Sabtu, 01 November 2008

Sekolah, Pungutan, dan Transparansi (Tanggapan untuk Pak Fatchul Mu’in, 29 Juli 2008)

Pengantar

Artikel Pak Fatchul Mu’in, M. Hum. di Opini Radar Banjarmasin, 29 Juli 2008 berjudul “Sekolah dalam Kondisi Dilematis?” cukup menarik untuk diulas. Pada artikel tersebut, Pak Fatchul mencoba untuk mendudukkan pungutan sekolah pada awal tahun ajaran yang dilarang oleh Dinas Pendidikan dan kejaksaan. Menarik untuk diulas, karena persoalan ini dirasakan cukup berat oleh beberapa sekolah yang tidak memiliki “hak-hak istimewa” seperti beberapa sekolah bertaraf internasional.

Memang, pungutan sekolah pada awal tahun ajaran baru adalah wajar di masing-masing sekolah. Hal ini dikarenakan atribut-atribut siswa baru disediakan oleh sekolah dan dijual kepada orang tua siswa. Selain itu, siswa juga membayar uang OSIS, Pramuka, dll. yang digunakan untuk kegiatan ekstrakurikuler siswa dan program-program sekolah.

Sebenarnya, pungutan sekolah tak menjadi masalah jika didudukkan secara proporsional. Akan tetapi, dengan munculnya peraturan dari Dinas Pendidikan yang melarang pungutan-pungutan di awal tahun ajaran baru, masalah baru muncul karena peraturan ini dikeluarkan secara tergesa-gesa, terlambat, dan tanpa sosialisasi. Akibat ketergesa-gesaan ini, beberapa sekolah kelabakan karena pengadaan barang telah dilakukan jauh-jauh hari. Beberapa kepala sekolah dipanggil oleh kejaksaan terkait hal ini.

Memperbaiki APBS

Dalam artikelnya, Pak Mu’in mencoba untuk sedikit membandingkan Balikpapan dan Banjarmasin. Sah-sah saja membandingkan, tidak ada salahnya. Tetapi kita juga mesti mengingat bahwa penerimaan asli daerah (PAD) Balikpapan dan Banjarmasin juga berbeda. Kebijakan pemerintah adalah memeratakan bantuan semua sekolah sehingga berimplikasi pada kecilnya dana yang diterima oleh masing-masing sekolah.

Lantas, apa yang mesti dilakukan oleh sekolah untuk mengatasi kecilnya dana dari pemerintah ini?

Pertama, rasionalisasi APBS. APBS yang disusun oleh sekolah harus realistis dan disusun berdasarkan skala prioritas. Biasanya, jika penulis tidak khilaf, item yang paling banyak disodorkan dalam APBS adalah bidang sarana/prasarana dan ini memakan banyak anggaran. Mungkin bagi sekolah yang bertaraf internasional hal ini tidak menjadi masalah besar, tetapi logiskah jika anggaran membuat taman, pengadaan AC di ruang kepala sekolah, atau pengadaan TV kabel di ruangan TU mengalahkan kegiatan untuk peningkatan mutu pelayanan pendidikan siswa? Ini patut dirasionalisasi terlebih dulu.

Kedua, transparansi APBS. Sekolah harus mempertanggungjawabkan anggaran yang dimiliki secara jujur dan terbuka. Transparansi ini penting, karena setiap dana yang digunakan oleh sekolah pada hakikatnya merupakan uang siswa. Jangan sampai ada laporan yang ”salah ketik” ketika dana APBS dipertanggungjawabkan di akhir tahun. Atau, ada kegiatan yang tidak pernah dilaksanakan tetapi penggunaan dananya ternyata dialihkan ke pos lain tanpa penjelasan dari sekolah. Jika ada kasus semacam ini, dalam laporan seharusnya sekolah menulis realisasi sebesar 0% dengan catatan terjadi pengalihan dana.

Dalam sebuah kasus, kadang-kadang pihak sekolah menulis realisasi penggunaan dana semacam ini 100%, padahal kegiatannya tidak ada! Kita mungkin bertanya-tanya, apakah hal tersebut merupakan kesalahan pengetikan ataukah memang dananya dialihkan untuk sebuah proyek yang berada di luar APBS? Jika memang dialihkan, seharusnya ada catatan dari sekolah atau pihak yang memeriksa keuangan tersebut bahwa ada pengalihan dana ke item lain karena beberapa faktor. Ini adalah bagian dari transparansi sekolah.

Dua hal ini menjadi bagian yang penting ketika pemerintah tidak dapat membantu sekolah dalam hal anggaran. Ini menjadi tugas Komite Sekolah untuk mengawal setiap pengambilan keputusan. Oleh karena itu, independensi Komite Sekolah menjadi hal yang urgent untuk segera dilakukan. Jangan sampai Komite Sekolah terbuai dengan janji-janji manis sekolah dalam memperbaiki pendidikan, sementara yang terjadi di sekolah adalah konflik kepentingan yang mengarah pada korupsi kecil-kecilan.

Studi Banding dan Asas Manfaat

Di artikel tersebut, Pak Fatchul Mu’in juga sedikit mengulas studi banding. Benar, kita harus ”mengintip” daerah lain untuk menuju gerbang keberhasilan. Saya pun setuju bahwa sekolah perlu melakukan studi banding ke daerah lain untuk mencatat keberhasilan yang ada sehingga sekolah mampu melakukan inovasi-inovasi. Akan tetapi, penulis juga melihat perlunya mendudukkan studi banding ini dalam proporsi yang tepat. Studi banding, menurut penulis, setidaknya mencakup beberapa prasyarat yang melatarbelakanginya.

Pertama, studi banding memerlukan tujuan yang jelas. Studi banding tidak hanya untuk ”piknik” atau ”bejalanan”, tetapi untuk menimba ilmu di beberapa bidang yang ingin dipelajari. Konsep dan planningnya pun juga harus jelas dan masuk akal.

Kedua, studi banding harus melibatkan semua pihak yang berkepentingan. Bahkan kalau perlu perwakilan siswa dan pesuruh sekolah juga harus dilibatkan. Sehingga, tujuan yang telah dicanangkan dapat terjabarkan. Hasilnya pun diharapkan dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak.

Ketiga, studi banding tidak boleh membebani siswa. Sekolah tidak boleh melakukan pembiayaan studi banding dengan ”menjual” kalender kepada siswa (tentunya ini diwajibkan) dan menyebar proposal kepada orang tua siswa. Pembiayaan studi banding sedapat mungkin dialokasikan pada APBS atau penyebaran proposal.

Keempat, Studi banding hanya dilakukan sebelum ada program yang ingi dipelajari oleh sekolah. Keanehan di sekolah penulis, studi banding dilakukan setiap tahun dengan tujuan Pulau Jawa. Waktunya pun sangat strategis, yaitu pada liburan sekolah. Praktis, studi banding hanya dilakukan satu-dua hari dan sisanya berubah menjadi ajang ”banding harga” di tempat tujuan.

Kelima, hasil studi banding harus segera ditindaklanjuti sesampainya kembali di daerah. Bahkan kalau perlu, sekolah mempresentasikan laporan studi banding di hadapan guru dan siswa yang tidak mengikuti studi banding. Sehingga, studi banding tidak hanya menjadi ajang ”bejalanan”, tetapi juga dapat dirasakan manfaat.

Kesimpulan

Lantas, apa yang perlu diperbuat pemerintah? Penulis hanya menyarankan, ada sinergisasi dan partisipasi aktif dari semua elemen sekolah: Pemerintah-Komite Sekolah-Guru-Siswa-Birokrat Sekolah-Karyawan. Perkara memajukan pendidikan kita memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tetapi semua itu harus dimulai dari sekarang dengan komitmen dari penyelenggara sekolah.

Rizal Mallarangeng dalam iklan politiknya mengatakan, if there is a will, then there is a way. Jika ada kemauan, selalu ada jalan yang terbuka. Mari benahi pendidikan kita, Save Our Nation!

Tidak ada komentar: