbahaya, namun cukup ‘lumrah’ terjadi di Indonesia. Bagaimana tidak, hampir setiap musim kemarau di Indonesia selalu terjadi kabut di beberapa wilayah, terutama Kalimantan dan Sumatera. Fenomena ini cukup merugikan, terutama jika ditinjau dari perspektif kesehatan. Sebagai bukti dapat kita lihat adanya peningkatan kuantitas penderita ISPA, asthma, atau penyakit pernafasan lainnya selama kabut asap terjadi. Pada tahun 2006 ini, kabut asap bahkan telah ‘diekspor’ ke Malaysia dan Singapura, sehingga membuat negara kita mendapat image yang kurang baik di mata negara lain.

Perlu kita ketahui, Indonesia dikenal dunia sebagai “Untaian Zamrud Khatulistiwa”. Julukan ini disandarkan pada kesan penglihatan seorang ahli geografi yang memandang Indonesia bagaikan zamrud yang berkilauan. Namun apa yang dapat kita lihat sekarang? Julukan tersebut seakan sirna, karena hutan-hutan yang ada sedikit banyaknya telah berkurang, salah satu sebabnya karena dibakar.

Herry Nurdi dalam tulisannya di rubrik Tafakur majalah Sabili edisi Dzulhijjah 1426 H mengatakan bangsa Indonesia sejak dulu telah mengenal hal-hal yang disebut sebagai Natural Wisdom. Salah satunya adalah perilaku Suku Sakai yang memiliki waktu-waktu khusus untuk memanen hasil hutan. Selain itum orang-orang Jawa dilarang memotong daun pisang muda. Pelarangan ini dilakukan bukan karena nuansa mistis, namun untuk perkembangan daun pisang tersebut. Di Lamalaera, para nelayan hanya diperbolehkan berburu ikan sekali setahun, karena perburuan berlebih bisa mengancam eksistensi nelayan tersebut. Perilaku tersebut merupakan isyarat bahwa sebenarnya dalam permasalahan lingkungan masyarakat zaman dulu telah memiliki konsep yang sederhana, namun penuh kearifan. Seyogianya dalam permasalahan kabut asap ini masyarakat juga dapat memahami konsep Natural Wisdom tersdebut.

Secara umum kabut asap ini disebabkan oleh adanya kebiasaan masyarakat yang membakar lahan-lahan untuk kepentingan perladangan Di Kalimantan Selatan disinyalir kebakaran ini berasal dari Kabupaten Banjar, tepatnya di daerah Gambut dan sedikit daerah Kabupaten Barito Kuala. Namun semakin lama kebakaran ini makin meluas dan efeknya dapat dirasakan sampai ke daerah Kota Banjarmasin dan Banjarbaru.

Kabut asap ini sedikit-banyaknya merugikan banyak pihak. Para petani, pelaku usaha, bahkan murid-murid Sekolah Dasar pun menerima akibatnya. Memang di Banjarmasin peristiwa kabut asap tidak sampai membuat pemerintah meliburkan sekolah-sekolah. Akan tetapi kabut ini cukup mengganggu kegiatan belajar-mengajar, seperti terjadi di SMAN 1 Banjarmasin yang terpaksa memulangkan siswa-siswinya lebih awal pada hari Rabu tanggal 15 Nopember 2006. Keadaan ini cukup meresahkan warga kota pada umumnya, sehingga pemerintah pun sampai melakukan Shalat Istisqa’ (Shalat Meminta Hujan) agar hujan dapat turun sehingga Kabut Asap dapat teratasi.

Masalah inilah yang melatarbelakangi kami untuk melakukan penelitian mengenai usaha-usaha pemerintah dalam upaya rekonstruksi sosial pasca bencana kabut asap.

Adapun pertanyaan riset yang kami rumuskan sebagai masalah untuk diteliti adalah : “Bagaimana usaha-usaha rekonstruksi sosial pasca bencana kabut asap yang dilakukan oleh elemen birokrasi dan pemerintahan ?” Dari rumusan masalah tersebut, judul yang kami angkat dalam masalah ini ialah : Peranan Birokrasi dalam Rekonstruksi Sosial Pasca Bencana Kabut Asap.

B. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian yang kami lakukan ini bertujuan untuk :

1. Menganalisis bentuk rekonstruksi sosial pasca bencana kabut-asap
2. Menyimpulkan upaya-upaya praktis dan teknis pemerintah dalam persoalan kabut asap
3. Menarik kesimpulan mengenai keadaan masyarakat pasca kabut asap di Propinsi Kalimantan Selatan
4. Menganalisis kinerja pemerintah pasca kabut asap dan solusi idealnya.

Adapun manfaat penelitian ini kami kategorikan menjadi dua jenis, yaitu manfaat secara teoretis dan praktis.

a. Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan berarti bagi perkembangan ilmu sosiologi, agar ilmu sosiologi dapat terus relevan dengan dinamika perkembangan zaman.

b. Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah dan birokrasi agar dapat memerbaiki kinerjanya dalam penanggulangan bencana. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan dalam kebijakan-kebijakan teknis pemerintah dalam penanggulangan bencana kabut asap di berbagai daerah.


C. Catatan Metodologis

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif-deskriptif, dimana metode ini lebih mengedepankan analisis data-data yang didapat dan mengutamakan kasus-kasus yang terjadi di masyarakat (Soekanto,1983). Lebih spesifik lagi, kami menggunakan metode studi kasus, yaitu metode pengamatan tentang suatu keadaan, kelompok, masyarakat setempat, lembaga-lembaga, atau individu (Mu’in, 2004). Alat yang kami gunakan adalah Interview (Wawancara) dan Participant Observer Technique (Pengamat ikut mengamati dalam realitas empiris di kehidupan sehari-hari).

Adapun variabel yang kami kami identifikasi dalam pengamatan ini antara lain :
a. Variabel bebas : Kabut asap
b. Variabel terikat : Rekonstruksi sosial

Penjelasan operasional dari variabel-variabel tersebut kami jabarkan sebagai berikut:

a. Rekonstruksi Sosial adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk membangun kembali struktur sosial setelah terjadinya perubahan-perubahan sosial maupun fisik yang terjadi pada suatu masyarakat tertentu.

b. Kabut asap disebabkan oleh pembakaran hutan yang dilakukan oleh sebagian penduduk (bahkan perusahaan) saat membuka lahan pertanian. Bagi mereka yang tinggal di Jawa mungkin telah jarang melihat praktik-pratik ini. Namun di Kalimantan dan Sumatera, praktik pembakaran hutan bisa dikatakan sebagai bagian dari pola hidup.

Hipotesis kerja dalam penelitian ini adalah: Kinerja pemerintah masih kurang optimal dalam upaya-upaya penanggulangan bencana kabut asap.

D. Rekonstruksi Sosial untuk Bencana: Sebuah Pijakan Teoritis

Rekonstruksi Sosial adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk membangun kembali struktur sosial setelah terjadinya perubahan-perubahan sosial maupun fisik yang terjadi pada suatu masyarakat tertentu.

Perubahan Sosial didefinisikan oleh J.P.Gillin & J.L.Gillin (dalam Mu’in,2004) sebagai variasi cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk maupun karena adanya difusi atau penemuan baru dalam masyarakat. Dalam kasus kabut asap perubahan sosial ini mengakibatkan adanya perubahan pola sikap masyarakat dalam penanganan lingkungan. Sebelumnya, masyarakat menggunakan metode ladang berpindah yang berimplikasi pada kebakaran hutan seperti diungkapkan oleh narasumber kami.

Sementara itu, Solikhin (2005) menyebutkan bahwa lingkungan juga selalu mengalami perubahan yang dapat mengganggu keseimbangan rantai makanan di suatu lingkungan dikarenakan terputusnya salah satu mata rantai dalam rantai makanan tersebut. Faktor-faktor penyebab perubahan lingkungan dapat kita lihat seperti penebangan hutan, industrialisasi, konversi lahan basah, Illegal logging, penebangan mangrove, dan Penerapan intensifikasi tanaman. Secara alamiah, perubahan lingkungan juga disebkan oleh Tsunami, gunung meletus, tanah longsor, banjir, angin ribut, dan kebakaran hutan

Dalam pencegahan dampak negatif perubahan lingkungan, pemerintah RI telah memberlakukan UU no.23 tahun 1997 tentang lingkungan hidup. UU ini menyebutkan bahwa Pemerintah berkewajiban melindungi lingkungan hidup. Selain itu juga ada PP no. 29 tahun 1986 tentang Amdal (Analisis mengenai dampak lingkungan). Sementara di Banjarmasin, sudah ada Perda no 3 tahun 2004 tentang kebersihan lingkungan.

E. Sebab-Sebab Terjadinya Kabut Asap

Mengapa kabut asap harus terjadi setiap tahun? Pertanyaan itu menghinggapi benak banyak orang yang sebagian besar menyalahkan petani nakal yang membakar hutan hanya untuk kepentingan mereka sendiri, atau menganggap hal tersebut adalah sebuah pola yang terjadi secara alami.

Dari hasil wawancara dengan Tato Pujiarto, mantan petugas survey transmigrasi Kompsax-Amithas Group, terungkap suatu fakta bahwa ditemukan para petani yang menerapkan lahan berpindah, yaitu sebuah sistem pertanian dimana para petani membuka suatu lahan dengan cara membakarnya sehingga tanah menjadi lebih subur karena abu dari pembakaran tersebut. Mereka menanami lahan tersebut dengan padi selama dua kali masa tanam dan setelah panen, mereka (para petani) menanam tanaman jangka panjang seperti rotan dan buah-buahan dan kemudian mereka membuka lahan baru lagi. Keadaan seperti ini terus berputar-putar dalam suatu siklus yang berlangsung selama puluhan tahun.

Untuk membuka lahan mereka harus membakar lahan, karena kondisi tanah dan jenis tumbuhan di Kalimantan berbeda dengan daerah seperti Jawa. Tanah di Kalimantan bertekstur lebih keras dan kurang subur dibandingkan tanah di pulau Jawa. Tumbuhan di Kalimantan berbatang keras dan relatif berdiameter besar sehingga sulit untuk disingkirkan, oleh karena itu jalan terbaik bagi mereka adalah membakarnya. Ratusan titik api bisa dilihat dengan mudah, khususnya di daerah-daerah punggung bukit yang memudahkan untuk bercocok tanam dan memiliki kemudahan akses transportasi, baik darat maupun sungai.

Jangan berpikir bahwa pembakaran lahan ini bersifat sporadis dan tak terkontrol. Anda pasti akan mengerutkan kening ketika melihat sebuah kawasan yang telah terbakar habis sementara tumbuhan di luar batas area pembakaran masih ada, menyejukan pandangan mata. Ini adalah sebuah pemandangan yang sangat kontras. Yang menarik, area yang terbakar ada di dalam batas lahan si pembakar.

Sekarang kembali ke kehidupan petaninya. Jarak yang ditempuh dari tempat tinggal petani ke ladangnya yang cukup jauh dari perkampungannya, selain jarak yang jauh, juga terdapat berbagai medan yang berat berupa rawa-rawa dan perbukitan yang hanya bisa dilewati dengan sampan (perahu kecil) dan jalan setapak yang memakan waktu berjam-jam. Mengingat transportasi yang sangat sulit, pada umumnya mereka membangun pondok diladangnya dan hanya waktu-waktu tertentu pulang ke kampungnya. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sambil menunggu musim panen, mereka menanam ubi, sayur-sayuran, berburu rusa, kijang, kancil, atau memelihara ayam yang dibawa dari kampung sampai mencari madu lebah hutan.

Kabut asap tidak hanya dirasakan oleh para korban, tetapi juga dirasakan oleh para petani. Asap yang pekat masuk ke saluran pernapasan mereka, apalagi mereka berada di tempat yang dekat dengan sumbernya. Yang mengherankan, mereka mampu melakukan hal tersebut karena dorongan ekonomi yang makin kuat. Artinya di sini dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa para petani mau melakukan apa saja untuk mencari nafkah hidup mereka, walaupun yang mereka lakukan berdampak negatif terhadap lingkungan.

Kita beralih ke sumber kabut asap yang berada di Kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Berbeda dengan daerah Kalimantan lainnya kabut asap di daerah ini disebabkan oleh pembakaran jerami di areal persawahan karena di sekitar areal persawahan masih berupa semak-semak yang tentu saja sudah mengering akibat musim kemarau, akhirnya api dengan mudah menjalar ke semak-semak tersebut yang arealnya lebih luas dari persawahan. Karena struktur tanahnya berjenis gambut itulah penjalaran api sulit untuk dideteksi karena api menjalar di bawah permukaan tanah yang berongga-rongga (gambut).

Selain itu banyak juga yang disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh perbuatan mereka dalam memerlakukan alam secara ceroboh. Misalnya membakar sampah atau membuang puntung rokok di tempat-tempat yang berpotensi mengakibatkan api dapat menjalar lebih luas. Lukman Purnomo Sidi, salah satu anggota tim penulis bahkan melihat perbuatan masyarakat disekitar rumahnya yang berada di dekat lokasi tersebut. Ini menunjukkan kurangnya kesadaran masyarakat akan urgensi lingkungan hidup.

F. Peran Birokrasi

Dalam menangani bencana kabut asap ini, pemerintah telah mengambil langkah-langkah teknis guna menangani permasalahan kabut asap ini. Namun sayangnya, kinerja pemerintah tersebut kurang memberi hasil yang memuaskan ketika awal-awal peristiwa kabut. Pada bulan Ramadhan, beberapa kali diadakan usaha hujan buatan dengan cara menaburkan garam dari ketinggian tertentu. Namun hasil yang didapat jauh dari harapan, karena yang turun hanya gerimis. Setelah beberapa hari Banjarmasin diselimuti kabut, barulah datang pesawat Ilyushin dari Rusia yang melakukan Water-Bombing atau penyiraman air dalam kuantitas besar pada hotspot (titik api) di Kabupaten Banjar.

Dalam penanggulangan kabut asap hendaknya pemerintah sebagai pengayom dan pelindung masyarakat bersikap lebih proaktif secara preventif dalam penanggulangan bencana, bukan justru bertindak pasif dalam pencegahan dan hanya aktif pada saat terjadi bencana. Seharusnya pemerintah mencari akar dari masalah ini agar bencana ini tidak terjadi lagi. Apalagi untuk penanggulangan bencana kabut asap ini pemerintah mengeluarkan dana hingga miliaran rupiah untuk menyewa pesawat dari Rusia untuk memadamkan titik api. Bukankah uang sebanyak itu yang dikumpulkan dari masyarakat menjadi sia-sia apabila bencana ini terus berulang? Bahkan mungkin suatu saat pengeluaran untuk penanggulangan kabut asap menjadi pengeluaran rutin pemerintah pusat dan daerah yang mengalami bencana itu sendiri.

Upaya Pemerintah dalam menanggulangi kabut asap memang belum menyentuh ke akar permasalahan. Belum ada kebijakan-kebijakan ataupun penyuluhan langsung di lapangan, terutama dari Pemerintah Daerah yang benar-benar serius.dilakukan Masyarakat sekarang banyak yang anti terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang menurut mereka cenderung merugikan mereka. Sebenarnya masalah kabut asap ini sangat kompleks, oleh sebab itu masalah ini tidak pernah berhenti sekian lama.

G. Kesimpulan: Perlu Pendekatan Politik?

Dari hasil pengamatan yang kami lakukan, kami memperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Masalah kabut asap adalah masalah yang kompleks oleh karena itu masalah ini tidak selesai-selesai.

2. Penyakit akibat kabut asap (smog) tidak hanya dialami oleh para korban melainkan para pelakunya juga bahkan mungkin mereka yang lebih parah penyakitnya.

3. Peran birokrasi hanya terlihat pada penanggulangannya saja, bukan pada pencegahan.

4. Perlu diadakannya rekonstruksi sosial secara komprehensif yang berbasis pada peningkatan kesejahteraan kehidupan para pelakunya, agar keadaan yang seperti ini tidak terus berulang setiap tahun.

H. Memutus Mata Rantai Bencana

Langkah-langkah yang sebaiknya dilakukan pemerintah menurut hemat kami antara lain :

1. Membuat lahan buatan yang produktif, sehingga para petani tidak perlu melakukan perpindahan lahan.

2. Memberikan penyuluhan kepada para petani agar tidak membakar lahannya karena asap yang timbul mengandung bahan yang berbahaya bagi kesehatan.

3. Mendahulukan pencegahan (preventif) dibandingkan penanggulangan (kuratif) sehingga biaya yang dikeluarkan lebih efisien dan dampaknya pun dapat dirasakan dalam jangka panjang

4. Larangan merokok di tempat-tempat yang rawan terbakar terutama lahan kering.

5. Mengoptimalkan aspek yuridis dengan memberlakukan peraturan yang dapat mengurangi kasus kebakaran hutan.


DAFTAR PUSTAKA

Dawud, dkk, 2004. Bahasa dan Sastra Indonesia Untuk SMA Kelas XI. Jakarta : Erlangga.

Muin, Idianto, 2004. Sosiologi Untuk SMA Kelas X. Jakarta : Erlangga.

________________, Sosiologi Untuk SMA Kelas XI. Jakarta : Erlangga.

Dirdjosiworo, Soedjono, S.H., 1973. Pengantar Sosiologi. Bandung : Penerbit Alumni.

Solikhin, 2005. Serasi Biologi.

Soekanto, Soerjono, 1990, Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Raja Grafindo.

Syamsuri, Istamar, M.Pd. dkk.. 2005. Biologi SMA Kelas X. Jakarta : Erlangga.

LAMPIRAN : Narasumber dan Daftar Pertanyaan

1. Profil Narasumber :

Nama : Tato Pujiarto
Usia : 45 tahun
Pekerjaan : Pernah menjadi pegawai survey transmigrasi PT Kampsax-Amithas Group

2. Daftar Pertanyaan :

- Hal apa saja yang menyebabkan petani membakar lahan sehingga menyebabkan kabut asap?
- Bagaimanakah kehidupan petani di daerah Kalimantan Selatan dan Tengah?
- Bagaimana metode dan langkah-langkah pertanian tradisional di Kalimantan Selatan dan Tengah pada umumnya?
- Bagaimana proses terjadinya kebakaran hutan pada umumnya?
- Apa saja dampak kabut asap bagi masyarakat petani?



Artikel ini pernah meraih lolos sebagai finalis dalam Kompetisi "Olimpiade Ilmu Sosial 2007" di FISIP Universitas Indonesia, 11-17 Februari 2007. Penulis mendapat penghargaan sebagai Peserta Terbaik dalam Kompetisi Tersebut