Selasa, 11 November 2008

Peran Birokrasi dalam Rekonstruksi Sosial Pasca-Bencana Kabut Asap


A. Memahami Kabut Asap: Latar Belakang Penulisan

Kabut asap merupakan sebuah fenomena alam yang berbahaya, namun cukup ‘lumrah’ terjadi di Indonesia. Bagaimana tidak, hampir setiap musim kemarau di Indonesia selalu terjadi kabut di beberapa wilayah, terutama Kalimantan dan Sumatera. Fenomena ini cukup merugikan, terutama jika ditinjau dari perspektif kesehatan. Sebagai bukti dapat kita lihat adanya peningkatan kuantitas penderita ISPA, asthma, atau penyakit pernafasan lainnya selama kabut asap terjadi. Pada tahun 2006 ini, kabut asap bahkan telah ‘diekspor’ ke Malaysia dan Singapura, sehingga membuat negara kita mendapat image yang kurang baik di mata negara lain.

Perlu kita ketahui, Indonesia dikenal dunia sebagai “Untaian Zamrud Khatulistiwa”. Julukan ini disandarkan pada kesan penglihatan seorang ahli geografi yang memandang Indonesia bagaikan zamrud yang berkilauan. Namun apa yang dapat kita lihat sekarang? Julukan tersebut seakan sirna, karena hutan-hutan yang ada sedikit banyaknya telah berkurang, salah satu sebabnya karena dibakar.

Herry Nurdi dalam tulisannya di rubrik Tafakur majalah Sabili edisi Dzulhijjah 1426 H mengatakan bangsa Indonesia sejak dulu telah mengenal hal-hal yang disebut sebagai Natural Wisdom. Salah satunya adalah perilaku Suku Sakai yang memiliki waktu-waktu khusus untuk memanen hasil hutan. Selain itum orang-orang Jawa dilarang memotong daun pisang muda. Pelarangan ini dilakukan bukan karena nuansa mistis, namun untuk perkembangan daun pisang tersebut. Di Lamalaera, para nelayan hanya diperbolehkan berburu ikan sekali setahun, karena perburuan berlebih bisa mengancam eksistensi nelayan tersebut. Perilaku tersebut merupakan isyarat bahwa sebenarnya dalam permasalahan lingkungan masyarakat zaman dulu telah memiliki konsep yang sederhana, namun penuh kearifan. Seyogianya dalam permasalahan kabut asap ini masyarakat juga dapat memahami konsep Natural Wisdom tersdebut.

Secara umum kabut asap ini disebabkan oleh adanya kebiasaan masyarakat yang membakar lahan-lahan untuk kepentingan perladangan Di Kalimantan Selatan disinyalir kebakaran ini berasal dari Kabupaten Banjar, tepatnya di daerah Gambut dan sedikit daerah Kabupaten Barito Kuala. Namun semakin lama kebakaran ini makin meluas dan efeknya dapat dirasakan sampai ke daerah Kota Banjarmasin dan Banjarbaru.

Kabut asap ini sedikit-banyaknya merugikan banyak pihak. Para petani, pelaku usaha, bahkan murid-murid Sekolah Dasar pun menerima akibatnya. Memang di Banjarmasin peristiwa kabut asap tidak sampai membuat pemerintah meliburkan sekolah-sekolah. Akan tetapi kabut ini cukup mengganggu kegiatan belajar-mengajar, seperti terjadi di SMAN 1 Banjarmasin yang terpaksa memulangkan siswa-siswinya lebih awal pada hari Rabu tanggal 15 Nopember 2006. Keadaan ini cukup meresahkan warga kota pada umumnya, sehingga pemerintah pun sampai melakukan Shalat Istisqa’ (Shalat Meminta Hujan) agar hujan dapat turun sehingga Kabut Asap dapat teratasi.

Masalah inilah yang melatarbelakangi kami untuk melakukan penelitian mengenai usaha-usaha pemerintah dalam upaya rekonstruksi sosial pasca bencana kabut asap.

Adapun pertanyaan riset yang kami rumuskan sebagai masalah untuk diteliti adalah : “Bagaimana usaha-usaha rekonstruksi sosial pasca bencana kabut asap yang dilakukan oleh elemen birokrasi dan pemerintahan ?” Dari rumusan masalah tersebut, judul yang kami angkat dalam masalah ini ialah : Peranan Birokrasi dalam Rekonstruksi Sosial Pasca Bencana Kabut Asap.

B. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian yang kami lakukan ini bertujuan untuk :

1. Menganalisis bentuk rekonstruksi sosial pasca bencana kabut-asap
2. Menyimpulkan upaya-upaya praktis dan teknis pemerintah dalam persoalan kabut asap
3. Menarik kesimpulan mengenai keadaan masyarakat pasca kabut asap di Propinsi Kalimantan Selatan
4. Menganalisis kinerja pemerintah pasca kabut asap dan solusi idealnya.

Adapun manfaat penelitian ini kami kategorikan menjadi dua jenis, yaitu manfaat secara teoretis dan praktis.

a. Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan berarti bagi perkembangan ilmu sosiologi, agar ilmu sosiologi dapat terus relevan dengan dinamika perkembangan zaman.

b. Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah dan birokrasi agar dapat memerbaiki kinerjanya dalam penanggulangan bencana. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan dalam kebijakan-kebijakan teknis pemerintah dalam penanggulangan bencana kabut asap di berbagai daerah.


C. Catatan Metodologis

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif-deskriptif, dimana metode ini lebih mengedepankan analisis data-data yang didapat dan mengutamakan kasus-kasus yang terjadi di masyarakat (Soekanto,1983). Lebih spesifik lagi, kami menggunakan metode studi kasus, yaitu metode pengamatan tentang suatu keadaan, kelompok, masyarakat setempat, lembaga-lembaga, atau individu (Mu’in, 2004). Alat yang kami gunakan adalah Interview (Wawancara) dan Participant Observer Technique (Pengamat ikut mengamati dalam realitas empiris di kehidupan sehari-hari).

Adapun variabel yang kami kami identifikasi dalam pengamatan ini antara lain :
a. Variabel bebas : Kabut asap
b. Variabel terikat : Rekonstruksi sosial

Penjelasan operasional dari variabel-variabel tersebut kami jabarkan sebagai berikut:

a. Rekonstruksi Sosial adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk membangun kembali struktur sosial setelah terjadinya perubahan-perubahan sosial maupun fisik yang terjadi pada suatu masyarakat tertentu.

b. Kabut asap disebabkan oleh pembakaran hutan yang dilakukan oleh sebagian penduduk (bahkan perusahaan) saat membuka lahan pertanian. Bagi mereka yang tinggal di Jawa mungkin telah jarang melihat praktik-pratik ini. Namun di Kalimantan dan Sumatera, praktik pembakaran hutan bisa dikatakan sebagai bagian dari pola hidup.

Hipotesis kerja dalam penelitian ini adalah: Kinerja pemerintah masih kurang optimal dalam upaya-upaya penanggulangan bencana kabut asap.

D. Rekonstruksi Sosial untuk Bencana: Sebuah Pijakan Teoritis

Rekonstruksi Sosial adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk membangun kembali struktur sosial setelah terjadinya perubahan-perubahan sosial maupun fisik yang terjadi pada suatu masyarakat tertentu.

Perubahan Sosial didefinisikan oleh J.P.Gillin & J.L.Gillin (dalam Mu’in,2004) sebagai variasi cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk maupun karena adanya difusi atau penemuan baru dalam masyarakat. Dalam kasus kabut asap perubahan sosial ini mengakibatkan adanya perubahan pola sikap masyarakat dalam penanganan lingkungan. Sebelumnya, masyarakat menggunakan metode ladang berpindah yang berimplikasi pada kebakaran hutan seperti diungkapkan oleh narasumber kami.

Sementara itu, Solikhin (2005) menyebutkan bahwa lingkungan juga selalu mengalami perubahan yang dapat mengganggu keseimbangan rantai makanan di suatu lingkungan dikarenakan terputusnya salah satu mata rantai dalam rantai makanan tersebut. Faktor-faktor penyebab perubahan lingkungan dapat kita lihat seperti penebangan hutan, industrialisasi, konversi lahan basah, Illegal logging, penebangan mangrove, dan Penerapan intensifikasi tanaman. Secara alamiah, perubahan lingkungan juga disebkan oleh Tsunami, gunung meletus, tanah longsor, banjir, angin ribut, dan kebakaran hutan

Dalam pencegahan dampak negatif perubahan lingkungan, pemerintah RI telah memberlakukan UU no.23 tahun 1997 tentang lingkungan hidup. UU ini menyebutkan bahwa Pemerintah berkewajiban melindungi lingkungan hidup. Selain itu juga ada PP no. 29 tahun 1986 tentang Amdal (Analisis mengenai dampak lingkungan). Sementara di Banjarmasin, sudah ada Perda no 3 tahun 2004 tentang kebersihan lingkungan.

E. Sebab-Sebab Terjadinya Kabut Asap

Mengapa kabut asap harus terjadi setiap tahun? Pertanyaan itu menghinggapi benak banyak orang yang sebagian besar menyalahkan petani nakal yang membakar hutan hanya untuk kepentingan mereka sendiri, atau menganggap hal tersebut adalah sebuah pola yang terjadi secara alami.

Dari hasil wawancara dengan Tato Pujiarto, mantan petugas survey transmigrasi Kompsax-Amithas Group, terungkap suatu fakta bahwa ditemukan para petani yang menerapkan lahan berpindah, yaitu sebuah sistem pertanian dimana para petani membuka suatu lahan dengan cara membakarnya sehingga tanah menjadi lebih subur karena abu dari pembakaran tersebut. Mereka menanami lahan tersebut dengan padi selama dua kali masa tanam dan setelah panen, mereka (para petani) menanam tanaman jangka panjang seperti rotan dan buah-buahan dan kemudian mereka membuka lahan baru lagi. Keadaan seperti ini terus berputar-putar dalam suatu siklus yang berlangsung selama puluhan tahun.

Untuk membuka lahan mereka harus membakar lahan, karena kondisi tanah dan jenis tumbuhan di Kalimantan berbeda dengan daerah seperti Jawa. Tanah di Kalimantan bertekstur lebih keras dan kurang subur dibandingkan tanah di pulau Jawa. Tumbuhan di Kalimantan berbatang keras dan relatif berdiameter besar sehingga sulit untuk disingkirkan, oleh karena itu jalan terbaik bagi mereka adalah membakarnya. Ratusan titik api bisa dilihat dengan mudah, khususnya di daerah-daerah punggung bukit yang memudahkan untuk bercocok tanam dan memiliki kemudahan akses transportasi, baik darat maupun sungai.

Jangan berpikir bahwa pembakaran lahan ini bersifat sporadis dan tak terkontrol. Anda pasti akan mengerutkan kening ketika melihat sebuah kawasan yang telah terbakar habis sementara tumbuhan di luar batas area pembakaran masih ada, menyejukan pandangan mata. Ini adalah sebuah pemandangan yang sangat kontras. Yang menarik, area yang terbakar ada di dalam batas lahan si pembakar.

