Dosen Bertanya, Mahasiswa Menjawab
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM
1. Penanya: Jelaskan mengapa AS dan Cina berebut Sumber Daya Alam (terutama minyak) di Afrika dan mengapa strategi mereka berbeda?
Jawab : Seperti diketahui, Amerika Serikat dan Cina adalah dua negara besar yang menggantungkan hidup dari minyak. Persoalannya adalah, produksi minyak yang ada di wilayah negara mereka tidak mencukupi konsumsi yang begitu besar. Terlebih pasokan minyak untuk industri yang begitu pesat perkembangannya di dua negara ini menyebabkan perlunya pasokan minyak yang cukup Untuk itulah kedua negara ini melakukan ekspansi ke negara-negara berkembang untuk mencari sumber minyak baru.
Afrika sendiri bagaikan “surga” bagi produksi minyak dunia. Sumber minyak Cina yang berasal dari Afrika mencapai 28% total produksi Cina, sementara AS menghasilkan 15% dari total produksi mereka dari Afrika. Jumlah 15% ini diperkirakan meningkat menjadi 25% sepuluh tahun mendatang karena kebutuhan minyak yang besar dari AS. Sebagai sumber daya tak terbarukan, minyak memiliki kecenderungan untuk habis jika tidak dikelola dengan baik. Oleh karena itu, AS dan Cina memiliki kepentingan yang sama dalam persoalan ini dan harus memperebutkan sumber daya yang tersedia dengan strategi masing-masing.
Jika kita tinjau dari komposisi negara di dalamnya, Afrika terdiri atas banyak negara yang tingkat ekonominya lemah dan rentan konflik. Kendati demikian, sumber daya alam yang ada di Afrika tak bisa dikatakan sedikit. Dua variabel ini –lemahnya kondisi perekonomian dan sumber daya alam melimpah—menjadi peluang bagi negara-negara besar, dalam hal ini Cina dan AS, untuk mengekspansi pasar mereka ke sana sembari mencari sumber daya baru. Metode yang diterapkan jelas berbeda, tetapi sama-sama menggunakan pendekatan negara (realis) sebagai media.
Mengapa strategi yang diterapkan oleh kedua negara ini berbeda? Berdasarkan presentasi kelompok yang menyajikan masalah ini, AS dan Cina memiliki perbedaan dalam pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan sumber daya tersebut. Cina menggunakan pendekatan Beijing Consensus yang menitikberatkan strategi pada pendekatan yang saling menguntungkan kepada negara-negara yang berkepentingan dengan jalan perbaikan ekonomi, diplomasi publik, mengintensifkan leader’s visit (kunjungan kepala negara ke masing-masing negara) serta metode lain yang berkaitan dengan soft diplomacy. Mereka juga menerapkan prinsip non-intervensi dalam menjalin kerjasama.
Strategi berbeda diterapkan oleh AS. Seperti halnya strategi AS di negara-negara dunia ketiga lainnya, AS lebih mengedepankan hard power untuk mendapatkan sumber daya yang diinginkan. Tentu saja cara ini memerlukan dukungan berbagai elemen. Strategi AS, seperti diutarakan kelompok yang menyajikan masalah ini, adalah dengan menggunakan MNC (Multinational Corporation) untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang diinginkan, intervensi pada negara-negara yang tidak menurut pada kepentingan AS, serta penggunaan kekuatan lain yang bersifat koersif. AS juga menggunakan konsep Washington Consensus seperti privatsasi BUMN, perdagangan bebas, liberalisasi pasar, atau deregulasi kebijakan ekonomi (Williamson, 1990) yang pada intinya merupakan agenda besar liberalisasi ekonomi dunia.
Perbedaan strategi ini bermuara pada ideologi yang berbeda antara kedua negara tersebut. AS masih menerapkan konsep ekonomi neoliberal yang bertumpu pada penggunaan korporatokrasi atau kolaborasi antara negara, korporasi, dan ekonom-ekonom propasar untuk mendapatkan sumber daya yang diinginkan (Perkins, 2004). Akan tetapi, Cina dengan sentralisme ekonomi yang begitu kuat lebih mengedepankan pendekatn persuasif untuk mendapatkan simpati negara-negara Afrika.
Dengan demikian, perbedaan metode dalam proses kerjasama antara AS dan Cina pada gilirannya berimplikasi pada kompetisi yang semakin ketat.
2. Penanya: Jelaskan mengapa masalah domestik Myanmar membuat ASEAN menghadapi dilema dan dikecam dunia internasional?
Jawab : Salah satu prinsip pendirian ASEAN yang disepakati sejak awal pendiriannya adalah prinsip non-intervensi pada persoalan domestic suatu negara. Negara-negara anggota ASEAN pada umumnya masih menghormati kedaulatan negara lain dan enggan mencampuri konflik internal yang melanda salah satu negara anggotanya. Hal ini dimaksudkan agar hubungan baik yang terjalin antaranggota ASEAN dapat dijaga. Selain itu, hal ini juga menjadi penegasan bahwa ASEAN bukanlah pakta pertahanan dan tetap bersikap independent terhadap negara-negara di kawasan lain yang memiliki tendensi tertentu terhadap negara anggota ASEAN.
Sebenarnya, prinsip ini tidak menimbulkan masalah bagi negara-negara lain. Akan tetapi, masalah muncul di Myanmar (Burma) yang merupakan salah satu negara anggota ASEAN. Konflik internal yang terjadi antara junta militer pimpinan Jenderal Than Swee dengan kelompok prodemokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi telah membawa implikasi luas bagi politik luar negeri Myanmar. Dunia Internasional menganggap tindakan represif junta telah menodai demokrasi dan HAM. Apalagi sejak kerusuhan 2007 yang melibatkan para biksu meletus di beberapa kota besar di Myanmar, dunia internasional mulai berpikir bahwa isu Myanmar bukan lagi isu domestik, melainkan telah menjadi isu internasional yang memerlukan perhatian negara-negara tetangganya.
Lantas, bagaimana dengan ASEAN? Sebagai sebuah organisasi yang mewadahi partisipasi Myanmar dalam program-program yang dijalankannya, ASEAN tentu memiliki tanggung jawab moral yang cukup besar untuk mengembalikan stabilitas politik di negara tersebut. Akan tetapi, tanggung jawab tersebut harus berhadapan dengan prinsip non-intervensi yang dianut oleh ASEAN. Keengganan negara-negara anggota ASEAN untuk membantu Myanmar dalam tataran yang lebih luas mungkin dapat dimengerti, karena membantu menyelesaikan persoalan politik dalam negeri Myanmar berarti sama dengan mengintervensi negara tersebut. Sebab, kunci penyelesaian ada pada Aung San Suu Kyi dan Jenderal Than Swee, sementara mempertemukan dua tokoh ini akan membawa implikasi politik.
Jelas, ini menjadi dilema bagi ASEAN. Jika ASEAN membantu penyelesaian konflik internal Myanmar dengan pendekatan politik, misalnya dengan menemui Aung San Suu Kyi, akan terjadi ketegangan dengan junta militer yang tengah mengisolasi Suu Kyi. Akan tetapi, jika masalah ini didiamkan dengan membiarkan Myanmar menyelesaikan masalahnya dengan cara mereka sendiri, dunia internasional akan mengecam ASEAN karena tidak proaktif dalam penegakan HAM.
Dilema ini memerlukan langkah strategis dari pemimpin ASEAN. Pertanyaannya, sudah sejauh mana peran konkret kepala-kepala negara ASEAN dalam membantu penyelesaian konflik tersebut?Kita lihat saja nanti.
3. Penanya: Jelaskan peranan hukum internasional dalam menyelesaikan konflik Rwanda?
Jawab : Konflik Rwanda dapat kita lihat dari dua sisi.
Pertama, sisi politik. Konflik Rwanda sebenarnya lebih bernuansa etnis dan pada dasarnya memerlukan pihak ketiga sebagai penengah. Dalam kasus Rwanda, pertikaian etnis Huttu dan Tutsi merupakan implikasi dari sentimen antaretnis berkepanjangan. Konflik yang terjadi di antara mereka sebenarnya merupakan akumulasi dari konflik-konflik kecil yang dipelihara sehingga tumbuh menjadi ancaman bagi stabilitas negara.
Akibatnya, sebuah serangan sporadis yang dilancarkan oleh segelintir oknum suku Tutsi justru menjadi momentum serangan terencana yang dilakukan oleh suku Huttu, sehingga memicu genosida yang berimplikasi hukum. Lebih ironis lagi, tindakan suku Huttu ini justru dilegitimasi oleh negara dengan perangkat-perangkat politiknya, sehingga kelompok yang menjadi lawan suku ini semakin ditindas.
Kedua, sisi hukum. Kasus Rwanda, sebagaimana dipaparkan oleh kelompok yang mempresentasikan masalah ini, jelas merupakan kasus yang berkaitan dengan pelanggaran hukum internasional. Ada beberapa pasal dari Konvensi Jenewa yang dilakukan oleh kelompok terkait, misalnya pasal yang berkaitan dengan pembunuhan missal, penelantaran, atau pengusiran paksa. Dalam kacamata hukum humaniter internasional, pelanggaran ini sudah dapat digolongkan pada genosida atau pembersihan etnis.
Dua perspektif di atas saling berkaitan jika kita kaitkan dengan konteks pertanyaan “bagaimana peranan hukum internasional dalam penyelesaian konflik Rwanda?”. Perkara mengadili pelaku kejahatan genosida di Rwanda merupakan perkara hukum internasional. Akan tetapi, sejauh manakah efektivitas hukum internasional tersebut dalam mengembalikan stabilitas politik di Rwanda?
Peranan hukum internasional pertama di sini adalah dengan tribunal genosida yang dilakukan di Rwanda. Penuntut dari pengadilan kriminal internasional telah bertindak sesuai statuta Roma, Pasal 13 B, "A situation in which one or more of such crimes appears to have been committed is referred to the Prosecutor by the Security Council acting under Chapter VII of the Charter of the United Nations”. Dengan langkah ini, hukum internasional telah memberikan langkah preventif atas melebarnya konflik.
Selain itu, hukum internasional dalam hal ini juga mengusut indikasi pelanggaran HAM atas pasal-pasal yang dilanggar oleh suku terkait. Peluang yang muncul untuk menjadi titik terang adalah peluang untuk dapat mengembalikan hak-hak kaum yang termarjinalkan akibat konflik antaretnis yang terjadi. Konvensi Jenewa juga diharapkan dapat mengatur kedua belah pihak untuk meneruskan penyelesaian konflik ke meja perundingan dengan kekuatan yang lebih berimbang tanpa adanya indikasi pelanggaran HAM.
Dengan adanya ketentuan yang mengikat dari hukum internasional tersebut, subordinasi dari satu suku ke suku yang lainnya dapat dihilangkan dan keadilan dapat lebih dijamin.
4. Penanya: Jelaskan pengaruh isu nuklir Iran dan Korea Utara terhadap politik interasional!
Jawab : Isu nuklir menjadi isu yang cukup hangat pasca-perang dingin. Ketika dunia tidak lagi dikhawatirkan oleh perang teknologi nuklir antara Uni Sovyet dan Amerika Serikat, muncul inisiatif dari dua negara berkembang, yaitu Iran dan Korea Utara, untuk mengembangkan teknologi nuklir sebagai sumber energi. Ide ini cukup beralasan: Dua negara ini mengalami krisis energi di tengah keterbatasan sumber daya yang mereka miliki.
Namun, masalah muncul ketika Amerika Serikat sebagai negara adidaya menganggap ide pengembangan teknologi nuklir untuk energi ini sebagai “ancaman” bagi kemaslahatan dunia. Alasannya sederhana: dua negara yang akan mengembangkan teknologi nuklir ini tidak masuk dalam negara yang memiliki lisensi untuk mengembangkan nuklir sesuai perjanjian proliferasi nuklir yang telah ditandatangani.
Oleh karena sikap Amerika Serikat inilah, terjadi ketegangan dalam forum-forum PBB yang kemudian melibatkan IAEA sebagai badan pengawas atom internasional untuk melakukan penyelidikan di negara-negara ini. Situasi semakin menghangat karena Iran dan Korea Utara dipimpin oleh dua kepala negara yang cukup tegas dalam menentukan sikap serta tidak mudah diintervensi.
Iran yang dipimpin oleh Mahmoud Ahmadinejad jelas khawatir hasil inspeksi IAEA disalahgunakan oleh Amerika Serikat sebagai alat untuk melegitimasi kepentingan mereka seperti halnya di Irak. Begitu pula Korea Utara yang dipimpin oleh Kim Jong-Il yang juga menolak kepentingan asing masuk ke dalam negeri mereka, apalagi hal ini dapat mengganggu proses perundingan antara Korea Utara dan Korea Selatan yang masih berlangsung. Kendati demikian, kedua negara masih bersikap terbuka terhadap IAEA dan memberi informasi strategis terkait persoalan ini.
Akan tetapi, sikap tegas dua negara ini menyebabkan konstelasi politik internasional menghangat. Amerika Serikat telah menawarkan rancangan resolusi terkait nuklir Iran ke PBB, yang disambut oleh serangkaian adu urat saraf dari Ahmadinejad. Apalagi, AS memasukkan Iran bersama Korea Utara dan Venezuela sebagai negara “poros setan”. Perdebatan di forum PBB seringkali diwarnai oleh pernyataan-pernyataan politis dari delegasi masing-masing negara, sehingga muncul indikasi kasus ini akan membawa elemen militer, seperti halnya Irak.
Kondisi ini jelas mengkhawatirkan. Ini artinya, sistem politik internasional yang unipolar telah membawa sebuah masalah bagi pengembangan teknologi nuklir yang sebenarnya ditujukan bagi kepentingan pendidikan dan energi. Memanasnya konstelasi politik internasional ini seharusnya menjadi perhatian semua negara yang berinteraksi dengan Iran, tak terkecuali Indonesia yang memiliki kedekatan dengan Iran secara ideologi dan agama.
5. Penanya: a. Jelaskan Peran ASEAN dalam memajukan pariwisata di antara negaranya?
b. Apa yang dimaksud dengan AFTA?
Jawab : a. ASEAN merupakan organisasi yang salah satu programnya adalah peningkatan kerjasama di bidang pariwisata, pendidikan, dan kebudayaan. Pengembangan pariwisata ASEAN dilakukan dengan berbagai program yang bersifat promosi dan propaganda di dunia internasional untuk mendatangkan turis dan investor.
Ada beberapa langkah yang dilakukan oleh ASEAN terkait masalah ini.
Pertama, ASEAN melakukan program pertukaran pemuda/pelajar. Program pertukaran pemuda/pelajar ini dilakukan dengan memperkenalkan budaya negara-negara di ASEAN kepada para pelajar yang terpilih menjadi duta negaranya, sehingga diharapkan para pelajar/pemuda tersebut memiliki pengetahuan yang luas mengenai budaya negara lain, serta juga memiliki cultural understanding yang memadai. Dengan pengetahuan tersebut, para duta dapat melakukan sosialisasi berkaitan dengan potensi pariwisata dari negara yang didatanginya kepada masyarakat di negaranya. Dari sinilah peluang investasi dan pariwisata dapat ditangkap.
Kedua, potensi media massa sebagai alat propaganda untuk pariwisata. Media massa yang disebut-sebut sebagai pilar demokrasi keempat akan sangat besar peranannya dalam mempromosikan pariwisata. Salah satu program ASEAN yaitu pertukaran berita antaranggota ASEAN yang pernah melibatkan TVRI, TV3, dan stasiun TV lain cukup potensial untuk merebut hati turis. Potensi ini akan semakin berkembang jika disertai promosi ke media massa luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah.
Ketiga, promosi pariwisata ke dunia internasional melalui pertemuan setingkat menteri antara anggota ASEAN dengan negara-negara luar. Salah satunya adalah pertemuan antara para pemimpin negara ASEAN dengan Cina beberapa waktu yang lalu. Tak hanya itu, para menteri pariwisata negara-negara ASEAN telah meluncurkan sebuah komitmen bersama untuk perbaikan kualitas kepariwisataan negara-negara ASEAN melalui Deklarasi Langkawi, 2005. Komitmen bersama itu dapat menjadi tolak ukur pengembangan pariwisata. Apalagi, liberalisasi sektor jasa pariwisata akan diterapkan pada 2010 mendatang.
Sejauh ini, tiga langkah di atas masih dijalankan dalam bentuk program-program ASEAN. Kita nantikan saja kemajuan yang diperoleh dengan inisiasi lain dari negara-negara anggotanya
b. AFTA (Asian Free Trade Area) merupakan sebuah kawasan perdagangan bebas yang berada di Asia Tenggara dan berlaku untuk negara-negara yang siap melakukan perdagangan bebas dengan mekanisme CEPT (Common Effictively Preferential Tariffs). AFTA bukan merupakan sebuah organisasi dan tidak memiliki hubungan administratif dengan ASEAN, tetapi memiliki beberapa keterkaitan dengan negara-negara anggota ASEAN tersebut.
CEPT sendiri adalah metode preferensi tarif perdagangan bagi ekspor dan impor beberapa produk. Situs Departemen Perindustrian menyebutkan bahwa mekanisme CEPT adalah program tahapan penurunan tarif dan penghapusan hambatan nontarif. Pembatasan kuantitatif dihapuskan segera setelah suatu produk menikmati konsesi CEPT, sedangkan hambatan nontarif jangka waktu lima tahun setelah suatu produk menikmati CEPT. Prasetiantono (2000) menyatakan bahwa Indonesia sebenarnya telah mempersiapkan era ini dengan serangkaian kebijakan deregulasi di sektor riil dengan penurunan tarif dan adanya kemudahan investasi melalui UU Penanaman Modal Asing.
Ketika kita berbicara mengenai AFTA, kita tentu tidak akan melupakan dua forum/organisasi lain yang juga cenderung mengagendakan pasar bebas: APEC dan WTO. Meski secara internal masih banyak perdebatan, APEC dan WTO tampaknya sangat ingin mengagendakan liberalisasi perdagangan dengan mekanisme penurunan tarif. Akan tetapi, krisis finansial yang merontokkan pasar modal AS dan Eropa setidaknya membuat para pemimpin di APEC dan WTO berpikir dua kali untuk segera menerapkan skema perdagangan bebas ini. Karena, rontoknya pasar modal akan sangat berpengaruh pada sektor riil yang menjadi tulang punggung masing-masing negara di perdagangan bebas.
Begitu pula dengan AFTA. Ketika pasar modal tidak beroperasi secara efisien, skema perdagangan bebas yang menuntut adanya deregulasi dan kemudahan berinvestasi dapat menjadi bumerang bagi negara-negara yang menyandarkan perekonomiannya pada sektor riil seperti Indonesia. Meski demikian, persiapan masih perlu dilakukan, termasuk menyelamatkan perekonomian kita sebelum badai krisis di pasar modal ini menyentuh sektor-sektor penting lain yang melemahkan indikator makroekonomi kita.
6. Penanya: Jelaskan mengapa konflik Darfur, Sudan, sulit diselesaikan oleh hukum internasional?
Jawab : Membaca kasus pelanggaran HAM di Sudan berarti juga membaca konflik yang melatarbelakanginya. Sebelum mengulas kesulitan penyelsaian konflik dengan hukum unternasionak, kita perlu menganalisis akar dan proses terjadinya peperangan yang melatarbelakanginya secara ringkas karena proses penyelesaian kasus Darfur berkaitan erat dengan konstelasi politik, sistem hukum, dan dimensi internasional yang ada di sana.
Berdasarkan telaahan kelompok yang membahas isu ini, terungkap bahwa konflik Darfur bermula dari ketegangan antara milisi Janjaweed yang didukung oleh pemerintah dengan kelompok pemberontak di Selatan Sudan. Implikasinya fatal: Ratusan ribu waga sipil mengungsi; ada yang tewas karena peperangan tanpa perlindungan. Sedikitnya 200.000 orang menjadi korban atas konflik ini sehingga beberapa kelompok pegiat HAM dan PBB menganggap telah terjadi genosida di daerah ini. Arus pengungsi bahkan sampai ke Chad dan memberi ekses bagi negara tersebut.
Kesulitan pertama yang muncul untuk menyelesaikan masalah ini datang dari Sudan sendiri. Omar Bashir, presiden Sudan yang dituduh oleh International Criminal Court (ICC) telah melakukan genosida masih dianggap oleh warga Sudan sebagai presiden yang sah; parlemen dan pemerintahan Sudan secara resmi tidak ingin Presiden mereka dibawa ke ICC. Selain itu, pemerintah Sudan tidak menganggap kasus ini sebagai genosida dan pihak militer masih berkuasa untuk membatasi hal-hal yang mengganggu stabilitas negara.
Kesulitan kedua, Sudan ternyata tidak meratifikasi Statuta Roma sehingga mereka tidak terikat pada ketentuan untuk menyerahkan tersangka kejahatan internasional yang dituduhkan oleh ICC. Sistem hukum Sudan yang merupakan gabungan dari hukum sipil, syariah, dan hukum adat juga tidak memiliki mekanisme untuk mengadili presiden mereka atau pelaku kejahatan yang lain sehingga hukum di Sudan tidak menjamah kasus genosida ini. Ketika pendekatan hukum internasional ditawarkan, muncul penolakan dari pemerintah.
Kesulitan ketiga adalah dominasi militer Sudan yang tampaknya menganggap kasus Darfur adalah kasus nasional serta lemahnya peran tentara dari Uni Afrika yang hanya berkisar dalam jumlah 7.000. Akibatnya, posisi Uni Afrika hanya sebagai penjaga perdamaian di wilayah konflik. Mereka tidak memiliki otoritas untuk melemahkan kekuatan militer Sudan. Hal ini berbeda dengan kasus Rwanda yang memiliki tribunal genosida serta kekuatan militer yang mampu tunduk pada otoritas sipil (diplomasi).
Tiga faktor di atas menjadi titik lemah penegakan hukum internasional dalam penyelesaian kasus Sudan. Untuk itu, peran serta negara tetangga (Uni Afrika) sangat diperlukan dalam mediasi konflik dan tuntutan dari ICC perlu diteruskan untuk menjaga keadilan dan stabilitas hukum di kawasan konflik.
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM
1. Penanya: Jelaskan mengapa AS dan Cina berebut Sumber Daya Alam (terutama minyak) di Afrika dan mengapa strategi mereka berbeda?
Jawab : Seperti diketahui, Amerika Serikat dan Cina adalah dua negara besar yang menggantungkan hidup dari minyak. Persoalannya adalah, produksi minyak yang ada di wilayah negara mereka tidak mencukupi konsumsi yang begitu besar. Terlebih pasokan minyak untuk industri yang begitu pesat perkembangannya di dua negara ini menyebabkan perlunya pasokan minyak yang cukup Untuk itulah kedua negara ini melakukan ekspansi ke negara-negara berkembang untuk mencari sumber minyak baru.
Afrika sendiri bagaikan “surga” bagi produksi minyak dunia. Sumber minyak Cina yang berasal dari Afrika mencapai 28% total produksi Cina, sementara AS menghasilkan 15% dari total produksi mereka dari Afrika. Jumlah 15% ini diperkirakan meningkat menjadi 25% sepuluh tahun mendatang karena kebutuhan minyak yang besar dari AS. Sebagai sumber daya tak terbarukan, minyak memiliki kecenderungan untuk habis jika tidak dikelola dengan baik. Oleh karena itu, AS dan Cina memiliki kepentingan yang sama dalam persoalan ini dan harus memperebutkan sumber daya yang tersedia dengan strategi masing-masing.
Jika kita tinjau dari komposisi negara di dalamnya, Afrika terdiri atas banyak negara yang tingkat ekonominya lemah dan rentan konflik. Kendati demikian, sumber daya alam yang ada di Afrika tak bisa dikatakan sedikit. Dua variabel ini –lemahnya kondisi perekonomian dan sumber daya alam melimpah—menjadi peluang bagi negara-negara besar, dalam hal ini Cina dan AS, untuk mengekspansi pasar mereka ke sana sembari mencari sumber daya baru. Metode yang diterapkan jelas berbeda, tetapi sama-sama menggunakan pendekatan negara (realis) sebagai media.
Mengapa strategi yang diterapkan oleh kedua negara ini berbeda? Berdasarkan presentasi kelompok yang menyajikan masalah ini, AS dan Cina memiliki perbedaan dalam pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan sumber daya tersebut. Cina menggunakan pendekatan Beijing Consensus yang menitikberatkan strategi pada pendekatan yang saling menguntungkan kepada negara-negara yang berkepentingan dengan jalan perbaikan ekonomi, diplomasi publik, mengintensifkan leader’s visit (kunjungan kepala negara ke masing-masing negara) serta metode lain yang berkaitan dengan soft diplomacy. Mereka juga menerapkan prinsip non-intervensi dalam menjalin kerjasama.
Strategi berbeda diterapkan oleh AS. Seperti halnya strategi AS di negara-negara dunia ketiga lainnya, AS lebih mengedepankan hard power untuk mendapatkan sumber daya yang diinginkan. Tentu saja cara ini memerlukan dukungan berbagai elemen. Strategi AS, seperti diutarakan kelompok yang menyajikan masalah ini, adalah dengan menggunakan MNC (Multinational Corporation) untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang diinginkan, intervensi pada negara-negara yang tidak menurut pada kepentingan AS, serta penggunaan kekuatan lain yang bersifat koersif. AS juga menggunakan konsep Washington Consensus seperti privatsasi BUMN, perdagangan bebas, liberalisasi pasar, atau deregulasi kebijakan ekonomi (Williamson, 1990) yang pada intinya merupakan agenda besar liberalisasi ekonomi dunia.
Perbedaan strategi ini bermuara pada ideologi yang berbeda antara kedua negara tersebut. AS masih menerapkan konsep ekonomi neoliberal yang bertumpu pada penggunaan korporatokrasi atau kolaborasi antara negara, korporasi, dan ekonom-ekonom propasar untuk mendapatkan sumber daya yang diinginkan (Perkins, 2004). Akan tetapi, Cina dengan sentralisme ekonomi yang begitu kuat lebih mengedepankan pendekatn persuasif untuk mendapatkan simpati negara-negara Afrika.
Dengan demikian, perbedaan metode dalam proses kerjasama antara AS dan Cina pada gilirannya berimplikasi pada kompetisi yang semakin ketat.
2. Penanya: Jelaskan mengapa masalah domestik Myanmar membuat ASEAN menghadapi dilema dan dikecam dunia internasional?
Jawab : Salah satu prinsip pendirian ASEAN yang disepakati sejak awal pendiriannya adalah prinsip non-intervensi pada persoalan domestic suatu negara. Negara-negara anggota ASEAN pada umumnya masih menghormati kedaulatan negara lain dan enggan mencampuri konflik internal yang melanda salah satu negara anggotanya. Hal ini dimaksudkan agar hubungan baik yang terjalin antaranggota ASEAN dapat dijaga. Selain itu, hal ini juga menjadi penegasan bahwa ASEAN bukanlah pakta pertahanan dan tetap bersikap independent terhadap negara-negara di kawasan lain yang memiliki tendensi tertentu terhadap negara anggota ASEAN.
Sebenarnya, prinsip ini tidak menimbulkan masalah bagi negara-negara lain. Akan tetapi, masalah muncul di Myanmar (Burma) yang merupakan salah satu negara anggota ASEAN. Konflik internal yang terjadi antara junta militer pimpinan Jenderal Than Swee dengan kelompok prodemokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi telah membawa implikasi luas bagi politik luar negeri Myanmar. Dunia Internasional menganggap tindakan represif junta telah menodai demokrasi dan HAM. Apalagi sejak kerusuhan 2007 yang melibatkan para biksu meletus di beberapa kota besar di Myanmar, dunia internasional mulai berpikir bahwa isu Myanmar bukan lagi isu domestik, melainkan telah menjadi isu internasional yang memerlukan perhatian negara-negara tetangganya.
Lantas, bagaimana dengan ASEAN? Sebagai sebuah organisasi yang mewadahi partisipasi Myanmar dalam program-program yang dijalankannya, ASEAN tentu memiliki tanggung jawab moral yang cukup besar untuk mengembalikan stabilitas politik di negara tersebut. Akan tetapi, tanggung jawab tersebut harus berhadapan dengan prinsip non-intervensi yang dianut oleh ASEAN. Keengganan negara-negara anggota ASEAN untuk membantu Myanmar dalam tataran yang lebih luas mungkin dapat dimengerti, karena membantu menyelesaikan persoalan politik dalam negeri Myanmar berarti sama dengan mengintervensi negara tersebut. Sebab, kunci penyelesaian ada pada Aung San Suu Kyi dan Jenderal Than Swee, sementara mempertemukan dua tokoh ini akan membawa implikasi politik.
Jelas, ini menjadi dilema bagi ASEAN. Jika ASEAN membantu penyelesaian konflik internal Myanmar dengan pendekatan politik, misalnya dengan menemui Aung San Suu Kyi, akan terjadi ketegangan dengan junta militer yang tengah mengisolasi Suu Kyi. Akan tetapi, jika masalah ini didiamkan dengan membiarkan Myanmar menyelesaikan masalahnya dengan cara mereka sendiri, dunia internasional akan mengecam ASEAN karena tidak proaktif dalam penegakan HAM.
Dilema ini memerlukan langkah strategis dari pemimpin ASEAN. Pertanyaannya, sudah sejauh mana peran konkret kepala-kepala negara ASEAN dalam membantu penyelesaian konflik tersebut?Kita lihat saja nanti.
3. Penanya: Jelaskan peranan hukum internasional dalam menyelesaikan konflik Rwanda?
Jawab : Konflik Rwanda dapat kita lihat dari dua sisi.
Pertama, sisi politik. Konflik Rwanda sebenarnya lebih bernuansa etnis dan pada dasarnya memerlukan pihak ketiga sebagai penengah. Dalam kasus Rwanda, pertikaian etnis Huttu dan Tutsi merupakan implikasi dari sentimen antaretnis berkepanjangan. Konflik yang terjadi di antara mereka sebenarnya merupakan akumulasi dari konflik-konflik kecil yang dipelihara sehingga tumbuh menjadi ancaman bagi stabilitas negara.
Akibatnya, sebuah serangan sporadis yang dilancarkan oleh segelintir oknum suku Tutsi justru menjadi momentum serangan terencana yang dilakukan oleh suku Huttu, sehingga memicu genosida yang berimplikasi hukum. Lebih ironis lagi, tindakan suku Huttu ini justru dilegitimasi oleh negara dengan perangkat-perangkat politiknya, sehingga kelompok yang menjadi lawan suku ini semakin ditindas.
Kedua, sisi hukum. Kasus Rwanda, sebagaimana dipaparkan oleh kelompok yang mempresentasikan masalah ini, jelas merupakan kasus yang berkaitan dengan pelanggaran hukum internasional. Ada beberapa pasal dari Konvensi Jenewa yang dilakukan oleh kelompok terkait, misalnya pasal yang berkaitan dengan pembunuhan missal, penelantaran, atau pengusiran paksa. Dalam kacamata hukum humaniter internasional, pelanggaran ini sudah dapat digolongkan pada genosida atau pembersihan etnis.
Dua perspektif di atas saling berkaitan jika kita kaitkan dengan konteks pertanyaan “bagaimana peranan hukum internasional dalam penyelesaian konflik Rwanda?”. Perkara mengadili pelaku kejahatan genosida di Rwanda merupakan perkara hukum internasional. Akan tetapi, sejauh manakah efektivitas hukum internasional tersebut dalam mengembalikan stabilitas politik di Rwanda?
Peranan hukum internasional pertama di sini adalah dengan tribunal genosida yang dilakukan di Rwanda. Penuntut dari pengadilan kriminal internasional telah bertindak sesuai statuta Roma, Pasal 13 B, "A situation in which one or more of such crimes appears to have been committed is referred to the Prosecutor by the Security Council acting under Chapter VII of the Charter of the United Nations”. Dengan langkah ini, hukum internasional telah memberikan langkah preventif atas melebarnya konflik.
Selain itu, hukum internasional dalam hal ini juga mengusut indikasi pelanggaran HAM atas pasal-pasal yang dilanggar oleh suku terkait. Peluang yang muncul untuk menjadi titik terang adalah peluang untuk dapat mengembalikan hak-hak kaum yang termarjinalkan akibat konflik antaretnis yang terjadi. Konvensi Jenewa juga diharapkan dapat mengatur kedua belah pihak untuk meneruskan penyelesaian konflik ke meja perundingan dengan kekuatan yang lebih berimbang tanpa adanya indikasi pelanggaran HAM.
Dengan adanya ketentuan yang mengikat dari hukum internasional tersebut, subordinasi dari satu suku ke suku yang lainnya dapat dihilangkan dan keadilan dapat lebih dijamin.
4. Penanya: Jelaskan pengaruh isu nuklir Iran dan Korea Utara terhadap politik interasional!
Jawab : Isu nuklir menjadi isu yang cukup hangat pasca-perang dingin. Ketika dunia tidak lagi dikhawatirkan oleh perang teknologi nuklir antara Uni Sovyet dan Amerika Serikat, muncul inisiatif dari dua negara berkembang, yaitu Iran dan Korea Utara, untuk mengembangkan teknologi nuklir sebagai sumber energi. Ide ini cukup beralasan: Dua negara ini mengalami krisis energi di tengah keterbatasan sumber daya yang mereka miliki.
Namun, masalah muncul ketika Amerika Serikat sebagai negara adidaya menganggap ide pengembangan teknologi nuklir untuk energi ini sebagai “ancaman” bagi kemaslahatan dunia. Alasannya sederhana: dua negara yang akan mengembangkan teknologi nuklir ini tidak masuk dalam negara yang memiliki lisensi untuk mengembangkan nuklir sesuai perjanjian proliferasi nuklir yang telah ditandatangani.
Oleh karena sikap Amerika Serikat inilah, terjadi ketegangan dalam forum-forum PBB yang kemudian melibatkan IAEA sebagai badan pengawas atom internasional untuk melakukan penyelidikan di negara-negara ini. Situasi semakin menghangat karena Iran dan Korea Utara dipimpin oleh dua kepala negara yang cukup tegas dalam menentukan sikap serta tidak mudah diintervensi.
Iran yang dipimpin oleh Mahmoud Ahmadinejad jelas khawatir hasil inspeksi IAEA disalahgunakan oleh Amerika Serikat sebagai alat untuk melegitimasi kepentingan mereka seperti halnya di Irak. Begitu pula Korea Utara yang dipimpin oleh Kim Jong-Il yang juga menolak kepentingan asing masuk ke dalam negeri mereka, apalagi hal ini dapat mengganggu proses perundingan antara Korea Utara dan Korea Selatan yang masih berlangsung. Kendati demikian, kedua negara masih bersikap terbuka terhadap IAEA dan memberi informasi strategis terkait persoalan ini.
Akan tetapi, sikap tegas dua negara ini menyebabkan konstelasi politik internasional menghangat. Amerika Serikat telah menawarkan rancangan resolusi terkait nuklir Iran ke PBB, yang disambut oleh serangkaian adu urat saraf dari Ahmadinejad. Apalagi, AS memasukkan Iran bersama Korea Utara dan Venezuela sebagai negara “poros setan”. Perdebatan di forum PBB seringkali diwarnai oleh pernyataan-pernyataan politis dari delegasi masing-masing negara, sehingga muncul indikasi kasus ini akan membawa elemen militer, seperti halnya Irak.
Kondisi ini jelas mengkhawatirkan. Ini artinya, sistem politik internasional yang unipolar telah membawa sebuah masalah bagi pengembangan teknologi nuklir yang sebenarnya ditujukan bagi kepentingan pendidikan dan energi. Memanasnya konstelasi politik internasional ini seharusnya menjadi perhatian semua negara yang berinteraksi dengan Iran, tak terkecuali Indonesia yang memiliki kedekatan dengan Iran secara ideologi dan agama.
5. Penanya: a. Jelaskan Peran ASEAN dalam memajukan pariwisata di antara negaranya?
b. Apa yang dimaksud dengan AFTA?
Jawab : a. ASEAN merupakan organisasi yang salah satu programnya adalah peningkatan kerjasama di bidang pariwisata, pendidikan, dan kebudayaan. Pengembangan pariwisata ASEAN dilakukan dengan berbagai program yang bersifat promosi dan propaganda di dunia internasional untuk mendatangkan turis dan investor.
Ada beberapa langkah yang dilakukan oleh ASEAN terkait masalah ini.
Pertama, ASEAN melakukan program pertukaran pemuda/pelajar. Program pertukaran pemuda/pelajar ini dilakukan dengan memperkenalkan budaya negara-negara di ASEAN kepada para pelajar yang terpilih menjadi duta negaranya, sehingga diharapkan para pelajar/pemuda tersebut memiliki pengetahuan yang luas mengenai budaya negara lain, serta juga memiliki cultural understanding yang memadai. Dengan pengetahuan tersebut, para duta dapat melakukan sosialisasi berkaitan dengan potensi pariwisata dari negara yang didatanginya kepada masyarakat di negaranya. Dari sinilah peluang investasi dan pariwisata dapat ditangkap.
Kedua, potensi media massa sebagai alat propaganda untuk pariwisata. Media massa yang disebut-sebut sebagai pilar demokrasi keempat akan sangat besar peranannya dalam mempromosikan pariwisata. Salah satu program ASEAN yaitu pertukaran berita antaranggota ASEAN yang pernah melibatkan TVRI, TV3, dan stasiun TV lain cukup potensial untuk merebut hati turis. Potensi ini akan semakin berkembang jika disertai promosi ke media massa luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah.
Ketiga, promosi pariwisata ke dunia internasional melalui pertemuan setingkat menteri antara anggota ASEAN dengan negara-negara luar. Salah satunya adalah pertemuan antara para pemimpin negara ASEAN dengan Cina beberapa waktu yang lalu. Tak hanya itu, para menteri pariwisata negara-negara ASEAN telah meluncurkan sebuah komitmen bersama untuk perbaikan kualitas kepariwisataan negara-negara ASEAN melalui Deklarasi Langkawi, 2005. Komitmen bersama itu dapat menjadi tolak ukur pengembangan pariwisata. Apalagi, liberalisasi sektor jasa pariwisata akan diterapkan pada 2010 mendatang.
Sejauh ini, tiga langkah di atas masih dijalankan dalam bentuk program-program ASEAN. Kita nantikan saja kemajuan yang diperoleh dengan inisiasi lain dari negara-negara anggotanya
b. AFTA (Asian Free Trade Area) merupakan sebuah kawasan perdagangan bebas yang berada di Asia Tenggara dan berlaku untuk negara-negara yang siap melakukan perdagangan bebas dengan mekanisme CEPT (Common Effictively Preferential Tariffs). AFTA bukan merupakan sebuah organisasi dan tidak memiliki hubungan administratif dengan ASEAN, tetapi memiliki beberapa keterkaitan dengan negara-negara anggota ASEAN tersebut.
CEPT sendiri adalah metode preferensi tarif perdagangan bagi ekspor dan impor beberapa produk. Situs Departemen Perindustrian menyebutkan bahwa mekanisme CEPT adalah program tahapan penurunan tarif dan penghapusan hambatan nontarif. Pembatasan kuantitatif dihapuskan segera setelah suatu produk menikmati konsesi CEPT, sedangkan hambatan nontarif jangka waktu lima tahun setelah suatu produk menikmati CEPT. Prasetiantono (2000) menyatakan bahwa Indonesia sebenarnya telah mempersiapkan era ini dengan serangkaian kebijakan deregulasi di sektor riil dengan penurunan tarif dan adanya kemudahan investasi melalui UU Penanaman Modal Asing.
Ketika kita berbicara mengenai AFTA, kita tentu tidak akan melupakan dua forum/organisasi lain yang juga cenderung mengagendakan pasar bebas: APEC dan WTO. Meski secara internal masih banyak perdebatan, APEC dan WTO tampaknya sangat ingin mengagendakan liberalisasi perdagangan dengan mekanisme penurunan tarif. Akan tetapi, krisis finansial yang merontokkan pasar modal AS dan Eropa setidaknya membuat para pemimpin di APEC dan WTO berpikir dua kali untuk segera menerapkan skema perdagangan bebas ini. Karena, rontoknya pasar modal akan sangat berpengaruh pada sektor riil yang menjadi tulang punggung masing-masing negara di perdagangan bebas.
Begitu pula dengan AFTA. Ketika pasar modal tidak beroperasi secara efisien, skema perdagangan bebas yang menuntut adanya deregulasi dan kemudahan berinvestasi dapat menjadi bumerang bagi negara-negara yang menyandarkan perekonomiannya pada sektor riil seperti Indonesia. Meski demikian, persiapan masih perlu dilakukan, termasuk menyelamatkan perekonomian kita sebelum badai krisis di pasar modal ini menyentuh sektor-sektor penting lain yang melemahkan indikator makroekonomi kita.
6. Penanya: Jelaskan mengapa konflik Darfur, Sudan, sulit diselesaikan oleh hukum internasional?
Jawab : Membaca kasus pelanggaran HAM di Sudan berarti juga membaca konflik yang melatarbelakanginya. Sebelum mengulas kesulitan penyelsaian konflik dengan hukum unternasionak, kita perlu menganalisis akar dan proses terjadinya peperangan yang melatarbelakanginya secara ringkas karena proses penyelesaian kasus Darfur berkaitan erat dengan konstelasi politik, sistem hukum, dan dimensi internasional yang ada di sana.
Berdasarkan telaahan kelompok yang membahas isu ini, terungkap bahwa konflik Darfur bermula dari ketegangan antara milisi Janjaweed yang didukung oleh pemerintah dengan kelompok pemberontak di Selatan Sudan. Implikasinya fatal: Ratusan ribu waga sipil mengungsi; ada yang tewas karena peperangan tanpa perlindungan. Sedikitnya 200.000 orang menjadi korban atas konflik ini sehingga beberapa kelompok pegiat HAM dan PBB menganggap telah terjadi genosida di daerah ini. Arus pengungsi bahkan sampai ke Chad dan memberi ekses bagi negara tersebut.
Kesulitan pertama yang muncul untuk menyelesaikan masalah ini datang dari Sudan sendiri. Omar Bashir, presiden Sudan yang dituduh oleh International Criminal Court (ICC) telah melakukan genosida masih dianggap oleh warga Sudan sebagai presiden yang sah; parlemen dan pemerintahan Sudan secara resmi tidak ingin Presiden mereka dibawa ke ICC. Selain itu, pemerintah Sudan tidak menganggap kasus ini sebagai genosida dan pihak militer masih berkuasa untuk membatasi hal-hal yang mengganggu stabilitas negara.
Kesulitan kedua, Sudan ternyata tidak meratifikasi Statuta Roma sehingga mereka tidak terikat pada ketentuan untuk menyerahkan tersangka kejahatan internasional yang dituduhkan oleh ICC. Sistem hukum Sudan yang merupakan gabungan dari hukum sipil, syariah, dan hukum adat juga tidak memiliki mekanisme untuk mengadili presiden mereka atau pelaku kejahatan yang lain sehingga hukum di Sudan tidak menjamah kasus genosida ini. Ketika pendekatan hukum internasional ditawarkan, muncul penolakan dari pemerintah.
Kesulitan ketiga adalah dominasi militer Sudan yang tampaknya menganggap kasus Darfur adalah kasus nasional serta lemahnya peran tentara dari Uni Afrika yang hanya berkisar dalam jumlah 7.000. Akibatnya, posisi Uni Afrika hanya sebagai penjaga perdamaian di wilayah konflik. Mereka tidak memiliki otoritas untuk melemahkan kekuatan militer Sudan. Hal ini berbeda dengan kasus Rwanda yang memiliki tribunal genosida serta kekuatan militer yang mampu tunduk pada otoritas sipil (diplomasi).
Tiga faktor di atas menjadi titik lemah penegakan hukum internasional dalam penyelesaian kasus Sudan. Untuk itu, peran serta negara tetangga (Uni Afrika) sangat diperlukan dalam mediasi konflik dan tuntutan dari ICC perlu diteruskan untuk menjaga keadilan dan stabilitas hukum di kawasan konflik.
2 komentar:
wah selamat,ya buat blog sang pengamat politik...
sukses
carpe diem..
boleh minta kontaknya ngga?:)
aku masih mau nanya2
Posting Komentar