I believe that the more opportunities we have for dialogues, the greater mutual understanding among different faiths will be accomplished. Only with dialogues can we address differences, develop shared interests, set common agenda, and chart concrete actions.
A. Pengantar: Menelaah Diplomasi RI Era SBY
Perubahan politik internasional pada awal dekade 1990-an telah mengakibatkan perubahan pada tren politik luar negeri dan diplomasi di dunia. Diplomasi yang pada awalnya hanya berada pada satu jalur (track), yaitu diplomasi di meja perundingan, telah berkembang menjadi banyak jalur (Diamond, 1996). Negara kini tidak lagi menjadi aktor tunggal dalam hubungan internasional. Muncul banyak aktor transnasional lain yang tak membawa platform negara sehingga diplomasi tidak hanya dijalankan dari negara ke negara, tetapi juga non-negara ke non-negara.
Sejalan dengan hal tersebut, banyak negara yang mulai mengubah pendekatannya dalam hubungan internasional. Negara kini mulai merangkul konstituen diplomasi (aktor-aktor transnasional dan warga negara) dengan sebuah pendekatan baru: diplomasi publik. Mode diplomasi ini tidak lagi berkutat pada negosiasi dan forum-forum internasional, tetapi lebih ekstensif merangkul konstituen diplomasi dengan kampanye dan propaganda untuk membentuk citra positif bagi negaranya.
Diplomasi publik merupakan sebuah instrumen politik luar negeri yang relatif baru dilaksanakan di Indonesia. Dalam struktur organisasi Departemen Luar Negeri RI, Diplomasi Publik dijalankan oleh Sub-Direktorat Diplomasi Publik pada Direktorat Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik. Direktorat ini dibentuk pada tahun 2002 dengan Direktur pertama Yohannes Kristiarto Legowo.
Direktorat Diplomasi Publik RI kemudian menerbitkan sebuah buku saku online di situs resmi Departemen Luar Negeri RI yang melaporkan kegiatan-kegiatan Direktorat selama periode 2004-2006. Pada buku saku tersebut, terlihat bahwa Direktorat banyak menyelenggarakan kegiatan yang cukup menarik untuk diulas, salah satunya adalah interfaith dialogues yang dilaksanakan di beberapa tempat
Agenda ini cukup menarik mengingat Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar sekaligus negara yang plural, multietnis, serta multireligi. Agenda interfaith dialogue ini dapat menjadi penghubung dari perbedaan yang ada. Selain itu, munculnya agenda interfaith dialogue ini juga diharapkan dapat membuka mata dunia bahwa Indonesia bukan merupakan negara pendukung terorisme, melainkan negara yang mau membuka ruang dialog bagi masyarakat internasional sehingga kontribusi Indonesia dalam perdamaian dunia juga turut meningkat.
Adanya agenda diplomasi publik juga menyisakan pertanyaan tersendiri. Apakah adanya agenda interfaith dialogues memiliki implikasi positif bagi perkembangan diplomasi Indonesia? Jika ya, bagaimana wujud konkret dan manfaat dari agenda tersebut? Pertanyaan-pertanyaan ini melatarbelakangi penulis untuk menulis sebuah paper berkaitan dengan interfaith dialogue dalam diplomasi publik RI.
Paper ini berusaha untuk menganalisis program interfaith dialogues yang diselenggarakan oleh Direktorat Diplomasi Publik RI pada tahun 2004-2006 sebagai wujud konkret diplomasi publik Republik Indonesia.
Pertanyaan riset yang penulis ajukan dalam paper ini adalah: “Bagaimana efektivitas dari pelaksanakan interfaith dialogues sebagai bagian dari agenda diplomasi publik RI terhadap bargaining position Indonesia di dunia internasional?”. Pembahasan dalam paper ini difokuskan pada dua bagian, yaitu: (1) Garis Besar kegiatan Interfaith Dialogues selama periode 2004-2006; (2) Analisis atas pelaksanaan interfaith dialogues dan implikasinya bagi posisi Indonesia di dunia.
B. Membaca Wacana: Diplomasi dan Interfaith Dialogue
Diplomasi memiliki beberapa konsep yang dipandang dalam perspektif berbeda. Berridge & James (2003) mendefinisikan diplomasi sebagai berikut,
“The conduct of relations between souvereign states through the medium of officials based at home or abroad, the latter being either members of their state’s diplomatic service or temporary diplomats”
(Berridge & James, 2003: 69-70)
Adapun menurut Morgenthau (1956: 129), diplomasi didefinisikan sebagai sebuah seni dalam membawa elemen-elemen kekuatan nasional yang berbeda untuk mengatur masalah-masalah negaranya dalam situasi internasional dengan kekuatan dan efek yang maksimal dengan memperhatikan kepentingan nasional secara langsung. Sedangkan Smith Simpson (1986) memandang diplomasi sebagai,
“our principal means of tackling international problems and stabilizing a world precariously balanced between order and violence”
(Simpson, 1986:1)
Diplomasi memiliki banyak jenis, salah satunya ialah diplomasi publik. Istilah Diplomasi publik didefinisikan oleh Berridge (2002:17) sebagai berikut,
“Public diplomacy is foreign propaganda conducted or orchestrated by diplomats, and it is now a major task for diplomatic missions. This being so, it is an important function of the Ministry of Foreign Affairs to support them in this work with the supply of approved information on both foreign and domestic developments”
(Berridge, 2002: 17)
Berridge memosisikan diplomasi publik sebagai propaganda ke luar yang dilakukan oleh diplomat untuk mewakili negaranya ke luar. Oleh karena itu, menurut Berridge, departemen luar negeri (ministry of foreign affairs) memiliki kewajiban untuk mendukung upaya-upaya ini dengan pasokan informasi yang digunakan sebagai media dan bahan propaganda, baik ke luar negeri atau ke level domestik. Sedangkan mengacu pada definisi yang diberikan oleh Berridge di atas, diplomasi publik adalah bagian yang integral dengan propaganda. Propaganda dapat dikatakan sebagai sebuah iklan politik (political advertising) yang digunakan untuk mempengaruhi pemerintahan lain.
Maka, tujuan dari propaganda tersebut pada dasarnya adalah,
to persuade a foreign government to accept a particular view by winning over to this view those with influence upon it: its own general public, the media, pressure groups, and foreign allies.
(Berridge, 2002: 125)
Sedangkan interfaith dialogue secara harfiah berarti dialog lintas kepercayaan (Echols, 1990). Masih belum ada literatur yang mendefinisikan frase ini secara terminologis, sehingga definisi operasional dari variabel ini masih mengacu pada makna harfiah seperti diterjemahkan oleh Echols (1990).. Di sini, kita mencatat bahwa istilah yang digunakan oleh Departemen Luar Negeri pada kegiatan tersebut adalah faith, yang memiliki dua makna: kepercayaan serta agama, keyakinan (Echols & Shadily, 1990: 231).
Interfaith dialogue, sebagai wujud dari diplomasi publik RI merupakan salah satu track dari multitrack diplomacy, yaitu track seven atau peacemaking through faith in action. Tujuan penting dari track ini adalah mencapai perdamaian melalui aktivitas keagamaan, baik secara intrareligi ataupun interreligi. Diamond (1996: 97) menyatakan,
“The religious community seeks to bring the moral laws and spiritual truths of God and the universe to the practical establishment of peace on earth. Religious groups of diverse persuasions believe that they naturally belong on the forefront of work for peace and justice, understanding and reconciliation, because, in their belief systems, these issues are at the heart of humanity’s spiritual evolution”
(Diamond, 1996: 97)
Interfaith dialogue memiliki posisi yang cukup penting dalam agenda multitrack diplomacy. Dengan adanya interfaith dialogue, potensi kesalahpahaman antarumat beragama dapat dikurangi. Interfaith dialogue juga akan memiliki implikasi berupa munculnya transformational politics yang berfungsi menjaga kesadaran masyarakat atas pentingnya perdamaian (Diamond, 1996: 100).
C. Interfaith Dialogues dalam Diplomasi Publik RI 2004-2006
Agenda interfaith dialogue dalam diplomasi publik RI di tahun 2004 diawali dengan kegiatan International Conference of Islamic Scholars (ICIS) I pada tanggal 23-25 Februari 2004 di Jakarta. Menarik untuk dicermati bahwa kegiatan ini, meskipun pada awalnya adalah konferensi ulama muslim yang diprakarsai oleh Nahdhatul Ulama (PBNU), pada perkembangannya justru menjadi cikal bakal dialog antarkepercayaan. Hal ini tercermin dari hasil konferensi, yaitu Jakarta Declaration 2004 pada poin ketiga, keempat, dan kelima. Hasil tersebut antara lain,
Jakarta Declaration
Upholding Islam as Rahmatan Lil ‘Alamin
We, the Islamic Scholars:
3. Acknowledge that diversity amongst individuals, cultures and civilizations are truly blessings bestowed upon us by God, Allah the Almighty;
4. Reaffirm that the teachings of Islam uphold the values of human dignity and recognize the equal opportunity of human beings in inter-personal relationships, in maintaining harmonious interfaith relations and in the entire process of international decision making;
5. Fully support the efforts to enhance the constructive and interactive dialogue to increase mutual understanding and respect among the followers of all religions and nations;
(Press Release, KBRI Australia)
Jakarta Declaration tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh para menteri luar negeri ASEAN pada salah satu poin dari chairman’s statement pada 11th Meeting of ASEAN Regional Forum di Jakarta, Juli 2004 yang menyambut baik hasil International Conference of Islamic Scholars. Kemudian, pada Desember 2004, muncullah kegiatan Dialogue on Interfaith Cooperation di Yogyakarta, 6-7 Desember 2004. Kegiatan ini diselenggarakan atas kerjasama antara Departemen Luar Negeri RI, PP Muhammadiyah, dan Department of Foreign Affairs and Trade Australia.
Patut untuk dicermati bahwa peran Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai dua organisasi masyarakat terbesar di Indonesia sangat besar dalam mewujudkan terjadinya dialog antarkepercayaan ini. Kedua organisasi ini terlibat sebagai sponsor dari dua kegiatan di atas. Keterlibatan ini menjadi sebuah hal yang menarik karena ternyata spirit dan usaha untuk mempertemukan tokoh lintas kepercayaan juga dimiliki oleh masyarakat Islam.
Pada tahun 2005, muncul tiga kegiatan interfaith dialogue sebagai follow-up dari Dialogue on Interfaith Conference. Tiga kegiatan tersebut antara lain kegiatan Bali (Asia-Europe Meeting) Interfaith Dialogue di Bali, 21-22 Juli 2005 dan paket kegiatan Interfaith Dialogue “Islam in Pluralistic Society di Vatikan, 30 September 2005 serta Melbourne, 27-30 September 2005. Tiga kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari wacana-wacana berkembang mengenai perlunya dialog antarkepercayaan.
Sayangnya, bertepatan dengan pelaksanaan kegiatan dialog tersebut, muncul insiden yang sangat berbau sentimen agama dari Koran Jyllands-Posten di Denmark yang memuat 12 karikatur tentang Nabi Muhammad SAW. Pemuatan karikatur tersebut menimbulkan kontroversi, ketegangan, dan kutukan dari umat Islam di berbagai belahan dunia karena menyangkut persoalan yang sangat substansial dan sakral bagi pemeluk agama Islam. Insiden ini jelas menjadi sebuah penghambat besar dalam upaya pelaksanaan dialog antarkepercayaan yang telah dicanangkan.
Upaya untuk membuka dialog secara lebih intensif kembali dilakukan pada tahun 2006. Pada tanggal 28 Februari dan 1 Maret 2006, Deplu RI dan Kementerian Luar Negeri Belanda, didukung oleh sejumlah NGO di Belanda, mengadakan kegiatan bertajuk The Indonesia-Netherlands Interfaith Dialogue “Peaceful Coexistence and Interfaith Cooperation”. Kegiatan yang dilaksanakan di Den Haag ini diikuti oleh sekitar 200 akademisi, rohaniawan, dan aktivis keagamaan. Indonesia diwakili oleh FT. Ignatius Ismartono (Konferensi Waligereja Indonesia), I Nyoman Suwandha (Parisada Hindu Dharma Indonesia), Dien Syamsuddin (PP Muhammadiyah), Muhammad Ali (UIN Syarif Hidayatullah), dan Thamrin Amal Tomagola (FISIP-UI).
Agenda berikutnya adalah Cebu Dialogue on Regional Interfaith “Cooperation for Peace, Development, and Human Dignity yang dilaksanakan di Cebu, Filipina, 14-16 Maret 2006. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Philippines Department of Foreign Affairs atas dukungan dari Departemen Luar Negeri RI. Menarik untuk dicermati bahwa forum ini merupakan sebuah forum regional yang memiliki implikasi luas, karena dihadiri oleh perwakilan negara Asia-Pasifik yang cukup plural. Sebelum pelaksanaan dialog, Deplu menyelenggarakan Foreign Policy Breakfast dengan para tokoh agama dari Indonesia yang mengikuti kegiatan tersebut.
Kegiatan yang dibuka oleh Presiden Filipina Gloria Macapagal Arroyo tersebut dihadiri oleh perwakilan negara-negara di Asia Pasifik dengan total 175 peserta. Dialog antarkepercayaan tersebut menghasilkan Cebu Declaration yang secara substansial menekankan pentingnya interfaith dialogue dalam proses perdamaian dunia. Dr. Alberto G. Romullo, Secretary of Foreign Affairs of Philippines juga menegaskan hal serupa dalam Press Release yang dikeluarkan oleh Philippines Department of Foreign Affairs mengenai Cebu Declaration ini.
Agenda berikutnya di tahun 2006 adalah 2nd International Conference of Islamic Scholars di Jakarta, 20-22 Juni 2006. Meskipun kegiatan ini adalah konferensi ulama-ulama muslim sedunia, kita patut mencatat bahwa perhatian penganut agama lain terhadap konferensi ulama-ulama sedunia ini cukup besar. Terbukti, pihak Tahta Suci Vatikan (Vatican Holy See) mengirimkan Mgr. Khalid Al-Akasheh yang menyampaikan paparan kunci (keynote speech) pada pembukaan konferensi. Hasil dari ICIS II ini kemudian disepakati untuk dijadikan sebagai bahan presentasi di Tripartite Forum on High Level Conference on Interfaith Cooperation for Peace.
Setelah ICIS II, agenda interfaith dialogue yang didukung oleh Departemen Luar Negeri RI ini adalah World Peace Forum yang diselenggarakan di Jakarta, 14-16 Agustus 2006. Kegiatan ini diselenggarakan oleh PP Muhammadiyah dan Multi Culture Society dan mengangkat tema “One Humanity, One Destiny, One Responsibility”. Kegiatan ini dihadiri oleh tokoh lintas agama dan lintas kebudayaan yang difasilitasi oleh Deplu RI.
World Peace Forum kemudian mengantarkan agenda dialog antarkepercayaan berikutnya, yaitu Global Intermedia Dialogue di Bali, 1-2 September 2006. Kegiatan ini merupakan kerjasama dari Departemen Luar Negeri RI dan Kementerian Luar Negeri Norwegia. Kegiatan ini cukup mendapat respons publik internasional karena mengambil momentum kebebasan pers di tengah kontroversi karikatur Nabi Muhammad yang menyulut kemarahan umat Islam. Global Intermedia Dialogue ini diikuti oleh 73 tokoh jurnalistik dari 44 negara dan diliput oleh 77 wartawan nasional serta 20 kantor berita asing.
Dialog ini disebut oleh Djalal (2006: 377) sebagai cermin dari diplomasi yang inovatif. Hal menarik dalam Global Intermedia Dialogue ini adalah pemilihan Norwegia sebagai partner nation dalam penyelenggaraan dialog. Posisi Norwegia yang secara geopolitik dekat dengan Denmark di Skandinavia (negara tempat karikatur beredar) dapat menimbulkan dilema. Maka, penempatan Bali sebagai tempat penyelenggaraan dialog dan peran serta pemerintah Norwegia juga merupakan sebuah terobosan baru dalam diplomasi Indonesia.
Agenda interfaith dialogue terakhir yang sangat penting –bahkan dapat dikatakan sebagai puncak agenda— di tahun 2006 adalah kegiatan Tripartite Forum on High-Level Conference on Interfaith Cooperation for Peace yang dilaksanakan oleh PBB di New York, 21 September 2006. Pada forum ini, KH. Hasyim Muzadi, Ketua PBNU mendapat kehormatan untuk menyampaikan presentasi berjudul “Moderation as the Pillar of a Peaceful and Harmonious Multi-Cultural and Multi-Faith Society: the Indonesian Experience” dalam kapasitas beliau sebagai Sekretaris Jenderal International Conference of Islamic Scholars.
Kehadiran serta keterlibatan aktif Indonesia di forum ini sejalan dengan salah satu kebijakan dari politik luar negeri RI, yaitu menggalang dukungan masyarakat internasional terhadap pentingnya multilateralisme dan mengoptimalkan peran aktif Indonesia dalam forum regional serta multilateral. Adanya interfaith dialogue akan membuka jalan bagi peningkatan bargaining position Indonesia di dunia diplomasi, khususnya PBB. Namun, ukuran kontinuitas dari interfaith dialogue ini juga masih harus dibuktikan karena memerlukan political will dari pemerintah untuk tetap melaksanakan agenda secara sustainable dan konsisten.
D. Implikasi Interfaith Dialogue terhadap Diplomasi Indonesia
Salah satu elemen dari national power menurut Morgenthau (1956: 128) adalah kualitas diplomasi. Kekuatan diplomasi suatu negara akan menentukan posisi strategis negara tersebut di percaturan politik internasional, apalagi di tengah tren multilateralisme seperti dekade terakhir ini. Diplomasi menjadi the first line of defense bagi negara-negara yang tidak memiliki kekuatan militer yang kuat tetapi memiliki sumber daya melimpah.
Kekuatan diplomasi inilah yang sekarang tengah dibangun oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sejak menjabat Presiden RI pada tahun 2004. Salah satu kebijakan pemerintah SBY adalah mengintesifkan diplomasi publik sebagai bentuk propaganda ke dunia internasional. Menteri Luar Negeri Hassan Wirayudha menjelaskan bahwa diplomasi publik erat kaitannya dengan penjelasan posisi Indonesia di negara-negara jiran sehingga akan tercipta hubungan kerja sama yang baik dan terhindarnya kesalahpahaman tentang situasi domestik di Indonesia (Antara, 10/12/2008).
Dalam konteks agenda interfaith dialogues, Keterlibatan aktif Indonesia akan memberi beberapa implikasi penting bagi posisi Indonesia di mata publik internasional. Bagian kedua paper ini akan menganalisis implikasi interfaith dialogue bagi posisi Indonesia di forum multilateral, perbaikan hubungan Islam-Barat, serta hubungan Indonesia dengan beberapa negara mitra strategis.
1. Implikasi Pertama: Posisi Indonesia dalam Forum Multilateral
Tak dapat dipungkiri, keberadaan Indonesia di berbagai forum multilateral akan memberi banyak dampak terhadap kondisi politik dan ekonomi domestik. Keaktifan Indonesia sebagai “jangkar” multilateralisme di negara dunia ketiga akan memberi citra positif sehingga kerjasama bilateral dan multilateral akan mudah terealisasi.
Agenda interfaith dialogue, jika kita analisis lebih dalam, memiliki dua implikasi positif terhadap posisi Indonesia di mata publik internasional. Pertama, membaiknya citra Indonesia di mata publik internasional. Setelah sempat mengalami deklinasi di akhir dekade 1990-an, diplomasi Indonesia dapat kembali bangkit di dunia dengan berbagai agenda diplomasi. Indonesia dapat memanfaatkan political capital yang dimiliki sebagai soft power: negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, salah satu negara demokratis di dunia ketiga, dan negara yang cukup sukses dalam beberapa resolusi konflik.
Adanya interfaith dialogue efektif mencitrakan Indonesia sebagai negara yang toleran, inklusif, dan moderat tanpa harus menghilangkan predikat sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Indonesia telah menjadi sebuah sampel demokrasi terbesar di dunia ketiga sekaligus mematahkan hipotesis bahwa negara berpenduduk mayoritas muslim adalah negara yang otoriter dan tidak demokratis.
Kredit positif juga didapatkan oleh Indonesia dalam forum-forum multilateral yang dihadiri oleh Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari diundangnya KH. Hasyim Muzadi untuk mempresentasikan ICIS di sidang PBB. Posisi KH. Hasyim Muzadi ini sangat strategis, karena memiliki makna bahwa kapasitas diplomasi publik Indonesia telah diakui dalam skala PBB. Padahal, pada tahun 2002, beberapa tahun sebelumnya Indonesia mendapat sorotan luas terkait kasus pengeboman di beberapa tempat yang membawa banyak korban jiwaIni adalah sebuah progress yang cukup signifikan.
Kedua, munculnya soft power Indonesia dalam diplomasi. Presiden SBY sejak awal telah meletakkan komitmen untuk melakukan kerjasama strategis dengan negara-negara lain dengan menghindari konflik. Politik luar negeri RI telah disetting dengan good neighbour policy dengan membangun jaringan relasi yang apik, juga dengan inovasi untuk mencapai kepentingan nasional (Djalal, 2008).
Patut diakui, prestasi resolusi konflik Aceh melalui MoU di Helsinki dan agenda interfaith dialogue yang dipelopori Indonesia telah melahirkan sebuah political capital baru. Indonesia menjadi sebuah negara yang disegani bukan karena kekuatan militernya yang show of force, tetapi lebih karena kemampuannya dalam membangun demokrasi, resolusi konflik etnis, serta toleransi antarumat beragama.
Soft power ini dapat digunakan untuk mencapai kepentingan nasional Indonesia. Dengan soft power, Indonesia sebenarnya dapat lebih memperjuangkan kepentingan nasional di Dewan Keamanan PBB. Indonesia dapat menjadi salah satu kekuatan vital bagi terciptanya perdamaian dunia di tengah iklim unipolaritas dunia. Maka, interfaith dialogue harus benar-benar dioptimalkan sebagai sarana untuk meraih kepentingan nasional Indonesia dan mendapatkan soft power yang positif bagi negara lain.
2. Implikasi Kedua : Hubungan Indonesia dengan Negara Mitra Strategis
Dialog antarkepercayaan juga memiliki implikasi yang cukup positif bagi perbaikan hubungan antara Indonesia dengan beberapa negara mitra strategis, seperti Australia, Filipina, atau Belanda. Dialog antarkepercayaan cukup efektif dalam meyakinkan opini publik di negara-negara tersebut bahwa Indonesia adalah negara yang inklusif, toleran, dan kondusif untuk wisata atau investasi.
Jika kita analisis, pola kemitraan di tiga negara, yaitu Australia, Belanda, dan Filipina dengan Indonesia cukup mengalami peningkatan dengan adanya agenda diplomasi publik, khususnya interfaith dialogue. Pertama, Australia. Hubungan Indonesia-Australia sejak dulu selalu mengalami pasang-surut, dan sangat bergantung pada siapa yang memerintah serta model kebijakan apa yang ada. Hubungan Indonesia-Australia di era Megawati sempat tegang karena kasus bom Bali yang menewaskan banyak warga Australia. Ketegangan tersebut berdampak pada tersendatnya hubungan kedua negara.
Namun, agenda Dialogue on Interfaith Cooperation yang digagas oleh PP Muhammadiyah dan dilaksanakan atas kerjasama antara Indonesia dan Australia dapat memecahkan kebuntuan tersebut. Setidaknya, walaupun ada kecenderungan kedua pemerintah untuk tidak bersepakat dalam penanganan terorisme, ada upaya untuk rekonsiliasi dalam bentuk sebuah dialog yang dibangun secara lintas budaya. Hal serupa kembali dilakukan pada tahun 2005 dengan agenda interfaith dialogue “Islam in Pluralistic Society” di Melbourne.
Memang, ada keterkaitan antara siapa yang memerintah dengan dinamika hubungan Indonesia-Australia, terbukti dengan berubahnya pola kebijakan luar negeri ketika Kevin Rudd dengan Partai Buruh-nya memenangi Pemilu 2007. Anak Agung Banyu Perwita dalam opininya di Kompas (13/6/2008) menyatakan bahwa wacana comprehensive partnership antara Indonesia dan Australia pasca-Howard dengan agenda dialog antarkepercayaan dapat menjadi modal untuk peningkatan hubungan kerjasama antara kedua negara.
Kedua, Filipina. Berbeda dengan Australia yang mengalami pasang-surut, hubungan Indonesia-Filipina dapat dikatakan cukup aman. Kendati terkadang ada kesalahpahaman karena hubungan Filipina-Amerika Serikat yang berpotensi menjadi ancaman bagi Indonesia, kebijakan good neighbour policy yang dianut oleh Indonesia serta komitmen kedua negara untuk mempertahankan hubungan baik menjadi instrumen yang cukup baik dalam menjaga proses kerjasama yang dibangun.
Adanya kegiatan Cebu Dialogue on Regional Interfaith “Cooperation for Peace, Development, and Human Dignity” pada dasarnya merupakan manifestasi dari hubungan baik yang telah dijali. Posisi Filipina yang sejak dulu selalu menjadi mitra strategis Amerika Serikat secara geopolitik memang menjadi sebuah ancaman bagi Indonesia, namun pendekatan diplomasi publik yang digunakan oleh Deplu RI sebagai soft power dapat pula menjadi counter untuk mengimbangi hegemoni tersebut
Ketiga, Belanda. Hubungan Indonesia-Belanda sejak dulu selalu diwarnai oleh sinyalemen negatif. Indonesia dan Belanda selalu terlibat konflik sejak awal kemerdekaan hingga jatuhnya Orde Lama di tahun 1966 karena Belanda tidak mau mengakui Indonesia sebagai negara berdaulat. Belanda baru mengakui kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 2005 melalui Menteri Luar Negeri Bernard Bot.
Seperti halnya Australia, kebangkitan hubungan diplomatik Indonesia-Belanda salah satunya adalah dengan pendekatan diplomasi publik, dalam hal ini kegiatan The Indonesia-Netherlands Interfaith Dialogue “Peaceful Coexistence and Interfaith Cooperation”. Kegiatan yang dilaksanakan di Den Haag, 28 Februari dan 1 Maret 2006 tersebut ini menjadi sarana komunikasi yang cukup efektif antara kedua negara. Kegiatan ini juga mengurangi ketegangan yang telah tercipta sejak dulu.
3. Implikasi Ketiga : Hubungan Islam-Barat
Hubungan antara Islam dan Barat pasca-perang dingin telah diwarnai berbagai fenomena. Hubungan antara dua entitas budaya ini mengalami ketegangan setelah perang teluk II dan sampai sekarang masih belum dapat terjembatani secara maksimal. Islam dan Barat sulit untuk dipersatukan dalam sebuah tata dunia yang adil, karena dua entitas budaya ini memiliki perbedaan yang cukup tajam dalam beberapa persoalan.
Adalah Francis Fukuyama dan Samuel Huntington membuat sebuah teori tentang adanya perselisihan antara Barat dan peradaban lain pasca-perang dingin. Fukuyama dengan teori “end of history”, sementara Huntington dengan teori “clash of civilization”. Fukuyama mengklaim bahwa pasca-perang dingin, takkan ada lagi perdebatan mengenai ideologi yang akan memberi kesejahteraan. Hanya ada satu pihak yang “mengakhiri sejarah dunia”, yaitu ideologi liberalisme-demokrasi. Fukuyama menulis,
But the century that began full of self-confidence in the ultimate triumph of western liberal democracy seems at its close to be returning full circle to where it started: not to an "end of ideology" or a convergence between capitalism and socialism, as earlier predicted,but to an unabashed victory of economic and political liberalism.
(Fukuyama, 1989)
Adapun tesis Huntington menjelaskan bahwa akan ada beberapa ideologi pasca-komunis yang akan menjadi kompetitor utama bagi Barat, salah satunya Islam. Ideologi tersebut akan berpotensi menjadi sebuah benturan peradaban jika tidak diwaspadai. Tesis Huntington ini adalah sebuah teori baru yang ditelurkan pasca-era Sovyet dan cukup populer di kalangan Islam maupun Barat.
Dua tesis tersebut pada dasarnya senada: Barat dengan ideologi liberalisme-demokrasi akan menjadi kekuatan utama di dunia dan kekuatan lain hanya akan menjadi sebuah penghalang bagi tegaknya hegemoni Barat. Hal inilah yang menyebabkan hubungan Islam dan Barat selama ini kurang begitu baik dan diwarnai oleh pasang-surut. Untuk itu, perlu adanya sebuah agenda untuk menjembatani hubungan kedua entitas budaya tersebut. Islam dan Barat perlu melakukan dialog agar kesalahpahaman dapat dikurangi dan kerjasama strategis dapat dibangun.
Peran Indonesia dalam menjembatani perbedaan ini tak bisa dikesampingkan begitu saja. Tercatat, pada tahun 2005, pemerintah menyelenggarakan kegiatan Bali (Asia-Europe Meeting) Interfaith Dialogue di Bali, 21-22 Juli 2005. Agenda ini, sebagaimana disebutkan oleh SBY pada ASEM 2008 di Helsinki, memang didesain untuk mempertemukan Asia dan Eropa dalam sebuah forum dialog. KTT ASEM di Bali tahun 2005 diformat dengan agenda dialog antarkepercayaan, karena isu ini cukup krusial dalam mengurangi kesalahpahaman Barat terhadap Islam dan sebaliknya.
Upaya Indonesia dalam mempertemukan Islam dan Barat juga terlihat dari dua agenda berikutnya: Dialogue “Islam in Pluralistic Society di Vatikan, 30 September 2005 dan The Indonesia-Netherlands Interfaith Dialogue “Peaceful Coexistence and Interfaith Cooperation” di Den Haag, Februari-Maret 2006. Kegiatan tersebut cukup menarik karena dilaksanakan di pusat aktivitas keagamaan umat Kristiani, yaitu Vatikan. Pelaksanaan ini cukup memberi dampak bagi hubungan Islam-Barat.
Sayangnya, keberhasilan mempertemukan Eropa dan Asia (dalam hal ini juga entitas Islam) tidak dibarengi oleh keberhasilan mempertemukan entitas lain dari Barat, yaitu Amerika Serikat. Sampai sekarang, arogansi Amerika Serikat masih menjadi penghalang rekonsiliasi dan dialog dengan umat Islam.
Memang, hegemoni Amerika Serikat pascaperang dingin telah menghasilkan perang dengan Irak dan Afghanistan, dua negara Islam. Amerika Serikat telah menjadi kekuatan hegemon yang pada gilirannya menghasilkan kekuatan unipolar di dunia (Setiawati, 2003: 53). Amerika Serikat melakukan serangkaian serangan, membunuh banyak rakyat sipil, dan menjatuhkan rejim yang ada di dua negara tersebut. Hal tersebut semakin menegaskan hegemoni Amerika Serikat yang akhirnya memperlebar kesenjangan hubungan Islam-Barat.
Faktor Global Campaign of War on Terrorism yang banyak diarahkan kepada kelompok-kelompok Islam juga menjadi salah satu penyebab ketidakharmonisan hubungan Islam dan Barat. Di samping itu, sikap kontradiktif yang dilakukan oleh Amerika Serikat dengan selalu memveto resolusi atas Israel juga membuat citra Amerika Serikat menjadi negative di negara-negara Islam. Padahal Israel kerapkali melakukan serangan ke wilayah territorial Palestina (seperti pada tanggal 27 Desember 2008) dan telah menjadi common enemy umat Islam (Sihbudi, 1997).
Dalam hal ini, politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif dapat menjadi sebuah alat untuk menghubungkan kedua entitas ini. Indonesia tak boleh terkooptasi oleh kepentingan Amerika Serikat atau Barat, tetapi tetap mengusahakan perdamaian dengan jalan-jalan yang moderat. Interfaith Dialogue dapat menjadi salah satu alternatif pendekatan untuk merajut kembali hubungan yang retak tersebut.
E. Kritik dan Evaluasi atas Interfaith Dialogue
Pelaksanaan interfaith dialogue, di satu sisi, memang memberikan beberapa implikasi positif. Akan tetapi, ada beberapa hal yang perlu dikritisi dari pelaksanaan interfaith dialogue tersebut agar pelaksanaan ke depan dapat lebih efektif.
Pertama, kategori kaum moderat sebagai konstituen diplomasi harus jelas. Ketika pemerintah melaksanakan kegiatan interfaith dialogue, pihak yang dilibatkan harus jelas dan memang betul-betul memenuhi kriteria “moderat” yang ditentukan. Selama ini, terlihat bahwa tidak semua elemen umat Islam dilibatkan dalam diplomasi publik. Selain itu, banyak tokoh yang dilibatkan selama ini juga dikenal, setidaknya oleh beberapa kalangan umat Islam, sebagai Islam liberal. Padahal, masih ada elemen lain yang berpotensi menjadi elemen moderat atau memiliki relasi yang cukup baik dengan kalangan umat Islam di dunia internasional. Maka, kategori dan kriteria moderat menjadi urgent untuk didefinisikan.
Kedua, substansi dan materi dialog harus jelas, tepat sasaran, dan tidak masuk pada persoalan teologis. Dialog antarkepercayaan tidak berarti kampanye untuk pluralisme agama atau sekularisme. Perlu diingat, interfaith dialogue tidak berarti mengaburkan batas-batas agama, karena perbedaan teologis yang terdapat pada setiap agama bukan sesuatu yang harus dihilangkan, melainkan sesuatu yang harus dikelola agar toleransi terbangun. Maka, materi dialog harus dibatasi pada isu-isu sosial yang berkaitan dengan hubungan antarkepercayaan, bukan pada persoalan kepercayaan.
Ketiga, agenda interfaith dialogue harus tetap memperhatikan isu-isu internasional penting, semisal kemiskinan atau resolusi konflik internasional. Adanya dialog tidak berarti menutup mata atas perjuangan rakyat Palestina atau kemiskinan di Afrika. Agenda dialog antarkepercayaan seharusnya justru menjadi media komunikasi atau penghubung antarnegara yang terlibat konflik. Selama ini, agenda dialog antarkepercayaan terkesan sangat elitis dan cukup jarang membahas isu-isu krusial seperti perdamaian di Palestina atau kesenjangan antara global north dan global south (Kegley, 2006). Maka, materi dialog pun harus tetap memperhatikan nasib mereka yang tertindas secara struktural dengan tetap memperhatikan masalah utama yang dibahas.
Keempat, pemerintah perlu melakukan sosialisasi interfaith dialogue kepada masyarakat secara tepat, dengan maksud mengenalkan asas-asas toleransi antarumat beragama. Hal ini cukup penting karena sentimen antarumat beragama cukup rawan terjadi dan potensi konflik pun masih ada di beberapa tempat. Namun, perlu digarisbawahi, poin keempat ini harus mengacu pada poin pertama dan kedua di atas. Hal ini berarti interfaith dialogue pada level lokal dan nasional harus merangkul semua elemen umat Islam –bukan hanya elemen tertentu—dan tidak boleh memasuki persoalan-persoalan teologis yang sangat vital dalam masing-masing agama. Interfaith dialogue, penulis tegaskan kembali, dilakukan dengan tujuan mencapai kerukunan antarumat beragama di Indonesia, bukan untuk mengaburkan pandangan keagamaan salah satu agama.
G. Relevankah Interfaith Dialogue bagi Diplomasi RI? Simpulan Analisis
Interfaith dialogue atau dialog antarkepercayaan telah menjadi salah satu bagian dalam agenda diplomasi publik RI periode 2004-2006. Pada periode tersebut, diplomasi Indonesia lebih bergerak secara dinamis dalam merangkul konstituen diplomasi dan melakukan pencitraan negara secara positif di dunia internasional.
Rangkaian kegiatan dalam kurun waktu 2004-2006 tersebut dimulai dengan International Conference of Islamic Scholars di Jakarta tahun 2004 hingga terakhir dilaksanakan pada September 2006 dengan kegiatan Tripartite Forum on High-Level Conference on Interfaith Cooperation for Peace di New York. Rangkaian kegiatan tersebut merupakan bagian dari propaganda Departemen Luar Negeri RI mengenai wajah Indonesia baru yang moderat, demokratis, dan progresif.
Setidaknya, ada tiga implikasi positif yang muncul dari penyelenggaraan rangkaian kegiatan interfaith dialogues ini, yaitu: (1) meningkatnya posisi tawar Indonesia dalam diplomasi multilateral; (2) membaiknya hubungan bilateral dengan beberapa negara mitra strategis; dan (3) berperannya Indonesia dalam perbaikan hubungan Islam-Barat yang merenggang. Implikasi positif ini akan berpeluang menjadi soft power bagi Indonesia jika agenda dialog dikelola secara baik dan konsisten.
Namun, ada empat hal yang perlu dievaluasi dari pelaksanaan interfaith dialogue ini, antara lain: (1) harus ada kejelasan kriteria “moderat” yang menjadi kriteria peserta dialog; (2) substansi dan materi dialog tidak boleh bergerak terlalu jauh ke persoalan-persoalan teologis atau internal agama; (3) Isu-isu global yang krusial tak boleh dilupakan hanya karena adanya proses dialog yang melibatkan tokoh agama setempat; dan (4) perlu ada sosialisasi interfaith dialogue ke level lokal dan nasional di Indonesia agar potensi konflik antarkepercayaan dapat dikurangi di Indonesia sendiri.
Pelaksanaan interfaith dialogue secara umum cukup positif dalam agenda diplomasi publik RI. Hanya saja, perlu ada pembenahan di beberapa elemen dialog agar konstituen diplomasi dapat dirangkul dengan baik dan pelaksanaan dialog juga efektif. Dengan demikian, untuk ke depan, perlu adanya konsistensi dan komitmen dari pemutus kebijakan luar negeri untuk tetap dapat mengamalkan asas “menjaga perdamaian abadi” dalam setiap langkah diplomatik yang diambil.
DAFTAR PUSTAKA
A. Pustaka Literatur
Berridge, G. R. Diplomacy: Theory and Practice (London: Palgrave, 2002, second edition).
Berridge, G. R. and Alan James. A Dictionary of Diplomacy (London: Palgrave, 2003, second edition).
Djalal, Dino Patti. Harus Bisa! Seni Memimpin A La SBY (Jakarta: R&W Publishing, 2008).
Diamond, Louise and John McDonald. Multi-Track Diplomacy: A System Approach to Peace (Connecticut: Kumarian Press, 1996, Third Edition).
Echols, John M. and Hassan Shadily. An English-Indonesian Dictionary (Ithaca, N.Y: Cornell University Press).
Fukuyama, Francis. The End of History and The Last Man (New York: The Free Press, 1992).
Huntington, Samuel. The Clash of Civilization and The Remaking of World Order (New York: Simon & Schuster, 1997).
Husaini, Adian. Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya (Jakarta: Gema Insani Press, 2002).
Kegley, Charles W and Eugene Wittkopf. World Politics: Trends and Transformation (Belmont: Thomson Wadsworth, 2006).
Morgenthau, Hans J. Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace (New York, N.Y: Alfred A. Knopf, 1956, second edition, revised).
Mujani, Saeful. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Politik, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru (Jakarta: Gramedia, 2007).
Nashir, Haedar. Meneguhkan Ideologi Gerakan Muhammadiyah (Malang: UMM, 2006).
Nye, Joseph Jr. Soft Power (New York, N.Y: Public Affairs, 2004).
Rasjidi. Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi (Jakarta: Bulan Bintang, 1972).
Setiawati, Siti Mutiah, et. al. Irak di Bawah Kekuasaan Amerika: Dampaknya bagi Stabilitas Politik Timur Tengah dan Reaksi (Rakyat) Indonesia (Yogyakarta: PPMTT HI FISIPOL UGM, 2004).
Sihbudi, Riza. Indonesia-Timur Tengah: Masalah dan Prospek (Jakarta: Gema Insani Press, 1997).
Simpson, Smith. Perspectives on the Study of Diplomacy (Washington, D.C: Institute for the Study of Diplomacy, Georgetown University, 1986).
B. Artikel dan Jurnal
Fukuyama, Francis. The End of History? National Interest, Summer 1989. diakses melalui http://www.wesjones.com/eoh.htm pada 29 Desember 2008.
Luhulima, CPF. Regionalisme dan Politik Luar Negeri Indonesia. Kompas, 29 Agustus 2005.
Perwita, Anak Agung Banyu. Hubungan Indonesia-Australia. Kompas, 13 Juni 2008.
Priatna, PLE. Politik Luar Negeri RI. Kompas, 29 Agustus 2005.
C. Berita
Menlu RI: Diplomasi Publik Tanpa Harus Berbohong. Antara, 10 Februari 2008.
Presiden: Jadikan ASEM Dialog Multilateralisme. Kompas, 11 September 2006.
AS Bela Israel, Hamas Bersumpah Bertahan. Kompas, 28 Desember 2008.
D. Dokumen On-Line
Departemen Luar Negeri RI. Sekilas Diplomasi Publik, http://www.deplu.go.id/?category_id=127.
___________________________________. Kebijakan Departemen Luar Negeri. http://www.deplu.go.id/?language=id&category_id=12&news_id=934&main_id=1&
___________________________________. Indonesia-Australia bekerjasama dengan Muhammadiyah menyelenggarakan suatu Dialog mengenai Kerjasama Lintas Agama (Siaran Pers). http://www.deplu.go.id/?language=id&press_id=66&
___________________________________. Susunan Pejabat Departemen Luar Negeri Republik Indonesia. http://www.deplu.go.id/?category_id=103.