Sekarang kembali ke kehidupan petaninya. Jarak yang ditempuh dari tempat tinggal petani ke ladangnya yang cukup jauh dari perkampungannya, selain jarak yang jauh, juga terdapat berbagai medan yang berat berupa rawa-rawa dan perbukitan yang hanya bisa dilewati dengan sampan (perahu kecil) dan jalan setapak yang memakan waktu berjam-jam. Mengingat transportasi yang sangat sulit, pada umumnya mereka membangun pondok diladangnya dan hanya waktu-waktu tertentu pulang ke kampungnya. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sambil menunggu musim panen, mereka menanam ubi, sayur-sayuran, berburu rusa, kijang, kancil, atau memelihara ayam yang dibawa dari kampung sampai mencari madu lebah hutan.

Kabut asap tidak hanya dirasakan oleh para korban, tetapi juga dirasakan oleh para petani. Asap yang pekat masuk ke saluran pernapasan mereka, apalagi mereka berada di tempat yang dekat dengan sumbernya. Yang mengherankan, mereka mampu melakukan hal tersebut karena dorongan ekonomi yang makin kuat. Artinya di sini dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa para petani mau melakukan apa saja untuk mencari nafkah hidup mereka, walaupun yang mereka lakukan berdampak negatif terhadap lingkungan.

Kita beralih ke sumber kabut asap yang berada di Kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Berbeda dengan daerah Kalimantan lainnya kabut asap di daerah ini disebabkan oleh pembakaran jerami di areal persawahan karena di sekitar areal persawahan masih berupa semak-semak yang tentu saja sudah mengering akibat musim kemarau, akhirnya api dengan mudah menjalar ke semak-semak tersebut yang arealnya lebih luas dari persawahan. Karena struktur tanahnya berjenis gambut itulah penjalaran api sulit untuk dideteksi karena api menjalar di bawah permukaan tanah yang berongga-rongga (gambut).

Selain itu banyak juga yang disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh perbuatan mereka dalam memerlakukan alam secara ceroboh. Misalnya membakar sampah atau membuang puntung rokok di tempat-tempat yang berpotensi mengakibatkan api dapat menjalar lebih luas. Lukman Purnomo Sidi, salah satu anggota tim penulis bahkan melihat perbuatan masyarakat disekitar rumahnya yang berada di dekat lokasi tersebut. Ini menunjukkan kurangnya kesadaran masyarakat akan urgensi lingkungan hidup.

F. Peran Birokrasi

Dalam menangani bencana kabut asap ini, pemerintah telah mengambil langkah-langkah teknis guna menangani permasalahan kabut asap ini. Namun sayangnya, kinerja pemerintah tersebut kurang memberi hasil yang memuaskan ketika awal-awal peristiwa kabut. Pada bulan Ramadhan, beberapa kali diadakan usaha hujan buatan dengan cara menaburkan garam dari ketinggian tertentu. Namun hasil yang didapat jauh dari harapan, karena yang turun hanya gerimis. Setelah beberapa hari Banjarmasin diselimuti kabut, barulah datang pesawat Ilyushin dari Rusia yang melakukan Water-Bombing atau penyiraman air dalam kuantitas besar pada hotspot (titik api) di Kabupaten Banjar.

Dalam penanggulangan kabut asap hendaknya pemerintah sebagai pengayom dan pelindung masyarakat bersikap lebih proaktif secara preventif dalam penanggulangan bencana, bukan justru bertindak pasif dalam pencegahan dan hanya aktif pada saat terjadi bencana. Seharusnya pemerintah mencari akar dari masalah ini agar bencana ini tidak terjadi lagi. Apalagi untuk penanggulangan bencana kabut asap ini pemerintah mengeluarkan dana hingga miliaran rupiah untuk menyewa pesawat dari Rusia untuk memadamkan titik api. Bukankah uang sebanyak itu yang dikumpulkan dari masyarakat menjadi sia-sia apabila bencana ini terus berulang? Bahkan mungkin suatu saat pengeluaran untuk penanggulangan kabut asap menjadi pengeluaran rutin pemerintah pusat dan daerah yang mengalami bencana itu sendiri.

Upaya Pemerintah dalam menanggulangi kabut asap memang belum menyentuh ke akar permasalahan. Belum ada kebijakan-kebijakan ataupun penyuluhan langsung di lapangan, terutama dari Pemerintah Daerah yang benar-benar serius.dilakukan Masyarakat sekarang banyak yang anti terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang menurut mereka cenderung merugikan mereka. Sebenarnya masalah kabut asap ini sangat kompleks, oleh sebab itu masalah ini tidak pernah berhenti sekian lama.

G. Kesimpulan: Perlu Pendekatan Politik?

Dari hasil pengamatan yang kami lakukan, kami memperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Masalah kabut asap adalah masalah yang kompleks oleh karena itu masalah ini tidak selesai-selesai.

2. Penyakit akibat kabut asap (smog) tidak hanya dialami oleh para korban melainkan para pelakunya juga bahkan mungkin mereka yang lebih parah penyakitnya.

3. Peran birokrasi hanya terlihat pada penanggulangannya saja, bukan pada pencegahan.

4. Perlu diadakannya rekonstruksi sosial secara komprehensif yang berbasis pada peningkatan kesejahteraan kehidupan para pelakunya, agar keadaan yang seperti ini tidak terus berulang setiap tahun.

H. Memutus Mata Rantai Bencana

Langkah-langkah yang sebaiknya dilakukan pemerintah menurut hemat kami antara lain :

1. Membuat lahan buatan yang produktif, sehingga para petani tidak perlu melakukan perpindahan lahan.

2. Memberikan penyuluhan kepada para petani agar tidak membakar lahannya karena asap yang timbul mengandung bahan yang berbahaya bagi kesehatan.

3. Mendahulukan pencegahan (preventif) dibandingkan penanggulangan (kuratif) sehingga biaya yang dikeluarkan lebih efisien dan dampaknya pun dapat dirasakan dalam jangka panjang

4. Larangan merokok di tempat-tempat yang rawan terbakar terutama lahan kering.

5. Mengoptimalkan aspek yuridis dengan memberlakukan peraturan yang dapat mengurangi kasus kebakaran hutan.


DAFTAR PUSTAKA

Dawud, dkk, 2004. Bahasa dan Sastra Indonesia Untuk SMA Kelas XI. Jakarta : Erlangga.

Muin, Idianto, 2004. Sosiologi Untuk SMA Kelas X. Jakarta : Erlangga.

________________, Sosiologi Untuk SMA Kelas XI. Jakarta : Erlangga.

Dirdjosiworo, Soedjono, S.H., 1973. Pengantar Sosiologi. Bandung : Penerbit Alumni.

Solikhin, 2005. Serasi Biologi.

Soekanto, Soerjono, 1990, Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Raja Grafindo.

Syamsuri, Istamar, M.Pd. dkk.. 2005. Biologi SMA Kelas X. Jakarta : Erlangga.

LAMPIRAN : Narasumber dan Daftar Pertanyaan

1. Profil Narasumber :

Nama : Tato Pujiarto
Usia : 45 tahun
Pekerjaan : Pernah menjadi pegawai survey transmigrasi PT Kampsax-Amithas Group

2. Daftar Pertanyaan :

- Hal apa saja yang menyebabkan petani membakar lahan sehingga menyebabkan kabut asap?
- Bagaimanakah kehidupan petani di daerah Kalimantan Selatan dan Tengah?
- Bagaimana metode dan langkah-langkah pertanian tradisional di Kalimantan Selatan dan Tengah pada umumnya?
- Bagaimana proses terjadinya kebakaran hutan pada umumnya?
- Apa saja dampak kabut asap bagi masyarakat petani?



Artikel ini pernah meraih lolos sebagai finalis dalam Kompetisi "Olimpiade Ilmu Sosial 2007" di FISIP Universitas Indonesia, 11-17 Februari 2007. Penulis mendapat penghargaan sebagai Peserta Terbaik dalam Kompetisi Tersebut

Tidak ada komentar: