Rabu, 05 November 2008

UGM, Dialektika, dan Mahasiswa


Tetapi apabila saya diberi sepuluh pemuda yang bersemangat dan berapi-api, kecintaannya pada bangsa dan tanah air tanah tumpah darahnya, saya akan dapat menggemparkan dunia”.

(Bung Karno)[1]


Benarkah Universitas Gadjah Mada adalah kampus perjuangan? Fakta sejarah mengatakan “ya”. Universitas Gadjah Mada telah menjadi saksi bisu pergulatan intelektual di tengah upaya mempertahankan kemerdekaan RI. UGM merupakan perwujudan dari kepedulian pemimpin bangsa tentang pendidikan melalui sebuah pendidikan tinggi yang memang ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat. Oleh karena itu, wajar jika gelar “kampus perjuangan” dilekatkan pada Universitas Gadjah Mada.

Bagaimana dengan sekarang? Universitas Gadjah Mada dewasa ini telah menjadi salah satu universitas terbesar di Indonesia. Predikat baru sebagai research university pun dibebankan kepada UGM. Pertanyaan penting yang patut kita ajukan, apakah identitas historis-filosofis UGM sebagai “kampus perjuangan” tersebut masih dijalankan oleh segenap sivitas akademika UGM secara konsekuen?

Identitas “kampus perjuangan” merefleksikan sebuah harapan besar agar UGM tetap mewarisi kultur perjuangan dalam kegiatan akademik dan kemahasiswaan yang dilaksanakan. Kemapanan yang didapat tidak lantas membuat UGM lupa dengan akarnya, yaitu rakyat. Ketika UGM telah menjadi besar, filosofi padi yang semakin maju semakin merunduk tetap harus dipegang oleh UGM. Begitu pula dengan mahasiswanya.

Sejalan dengan predikat “kampus perjuangan” tersebut, mahasiswa UGM juga harus memiliki karakteristik pejuang. Penulis berpendapat, “perjuangan” mahasiswa UGM tersebut dapat dikontekstualisasikan dengan melakukan sinergisasi atas dua fungsi mahasiswa, yaitu fungsi sosial dan fungsi intelektual yang disalurkan melalui aktif berorganisasi di BEM atau UKM yang ada di UGM.

Karakteristik Mahasiswa UGM

Penulis yakin, kita sebagai mahasiswa sudah sering mendengar berbagai ungkapan yang menganggap kaum muda sebagai pelaku perubahan. Salah satunya dikatakan oleh Hasan Al-Banna, “Pemuda merupakan pilar kebangkitan, pemuda adalah rahasia dari sebuah kekuatan. Dalam setiap pergerakan, pemuda adalah pengibar panji-panjinya[2]. Mahasiswa tentu saja merupakan bagian dari pemuda. Maka, sebuah beban untuk menjaga amanah perubahan telah diletakkan di pundak para mahasiswa.

Mahasiswa sebenarnya dilahirkan untuk menjadi aktor perubahan. Sejarah pergerakan bangsa ini telah membuktikan kebenaran tesis tersebut. Hanya saja, peran mahasiswa sebagai aktor perubahan tersebut memerlukan prakondisi berupa idealisme dan karakter mahasiswa yang juga mendukung perubahan. Oleh karena itu, mahasiswa pada dasarnya memiliki dua fungsi utama: fungsi intelektual dan fungsi sosial.

Seorang mahasiswa UGM sejatinya memiliki fungsi intelektual, yang berarti ada upaya untuk mengasah pemikiran kritis melalui proses dialektika di kampus. Fungsi ini mengharuskan mahasiswa UGM untuk mampu menganalisis sebuah fenomena sosial melalui disiplin ilmu yang digeluti. Tentu saja indikatornya di sini adalah prestasi akademik dan ketajaman analisis atas problematika sosial yang melanda bangsa.

Di sisi lain, seorang mahasiswa idealnya juga memiliki fungsi sosial, yang mengharuskan mahasiswa untuk mengontribusikan pemikiran dan tenaganya kepada rakyat. Fungsi sosial mahasiswa ini dapat disalurkan melalui organisasi yang ada di kampus (UKM dan BEM), gerakan mahasiswa ekstrauniversitas, atau lembaga-lembaga lain yang mewadahi mahasiswa. Dengan adanya kontribusi sosial mahasiswa, pemikiran kritis yang dilahirkan dari proses dialektika di kampus akan diuji dan kesadaran akan realitas yang timpang di masyarakat juga akan terbentuk.

Dua fungsi ini sangat penting dan idealnya dimiliki oleh seorang mahasiswa UGM. Penulis berpendapat, ilmu yang didapat oleh mahasiswa dari diskusi dan pemberian materi di dalam kelas tanpa disertai amal sosial secara riil hanya akan menjadi sebuah wacana akademis yang menghilang ketika kuliah usai. Begitu pula sebaliknya, aksi sosial tanpa landasan berpikir yang teoretis dan rasional tak akan dapat dipertanggungjawabkan secara matang dan akan terlindas oleh status-quo. Oleh karena itu, perlu ada sinergisasi dari dua fungsi mahasiswa di atas untuk menghasilkan karakter mahasiswa UGM yang ideal.

Ketika dua fungsi ini dapat dioptimalkan oleh mahasiswa, peran mahasiswa sebagai agen perubahan sosial dan pilar kelima demokrasi akan mudah dilaksanakan. Maka, masalah yang kemudian harus kita tuntaskan selanjutnya adalah posisi mahasiswa dalam menyikapi sebuah realitas sosial yang akan dibawa oleh mahasiswa dalam aktivitasnya.

Proses Dialektika: Integrasi Teori dan Aksi

Ernest Mandel dalam sebuah pidatonya pernah menyatakan bahwa banya sekali kesenjangan intelektual yang nampak dalam kegiatan akademik di kampus[3]. Kesenjangan intelektual tersebut terlihat dari perbedaan antara hal-hal yang diajarkan di kampus dengan realitas yang ada. Sehingga, perlu adanya reorientasi pola pikir mahasiswa dengan mengintegrasikan teori di perkuliahan dengan aksi sosial di masyarakat.

Integrasi antara teori dan praktik inilah yang diinginkan oleh Hegel. Kampus seharusnya menjadi wadah untuk berdialektika, atau seperti didefinisikan oleh Hegel, yaitu proses pengkajian sebuah tesis untuk menjadi sebuah antitesis. Kegiatan mahasiswa di kampus hanya dengan belajar saja tidak cukup untuk mengkaji tesis-tesis atau fenomena sosial yang ada secara ilmiah. Mahasiswa perlu turun ke masyarakat untuk membuktikan kebenaran dari tesis tersebut dengan langsung berdialog dengan rakyat. Istilah Paulo Freire, menyadarkan masyarakat melalui pendidikan yang membebaskan[4].

Begitu pula dengan mahasiswa UGM. Kegiatan akademik dan aksi sosial harus terus berjalan beriringan. UGM telah melahirkan sederet nama besar seperti Amien Rais (FISIPOL), Sri Sultan Hamengku Buwono X (FH), Anies Baswedan (FE), atau Siti Fadillah Supari (FKU). Perlu dicatat, nama-nama besar tersebut lahir dari sebuah proses dialektika sehingga lahirlah karakter negarawan yang menjelma dalam diri Sri Sultan, karakter politisi pada diri Amien Rais, karakter tegas-berani pada diri Siti Fadillah Supari, atau karakter intelektual pada diri Anies Baswedan.

Apakah karakter mereka terdapat pada diri mahasiswa UGM sekarang? Faktanya, banyak mahasiswa baru yang begitu ambisius menentukan target lulus secepat-cepatnya dan IPK setinggi-tingginya. Memang, sah-sah saja berpikiran demikian. Namun, ambisi “cepat lulus” dan “IPK tinggi” tersebut tidak lantas membuat mahasiswa melupakan tanggung jawab sosialnya, yaitu berorganisasi dan berkontribusi di masyarakat. Perlu diingat, fungsi intelektual dan sosial mahasiswa harus seimbang. UGM pun telah memfasilitasi keberadaan UKM yang mewadahi kreativitas mahasiswa sehingga tak ada alasan bagi mahasiswa untuk menghindar dari kewajiban sosialnya, yaitu berorganisasi.

Fakta yang lain, mahasiswa mulai berpikiran pragmatis dan individualistik. Indikator dari fenomena tersebut adalah kurangnya minat mahasiswa untuk mengikuti diskusi-diskusi di kampus jika tidak diiringi oleh feedback yang seimbang, semisal sertifikat atau konsumsi. Padahal, substansi dari diskusi atau seminar sendiri bukan untuk menambah sertifikat, melainkan sebagai wahana pengembangan keilmuan dan proses dialektika seperti dikatakan oleh Hegel di atas.

Dalam konteks UGM, sekali lagi, perjuangan tidak cukup hanya dengan membuka buku di kampus, mendengarkan ceramah dosen di kegiatan perkuliahan, atau menjawab soal ujian untuk mendapat nilai tinggi. Kontribusi riil mahasiswa ada di luar kampus. Bagi mahasiswa UGM, upaya untuk memperbaiki ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat pada dasarnya adalah sebuah proyek kelas yang lebih besar dari tugas dosen yang hanya akan menjadi sebuah wacana di kelas tanpa ada umpan balik. Maka, sudah saatnya mahasiswa UGM menemukan kembali spiritnya yang hilang untuk dapat menjadi aktor perubahan sosial yang berkarakter intelektual.

Moral Force atau Political Force?

Fungsi sosial mahasiswa dapat dimanifestasikan dalam wujud keaktifan dalam organisasi mahasiswa. Persoalannya, bagaimana sejatinya posisi mahasiswa dalam memainkan peran sebagai pilar kelima demokrasi? Pertanyaan ini pernah diajukan kepada penulis ketika wawancara sebuah organisasi tingkat universitas di UGM.. Ada dua argumen yang muncul sebagai jawaban atas pertanyaan ini.

Pertama, mahasiswa adalah gerakan moral (moral force). Pergerakan mahasiswa dalam konteks ini tidak memainkan peran politik. Aspirasi mahasiswa dalam hal ini harus bersifat konstruktif bagi bangsa. Oleh karena itu, aktivitas mahasiswa harus murni bernafas intelektual dan sarat pesan moral tanpa aksi politis. Gerakan mahasiswa, meminjam istilah Jalaluddin Rakhmat (1999), cukup menjadi bagian dari supporters dalam rekayasa sosial[5].

Kedua, mahasiswa sebagai gerakan politik (political force). Ketika menyikapi sebuah masalah sosial, mahasiswa harus melakukan aksi yang menimbulkan efek politik bagi pemutus kebijakan. Mahasiswa harus berjalan sesuai dengan suara rakyat, karena suara rakyat pada dasarnya juga merupakan suara mahasiswa (Setyoko, 1999)[6]. Mahasiswa kemudian harus menjadi avant garde perubahan dan dengan demikian menjadi sebuah kekuatan penekan yang berhadapan dengan kekuatan politik lain. Contoh kasus yang paling jelas adalah gerakan mahasiswa 1966 dan 1998.

Lantas, bagaimana mahasiswa UGM seharusnya bersikap? Mengacu pada dua fungsi mahasiswa yang telah penulis uraikan, mahasiswa patut mempertimbangkan efektivitas gerakan dan implikasi-implikasi yang mungkin saja muncul. Strategi gerakan mahasiswa hendaknya tetap memperhatikan aspek intelektual dan aspek sosial. Untuk itu, aksi mahasiswa harus didahului oleh kajian dan analisis mendalam atas isu yang diangkat.

Maka, penulis berpendapat bahwa posisi mahasiswa dalam menyikapi sebuah isu sosial adalah kombinasi dua argumen di atas. Ketika situasi politik telah mengarah pada persaingan antarelit yang berpotensi membuat mahasiswa terseret pada kepentingan tertentu, mahasiswa dapat melakukan fungsinya sebagai moral force dalam menyikapi sebuah isu tanpa berusaha untuk terjatuh ke pusaran konflik faksional antarelit politik.

Akan tetapi, ketika realitas sudah sedemikian timpang, tak ada pilihan lain bagi mahasiswa selain memainkan peran politik dalam wacana gerakan yang diangkat. Hal ini dapat kita lihat pada 1998. Ketika kekecewaan rakyat dan mahasiswa telah terakumulasi menjadi sebuah gerakan politik, tak ada jalan lain bagi mahasiswa selain turun ke jalan. Hal ini wajar ketika kekuasaan telah korup dan rakyat telah dikhianati oleh penguasa. Maka, meminjam istilah Wiji Thukul yang sangat populer, hanya ada satu kata: Lawan!

Menegaskan Posisi Mahasiswa UGM

Universitas Gadjah Mada sekarang telah menjadi salah satu universitas di Indonesia. Penting untuk diingat, keberhasilan UGM tersebut harus disikapi secara kritis. Ketika UGM telah menjadi sebuah universitas besar, identitas UGM sebagai kampus perjuangan dan kampus kerakyatan jangan sampai dilupakan. Justru dengan nama besar itulah UGM dapat menjadi sebuah pilar dalam membela hak-hak rakyat yang tertindas dengan pendidikan yang diberikan.

Sebuah beban tentunya berada di pundak mahasiswa UGM. Sebagai mahasiswa baru, sudah seharusnya kita menanamkan sebuah komitmen bahwa mahasiswa berasal dari rakyat dan harus kembali kepada rakyat. Sebagaimana ungkapan Haryo Setyoko di atas, suara rakyat adalah suara mahasiswa.[7] Maka, mahasiswa pun sudah sewajarnya menggunakan segenap potensi yang dimiliki untuk mengabdi kepada rakyat.

Di sinilah potensi besar organisasi mahasiswa yang ada di UGM. Sebagai representasi mahasiswa, organisasi-organisasi mahasiwa di UGM, terutama BEM KM UGM, harus tetap mengedepankan idealisme dan terus memperjuangkan hak-hak mahasiswa sepenuhnya. Oleh karena itu, tepat kiranya jika penulis mengatakan bahwa UKM, BEM, atau organisasi lain yang berada di UGM sebenarnya adalah penjaga identitas UGM sebagai kampus kerakyatan dengan program kerja dan aksi yang dilakukannya.

Apa yang harus dilakukan oleh mahasiswa UGM, dalam konteks ini organisasi-organisasi mahasiswa di UGM? Penulis memiliki beberapa pendapat.

Pertama, organisasi mahasiswa di UGM harus membangun jaringan dengan aktivis-aktivis mahasiswa di luar UGM. Hal ini penting agar kritisisme mahasiswa UGM tidak hanya terkungkung di dalam kampus, tetapi juga dapat menjadi isu bersama di kalangan mahasiswa dari universitas lain. Keanggotaan BEM KM UGM dalam BEM Seluruh Indonesia patut diapresiasi walaupun aksi-aksi BEM SI lebih mengarah pada gerakan politik. Harapannya, UGM dapat menjadi avant garde dalam kegiatan-kegiatan mahasiswa yang positif dan konstruktif.

Kedua, mahasiswa UGM harus tetap menjalin hubungan dengan rakyat di akar rumput. Hal ini menjadi penting ketika mahasiswa UGM ingin menegaskan posisinya sebagai penjaga gawang identitas kerakyatan UGM. Kedekatan dengan rakyat akan menumbuhkan kesadaran bahwa rakyat miskin adalah bagian tak terpisahkan dari perjuangan. Kelak, hal ini dapat dijadikan sebuah agenda aksi dengan cara-cara yang lebih efektif dan mengenai sasaran.

Ketiga, aksi sosial (dalam hal ini aktivitas organisasi) hendaknya didasarkan atas analisis mendalam. Jika perlu, mahasiswa UGM dapat melakukan riset pendahuluan atas opini masyarakat agar kegiatan apapun yang dilakukan dapat mencapai sasaran. Hal ini penting karena aktivitas mahasiswa harus membawa manfaat bagi masyarakat. Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa elemen akademik tak dapat dipisahkan dari organisasi mahasiswa di UGM dan harus integral dengan aktivitas sosial mahasiswa. Hal ini senada dengan pendapat Ernest Mandel di atas, “integrasi antara teori dan praktik” [8].

Keempat, mahasiswa dan perangkat-perangkat organisasinya perlu merancang sebuah wacana besar dalam menyikapi sebuah masalah sosial. Kegiatan mahasiswa tentunya memiliki target-target tertentu. Untuk lebih memudahkan pencapaian target tersebut, organisasi mahasiswa dapat menghimpun aspirasi mahasiswa ke dalam sebuah tema besar yang kemudian dijadikan sebagai sebuah wacana besar. Harapannya, wacana tersebut dapat berkembang menjadi opini publik sehingga mahasiswa dapat bergerak lebih luwes dalam melakukan aktivitas sosial di tengah-tengah masyarakat secara langsung.

Epilog

Empat hal tersebut, menurut penulis, perlu dilakukan oleh segenap mahasiswa UGM ke depan. Mahasiswa telah memikul sebuah beban berat untuk menjadi pilar kelima demokrasi. Dengan demikian, muncul pekerjaan rumah bagi para aktivis mahasiswa UGM untuk dapat menunjukkan bahwa mahasiswa masih pantas untuk disebut sebagai pilar kelima demokrasi. Mari bekerja keras untuk mengemban amanah tersebut.

Maka, tak ada pilihan lain bagi mahasiswa selain bergerak untuk menuntaskan perubahan. Sudah siapkah anda, mahasiswa UGM?

Daftar Pustaka

Al-Banna, Hasan. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin (Solo: Era Intermedia, 2002, terjemahan).

Freire, Paulo. Pedagogy of Oppressed (London: Penguin Books, 1970).

Mandel, Ernest Gerakan Mahasiswa Revolusioner: Teori dan Praktek (http://www.marxists.org/indonesia/archive/mandel/index.htm)

Prasetyo, Eko, Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin: Soekarno, Semaoen, dan Muhammad Natsir (Yogyakarta: Resist, 2008).

Rakhmat, Jalaluddin Rekayasa Sosial: Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar? (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999).

Setyoko, Haryo. Realitas Politik dan Idealisme Mahasiswa. Kompas, 22 Mei 1999.

Sidiq, Mahfudz. KAMMI dan Pergulatan Reformasi: Kiprah Politik Aktivis Dakwah Kampus dalam Perjuangan Demokratisasi di Tengah Gelombang Krisis Nasional Multidimensi (Solo: Era Intermedia, 2003)



[1] Dikutip dari Eko Prasetyo, Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin: Soekarno, Semaoen, dan Muhammad Natsir (Yogyakarta: Resist, 2008). p. 10.

[2] Hasan Al-Banna. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin (Solo: Era Intermedia, 2002, terjemahan).

[3] Ernest Mandel, Gerakan Mahasiswa Revolusioner: Teori dan Praktek (http://www.marxists.org/indonesia/archive/mandel/index.htm)

[4] Paulo Freire, Pedagogy of Oppressed (London: Penguin Books, 1970).

[5] Jalaluddin Rakhmat, Rekayasa Sosial: Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar? (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999). pp. 187-189.

[6] Kompas, 22 Mei 1999. Dikutip oleh Mahfudz Sidiq, KAMMI dan Pergulatan Reformasi: Kiprah Politik Aktivis Dakwah Kampus dalam Perjuangan Demokratisasi di Tengah Gelombang Krisis Nasional Multidimensi (Solo: Era Intermedia, 2003). pp. 186-187.

[7] Ibid.

[8] Ernest Mandel, op.cit.

Tidak ada komentar: