Rabu, 28 Januari 2009

Sujud Pak Tua di Ujung Jalan


Senarai azan Maghrib telah berlalu beberapa waktu yang lalu. Sinar mentari senja telah beranjak dari peraduannya, digantikan oleh keremangan bulan yang membawa suasana hati, syahdu dan tenang. Gaduh suara nyanyian di tempat hiburan seberang tetap tak mengusik ketenangan para pencari Allah yang bertafakur, melantunkan zikir, membatinkan istighfar, memohon ampunan atas dosa-dosa yang diperbuat.

Di sebuah mesjid di ujung jalan itu ia bersimpuh, mengadu pada Allah akan segala kesalahan dan kekeliruannya selama hidup. Ia, pak tua yang tengah mencucurkan air mata di atas seurai sajadah hijau, mengadukan segala kekhilafan yang telah lama ia lakukan, mencoba memasuki pintu taubat yang katanya masih terbuka lebar.

Sungguh keheningan malam membawanya datang untuk kembali, menatap kealpaan dirinya yang berlumur dosa. Terbayang di hatinya, betapa naif ia sebagai hamba yang baru bersimpuh pucat di hadapan Rabbul Izzah ketika bisik Malaikat Izrail yang membawa cemeti kematian terasa di telinganya. Takut, cemas, risau, dan resah menancap di hatinya sementara nuraninya kembali bangkit, mengingatkannya untuk kembali membersihkan jiwa di hadapan Allah yang selalu mengampuni semua dosa manusia.



Ah, rupanya ia masih punya nurani. Padahal sekian tahun yang lalu nuraninya bagai terkunci tanpa dapat menghentikan kelakuan tangan dan kakinya yang terus bermaksiat pada Allah. Sekian tahun yang lalu, kecemasan tak pernah terbayang di pikirannya karena tuntutan materi tengah membutakan mata hatinya.




Memorinya kembali pada sekian tahun yang lalu. Ia, sang guru sukses yang terpilih sebagai kepala sekolah di sebuah sekolah ternama. Ia masih ingat ratusan suara optimis mengalir padanya, menyatakan dukungan dan kesediaan untuk membantunya. Suara-suara mereka yang optimis akan keberhasilan sekolah itu masih terngiang di telinganya. Dijawab dengan seuntai janji dan program yang optimis pula. Tentunya ditambah sedikit insentif demi keberhasilan dan kemajuan sekolah itu.

Ah, ya. Di sinilah awal mula penderitaan itu. Rupanya biaya untuk menjadi kepala sekolah yang terlampau besar telah menggelapkan matanya. Lobi di sana-sini telah membuatnya lelah. Nafsunya memberontak, ingin uangnya kembali. Pikiran sang Kepala sekolah pun tertuju pada strategi pengembalian. Bagaimana uangnya dapat kembali dengan hanya mengandalkan gaji kepala sekolah yang tidak seberapa? Lama ia berpikir. Satu-satunya jalan yang terpikir olehnya hanyalah dengan mencari “kantong-kantong uang” di sekolahnya dan mengambil isinya.

Kantong uang?

Nafsunya menemukan jawab. Tak lain, uang APBS (Anggaran Penerimaan dan Belanja Sekolah) yang diambil dari uang Komite Sekolah dan uang pangkal siswalah yang menjadi “kantong uang” tersebut. Asalkan banyak pihak yang membantu, tentu hal tersebut tidak mustahil. Sang Kepala Sekolah kembali berpikir keras. Tak lain, jalan yang harus ditempuhnya adalah dengan mempengaruhi Wakasek-wakasek yang baru saja diangkat. Tak lupa Kepala Tata Usaha yang memang berpikiran sama dengannya.

Hatinya seakan dibutakan oleh hasrat berkuasa. Mata batinnya seakan tertutup oleh angan semu yang menginginkan harta dan tahta. Jabatan telah didapat, apa lagi yang ditunggu? Sungguh, ambisi yang tak dibarengi dengan kebesaran hati dan kearifan nurani. Semua yang ada di pikirannya hanyalah, uang, uang, dam uang.

Adakah setitik rasa malu di hatinya? Ah, rupanya kini nuraninya tak lagi bicara. Bahkan, titel “H” yang kini telah terukir di depan namanya pun tak mampu membuat sang nurani berbicara.

Sampailah akhir tahun ajaran. Alih-alih mengembalikan uang, ia malah menggunakan sisa dana untuk keperluan lain. “Syukuran”, begitu ia mengistilahkan penggunaan dana tersebut. Sisa APBS pun keluar. Ke mana lagi kalau bukan untuk makan-makan sesama pengelola sekolah. Pertanggungjawaban pun ditulis dengan realisasi 100% tiap item kegiatan. Wow!




Lima belas tahun sudah ia memimpin sekolah bertaraf internasional itu, bukan waktu yang sedikit. Lima belas tahun itu pula ia dengan santainya mengelabui mata para guru, siswa, dan orang tua siswa, menggerogoti uang pendidikan yang diamanahkan padanya. Uang rupanya telah membutakan nuraninya, menggelapkan mata batinnya, memadamkan cahaya hatinya.

Akan tetapi kini wibawanya tak seperti dulu lagi. Popularitasnya telah memudar. Badan audit yang rupanya mencium ketidakberesan pengelolaan keuangan di sekolahnya kemudian turun untuk melakukan inspeksi. Benar saja, ia dicurigai korupsi! Sesal rupanya selalu datang kemudian, ia dicopot dari jabatannya sebagai kepala sekolah. Beruntung ia tak diperkarakan atas kelakuannya yang menyimpang. Ah, sesal memang selalu datang kemudian.

Kini sang Kepala Sekolah telah pensiun. Empat tahun sejak ia dicurigai korupsi dan dipindahkan dari sekolahnya itu, ia berpindah-pindah dari satu sekolah ke sekolah lain. Terakhir, ia mengajar selama satu tahun di sekolah pinggiran yang berada di ujung kota, jauh dari hiruk-pikuk keramaian. Itu pun tidak lagi sebagai kepala sekolah karena banyak sekolah yang menolaknya.

Predikat koruptor telah disandangnya akibat perbuatannya membuat laporan fiktif, menggunakan uang taktis, dan memotong dana OSIS. Kini, ia telah pensiun dan hidup bersama isterinya, ditinggalkan anak-anaknya yang telah berkeluarga. Kehampaan meliputi dirinya. Ia haus dengan ketenangan jiwa yang tak pernah didapatnya ketika mengajar dulu. Bisikan di batinnya memanggil ia untuk menemukan kedamaian itu di rumah Allah, di mesjid yang dulu hampir tak pernah didatanginya. Bisikan di batinnya berkata, kembalilah!

Azan Isya pun berkumandang, menyeru manusia untuk kembali pada Rabb-Nya. Di pojok mesjid itu, Pak tua yang gemetar meratapi dosanya masih bersimpuh. Ia bertaubat. Sang kepala sekolah yang dulu gila harta, kini kembali pada kesuciannya. Kembali untuk memulai awal baru dengan kesucian. Di luar, langkah kaki jamaah mesjid terdengar, siap untuk menunaikan baktinya pada Sang Rabb. Pak tua itu pun bangkit, siap untuk turut memulai hidup baru dengan semangat baru yang menggebu: Aku harus berubah!

Di kala isya menjelang, seorang pak tua tertunduk lemah. Terbayang di pelupuk matanya gunungan dosa yang mengisi separuh hidupnya....

Seurai sajadah menjadi saksi
Nurani telah kembali!


Banjarmasin, 4 Muharram 1429


Cerpennya jelek sekali ya....

Mungkin, bukan tabiatku untuk menulis sebuah karya fiksi, lebih cocok pada analisis politik atau ekonomi.

Rabu, 21 Januari 2009

We Will Not Go Down (Song for Gaza)

WE WILL NOT GO DOWN (Song for Gaza)
(Composed by Michael Heart)
Copyright 2009

A blinding flash of white light
Lit up the sky over Gaza tonight
People running for cover
Not knowing whether they’re dead or alive

They came with their tanks and their planes
With ravaging fiery flames
And nothing remains
Just a voice rising up in the smoky haze

We (HAMAS) will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die

We (HAMAS) will not go down
In Gaza tonight

Women and children alike
Murdered and massacred night after night
While the so-called leaders of countries afar
Debated on who’s wrong or right

But their powerless words were in vain
And the bombs fell down like acid rain
But through the tears and the blood and the pain
You can still hear that voice through the smoky haze

We (HAMAS)will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die

We (HAMAS) will not go down
In Gaza tonight

*) The word "Hamas" is from Ahmad Rizky, author of this blog.

----

Lagu yang menyentuh, Bahwa Hamas takkan pernah dapat dijatuhkan, walaupun ratusan tank, pesawat tempur, atau serdadu yang kalap menginvasi tanah Palestina,,,

Palestina will remain to the Palestinian!

Senin, 19 Januari 2009

Catatan Kritis Agenda Barrack Obama

Pengantar

Selasa, 20 Januari 2009 akan menjadi sejarah baru Amerika Serikat: Pelantikan Barrack Husein Obama, Jr. sebagai Presiden AS ke-44. Pada event penting ini, publik akan menilai starting point yang dibuat oleh Obama untuk membuktikan retorika ‘Change We Can’ yang disuarakannya ketika kampanye.

Harapan Dunia?

Wajar jika dunia berharap pada figur Obama yang sering disebut-sebut sebagai antitesis dari George W. Bush –figur yang dianggap realis. Obama sering digambarkan sebagai seorang idealis yang akan mengubah paradigma politik luar negeri AS menjadi lebih bercitra positif, bukan struggle for power seperti selama ini dipraktikkan oleh Bush. Oleh karena itulah, jargon ‘Change We Can’ Obama ditangkap oleh masyarakat transnasional sebagai sinyal harapan atas terwujudnya Amerika Baru yang lebih damai dan berkeadilan.

Benarkah demikian? Tunggu dulu. Obama boleh saja berkampanye dengan janji untuk menawarkan perubahan, tetapi kita tak boleh terburu-buru mengklaim bahwa politik luar negeri AS akan secepat itu berubah di tangan seorang Barrack Obama. Sebab, politik luar negeri Amerika Serikat di Timur Tengah telah diformulasi untuk menjaga kepentingan Israel, dan hal ini diamini oleh Obama sendiri ketika kampanye.

Memang, Obama mewakili kelompok yang berbeda haluan dengan rezim sebelumnya. Obama lebih dekat dengan kalangan muslim karena janji kampanyenya untuk menutup Guantanamo serta menarik pasukan dari Irak. Obama juga berbeda dengan Bush dalam menyikapi isu-isu internasional. Dan yang lebih penting, Obama adalah Presiden dari kalangan minoritas pertama di Amerika Serikat.

Akan tetapi, hal tersebut tidak serta merta menjadikan Obama sebagai aktor protagonis yang akan membawa tatanan kehidupan dunia yang damai. Sekalipun Obama adalah seorang yang idealis, kita harus berbicara dalam tataran Amerika Serikat yang sejak dua dekade yang lalu telah menjadi negara unipolar. Mengubah mindset, apalagi the whole system dalam politik luar negeri AS bukan perkara mudah untuk negara sekelas Amerika Serikat. Terlebih lagi, sikap Obama yang masih mendukung Israel akan membuatnya tidak jauh berbeda dengan presiden sebelumnya.

Israel dan Obama

Obama memang telah menyatakan kedekatan dengan Israel ketika berkampanye dulu. Dirilis oleh Al-Jazeera, Obama menyatakan, "Jerusalem will remain the capital of Israel and it must remain undivided". Untuk lebih menegaskan posisinya tersebut, beliau berkomentar, "I will never compromise when it comes to Israel's security". Obama menegaskan bahwa Jerusalem –seluruh Jerusalem, tentunya—adalah ibukota Israel dan tidak akan dibagi dengan Palestina.

Komentar tersebut jelas sepihak dan terkesan tidak melihat pada realitas. Klaim sepihak Israel atas Jerusalem justru akan membuat eskalasi konflik semakin memanas, tidak saja kepada umat, tetapi juga kepada umat Kristiani karena kota ini merupakan tempat suci bagi tiga agama tersebut. Apalagi, secara teritorial, Jerusalem Timur adalah bagian dari wilayah Palestina, bukan Israel.

Sikap Obama terhadap Hamas juga demikian. Ketika ditanya tentang Hamas, Obama berkata, "We must isolate Hamas unless and until they renounce terrorism, recognise Israel's right to exist, and abide by past agreements". Padahal, jika mengacu pada hasil Pemilu 2006, Hamas adalah pemegang kursi mayoritas di Parlemen dan mereka memiliki hak untuk membentuk pemerintahan. Sikap mengisolasi Hamas justru bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan menunjukkan gejala intervensionisme yang melekat dalam diri Barrack Obama.

Hal ini juga tidak membedakan Bush dan Obama, bahwa mereka pada dasarnya sama-sama mencari posisi "aman" ketika berbicara tentang Israel. Sehingga, bukan sebuah kejutan ketika Obama justru bersikap pasif dan terkesan saving face dalam menyikapi agresi Israel ke Jalur Gaza yang menewaskan sedikitnya 1000 warga Palestina. Padahal, agresi tersebut telah melanggar Konvensi Jenewa IV (1949) dan dikutuk oleh jutaan orang dari berbagai penjuru dunia.

Faktor Israel yang tidak disentuh oleh Obama menjadi sebuah pertanyaan besar bagi komitmen Obama terhadap stabilitas Timur Tengah. Karena, keberadaan Israel dan pendudukannya terhadap Palestina telah jelas menjadi penyebab konflik selama bertahun-tahun. Jika Obama justru mendukung keberadaan Israel, stabilitas justru tidak akan dapat tercapai dan hal tersebut kontraproduktif dengan komitmen yang telah dibangun Obama.

Catatan Kritis

Setidaknya, ada dua hal penting yang patut menjadi catatan dalam figur Barrack Obama.

Pertama, walaupun Obama sering menyuarakan perubahan, kita harus mengakui bahwa Obama masih harus menghadapi kekuatan lobi yang pro terhadap Israel di birokrasi dan Kongres AS. Faktor inilah yang, seperti diakui oleh G.R. Berridge, pakar diplomasi, memegang peranan kunci dalam politik luar negeri AS beberapa dekade terakhir. Jika Obama tidak mengantisipasi keberadaan mereka, baik sebagai lobbyist, politisi, ekonom, ataupun pejabat di pemerintahan, Obama takkan dapat dibedakan dengan Bush dalam politik luar negerinya.

Kedua, sikap diam Obama terhadap isu Gaza serta dukungannya terhadap Israel masih menandakan Obama tidak memiliki idealisme untuk menuntaskan masalah Palestina secara berkeadilan. Konferensi Annapolis yang menjembatani Israel dan Palestina (Fatah) telah gagal dan Israel secara tak terkendali menginvasi Jalur Gaza. Seharusnya, sebagai seorang ‘idealis’, invasi ini dikecam dan diselesaikan secara adil. Hal ini berbeda dengan kasus Irak dan Guantanamo yang telah menjadi komoditi isu untuk diangkat oleh Obama pada waktu kampanye. Sikap pasif dan mendukung Israel ini kontraproduktif dengan janji perubahan yang ditawarkannya.

Maka, sikap terbaik adalah tidak larut dalam euforia kemenangan Obama, tetapi tetap kritis dalam menilai kebijakan-kebijakan yang diambilnya. Jangan berharap lebih dari apa yang dapat dilakukan oleh seorang Obama, seberapa idealisnya dia, di sebuah negara adidaya dengan lobi-lobi Zionis yang hegemonik. Let us just wait and see!

Jumat, 16 Januari 2009

'Mr. President' Obama? Jangan Berharap Lebih!

Euforia kemenangan Barrack Obama dalam Pemilu AS akan menemui momentum pentingnya pada 20 Januari 2009 ini: Pelantikan Obama sebagai Presiden AS ke-44. Pada event penting ini, publik akan menilai starting point yang dibuat oleh Obama untuk membuktikan retorika ‘Change We Can’ yang disuarakannya ketika kampanye.

Wajar jika dunia berharap pada figur Obama yang sering disebut-sebut sebagai antitesis dari George W. Bush –figur yang dianggap realis. Obama sering digambarkan sebagai seorang idealis dan akan mengubah paradigma politik luar negeri AS yang sangat struggle for power. Kampanye Obama yang selalu menawarkan perubahan (‘Change We Can’) ditangkap oleh komunitas global sebagai sinyal harapan dan perubahan.

Benarkah demikian? Nur Rahmat Yuliantoro, Dosen Hubungan Internasional UGM dalam website pribadinya (http://dragonandeagle.blogspot.com/2008/11/new-changed-america-dont-get-too.html) pernah mengatakan, “Don’t get too excited!” Jangan berlebihan dalam menyikapi kemenangan Obama dan mengharap perubahan. Karena, apa yang disuarakan oleh Barrack Obama hanya retorika kampanye dan belum dibuktikan secara empiris dalam kebijakan yang akan diambilnya.

Memang, Obama mewakili kelompok yang berbeda haluan dengan rezim sebelumnya. Obama lebih optimis dalam menyongsong masa depan yang lebih damai. Obama memiliki visi untuk mengembalikan citra Amerika melalui perubahan dan memperbaiki kesalahan yang telah dibuat oleh rezim Bush. Dan yang lebih penting, Obama adalah Presiden dari kalangan minoritas pertama di Amerika Serikat yang pernah hidup di Indonesia.

Akan tetapi, hal tersebut tidak serta merta menjadikan Obama sebagai aktor protagonis yang akan membawa tatanan kehidupan dunia yang damai. Sekalipun Obama adalah seorang yang idealis, kita harus berbicara dalam tataran Amerika Serikat yang sejak dua dekade yang lalu telah menjadi negara unipolar. Ketika Obama datang, ia akan menghadapi banyak tantangan untuk negara sekaliber Amerika Serikat, terutama dalam birokrasi dan lobi-lobi di sekitar White House. Apalagi banyak figur lain yang berada di balik kemenangan Obama yang tidak diketahui publik.

Setidaknya, ada beberapa hal yang patut menjadi catatan dalam figur Barrack Obama.

Pertama, walaupun Obama sering menyuarakan perubahan (‘Change’), kita harus mengakui bahwa Obama masih harus menghadapi kekuatan lobi yang pro terhadap Israel di birokrasi dan Kongres AS. Faktor inilah yang, seperti diakui oleh G.R. Berridge, pakar diplomasi, memegang peranan kunci dalam politik luar negeri AS.

Kedua, sikap diam Obama terhadap isu Gaza serta dukungannya terhadap Israel masih menandakan kedekatan Obama dengan Israel, sehingga penyelesaian kasus Gaza diperkirakan masih akan terhambat. Obama sendiri bahkan dalam kampanye menyatakan dirinya sebagai true friend of Israel, dan jelas mengindikasikan kecenderungan politik luar negeri Obama.

Ketiga, Obama harus menghadapi tantangan besar yaitu merestabilisasi perekonomian AS, dan hal ini bukan merupakan perkara yang mudah. Krisis ekonomi global telah menelan beberapa lembaga keuangan raksasa sehingga efeknya tidak hanya dirasakan oleh AS, tetapi juga oleh negara-negara lain. Perlu diingat, Obama tidak mungkin mengintervensi pasar di negara yang sangat liberal seperti AS. Obama mungkin memiliki visi, tetapi penjabaran visi tersebut juga memerlukan perangkat birokrasi dan sistem yang kuat. Apalagi, defisit yang diwariskan oleh Bush juga sangat besar.

Dengan demikian, kita hanya bisa menunggu perkembangan selanjutnya, apakah Obama masih konsisten dengan idealismenya, atau terjatuh dalam pusaran realisme politik yang tertanam dalam politik luar negeri AS. Maka, tak salah jika Pak Rahmat yang sekarang sedang S3 di Australia mengatakan: Don’t Get too Excited! let's not be fooled by what he has promised!

Selasa, 13 Januari 2009

(Israel) Langgar Hukum Internasional


Agresi militer Israel, selain membunuh ratusan warga sipil, juga menghancurkan ratusan fasilitas sipil (termasuk sekolah PBB dan masjid) melalui serangan udara dan menghalangi bantuan internasional yang akan masuk ke Palestina. Intifadhah kembali bergolak; Semangat jihad menggelora. Ironisnya, PBB belum mampu berbuat apa-apa, negara Arab tak mampu bersuara untuk membela saudara mereka yang tertindas.


Hans J. Morgenthau dalam bukunya, Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace (1948) jauh-jauh hari telah memperingatkan, realisme politik yang ditunjukkan melalui aksi show of force militer harus diredam dengan supremasi hukum internasional atau perimbangan kekuasaan (balance of power). Dominasi Israel –dengan dukungan Amerika Serikat, tentunya— harus diimbangi. Tanpa respons PBB dan penegakan supremasi hukum internasional, Israel tidak hanya menegakkan hegemoninya di Timur Tengah, tetapi juga telah menjadi mesin pembunuh bagi warga sipil Palestina.


Israel boleh saja mengklaim bahwa aksi militer sepihak mereka dipicu oleh serangan roket Hamas, tetapi fakta bahwa Israel telah melancarkan sebuah agresi yang menelan ratusan warga sipil juga melanggar hukum internasional. Apalagi, Israel tidak saja membunuh warga sipil, tetapi juga menghancurkan sekolah dan rumah sakit, memblokade perbatasan, mengisolasi daratan Palestina secara teritorial, bahkan membunuh wartawan yang meliput di Gaza.


Konvensi Jenewa IV (1949) tentang Perlindungan terhadap Warga Sipil pada Saat Peperangan article 3 dan 22 telah melarang militer untuk merusak fasilitas sipil atau menghalangi bantuan kemanusiaan yang mengobati warga sipil. Article 19, misalnya, menjelaskan bahwa proteksi terhadap rumah sakit yang mengurus warga sipil tidak boleh ditembaki, apalagi dihancurkan melalui serangan udara, sehingga mereka dapat melakukan tugas kemanusiaannya. Dalam hal ini, tempat pengungsi yang menjadi tempat pengobatan juga tak boleh dihancurkan.


(The protection to which civilian hospitals are entitled shall not cease unless they are used to commit, outside their humanitarian duties, acts harmful to the enemy. Protection may, however, cease only after due warning has been given, naming, in all appropriate cases, a reasonable time limit and after such warning has remained unheeded. The fact that sick or wounded members of the armed forces are nursed in these hospitals, or the presence of small arms and ammunition taken from such combatants which have not yet been handed to the proper service, shall not be considered to be acts harmful to the enemy).


Artinya, dengan serangan Israel terhadap sekolah PBB yang memuat para pengungsi, dan tindakan PBB yang menghalangi bantuan kemanusiaan untuk masuk ke Gaza telah melanggar pasal tersebut. Perlu diingat, pasal tersebut hanya salah satu pasal dari Konvensi Jenewa yang dilanggar oleh Israel. Hal ini menandakan agresi militer Israel sebenarnya adalah sebuah kejahatan kemanusiaan yang harus ditindak tegas secara hukum internasional.


Akan tetapi, mengapa PBB sebagai kuasa besar yang seharusnya mampu menekan Israel belum bergerak? Bukankah sekolah PBB sudah dirusak, bantuan kemanusiaan dihalangi, hukum internasional dilanggar, dan warga sipil dibunuh? Apakah PBB masih harus menunggu legitimasi dari Amerika Serikat yang keadilannya tak mungkin diharapkan? Ketika gencatan senjata tak dapat menghentikan aksi militer sepihak Israel, sudah selayaknya sebuah resolusi tegas yang memberikan sanksi kepada Israel turun. Kendati, hal ini akan berbenturan Sikap Amerika Serikat yang mendukung Israel tanpa reserve.


Agresi militer Israel ke Palestina, tak pelak lagi, merupajkan catatan kelam bagi supremasi hukum internasional. Hal ini menjadi penegas bahwa struktur dan perangkat PBB harus segera direformasi total. Kita menunggu tatanan dunia yang berkeadilan dan damai.


Artikel dimuat di "Mereka Bicara" Banjarmasin Post, 13 Januari 2008.

Membaca Dinamika Ilmu Sosial Kontemporer

Pengantar: Berdialektika dalam Ilmu Sosial

Memahami ilmu sosial, berarti memahami sebuah proses dialektika yang panjang dan luas sejak era Yunani Kuno, Islam, sampai era Modern. Ilmu sosial telah menapaki sebuah garis waktu yang begitu panjang dengan berbagai dinamika di sekelilingnya. Aristoteles dan Plato telah memulai proses dialektika tersebut; pemikiran klasik yang kemudian dikenal dengan Rasionalisme dan Empirisme menjadi sebuah titik tolak proses dialektika dalam ilmu sosial yang berkembang hingga saat ini. Persoalannya, bagaimana sebenarnya perkembangan dan proses dialektika ilmu sosial tersebut dari masa ke masa? Esai ini akan menguraikan secara ringkas proses dialektika yang panjang tersebut beserta kondisi ilmu sosial di Indonesia.

Periode Klasik: Mencari Metode Penalaran

Fase penemuan fondasi dari ilmu sosial merupakan karakteristik utama dari periode klasik. Adalah Socrates (469-399 BC), seorang filosof Yunani Kuno yang menjadi pionir proses berpikir ilmiah tersebut, hingga lahirlah sebuah produk keilmuan yang sekarang kita kenal dengan ilmu sosial. Peran Socrates sangat vital: beliau mendirikan konstruksi dasar ilmu sosial dalam proses dialog dan perdebatan, memberi dasar logika dalam proses pencarian kebenaran, dan membuktikan sebuah fenomena dengan pendekatan deduktif-logis. Socrates pun harus membayar mahal upaya pembangunan ilmu sosial yang telah dilakukannya dengan hukuman mati karena dianggap telah “menyerang” kepercayaan masyarakat pada waktu tersebut. Ia telah menjadi “martir” bagi penemuan ilmu sosial.

Fondasi dasar yang telah digariskan oleh Socrates kemudian dikembangkan oleh pemikir generasi setelahnya: Plato dan Aristoteles. Plato (427-347 BC), murid terkemuka Socrates, melanjutkan upaya Socrates dalam membangun ilmu sosial dengan menulis ulang pembelaan Socrates di hadapan juri dalam karya klasiknya: Apologi. Plato juga memberi fondasi dasar bagi sistem ketatanegaraan Yunani yang kemudian mendasari lahirnya Republik sebagai sebuah model negara demokratis. Salah satu dasar pemikirannya ialah rasionalisme, yang ditegaskan oleh Descartes dengan istilah “Cogito Ergo Sum” yang cukup terkenal, dan Hegel dengan konsep dialektikanya.

Sebuah karya yang cemerlang, tentu saja. Namun, kita tak dapat mengesampingkan peran Aristoteles (384-322 BC), murid Plato. Inilah sebuah proses dialektika yang panjang: Meski Aristoteles merupakan murid dari Plato, tetapi kapasitas intelektualnya dapat disamakan dengan gurunya tersebut. Aristoteles melahirkan konsep Animal Rationale, hewan yang berpikir/rasional) dan Zoon Politicon, yang menganggap manusia adalah makhluk yang terikat dengan masyarakat dan terkait dengan kehidupan politik (berurusan dengan masyarakat). Produk pemikirannya, empirisme, kemudian menjadi sebuah mazhab tersendiri dalam ilmu sosial.

Aristoteles berbeda dengan Plato dalam memahami realitas: Plato, dengan rasionalismenya, beranggapan bahwa proses dan metode keilmuan manusia pada intinya adalah proses berpikir; Eksistensi ilmu diukur dari kadar pemikiran dan ide manusia. Namun, bagi Aristoteles, realitas harus dilihat secara empiris dan harus berdasarkan pengalaman yang ditangkap oleh pancaindera manusia. Persoalan inilah yang melahirkan dua mazhab besar ilmu sosial: Empirisme vs Rasionalisme.

Patut dicermati, ilmu sosial klasik di era Yunani Kuno sangat dipengaruhi oleh filsafat. Logika begitu dibangga-banggakan sehingga nuansa filsafat dalam ilmu sosial klasik sangat terlihat. Namun, seiring dengan penaklukkan Romawi atas Yunani serta munculnya The Dark Age, proses keilmuan tersebut terkubur oleh superordinasi gereja yang mengekang akal. Eropa mengalami fase kemunduran dalam ilmu pengetahuan karena feodalisasi dan proses politik yang sedemikan kalut. Cahaya keilmuan baru bangkit setelah abad ke-6 M, ketika sebuah kebudayaan baru muncul di padang pasir bernama Hijaz: Kebudayaan Islam. Filsafat Yunani kembali digali dan dibangunkan oleh kebudayaan Islam yang mencapai puncak kejayaan di akhir millennium pertama masehi.

Periode Abad Pertengahan: Transformasi dalam Kebudayaan Islam

Memahami ilmu dalam Islam akan berbeda dengan memahami ilmu dalam filsafat Yunani Kuno. Kebudayaan Islam, seperti ditegaskan oleh Al-Qaradhawi (2004), bukanlah kebudayaan yang mengekang akal. Islam sangat menghormati Ilmu dan meletakkan ilmu dalam kedudukan yang tinggi, sehingga Ali bin Abi Thalib r.a. pernah menyatakan bahwa ketika ilmu dihadapkan dengan harta, ilmu selalu berada dalam posisi yang lebih terhormat, bagaimanapun keadaannya.

Fase The Dark Age yang dialami oleh Eropa di setengah periode dari millennium pertama masehi justru menjadi momentum kebangkitan ilmu dalam kerangka kebudayaan Islam. Sejarah mencatat bahwa dasar-dasar antropologi ditemukan oleh Rayhan Al-Biruni, seorang ilmuwan Islam yang secara gamblang merinci kebudayaan orang-orang di Timur Tengah, Pesisir Mediterania, dan Asia Selatan. Upaya Al-Biruni mendapatkan dukungan penuh dari Khalifah Al-Ma’mun yang mendirikan Baitul Hikmah, sebuah pusat peradaban keilmuan yang menggali kembali puing reruntuhan filsafat Yunani. Selain Al-Biruni, sejarah Islam juga mencatat Ibnu Khaldun yang memiliki kepakaran dalam sosiologi dan sejarah. Ibnu Khaldun mengutamakan pentingnya historiografi dalam penelitian sejarah dan mencatat bahwa nasionalisme (ashabiyah) dan loyalitas (ath-tha’ah) sangat berperan dalam proses pembentukan dan eksistensi sebuah negara (ad-daulah).

Bahkan dalam ilmu eksakta pun Kebudayan Islam memberi kontribusi yang signifikan. Kita mungkin tak pernah lupa bahwa textbook yang dipakai oleh beberapa universitas di Barat sampai awal abad ke-20 adalah The Canon yang ditulis oleh seorang pakar kedokteran di Spanyol., yaitu seorang muslim dari Cordoba yang bernama Ibnu Sina. Beliau dikenal oleh lingkungan akademis di Barat sebagai Avicena. Begitu pula dengan astronomi yang sedikit banyaknya dipengaruhi oleh Al-Khawarizm di Baghdad. Fakta ini menegaskan bahwa kontribusi kebudayaan Islam dalam pengembangan keilmuan tak dapat dipandang remeh.

Hal ini jelas menjadi indikator bahwa Baghdad –dengan kebudayaan Islamnya—pada kurun waktu yang cukup panjang pernah menjadi raison d’etre pengembangan keilmuan dunia menggantikan Yunani. Ketika Eropa ‘terlelap’ dengan era kegelapan, Islam datang sebagai sebuah savior dari ilmu sosial, sehingga kontinuitas dari proses keilmuan tetap terjaga. Namun, runtuhnya Khilafah Abbasiyah di tahun 1292 akibat invasi Hulagu Khan dari Mongol telah menceraikan kembali ilmu sosial. Produk keilmuan kembali redup, interaksi antara Islam dan ilmu sosial sudah tidak lagi terlihat. Ilmu sosial baru mengalami setelah era renaissance di awal abad ke-15.

Periode Modern: Kebangkitan Kembali?

Banyak ilmuwan sosial beranggapan, Ilmu sosial yang berkembang secara modern memiliki titik tolak sejak era renaissance. Proses kebangkitan kembali tersebut muncul setelah seorang filsuf Perancis, Rene Descartes, mendengungkan sebuah adagium terkenal: “Cogito Ergo Sum!” Aku berpikir, maka aku ada. Sujana (2006) menerjemahkan adagium tersebut sebagai tingginya posisi kesadaran intelektual manusia dalam mencari sebuah kebenaran. Adagium tersebut berakar pada konsep rasionalisme Plato dan diteruskan sebagai fondasi keilmuan oleh Descartes. Pada era ini, kehidupan intelektual kembali digalakkan, proses berpikir kembali dibangun.

Namun, kebangkitan ilmu sosial di era tersebut masih sebatas terbebasnya ilmu dari intervensi penguasa atau pendeta (kaum gereja) sehingga penemuan sosial baru saja dimulai kembali. Kampanye Descartes yang menjadi momentum kebangkitan ilmu sosial baru menuai hasil pada abad ke-17. Adalah Augusto Comte, seorang ilmuwan Perancis yang memelopori kebangkitan ilmu sosial modern tersebut. Di awal abad ke-17, teori beliau tentang tahap perkembangan permikiran manusia telah menjadi batu loncatan bagi perkembangan sosiologi modern. Namun, sosiologi sebagai sebuah disiplin akademis baru terlembaga di era Emile Durkheim, ketika secara resmi Sosiologi dipelajari sebagai disiplin ilmu di universitas.

Comte menerangkan tahap-tahap perkembangan pemikiran dan intelektualisme manusia dalam bukunya, Cours De Philosophie Positive. Pada buku tersebut, setidaknya ada tiga tahap perkembangan pemikiran manusia, yaitu: (1) Tahap teologis, tahap di mana manusia berpikir bahwa ada kekuatan di atas manusia yang mengendalikan manusia; (2) Tahap metafisis atau filosofis, tahap di mana manusia mulai mencari pemaknaan atas sebuah fenomena; dan (3) Tahap positif, tahap di mana kerangka pemikiran ilmiah mulai dibangun dalam proses penalaran yang sesuai.

Teori Comte ini mengilhami perkembangan ilmu sosial, dalam hal ini sosiologi. Tampillah beberapa intelektual terkemuka yang pemikirannya berakar dari teori Comte ini. Muncul Karl Marx dengan teori materialisme historis; Emile Durkheim dengan fungsionalisme, Herbert Spencer dengan analogi organik, atau Max Weber dengan pendekatan verstehen­nya. Tak dapat dibantah, kemunculan sosiologi kemudian berimplikasi pada lahirnya cabang ilmu sosial lain. Metode keilmuan Sosiologi mengilhami pendekatan pada ilmu politik, ilmu ekonomi, atau ilmu hukum sehingga fase kelahiran sosiologi dianggap sebagai fase kebangkitan kembali ilmu sosial modern.

Ilmu sosial modern tak dapat dilepaskan dari berbagai macam mazhab keilmuan yang pada umumnya diwakili oleh masing-masing universitas. Jika pada era Yunani dulu ada dua mazhab besar dalam ilmu sosial, yaitu rasionalisme dan empirisme, maka pada era modern ilmu sosial terfragmentasi menjadi beberapa mazhab : fungsionalisme (Emile Durkheim), strukturalisme (Talcott Parsons), evolusionisme (Herbert Spencer), psikologi sosial (Sigmund Freud) atau materialisme dialektis (Karl Marx). Fragmentasi ini mengakar dari perbedaan dalam memandang sebuah realitas sosial dan kemudian mempengaruhi pendekatan yang digunakan dalam menganalisis realitas tersebut. Pada era ini, muncul pula berbagai macam teori yang menjelaskan berbagai realitas sosial. Muncul beberapa teori seperti teori konflik (Ralf Dahrendorf), teori kemiskinan bersel (Clifford Geertz), teori fungsionalisme struktural (Talcott Parsons), teori budaya politik (Gabriel Almond), teori tahap pembangunan (Walt Rostow), atau teori interdependensi (Michael Todaro).

Satu hal lain yang tak dapat kita lupakan adalah ilmu politik. Ilmu politik sebagai sebuah disiplin akademis muncul pada 1870 di Perancis, pada Ecole Libre des Sciences Politiques. Namun sebelumnya, pada tahun 1858, Columbia College, New York mengangkat Francis Lieber sebagai guru besar sejarah dan ilmu politik. Ilmu politik kemudian berkembang sebagai sebuah disiplin akademis dan sampai sekarang dipelajari oleh mahasiswa dari berbagai penjuru dunia.

Ilmu Sosial di Indonesia: Wacana Akademis?

Perkembangan ilmu sosial di Indonesia sendiri pada dasarnya telah bermula sejak awal kemerdekaan, dengan didirikannya Universitas Gadjah Mada sebagai raison d’etre aktivitas keilmuan di Indonesia. Sebagai satu-satunya universitas pada waktu itu, UGM telah menjadi sarana awal dalam pengembangan ilmu sosial, kendati masih belum berbentuk sebuah fakultas. Ilmu sosial yang secara resmi dipelajari sebagai disiplin akademis baru dibangun pada akhir dekade 1950-an.

Dua universitas terkemuka di Indonesia, Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia, menjadi pelopor dalam pengembangan ilmu sosial sebagai bahasan akademik. UGM mendirikan Fakultas Sosial Politik (kemudian menjadi FISIPOL) dan UI mendirikan Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial (kemudian menjadi FISIP) sebagai satu fakultas yang khusus mempelajari ilmu sosial secara akademis. Dengan didirikannya dua fakultas tersebut, ilmu sosial telah mendapatkan pengakuan akademik di Indonesia dan secara formal telah menjadi bahasan studi bagi mahasiswa.

Tentunya, tantangan ilmu sosial di Indonesia begitu kompleks. Seiring perkembangan zaman, permasalahan sosial di Indonesia semakin banyak sehingga proses keilmuan tak hanya “terkurung” di dalam kampus, tetapi juga berlangsung di masyarakat. Praktis, para ilmuwan dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa penemuan-penemuan sosial harus secara kontinyu dilakukan agar masalah-masalah sosial tersebut dapat ditangani secara baik dengan memperhatikan implikasi-implikasi yang menyertai. Hal ini kemudian menjadi sebuah tantangan berat yang harus dihadapi oleh para ilmuwan sosial –terutama di Indonesia— agar eksistensi dan basis aksiologis ilmu sosial dapat terus terjaga.

Setidaknya, ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh para ilmuwan sosial Indonesia untuk menjalankan peran urgentnya tersebut.

Pertama, mengintesifkan penelitian. Selama ini, hanya sedikit ilmuwan Indonesia yang teorinya begitu terkenal dan dipakai sebagai teori. Mungkin hanya ada Koentjaraningrat yang menelurkan teori subsistem kebudayaan atau Nasikun yang mengusung teori sistem sosial di Indonesia. Selebihnya, teori tentang Indonesia justru didominasi oleh para “Indonesianist seperti Herbert Feith atau Clifford Geertz. Padahal, ketika kita berbicara tentang ilmu sosial sebagai ilmu murni (pure sciences), penelitian merupakan sebuah hal yang “wajib” dilakukan karena kontinuitas dan eksistensi ilmu sosial akan dibuktikan dengan adanya teori baru. Hal ini tak hanya berlaku untuk dosen atau peneliti saja, tetapi juga mahasiswa.

Kedua, mengefektifkan budaya tulis dalam bentuk publikasi buku. Boleh jadi, seorang dosen atau seorang peneliti memiliki kepakaran dalam bidang ilmu tertentu dengan kadar kepakaran yang tinggi. Tetapi, harus diakui, tidak semua ilmuwan produktif dalam menulis. Dalam tataran ilmuwan di UGM saja, misalnya, mereka yang produktif dalam menulis atau melakukan studi tidak banyak terkenal. Padahal, ilmuwan UGM telah memiliki basis intelektual dan pemahaman atas teori yang sangat kuat, juga telah memiliki wadah penerbitan sendiri, yaitu Gadjah Mada University Press (GMUP). Hal ini perlu menjadi bahan perhatian bagi para akademisi, intelektual, dan mahasiswa agar dapat membekali diri dengan kemampuan mengomunikasikan ide melalui media tulis.

Ketiga, merutinkan kebiasaan diskusi dan seminar. Sebuah proses dialektika dalam ilmu sosial takkan lengkap tanpa proses komunikasi verbal berupa diskusi atau seminar. Sebuah penelitian, wacana, atau kasus akan dapat diuji publik melalui seminar yang produktif dan konstruktif. Di sinilah kualitas dan kadar kepakaran seorang intelektual akan diuji dengan interaksi dan proses dialektika, meminjam istilah Hegel, di mana sebuah tesis akan melahirkan antitesis dan disintesiskan melalui interaksi tersebut. Hanya saja, perlu dicatat, sebuah proses seminar harus menghasilkan follow-up, atau minimal jawaban atas wacana yang beredar agar tidak menjadi wacana rutin yang menghilang setelah seminar selesai.

Simpulan Analisis: Ilmu Sosial dan Mahasiswa

Ilmu sosial telah melewati periode yang sangat panjang untuk diakui sebagai sebuah ilmu. Proses yang harus dijalani dengan hukuman mati, pengusiran, bahkan peperangan ini telah melahirkan sebuah bangunan ilmu yang sekarang menjadi bahasan akademik bagi mahasiswa di dunia. Arsitektur ilmu sosial yang telah dibangun oleh tangan-tangan para ilmuwan ini pun ternyata masih belum lengkap; Masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki oleh para ilmuwan sosial era sekarang dengan penelitian, diskusi, atau penulisan yang dilakukan secara intensif.

Era Socrates, Ibnu Khaldun, atau Emile Durkheim memang berbeda satu sama lain. Proses pencarian kebenaran dan pengembangan ilmu sosial harus menghadapi dinamika yang luas. Objek kajian yang dinamis, selalu berubah, serta tidak pasti akan memberi tantangan bagi para pengkaji yang terus berdialektika untuk mendapatkan kesimpulan yang memadai. Hal inilah yang menjadikan ilmu sosial selalu menarik untuk dijadikan objek kajian.

Sekarang, tugas berat terbentang pada mahasiswa sebagai calon intelektual. Akankah ilmu sosial kembali meredup, atau akan menjadi sebuah khazanah yang terus menerus diperkaya oleh para ilmuwannya? Para intelektual masa depanlah yang akan menjawabnya.

Referensi

Al-Qur’an dan Terjemahnya, Madinah : Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Fahd.

Suriasumantri, Jujun. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Penebar Swadaya. 1994, cetakan kedelapan).

Sujana, I Nyoman. “Berpikir Ilmiah”, dalam Bagong Suyanto dan Sutinah (ed). Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan (Jakarta: Kencana, 2006).

Al-Qaradhawi, Yusuf. Kebudayaan Islam: Eksklusif atau Inklusif (Solo: Era Intermedia, 2006, terjemahan).

Parsons, Talcott. “Natural and Social Science” dalam Dennis Wrong (ed). Max Weber: Makers of Modern Social Science (Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall, 1970).

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1993, cetakan kelimabelas).

Ralliby, Osman. Ibn Chaldun tentang Masyarakat dan Negara (Jakarta: Bulan Bintang, 1963).

http://en.wikipedia.org/augusto_comte

Sabtu, 10 Januari 2009

Krisis Gaza, Krisis Legitimasi?

Pengantar

Mencekam, dingin, dan terancam. Begitulah kondisi jalur Gaza sekarang, pasca-operasi militer Israel ke Gaza. Ketika artikel ini ditulis, agresi militer Israel telah berlangsung selama 13 hari, menewaskan sedikitnya 700 orang warga sipil Palestina. Warga sipil Palestina dilanda kecemasan akan gempuran lanjutan, ribuan warga harus menangis karena kehilangan sanak saudara yang paling mereka cintai.

Krisis Legitimasi Politik?

Israel telah melakukan aksi sepihak terhadap Palestina. Dalih pelanggaran gencatan senjata oleh Hamas kembali menjadi justifikasi irasional bagi agresi ini. Upaya diplomatik dengan mempertemukan Israel dan Palestina menjadi sia-sia setelah komitmen untuk mempertahankan gencatan senjata dilanggar. Dunia Arab kembali diwarnai oleh hari-hari kelam, setelah agresi AS ke Irak dan agresi Israel ke Libanon Selatan yang telah membawa banyak korban sipil.

Ada apa di balik serangan Israel ke Palestina tahun ini? Seluruh dunia –terutama negara-negara berpenduduk muslim—mengutuk aksi militer sepihak ini. Argumentasi yang dikemukakan oleh pihak militer Israel bahwa Israel hanya mempertahankan diri dari serangan roket Hamas menjadi tidak masuk akal ketika serangan yang dilancarkan juga menghantam fasilitas sipil, bahkan fasilitas PBB. Hal ini tidak saja melanggar Konvensi Jenewa, tetapi juga menganggap remeh posisi PBB. Dengan demikian, ada persoalan lain yang menyebabkan eskalasi konflik memanas, yaitu krisis legitimasi.

Mungkin benar ketika Michael Hudson menilai bahwa penyebab utama instabilitas politik di Timur Tengah –Israel dan Palestina— adalah krisis legitimasi politik dari para elit di masing-masing negara (Setiawati et. al, 2004). Keabsahan seseorang untuk berkuasa menjadi hal yang cukup pelik dalam politik di Timur Tengah karena stabilitas internal di suatu negara ternyata berimbas pada politik luar negeri negara tersebut. Sehingga, krisis politik di Timur Tengah sedikit banyaknya merupakan pengaruh dari krisis legitimasi politik yang dialami oleh elit-elit di sana.

Israel dan Palestina sendiri pada saat ini tengah mengalami dinamika pada politik domestik di masing-masing negara. Israel tengah dilanda persaingan dua partai terbesar yang sekarang berkoalisi, yaitu Likud dan Kadima. Partai berkuasa sekarang, Likud, memerlukan relegitimasi dari pendukungnya yang sempat memudar akibat ketidakmampuan Ehud Olmert dalam memimpin negara. Sementara Palestina sejak tahun 2006 dilanda konflik internal antara Fatah dan Hamas yang berujung pada terpecahnya dua kubu di Jalur Gaza (Hamas) dan Tepi Barat (Fatah).

Dalam kasus Israel-Palestina, setidaknya ada beberapa indikator dari krisis legitimasi politik yang dialami oleh kedua belah pihak.

Pertama, krisis legitimasi dialami oleh Ehud Olmert, Perdama Menteri Israel. Selama menjabat sebagai Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert bisa dikatakan gagal dalam melaksanakan politik luar negeri jika dibandingkan dengan pendahulunya. Olmert mengalami kekalahan yang cukup memalukan dalam perang melawan Hizbullah di Lebanon Selatan, dua tahun yang lalu dan menandatangani konferensi Annapolis di Amerika Serikat yang isinya kurang menguntungkan posisi Israel.

Tak hanya itu, Olmert juga dianggap bertanggung jawab atas krisis ekonomi yang melanda Israel dan diduga melakukan korupsi, sehingga pemerintah mempercepat pelaksanaan Pemilu. Olmert hampir saja dilegitimasi oleh Knesset, parlemen Israel. Kegagalan beruntun tersebut, menurut penulis, setidaknya membuat Olmert harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan reputasinya di mata rakyat Israel.

Kedua, krisis legitimasi dialami oleh dua partai besar Israel, Likud dan Kadima. Kedua partai ini memutuskan untuk membentuk kabinet koalisi di Pemilu terakhir. Kegagalan pemerintah dalam menangani persoalan-persoalan krusial, serta fakta bahwa Pemilu akan digelar dalam waktu dekat menjadikan masing-masing pihak harus mencari kembali legitimasi dari rakyat. Apalagi, ada dua anggota kabinet yang menjadi kandidat kuat Perdana Menteri, yaitu Ehud Barak (Menteri Pertahanan, Partai Likud) dan Tzivip Livni (Menteri Luar Negeri, Partai Kadima). Krisis legitimasi menjadikan masing-masing faksi dalam kabinet berlomba untuk berbuat sesuatu pada Palestina.

Ketiga, krisis legitimasi dialami oleh partai terbesar kedua di Palestina, yaitu Fatah. Ketika tank-tank dan pesawat tempur Israel menyerang Gaza, kubu Fatah tidak tergerak untuk membantu rekan mereka Hamas di Jalur Gaza. Pertentangan yang cukup akut rupanya masih menghantui hubungan kedua gerakan sehingga kubu Fatah tetap mengisolasi Tepi Barat dan mengunci posisi Hamas di Jalur Gaza. Padahal, untuk menyeberang ke wilayah Tepi Barat, para pengungsi harus melintasi pintu perbatasan yang dijaga Israel dan ini memerlukan campur tangan Fatah

Keempat, krisis legitimasi dialami oleh negara-negara Arab. Sampai sekarang, kita masih menyayangkan sikap pasif Arab Saudi dan negara-negara Arab lain, padahal mereka memiliki sumber daya yang cukup besar dan political capital yang cukup kuat untuk menekan Israel. Ketidakberdayaan negara Arab ini patut dipertanyakan, karena sebenarnya mereka dapat menggunakan opsi diplomasi sumber daya (resource diplomacy) untuk membantu Palestina dan dan mendobrak hegemoni Israel di Gaza.

Sikap pasif negara Arab ini, menurut penulis, berakar dari krisis legitimasi politik negara-negara Arab yang sekarang tengah diwarnai gelombang oposisionisme dan kelompok penekan, seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir atau Hizbullah di Lebanon yang bersimpati terhadap perjuangan rakyat Palestina. Gelombang oposisionisme yang mendapatkan momentum di Pemilu tersebut sedikit demi sedikit menggeser kedudukan partai berkuasa sehingga mereka merasa perlu untuk mengamankan posisi dengan tidak memberi reaksi banyak terhadap serangan Israel ke Palestina.

Menyelesaikan Krisis

Krisis legitimasi politik yang melanda negara-negara Timur Tengah mesti diselesaikan agar stabilitas politik dapat diusahakan. Dalam konteks konflik Israel-Palestina, legitimasi politik dari kedua negara sangat diperlukan untuk meneguhkan peacemaking dan peacebuilding. Mindset politik luar negeri Israel harus diubah dan Fatah harus menghargai demokrasi dengan mengakui hasil Pemilu 2006. Selain itu, Hamas juga harus mau melakukan perundingan setelah ketegangan di Jalur Gaza mereda agar semua kepentingan dapat terakomodasi.

Maka, tak ada pilihan bagi semua pihak yang bertikai selain menghentikan peperangan dan menghormati warga sipil yang tak berdosa.

Rabu, 07 Januari 2009

Idealisme Baru 2009: Analisis Ke-100


Awal bergulirnya tahun 2009 harus diterima dengan sebuah kenyataan pahit: 660 syuhada gugur di bumi Palestina. Israel dengan buta mata telah membunuh ratusan warga sipil, menghancurkan ratusan pemukiman sipil, serta mengotori bumi Palestina dengan senjata yang mereka dapatkan dari hasil membunuh. Intifadhah kembali bergolak; Semangat jihad menggelora. PBB tak mampu berbuat apa-apa, negara Arab tak mampu bersuara.


Ketika analisis singkat ini dirilis, sedikitnya 660 warga Palestina telah terbunuh, dua sekolah PBB hancur karena diserang lewat udara oleh militer Israel, dan seorang tokoh Hamas, Al-Akh Nizar Rayyan, harus syahid beserta keluarganya. Tak hanya itu, prospek gencatan senjata pun semakin mengecil, pintu diplomasi sangat sulit untuk dibuka kecuali menunggu kematian warga sipil yang lebih banyak lagi.


Inikah kenyataan?


Hans J. Morgenthau jauh-jauh hari sudah memperingatkan, realisme politik harus diredam dengan supremasi hukum internasional atau perimbangan kekuasaan. Dominasi Israel --dengan dukungan Amerika Serikat, tentunya-- harus diimbangi. Tanpa respons atau intervensi dari negara-negara Arab, Israel tidak hanya menjadi hegemon di Timur Tengah, tetapi juga telah menjadi mesin pembunuh bagi warga sipil Palestina.


Juga, mengapa PBB belum bergerak? Bukankah sekolah PBB sudah dirusak, hukum internasional dilanggar, dan warga sipil dibunuh? Apakah PBB masih harus menunggu legitimasi dari Amerika Serikat yang keadilannya tak mungkin diharapkan?


Inilah awal yang kelam di 2009. Inilah idealisme baru kita: Keadilan dan Kesejahteraan bagi Paletina! Harapan ini, walaupun sangat kecil, namun masih ada dan akan terus ada selama Islam berkibar di tanah Palestina.


Inilah persembahan penulis, Analisis Ke-100 dari Blognya Pengamat Politik.

Kamis, 01 Januari 2009

Palestina dan Politik Luar Negeri RI

Pengantar

Gaza kembali bergolak. Rudal-rudal Israel secara membabi-buta menembaki pemukiman penduduk dan fasilitas umum di Gaza, menewaskan lebih dari 300 warga sipil Palestina tak berdosa. Militer Israel kembali menjadi mesin pembunuh atas warga Palestina yang sejak lama telah kehilangan tempat tinggal mereka. Ratusan syuhada kembali mengharumkan tanah Palestina dengan darah mereka, sebagai korban dari tank-tank dan pesawat tempur Israel yang menggempur Gaza.

Sabtu, 27 Desember 2008. Tak ada yang menyangka bahwa hari-hari terakhir di tahun 1429 H dan tahun 2008 M akan menjadi sebuah sejarah kelam baru bagi dunia: serangan besar-besaran Israel ke Gaza. Dalih pelanggaran gencatan senjata kembali menjadi justifikasi bagi Israel untuk melakukan operasi militer ke wilayah territorial Palestina, membunuh ratusan warga sipil tak berdosa. Hanya dengan kematian beberapa orang, ratusan warga sipil terbunuh.

Penegasan Hegemoni?

Dunia mencatat, operasi militer Israel kali ini merupakan salah satu yang terburuk dalam satu dekade terakhir. Ketika proses perundingan dalam konferensi peta jalan damai Israel-Palestina di Annapolis baru selesai dilaksanakan beberapa bulan waktu, Israel kembalu melakukan aksi militer sepihak. Proses negosiasi yang begitu alot di Annapolis tidak ada artinya ketika Israel membombardir Gaza dengan kekuatan militernya. Diplomasi dapat dikatakan gagal; Amerika Serikat sebagai mediator tak dapat berbuat apa-apa untuk mencegah Israel menyerang wilayah Palestina.

Sikap dunia internasional hampir sama: mengutuk (condemn) aksi militer sepihak Israel ini. Namun, kutukan tak berarti apa-apa ketika Amerika Serikat, dengan hak istimewa yang dimilikinya di Dewan Keamanan PBB serta hegemoninya yang begitu kuat di Israel, membela aksi militer Israel tersebut. Pihak US Department of State (Deplu-nya AS) justru menuding Hamas memicu konflik dengan menembakkan roket dan menewaskan warga Israel.

Apapun alasannya, tindakan Amerika Serikat ini berakibat sangat fatal bagi proses penyelesaian konflik selanjutnya. Posisi AS yang sangat istimewa di Dewan Keamanan PBB –sebagai pemilik hak veto—akan sangat menyulitkan keluarnya resolusi yang secara tegas memerintahkan Israel untuk menghentikan penyerangan serta bertanggungjawab atas aksi yang dilakukannya. Apalagi, rancangan resolusi tentang Israel sebelumnya selalu kandas ketika AS melakukan intervensi dengan memveto rancangan resolusi tersebut.

Inilah yang disebut oleh Prof. Charles W. Kegley, pakar Hubungan Internasional dari University of South Carolona,, sebagai hegemoni. Hegemoni AS dan Israel telah membuat stabilitas politik di Timur Tengah –khususnya Palestina—selalui menemui hambatan. Proses demokrasi yang telah berjalan secara fair di Palestina ternyata justru diingkari oleh negara yang mengklaim diri sebagai “kampiun” demokrasi. Ketiadaan balance of power di Timur Tengah mengakibatkan hegemoni tersebut meluas; diplomasi selalu mengalami kebuntuan. Dunia kembali dicengkeram oleh realisme politik yang kian menggurita.

Politik Luar Negeri RI

Indonesia, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, secara emosional jelas memiliki kedekatan dengan Palestina. Bagi umat Islam, setiap muslim adalah bersaudara satu sama lain (Al-Hujurat: 10). Kematian seorang muslim di Palestina berarti kemarahan bagi saudaranya di Indonesia. Sehingga, wajar jika Indonesia kemudian aktif menempatkan diri dalam proses resolusi konflik yang telah berlangsung sejak lebih dari setengah abad yang lalu ini.

Politik luar negeri RI yang dalam istilah Dino Patti Djalal merupakan “all directions foreign policy” akan menemukan momentumnya jika Indonesia aktif membantu perjuangan rakyat Palestina. Ini tak hanya tugas dari NGO atau civil society lain, tetapi juga tugas pemerintah. Diplomasi sumber daya (resource diplomacy) dapat menjadi sebuah sarana yang baik dalam membantu perjuangan rakyat Palestina.

Posisi politik luar negeri RI dalam hal ini harus jelas. Dasar politik luar negeri RI yang tercantum dalam pembukaan UUD 19945 harus benar-benar dimaknai sebagai landasan untuk membantu proses perdamaian dunia (peacemaking dan peacebuilding). Fenomena Palestina merupakan sebuah fenomena internasional yang memerlukan keterlibatan semua negara muslim. Indonesia, dengan kedekatan emosional yang dimiliki, juga turut berkewajiban membantu perjuangan tersebut. Setidaknya, Indonesia turut aktif dalam memberi bantuan dan logistik di bawah payung lembaga terkait (OKI)

Dengan situasi yang terjadi sekarang, tidak tepat jika RI menunggu keputusan PBB. Ada atau tidaknya keputusan PBB untuk mendobrak proses penyelesaian, keterlibatan RI tetap harus ada. Sikap proaktif ini dapat diawali dengan komunikasi dan penggalangan dukungan strategis dalam forum-forum multilateral. Kerjasama dengan lembaga-lembaga nonpemerintah sebagai salah satu konstituen diplomasi juga perlu dilakukan agar kesinambungan pasokan logistik dan bantuan dapat terjaga secara lebih terarah.

Masalah Internasional

Dengan terjadinya penyerbuan ini, masalah Palestina tak bisa lagi dianggap sebagai masalah lokal. Ketidakmampuan negara-negara Arab dalam memediasi konflik harus direspons oleh Indonesia dengan segera terlibat secara proaktif dalam penyelesaian konflik. Politik Luar Negeri RI yang dilaksanakan atas dasar anti-imperialisme dan pro-perdamaian harus diimplementasikan dengan diplomasi yang efektif dalam penyelesaian konflik.

Maka, tak ada pilihan lain bagi semua negara Islam selain membantu Palestina.

Wallahu a’alam bish shawwab.



Indonesia, Diplomasi Publik, dan Dialog Antarkepercayaan

I believe that the more opportunities we have for dialogues, the greater mutual understanding among different faiths will be accomplished. Only with dialogues can we address differences, develop shared interests, set common agenda, and chart concrete actions.

-KH. Hasyim Muzadi-

A. Pengantar: Menelaah Diplomasi RI Era SBY

Perubahan politik internasional pada awal dekade 1990-an telah mengakibatkan perubahan pada tren politik luar negeri dan diplomasi di dunia. Diplomasi yang pada awalnya hanya berada pada satu jalur (track), yaitu diplomasi di meja perundingan, telah berkembang menjadi banyak jalur (Diamond, 1996)[1]. Negara kini tidak lagi menjadi aktor tunggal dalam hubungan internasional. Muncul banyak aktor transnasional lain yang tak membawa platform negara sehingga diplomasi tidak hanya dijalankan dari negara ke negara, tetapi juga non-negara ke non-negara.

Sejalan dengan hal tersebut, banyak negara yang mulai mengubah pendekatannya dalam hubungan internasional. Negara kini mulai merangkul konstituen diplomasi (aktor-aktor transnasional dan warga negara) dengan sebuah pendekatan baru: diplomasi publik. Mode diplomasi ini tidak lagi berkutat pada negosiasi dan forum-forum internasional, tetapi lebih ekstensif merangkul konstituen diplomasi dengan kampanye dan propaganda untuk membentuk citra positif bagi negaranya.

Diplomasi publik merupakan sebuah instrumen politik luar negeri yang relatif baru dilaksanakan di Indonesia. Dalam struktur organisasi Departemen Luar Negeri RI, Diplomasi Publik dijalankan oleh Sub-Direktorat Diplomasi Publik pada Direktorat Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik. Direktorat ini dibentuk pada tahun 2002 dengan Direktur pertama Yohannes Kristiarto Legowo[2].

Direktorat Diplomasi Publik RI kemudian menerbitkan sebuah buku saku online di situs resmi Departemen Luar Negeri RI yang melaporkan kegiatan-kegiatan Direktorat selama periode 2004-2006. Pada buku saku tersebut, terlihat bahwa Direktorat banyak menyelenggarakan kegiatan yang cukup menarik untuk diulas, salah satunya adalah interfaith dialogues[3] yang dilaksanakan di beberapa tempat

Agenda ini cukup menarik mengingat Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar sekaligus negara yang plural, multietnis, serta multireligi. Agenda interfaith dialogue ini dapat menjadi penghubung dari perbedaan yang ada. Selain itu, munculnya agenda interfaith dialogue ini juga diharapkan dapat membuka mata dunia bahwa Indonesia bukan merupakan negara pendukung terorisme, melainkan negara yang mau membuka ruang dialog bagi masyarakat internasional sehingga kontribusi Indonesia dalam perdamaian dunia juga turut meningkat[4].

Adanya agenda diplomasi publik juga menyisakan pertanyaan tersendiri. Apakah adanya agenda interfaith dialogues memiliki implikasi positif bagi perkembangan diplomasi Indonesia? Jika ya, bagaimana wujud konkret dan manfaat dari agenda tersebut? Pertanyaan-pertanyaan ini melatarbelakangi penulis untuk menulis sebuah paper berkaitan dengan interfaith dialogue dalam diplomasi publik RI.

Paper ini berusaha untuk menganalisis program interfaith dialogues yang diselenggarakan oleh Direktorat Diplomasi Publik RI pada tahun 2004-2006 sebagai wujud konkret diplomasi publik Republik Indonesia.

Pertanyaan riset yang penulis ajukan dalam paper ini adalah: “Bagaimana efektivitas dari pelaksanakan interfaith dialogues sebagai bagian dari agenda diplomasi publik RI terhadap bargaining position Indonesia di dunia internasional?”. Pembahasan dalam paper ini difokuskan pada dua bagian, yaitu: (1) Garis Besar kegiatan Interfaith Dialogues selama periode 2004-2006; (2) Analisis atas pelaksanaan interfaith dialogues dan implikasinya bagi posisi Indonesia di dunia.

B. Membaca Wacana: Diplomasi dan Interfaith Dialogue

Diplomasi memiliki beberapa konsep yang dipandang dalam perspektif berbeda. Berridge & James (2003) mendefinisikan diplomasi sebagai berikut,

The conduct of relations between souvereign states through the medium of officials based at home or abroad, the latter being either members of their state’s diplomatic service or temporary diplomats

(Berridge & James, 2003: 69-70)[5]

Adapun menurut Morgenthau (1956: 129), diplomasi didefinisikan sebagai sebuah seni dalam membawa elemen-elemen kekuatan nasional yang berbeda untuk mengatur masalah-masalah negaranya dalam situasi internasional dengan kekuatan dan efek yang maksimal dengan memperhatikan kepentingan nasional secara langsung[6]. Sedangkan Smith Simpson (1986) memandang diplomasi sebagai,

our principal means of tackling international problems and stabilizing a world precariously balanced between order and violence

(Simpson, 1986:1)[7]

Diplomasi memiliki banyak jenis, salah satunya ialah diplomasi publik. Istilah Diplomasi publik didefinisikan oleh Berridge (2002:17) sebagai berikut,

Public diplomacy is foreign propaganda conducted or orchestrated by diplomats, and it is now a major task for diplomatic missions. This being so, it is an important function of the Ministry of Foreign Affairs to support them in this work with the supply of approved information on both foreign and domestic developments

(Berridge, 2002: 17)[8]

Berridge memosisikan diplomasi publik sebagai propaganda ke luar yang dilakukan oleh diplomat untuk mewakili negaranya ke luar. Oleh karena itu, menurut Berridge, departemen luar negeri (ministry of foreign affairs) memiliki kewajiban untuk mendukung upaya-upaya ini dengan pasokan informasi yang digunakan sebagai media dan bahan propaganda, baik ke luar negeri atau ke level domestik[9]. Sedangkan mengacu pada definisi yang diberikan oleh Berridge di atas, diplomasi publik adalah bagian yang integral dengan propaganda. Propaganda dapat dikatakan sebagai sebuah iklan politik (political advertising) yang digunakan untuk mempengaruhi pemerintahan lain[10].

Maka, tujuan dari propaganda tersebut pada dasarnya adalah,

to persuade a foreign government to accept a particular view by winning over to this view those with influence upon it: its own general public, the media, pressure groups, and foreign allies.

(Berridge, 2002: 125)[11]

Sedangkan interfaith dialogue secara harfiah berarti dialog lintas kepercayaan (Echols, 1990)[12]. Masih belum ada literatur yang mendefinisikan frase ini secara terminologis, sehingga definisi operasional dari variabel ini masih mengacu pada makna harfiah seperti diterjemahkan oleh Echols (1990).. Di sini, kita mencatat bahwa istilah yang digunakan oleh Departemen Luar Negeri pada kegiatan tersebut adalah faith, yang memiliki dua makna: kepercayaan serta agama, keyakinan (Echols & Shadily, 1990: 231)[13].

Interfaith dialogue, sebagai wujud dari diplomasi publik RI merupakan salah satu track dari multitrack diplomacy, yaitu track seven atau peacemaking through faith in action[14]. Tujuan penting dari track ini adalah mencapai perdamaian melalui aktivitas keagamaan, baik secara intrareligi ataupun interreligi. Diamond (1996: 97) menyatakan,

“The religious community seeks to bring the moral laws and spiritual truths of God and the universe to the practical establishment of peace on earth. Religious groups of diverse persuasions believe that they naturally belong on the forefront of work for peace and justice, understanding and reconciliation, because, in their belief systems, these issues are at the heart of humanity’s spiritual evolution

(Diamond, 1996: 97)[15]

Interfaith dialogue memiliki posisi yang cukup penting dalam agenda multitrack diplomacy. Dengan adanya interfaith dialogue, potensi kesalahpahaman antarumat beragama dapat dikurangi. Interfaith dialogue juga akan memiliki implikasi berupa munculnya transformational politics yang berfungsi menjaga kesadaran masyarakat atas pentingnya perdamaian (Diamond, 1996: 100)[16].

C. Interfaith Dialogues dalam Diplomasi Publik RI 2004-2006

Agenda interfaith dialogue dalam diplomasi publik RI di tahun 2004 diawali dengan kegiatan International Conference of Islamic Scholars (ICIS) I pada tanggal 23-25 Februari 2004 di Jakarta[17]. Menarik untuk dicermati bahwa kegiatan ini, meskipun pada awalnya adalah konferensi ulama muslim yang diprakarsai oleh Nahdhatul Ulama (PBNU), pada perkembangannya justru menjadi cikal bakal dialog antarkepercayaan. Hal ini tercermin dari hasil konferensi, yaitu Jakarta Declaration 2004 pada poin ketiga, keempat, dan kelima. Hasil tersebut antara lain,

Jakarta Declaration
Upholding Islam as Rahmatan Lil ‘Alamin

We, the Islamic Scholars:

3. Acknowledge that diversity amongst individuals, cultures and civilizations are truly blessings bestowed upon us by God, Allah the Almighty;

4. Reaffirm that the teachings of Islam uphold the values of human dignity and recognize the equal opportunity of human beings in inter-personal relationships, in maintaining harmonious interfaith relations and in the entire process of international decision making;

5. Fully support the efforts to enhance the constructive and interactive dialogue to increase mutual understanding and respect among the followers of all religions and nations;

(Press Release, KBRI Australia)[18]

Jakarta Declaration tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh para menteri luar negeri ASEAN pada salah satu poin dari chairman’s statement pada 11th Meeting of ASEAN Regional Forum di Jakarta, Juli 2004 yang menyambut baik hasil International Conference of Islamic Scholars. Kemudian, pada Desember 2004, muncullah kegiatan Dialogue on Interfaith Cooperation di Yogyakarta, 6-7 Desember 2004. Kegiatan ini diselenggarakan atas kerjasama antara Departemen Luar Negeri RI, PP Muhammadiyah, dan Department of Foreign Affairs and Trade Australia.

Patut untuk dicermati bahwa peran Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai dua organisasi masyarakat terbesar di Indonesia sangat besar dalam mewujudkan terjadinya dialog antarkepercayaan ini. Kedua organisasi ini terlibat sebagai sponsor dari dua kegiatan di atas. Keterlibatan ini menjadi sebuah hal yang menarik karena ternyata spirit dan usaha untuk mempertemukan tokoh lintas kepercayaan juga dimiliki oleh masyarakat Islam[19].

Pada tahun 2005, muncul tiga kegiatan interfaith dialogue sebagai follow-up dari Dialogue on Interfaith Conference. Tiga kegiatan tersebut antara lain kegiatan Bali (Asia-Europe Meeting) Interfaith Dialogue di Bali, 21-22 Juli 2005 dan paket kegiatan Interfaith Dialogue “Islam in Pluralistic Society di Vatikan, 30 September 2005 serta Melbourne, 27-30 September 2005. Tiga kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari wacana-wacana berkembang mengenai perlunya dialog antarkepercayaan.

Sayangnya, bertepatan dengan pelaksanaan kegiatan dialog tersebut, muncul insiden yang sangat berbau sentimen agama dari Koran Jyllands-Posten di Denmark yang memuat 12 karikatur tentang Nabi Muhammad SAW. Pemuatan karikatur tersebut menimbulkan kontroversi, ketegangan, dan kutukan dari umat Islam di berbagai belahan dunia karena menyangkut persoalan yang sangat substansial dan sakral bagi pemeluk agama Islam. Insiden ini jelas menjadi sebuah penghambat besar dalam upaya pelaksanaan dialog antarkepercayaan yang telah dicanangkan[20].

Upaya untuk membuka dialog secara lebih intensif kembali dilakukan pada tahun 2006. Pada tanggal 28 Februari dan 1 Maret 2006, Deplu RI dan Kementerian Luar Negeri Belanda, didukung oleh sejumlah NGO di Belanda, mengadakan kegiatan bertajuk The Indonesia-Netherlands Interfaith Dialogue Peaceful Coexistence and Interfaith Cooperation”. Kegiatan yang dilaksanakan di Den Haag ini diikuti oleh sekitar 200 akademisi, rohaniawan, dan aktivis keagamaan. Indonesia diwakili oleh FT. Ignatius Ismartono (Konferensi Waligereja Indonesia), I Nyoman Suwandha (Parisada Hindu Dharma Indonesia), Dien Syamsuddin (PP Muhammadiyah), Muhammad Ali (UIN Syarif Hidayatullah), dan Thamrin Amal Tomagola (FISIP-UI).

Agenda berikutnya adalah Cebu Dialogue on Regional Interfaith “Cooperation for Peace, Development, and Human Dignity yang dilaksanakan di Cebu, Filipina, 14-16 Maret 2006. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Philippines Department of Foreign Affairs atas dukungan dari Departemen Luar Negeri RI. Menarik untuk dicermati bahwa forum ini merupakan sebuah forum regional yang memiliki implikasi luas, karena dihadiri oleh perwakilan negara Asia-Pasifik yang cukup plural. Sebelum pelaksanaan dialog, Deplu menyelenggarakan Foreign Policy Breakfast dengan para tokoh agama dari Indonesia yang mengikuti kegiatan tersebut.

Kegiatan yang dibuka oleh Presiden Filipina Gloria Macapagal Arroyo tersebut dihadiri oleh perwakilan negara-negara di Asia Pasifik dengan total 175 peserta. Dialog antarkepercayaan tersebut menghasilkan Cebu Declaration yang secara substansial menekankan pentingnya interfaith dialogue dalam proses perdamaian dunia[21]. Dr. Alberto G. Romullo, Secretary of Foreign Affairs of Philippines juga menegaskan hal serupa dalam Press Release yang dikeluarkan oleh Philippines Department of Foreign Affairs mengenai Cebu Declaration ini[22].

Agenda berikutnya di tahun 2006 adalah 2nd International Conference of Islamic Scholars di Jakarta, 20-22 Juni 2006. Meskipun kegiatan ini adalah konferensi ulama-ulama muslim sedunia, kita patut mencatat bahwa perhatian penganut agama lain terhadap konferensi ulama-ulama sedunia ini cukup besar. Terbukti, pihak Tahta Suci Vatikan (Vatican Holy See) mengirimkan Mgr. Khalid Al-Akasheh yang menyampaikan paparan kunci (keynote speech) pada pembukaan konferensi. Hasil dari ICIS II ini kemudian disepakati untuk dijadikan sebagai bahan presentasi di Tripartite Forum on High Level Conference on Interfaith Cooperation for Peace.

Setelah ICIS II, agenda interfaith dialogue yang didukung oleh Departemen Luar Negeri RI ini adalah World Peace Forum yang diselenggarakan di Jakarta, 14-16 Agustus 2006. Kegiatan ini diselenggarakan oleh PP Muhammadiyah dan Multi Culture Society dan mengangkat tema “One Humanity, One Destiny, One Responsibility”. Kegiatan ini dihadiri oleh tokoh lintas agama dan lintas kebudayaan yang difasilitasi oleh Deplu RI.

World Peace Forum kemudian mengantarkan agenda dialog antarkepercayaan berikutnya, yaitu Global Intermedia Dialogue di Bali, 1-2 September 2006. Kegiatan ini merupakan kerjasama dari Departemen Luar Negeri RI dan Kementerian Luar Negeri Norwegia. Kegiatan ini cukup mendapat respons publik internasional karena mengambil momentum kebebasan pers di tengah kontroversi karikatur Nabi Muhammad yang menyulut kemarahan umat Islam. Global Intermedia Dialogue ini diikuti oleh 73 tokoh jurnalistik dari 44 negara dan diliput oleh 77 wartawan nasional serta 20 kantor berita asing.

Dialog ini disebut oleh Djalal (2006: 377) sebagai cermin dari diplomasi yang inovatif[23]. Hal menarik dalam Global Intermedia Dialogue ini adalah pemilihan Norwegia sebagai partner nation dalam penyelenggaraan dialog. Posisi Norwegia yang secara geopolitik dekat dengan Denmark di Skandinavia (negara tempat karikatur beredar) dapat menimbulkan dilema. Maka, penempatan Bali sebagai tempat penyelenggaraan dialog dan peran serta pemerintah Norwegia juga merupakan sebuah terobosan baru dalam diplomasi Indonesia[24].

Agenda interfaith dialogue terakhir yang sangat penting –bahkan dapat dikatakan sebagai puncak agenda— di tahun 2006 adalah kegiatan Tripartite Forum on High-Level Conference on Interfaith Cooperation for Peace yang dilaksanakan oleh PBB di New York, 21 September 2006. Pada forum ini, KH. Hasyim Muzadi, Ketua PBNU mendapat kehormatan untuk menyampaikan presentasi berjudul “Moderation as the Pillar of a Peaceful and Harmonious Multi-Cultural and Multi-Faith Society: the Indonesian Experience[25] dalam kapasitas beliau sebagai Sekretaris Jenderal International Conference of Islamic Scholars.

Kehadiran serta keterlibatan aktif Indonesia di forum ini sejalan dengan salah satu kebijakan dari politik luar negeri RI, yaitu menggalang dukungan masyarakat internasional terhadap pentingnya multilateralisme dan mengoptimalkan peran aktif Indonesia dalam forum regional serta multilateral[26]. Adanya interfaith dialogue akan membuka jalan bagi peningkatan bargaining position Indonesia di dunia diplomasi, khususnya PBB. Namun, ukuran kontinuitas dari interfaith dialogue ini juga masih harus dibuktikan karena memerlukan political will dari pemerintah untuk tetap melaksanakan agenda secara sustainable dan konsisten.

D. Implikasi Interfaith Dialogue terhadap Diplomasi Indonesia

Salah satu elemen dari national power menurut Morgenthau (1956: 128) adalah kualitas diplomasi[27]. Kekuatan diplomasi suatu negara akan menentukan posisi strategis negara tersebut di percaturan politik internasional, apalagi di tengah tren multilateralisme seperti dekade terakhir ini. Diplomasi menjadi the first line of defense bagi negara-negara yang tidak memiliki kekuatan militer yang kuat tetapi memiliki sumber daya melimpah.

Kekuatan diplomasi inilah yang sekarang tengah dibangun oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sejak menjabat Presiden RI pada tahun 2004. Salah satu kebijakan pemerintah SBY adalah mengintesifkan diplomasi publik sebagai bentuk propaganda ke dunia internasional. Menteri Luar Negeri Hassan Wirayudha menjelaskan bahwa diplomasi publik erat kaitannya dengan penjelasan posisi Indonesia di negara-negara jiran sehingga akan tercipta hubungan kerja sama yang baik dan terhindarnya kesalahpahaman tentang situasi domestik di Indonesia (Antara, 10/12/2008)[28].

Dalam konteks agenda interfaith dialogues, Keterlibatan aktif Indonesia akan memberi beberapa implikasi penting bagi posisi Indonesia di mata publik internasional. Bagian kedua paper ini akan menganalisis implikasi interfaith dialogue bagi posisi Indonesia di forum multilateral, perbaikan hubungan Islam-Barat, serta hubungan Indonesia dengan beberapa negara mitra strategis.

1. Implikasi Pertama: Posisi Indonesia dalam Forum Multilateral

Tak dapat dipungkiri, keberadaan Indonesia di berbagai forum multilateral akan memberi banyak dampak terhadap kondisi politik dan ekonomi domestik. Keaktifan Indonesia sebagai “jangkar” multilateralisme di negara dunia ketiga akan memberi citra positif sehingga kerjasama bilateral dan multilateral akan mudah terealisasi.

Agenda interfaith dialogue, jika kita analisis lebih dalam, memiliki dua implikasi positif terhadap posisi Indonesia di mata publik internasional. Pertama, membaiknya citra Indonesia di mata publik internasional. Setelah sempat mengalami deklinasi di akhir dekade 1990-an, diplomasi Indonesia dapat kembali bangkit di dunia dengan berbagai agenda diplomasi. Indonesia dapat memanfaatkan political capital yang dimiliki sebagai soft power: negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, salah satu negara demokratis di dunia ketiga, dan negara yang cukup sukses dalam beberapa resolusi konflik.

Adanya interfaith dialogue efektif mencitrakan Indonesia sebagai negara yang toleran, inklusif, dan moderat tanpa harus menghilangkan predikat sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Indonesia telah menjadi sebuah sampel demokrasi terbesar di dunia ketiga sekaligus mematahkan hipotesis bahwa negara berpenduduk mayoritas muslim adalah negara yang otoriter dan tidak demokratis[29].

Kredit positif juga didapatkan oleh Indonesia dalam forum-forum multilateral yang dihadiri oleh Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari diundangnya KH. Hasyim Muzadi untuk mempresentasikan ICIS di sidang PBB. Posisi KH. Hasyim Muzadi ini sangat strategis, karena memiliki makna bahwa kapasitas diplomasi publik Indonesia telah diakui dalam skala PBB. Padahal, pada tahun 2002, beberapa tahun sebelumnya Indonesia mendapat sorotan luas terkait kasus pengeboman di beberapa tempat yang membawa banyak korban jiwaIni adalah sebuah progress yang cukup signifikan.

Kedua, munculnya soft power Indonesia dalam diplomasi[30]. Presiden SBY sejak awal telah meletakkan komitmen untuk melakukan kerjasama strategis dengan negara-negara lain dengan menghindari konflik. Politik luar negeri RI telah disetting dengan good neighbour policy dengan membangun jaringan relasi yang apik, juga dengan inovasi untuk mencapai kepentingan nasional (Djalal, 2008)[31].

Patut diakui, prestasi resolusi konflik Aceh melalui MoU di Helsinki dan agenda interfaith dialogue yang dipelopori Indonesia telah melahirkan sebuah political capital baru. Indonesia menjadi sebuah negara yang disegani bukan karena kekuatan militernya yang show of force, tetapi lebih karena kemampuannya dalam membangun demokrasi, resolusi konflik etnis, serta toleransi antarumat beragama.

Soft power ini dapat digunakan untuk mencapai kepentingan nasional Indonesia. Dengan soft power, Indonesia sebenarnya dapat lebih memperjuangkan kepentingan nasional di Dewan Keamanan PBB. Indonesia dapat menjadi salah satu kekuatan vital bagi terciptanya perdamaian dunia di tengah iklim unipolaritas dunia. Maka, interfaith dialogue harus benar-benar dioptimalkan sebagai sarana untuk meraih kepentingan nasional Indonesia dan mendapatkan soft power yang positif bagi negara lain.

2. Implikasi Kedua : Hubungan Indonesia dengan Negara Mitra Strategis

Dialog antarkepercayaan juga memiliki implikasi yang cukup positif bagi perbaikan hubungan antara Indonesia dengan beberapa negara mitra strategis, seperti Australia, Filipina, atau Belanda. Dialog antarkepercayaan cukup efektif dalam meyakinkan opini publik di negara-negara tersebut bahwa Indonesia adalah negara yang inklusif, toleran, dan kondusif untuk wisata atau investasi.

Jika kita analisis, pola kemitraan di tiga negara, yaitu Australia, Belanda, dan Filipina dengan Indonesia cukup mengalami peningkatan dengan adanya agenda diplomasi publik, khususnya interfaith dialogue. Pertama, Australia. Hubungan Indonesia-Australia sejak dulu selalu mengalami pasang-surut, dan sangat bergantung pada siapa yang memerintah serta model kebijakan apa yang ada. Hubungan Indonesia-Australia di era Megawati sempat tegang karena kasus bom Bali yang menewaskan banyak warga Australia. Ketegangan tersebut berdampak pada tersendatnya hubungan kedua negara.

Namun, agenda Dialogue on Interfaith Cooperation yang digagas oleh PP Muhammadiyah dan dilaksanakan atas kerjasama antara Indonesia dan Australia dapat memecahkan kebuntuan tersebut. Setidaknya, walaupun ada kecenderungan kedua pemerintah untuk tidak bersepakat dalam penanganan terorisme, ada upaya untuk rekonsiliasi dalam bentuk sebuah dialog yang dibangun secara lintas budaya. Hal serupa kembali dilakukan pada tahun 2005 dengan agenda interfaith dialogue Islam in Pluralistic Society” di Melbourne.

Memang, ada keterkaitan antara siapa yang memerintah dengan dinamika hubungan Indonesia-Australia, terbukti dengan berubahnya pola kebijakan luar negeri ketika Kevin Rudd dengan Partai Buruh-nya memenangi Pemilu 2007. Anak Agung Banyu Perwita dalam opininya di Kompas (13/6/2008)[32] menyatakan bahwa wacana comprehensive partnership antara Indonesia dan Australia pasca-Howard dengan agenda dialog antarkepercayaan dapat menjadi modal untuk peningkatan hubungan kerjasama antara kedua negara.

Kedua, Filipina. Berbeda dengan Australia yang mengalami pasang-surut, hubungan Indonesia-Filipina dapat dikatakan cukup aman. Kendati terkadang ada kesalahpahaman karena hubungan Filipina-Amerika Serikat yang berpotensi menjadi ancaman bagi Indonesia, kebijakan good neighbour policy yang dianut oleh Indonesia serta komitmen kedua negara untuk mempertahankan hubungan baik menjadi instrumen yang cukup baik dalam menjaga proses kerjasama yang dibangun[33].

Adanya kegiatan Cebu Dialogue on Regional Interfaith “Cooperation for Peace, Development, and Human Dignity” pada dasarnya merupakan manifestasi dari hubungan baik yang telah dijali. Posisi Filipina yang sejak dulu selalu menjadi mitra strategis Amerika Serikat secara geopolitik memang menjadi sebuah ancaman bagi Indonesia, namun pendekatan diplomasi publik yang digunakan oleh Deplu RI sebagai soft power dapat pula menjadi counter untuk mengimbangi hegemoni tersebut

Ketiga, Belanda. Hubungan Indonesia-Belanda sejak dulu selalu diwarnai oleh sinyalemen negatif. Indonesia dan Belanda selalu terlibat konflik sejak awal kemerdekaan hingga jatuhnya Orde Lama di tahun 1966 karena Belanda tidak mau mengakui Indonesia sebagai negara berdaulat. Belanda baru mengakui kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 2005 melalui Menteri Luar Negeri Bernard Bot[34].

Seperti halnya Australia, kebangkitan hubungan diplomatik Indonesia-Belanda salah satunya adalah dengan pendekatan diplomasi publik, dalam hal ini kegiatan The Indonesia-Netherlands Interfaith Dialogue Peaceful Coexistence and Interfaith Cooperation”. Kegiatan yang dilaksanakan di Den Haag, 28 Februari dan 1 Maret 2006 tersebut ini menjadi sarana komunikasi yang cukup efektif antara kedua negara. Kegiatan ini juga mengurangi ketegangan yang telah tercipta sejak dulu.

3. Implikasi Ketiga : Hubungan Islam-Barat

Hubungan antara Islam dan Barat pasca-perang dingin telah diwarnai berbagai fenomena. Hubungan antara dua entitas budaya ini mengalami ketegangan setelah perang teluk II dan sampai sekarang masih belum dapat terjembatani secara maksimal. Islam dan Barat sulit untuk dipersatukan dalam sebuah tata dunia yang adil, karena dua entitas budaya ini memiliki perbedaan yang cukup tajam dalam beberapa persoalan.

Adalah Francis Fukuyama dan Samuel Huntington membuat sebuah teori tentang adanya perselisihan antara Barat dan peradaban lain pasca-perang dingin[35]. Fukuyama dengan teori “end of history”, sementara Huntington dengan teori “clash of civilization”. Fukuyama mengklaim bahwa pasca-perang dingin, takkan ada lagi perdebatan mengenai ideologi yang akan memberi kesejahteraan. Hanya ada satu pihak yang “mengakhiri sejarah dunia”, yaitu ideologi liberalisme-demokrasi. Fukuyama menulis,

But the century that began full of self-confidence in the ultimate triumph of western liberal democracy seems at its close to be returning full circle to where it started: not to an "end of ideology" or a convergence between capitalism and socialism, as earlier predicted,but to an unabashed victory of economic and political liberalism.

(Fukuyama, 1989)[36]

Adapun tesis Huntington menjelaskan bahwa akan ada beberapa ideologi pasca-komunis yang akan menjadi kompetitor utama bagi Barat, salah satunya Islam. Ideologi tersebut akan berpotensi menjadi sebuah benturan peradaban jika tidak diwaspadai. Tesis Huntington ini adalah sebuah teori baru yang ditelurkan pasca-era Sovyet dan cukup populer di kalangan Islam maupun Barat.

Dua tesis tersebut pada dasarnya senada: Barat dengan ideologi liberalisme-demokrasi akan menjadi kekuatan utama di dunia dan kekuatan lain hanya akan menjadi sebuah penghalang bagi tegaknya hegemoni Barat. Hal inilah yang menyebabkan hubungan Islam dan Barat selama ini kurang begitu baik dan diwarnai oleh pasang-surut. Untuk itu, perlu adanya sebuah agenda untuk menjembatani hubungan kedua entitas budaya tersebut. Islam dan Barat perlu melakukan dialog agar kesalahpahaman dapat dikurangi dan kerjasama strategis dapat dibangun.

Peran Indonesia dalam menjembatani perbedaan ini tak bisa dikesampingkan begitu saja. Tercatat, pada tahun 2005, pemerintah menyelenggarakan kegiatan Bali (Asia-Europe Meeting) Interfaith Dialogue di Bali, 21-22 Juli 2005. Agenda ini, sebagaimana disebutkan oleh SBY pada ASEM 2008 di Helsinki, memang didesain untuk mempertemukan Asia dan Eropa dalam sebuah forum dialog[37]. KTT ASEM di Bali tahun 2005 diformat dengan agenda dialog antarkepercayaan, karena isu ini cukup krusial dalam mengurangi kesalahpahaman Barat terhadap Islam dan sebaliknya.

Upaya Indonesia dalam mempertemukan Islam dan Barat juga terlihat dari dua agenda berikutnya: Dialogue “Islam in Pluralistic Society di Vatikan, 30 September 2005 dan The Indonesia-Netherlands Interfaith Dialogue Peaceful Coexistence and Interfaith Cooperation” di Den Haag, Februari-Maret 2006. Kegiatan tersebut cukup menarik karena dilaksanakan di pusat aktivitas keagamaan umat Kristiani, yaitu Vatikan. Pelaksanaan ini cukup memberi dampak bagi hubungan Islam-Barat.

Sayangnya, keberhasilan mempertemukan Eropa dan Asia (dalam hal ini juga entitas Islam) tidak dibarengi oleh keberhasilan mempertemukan entitas lain dari Barat, yaitu Amerika Serikat. Sampai sekarang, arogansi Amerika Serikat masih menjadi penghalang rekonsiliasi dan dialog dengan umat Islam.

Memang, hegemoni Amerika Serikat pascaperang dingin telah menghasilkan perang dengan Irak dan Afghanistan, dua negara Islam. Amerika Serikat telah menjadi kekuatan hegemon yang pada gilirannya menghasilkan kekuatan unipolar di dunia (Setiawati, 2003: 53)[38]. Amerika Serikat melakukan serangkaian serangan, membunuh banyak rakyat sipil, dan menjatuhkan rejim yang ada di dua negara tersebut. Hal tersebut semakin menegaskan hegemoni Amerika Serikat yang akhirnya memperlebar kesenjangan hubungan Islam-Barat.

Faktor Global Campaign of War on Terrorism yang banyak diarahkan kepada kelompok-kelompok Islam juga menjadi salah satu penyebab ketidakharmonisan hubungan Islam dan Barat. Di samping itu, sikap kontradiktif yang dilakukan oleh Amerika Serikat dengan selalu memveto resolusi atas Israel juga membuat citra Amerika Serikat menjadi negative di negara-negara Islam. Padahal Israel kerapkali melakukan serangan ke wilayah territorial Palestina (seperti pada tanggal 27 Desember 2008)[39] dan telah menjadi common enemy umat Islam (Sihbudi, 1997)[40].

Dalam hal ini, politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif dapat menjadi sebuah alat untuk menghubungkan kedua entitas ini. Indonesia tak boleh terkooptasi oleh kepentingan Amerika Serikat atau Barat, tetapi tetap mengusahakan perdamaian dengan jalan-jalan yang moderat. Interfaith Dialogue dapat menjadi salah satu alternatif pendekatan untuk merajut kembali hubungan yang retak tersebut.

E. Kritik dan Evaluasi atas Interfaith Dialogue

Pelaksanaan interfaith dialogue, di satu sisi, memang memberikan beberapa implikasi positif. Akan tetapi, ada beberapa hal yang perlu dikritisi dari pelaksanaan interfaith dialogue tersebut agar pelaksanaan ke depan dapat lebih efektif.

Pertama, kategori kaum moderat sebagai konstituen diplomasi harus jelas[41]. Ketika pemerintah melaksanakan kegiatan interfaith dialogue, pihak yang dilibatkan harus jelas dan memang betul-betul memenuhi kriteria “moderat” yang ditentukan. Selama ini, terlihat bahwa tidak semua elemen umat Islam dilibatkan dalam diplomasi publik. Selain itu, banyak tokoh yang dilibatkan selama ini juga dikenal, setidaknya oleh beberapa kalangan umat Islam, sebagai Islam liberal[42]. Padahal, masih ada elemen lain yang berpotensi menjadi elemen moderat atau memiliki relasi yang cukup baik dengan kalangan umat Islam di dunia internasional[43]. Maka, kategori dan kriteria moderat menjadi urgent untuk didefinisikan.

Kedua, substansi dan materi dialog harus jelas, tepat sasaran, dan tidak masuk pada persoalan teologis. Dialog antarkepercayaan tidak berarti kampanye untuk pluralisme agama atau sekularisme. Perlu diingat, interfaith dialogue tidak berarti mengaburkan batas-batas agama, karena perbedaan teologis yang terdapat pada setiap agama bukan sesuatu yang harus dihilangkan, melainkan sesuatu yang harus dikelola agar toleransi terbangun. Maka, materi dialog harus dibatasi pada isu-isu sosial yang berkaitan dengan hubungan antarkepercayaan, bukan pada persoalan kepercayaan.

Ketiga, agenda interfaith dialogue harus tetap memperhatikan isu-isu internasional penting, semisal kemiskinan atau resolusi konflik internasional. Adanya dialog tidak berarti menutup mata atas perjuangan rakyat Palestina atau kemiskinan di Afrika. Agenda dialog antarkepercayaan seharusnya justru menjadi media komunikasi atau penghubung antarnegara yang terlibat konflik. Selama ini, agenda dialog antarkepercayaan terkesan sangat elitis dan cukup jarang membahas isu-isu krusial seperti perdamaian di Palestina atau kesenjangan antara global north dan global south (Kegley, 2006)[44]. Maka, materi dialog pun harus tetap memperhatikan nasib mereka yang tertindas secara struktural dengan tetap memperhatikan masalah utama yang dibahas.

Keempat, pemerintah perlu melakukan sosialisasi interfaith dialogue kepada masyarakat secara tepat, dengan maksud mengenalkan asas-asas toleransi antarumat beragama. Hal ini cukup penting karena sentimen antarumat beragama cukup rawan terjadi dan potensi konflik pun masih ada di beberapa tempat. Namun, perlu digarisbawahi, poin keempat ini harus mengacu pada poin pertama dan kedua di atas. Hal ini berarti interfaith dialogue pada level lokal dan nasional harus merangkul semua elemen umat Islam –bukan hanya elemen tertentu—dan tidak boleh memasuki persoalan-persoalan teologis yang sangat vital dalam masing-masing agama. Interfaith dialogue, penulis tegaskan kembali, dilakukan dengan tujuan mencapai kerukunan antarumat beragama di Indonesia, bukan untuk mengaburkan pandangan keagamaan salah satu agama.

G. Relevankah Interfaith Dialogue bagi Diplomasi RI? Simpulan Analisis

Interfaith dialogue atau dialog antarkepercayaan telah menjadi salah satu bagian dalam agenda diplomasi publik RI periode 2004-2006. Pada periode tersebut, diplomasi Indonesia lebih bergerak secara dinamis dalam merangkul konstituen diplomasi dan melakukan pencitraan negara secara positif di dunia internasional.

Rangkaian kegiatan dalam kurun waktu 2004-2006 tersebut dimulai dengan International Conference of Islamic Scholars di Jakarta tahun 2004 hingga terakhir dilaksanakan pada September 2006 dengan kegiatan Tripartite Forum on High-Level Conference on Interfaith Cooperation for Peace di New York. Rangkaian kegiatan tersebut merupakan bagian dari propaganda Departemen Luar Negeri RI mengenai wajah Indonesia baru yang moderat, demokratis, dan progresif.

Setidaknya, ada tiga implikasi positif yang muncul dari penyelenggaraan rangkaian kegiatan interfaith dialogues ini, yaitu: (1) meningkatnya posisi tawar Indonesia dalam diplomasi multilateral; (2) membaiknya hubungan bilateral dengan beberapa negara mitra strategis; dan (3) berperannya Indonesia dalam perbaikan hubungan Islam-Barat yang merenggang. Implikasi positif ini akan berpeluang menjadi soft power bagi Indonesia jika agenda dialog dikelola secara baik dan konsisten.

Namun, ada empat hal yang perlu dievaluasi dari pelaksanaan interfaith dialogue ini, antara lain: (1) harus ada kejelasan kriteria “moderat” yang menjadi kriteria peserta dialog; (2) substansi dan materi dialog tidak boleh bergerak terlalu jauh ke persoalan-persoalan teologis atau internal agama; (3) Isu-isu global yang krusial tak boleh dilupakan hanya karena adanya proses dialog yang melibatkan tokoh agama setempat; dan (4) perlu ada sosialisasi interfaith dialogue ke level lokal dan nasional di Indonesia agar potensi konflik antarkepercayaan dapat dikurangi di Indonesia sendiri.

Pelaksanaan interfaith dialogue secara umum cukup positif dalam agenda diplomasi publik RI. Hanya saja, perlu ada pembenahan di beberapa elemen dialog agar konstituen diplomasi dapat dirangkul dengan baik dan pelaksanaan dialog juga efektif. Dengan demikian, untuk ke depan, perlu adanya konsistensi dan komitmen dari pemutus kebijakan luar negeri untuk tetap dapat mengamalkan asas “menjaga perdamaian abadi” dalam setiap langkah diplomatik yang diambil.

DAFTAR PUSTAKA

A. Pustaka Literatur

Berridge, G. R. Diplomacy: Theory and Practice (London: Palgrave, 2002, second edition).

Berridge, G. R. and Alan James. A Dictionary of Diplomacy (London: Palgrave, 2003, second edition).

Djalal, Dino Patti. Harus Bisa! Seni Memimpin A La SBY (Jakarta: R&W Publishing, 2008).

Diamond, Louise and John McDonald. Multi-Track Diplomacy: A System Approach to Peace (Connecticut: Kumarian Press, 1996, Third Edition).

Echols, John M. and Hassan Shadily. An English-Indonesian Dictionary (Ithaca, N.Y: Cornell University Press).

Fukuyama, Francis. The End of History and The Last Man (New York: The Free Press, 1992).

Huntington, Samuel. The Clash of Civilization and The Remaking of World Order (New York: Simon & Schuster, 1997).

Husaini, Adian. Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya (Jakarta: Gema Insani Press, 2002).

Kegley, Charles W and Eugene Wittkopf. World Politics: Trends and Transformation (Belmont: Thomson Wadsworth, 2006).

Morgenthau, Hans J. Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace (New York, N.Y: Alfred A. Knopf, 1956, second edition, revised).

Mujani, Saeful. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Politik, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru (Jakarta: Gramedia, 2007).

Nashir, Haedar. Meneguhkan Ideologi Gerakan Muhammadiyah (Malang: UMM, 2006).

Nye, Joseph Jr. Soft Power (New York, N.Y: Public Affairs, 2004).

Rasjidi. Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi (Jakarta: Bulan Bintang, 1972).

Setiawati, Siti Mutiah, et. al. Irak di Bawah Kekuasaan Amerika: Dampaknya bagi Stabilitas Politik Timur Tengah dan Reaksi (Rakyat) Indonesia (Yogyakarta: PPMTT HI FISIPOL UGM, 2004).

Sihbudi, Riza. Indonesia-Timur Tengah: Masalah dan Prospek (Jakarta: Gema Insani Press, 1997).

Simpson, Smith. Perspectives on the Study of Diplomacy (Washington, D.C: Institute for the Study of Diplomacy, Georgetown University, 1986).

B. Artikel dan Jurnal

Fukuyama, Francis. The End of History? National Interest, Summer 1989. diakses melalui http://www.wesjones.com/eoh.htm pada 29 Desember 2008.

Luhulima, CPF. Regionalisme dan Politik Luar Negeri Indonesia. Kompas, 29 Agustus 2005.

Perwita, Anak Agung Banyu. Hubungan Indonesia-Australia. Kompas, 13 Juni 2008.

Priatna, PLE. Politik Luar Negeri RI. Kompas, 29 Agustus 2005.

C. Berita

Menlu RI: Diplomasi Publik Tanpa Harus Berbohong. Antara, 10 Februari 2008.

Presiden: Jadikan ASEM Dialog Multilateralisme. Kompas, 11 September 2006.

AS Bela Israel, Hamas Bersumpah Bertahan. Kompas, 28 Desember 2008.

D. Dokumen On-Line

Departemen Luar Negeri RI. Sekilas Diplomasi Publik, http://www.deplu.go.id/?category_id=127.

___________________________________. Kebijakan Departemen Luar Negeri. http://www.deplu.go.id/?language=id&category_id=12&news_id=934&main_id=1&

___________________________________. Indonesia-Australia bekerjasama dengan Muhammadiyah menyelenggarakan suatu Dialog mengenai Kerjasama Lintas Agama (Siaran Pers). http://www.deplu.go.id/?language=id&press_id=66&

___________________________________. Susunan Pejabat Departemen Luar Negeri Republik Indonesia. http://www.deplu.go.id/?category_id=103.

___________________________________. Cebu Dialogue on Regional Interfaith Cooperation for Peace, Development and Human Dignity, tanggal 14-16 Maret 2006 di Cebu, Filipina (Siaran Pers). http://www.deplu.go.id/?language=id&category_id=127&news_id=1078&main_id=105&

Philippines Department of Foreign Affairs. Press Release (PS037-AGR-036): Building The Momentum For Peace http://www.dfa.gov.ph/

Kedutaan Besar RI Australia. Jakarta Declaration: Upholoding Islam As Rahmatan Lil Alamin (Press Release). http://www.kbri-canberra.org.au/

Muzadi, Hasyim. Moderation as the Pillar of a Peaceful and Harmonious Multi-Cultural and Multi-Faith Society: The Indonesian Experience. http://www.nu.or.id/page.php?lang=en&menu=news_list&category_id=6



[1] Louise Diamond and John McDonald. Multi-Track Diplomacy: A System Approach to Peace, (Connecticut: Kumarian Press, 1996, Third Edition).

[2] Direktur Diplomasi Publik pada Departemen Luar Negeri RI sekarang dijabat oleh Umar Hadi. Sedangkan Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik dijabat oleh Andri Hadi. Lihat informasi online di situs Departemen Luar Negeri, http://www.deplu.go.id/?category_id=103

[3] Secara harfiah, interfaith dialogue berarti dialog antarkepercayaan. Dalam paper ini, penulis menggunakan dua istilah ini secara bergantian di beberapa tempat.

[4] Prestasi Indonesia sebagai sebuah negara demokratis terbesar di dunia ketiga pasca-2004 telah menjadi sebuah modal besar untuk meneguhkan eksistensinya di dunia internasional. Lihat Dino Patti Djalal, Harus Bisa! Seni Memimpin A la SBY (Jakarta: R&W Publishing, 2008).

[5] G. R. Berridge and Alan James. A Dictionary of Diplomacy (London: Palgrave, 2003, second edition). pp. 69-70.

[6] Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace (New York, N.Y: Alfred A. Knopf, 1956, second edition, revised and enlarged). pp. 129

[7] Smith Simpson, Perspectives on the study of diplomacy (Washington, DC: Institute for the Study of Diplomacy, Georgetown University, 1986) pp.1.

[8] G.R. Berridge, Diplomacy: Theory and Practice, second edition (London: Palgrave, 2002). pp. 17.

[9] Ibid.

[10] Ibid, pp. 125-126.

[11] Ibid.

[12] John M. Echols & Hassan Shadily. An English-Indonesian Dictionary (Ithaca, N/Y: Cornell Univesity Press).

[13] Ibid, pp. 231.

[14] Istilah ini, dalam kacamata Diamond, membawa hukum moral dan kebenaran spiritual dari tujan serta praktik dari penciptaan perdamaian di dunia, Lihat Louise Diamond & John McDonald, op.cit. pp. 97.

[15] Ibid.

[16] Ibid, pp. 100.

[17] Data-data tentang kegiatan interfaith dialogues dalam rentang waktu tahun 2004-2006 diambil dari Dokumen “Sekilas Diplomasi Publik” yang didokumentasikan oleh Direktorat Diplomasi Publik Departemen Luar Negeri RI dalam situs resmi Deplu. Lihat http://www.deplu.go.id/?category_id=127

[18] Jakarta Declaration: Upholoding Islam As Rahmatan Lil Alamin. Dokumen diambil dari http://www.kbri-canberra.org.au/ situs resmi Kedutaan Besar Republik Indonesia di Australia.

[19] PBNU yang merepresentasikan kaum tradisional terlihat cukup aktif melaksanakan konferensi ulama sedunia yang cukup besar. Sedangkan Muhammadiyah terlibat cukup aktif dalam menyelenggarakan kegiatan sejenis, baik pada level nasional atau pada level internasional. Lebih jelas tentang Muhammadiyah lihat Haedar Nashir, Meneguhkan Ideologi Gerakan Muhammadiyah (Malang: UMM Press, 2006).

[20] Surat kabar Jyllands-Posten dan pemerintah Denmark menganggap hal ini adalah bagian dari kebebasan pers –sebuah hal yang dikritik oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Global Inter-Media Dialogue di Bali, September 2006. Lihat Dino Patti Djalal, op. cit. pp. 375.

[22] Lihat http://www.dfa.gov.ph/ situs resmi Philippines Department of Foreign Affairs.

[23] Dino Patti Djalal, op. cit. pp. 377.

[24] Ibid, pp. 374.

[26] Kebijakan politik luar negeri RI era Susilo Bambang Yudoyono lihat situs resmi Deplu RI, http://www.deplu.go.id/?language=id&category_id=12&news_id=934&main_id=1& .

[27] Hans J. Morgenthau, op. cit. pp. 128.

[28] Menlu RI: Diplomasi Publik Tanpa Harus Berbohong. Antara, 10 Februari 2008. Lihat situs Kantor Berita Antara, http://www.antara.co.id/arc/2008/2/10/menlu-ri-diplomasi-publik-tanpa-harus-berbohong

[29] Mengenai relasi antara umat Islam dan proses demokrasi, lihat disertasi Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru (Jakarta: Gramedia, 2007).

[30] Konsep Soft Power lihat Joseph Nye, Jr. Soft Power (New York: Public Affairs, 2004).

[31] Dino Patti Djalal, op. cit.

[32] Anak Agung Banyu Perwita. Hubungan Indonesia-Australia (Kompas, 13 Juni 2008, Opini).

[33] Filipina merupakan bekas negara jajahan Amerika Serikat yang merdeka seiring Perang Dunia II. Oleh karena itu, wajar jika Filipina memiliki keterikatan emosional dengan AS, salah satunya dengan dibangunnya kemitraan AS-Filipina di bidang militer dan dibangunnya pangkalan militer AS di Luzon.

[34] Dino Patti Djalal, op.cit. pp. 310-312.

[35] Pemikiran Fukuyama lihat Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man (New York: Free Press). Mengenai Huntington lihat Samuel Huntington, The Clash of Civilization and The Remaking of World Order (New York, Simon & Schuster, 1996).

[36] Francis Fukuyama. “The End of History?” National Interest, Summer 1989. Dikutip dari Charles W. Kegley &Eugene R. Wittkopf, World Politics: Trends and Transformation (Belmont: Thomson Wadsworth, 2006, tenth edition), pp. 588. artikel juga dapat diakses pada http://www.wesjones.com/eoh.htm

[37] Presiden: Jadikan ASEM Dialog Multilateralisme. Kompas, 11 September 2006.

[38] Siti Muti’ah Setiawati, et. al. Irak di Bawah Kekuasaan Amerika: Dampaknya bagi Stabilitas Politik Timur Tengah dan Reaksi (Rakyat) Indonesia (Yogyakarta: PPMTT HI FISIPOL UGM, 2004). pp. 53.

[39] AS Bela Israel, Hamas Bersumpah Bertahan. Kompas, 28 Desember 2008.

[40] Riza Sihbudi. Indonesia-Timur Tengah: Masalah dan Prospek (Jakarta: Gema Insani Press, 1997).

[41] Salah satu peran yang dijalankan oleh Departemen Luar Negeri RI adalah pemberdayaan kaum moderat. Lihat dokumen “Sekilas Diplomasi Publik”, Deplu RI.

[42] Ada beberapa literatur yang membahas Islam Liberal. Lihat Lihat Rasjidi, Koreksi terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi (Jakarta: Bulan Bintang, 1972). Lihat pula Adian Husaini, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya (Jakarta: Gema Insani Press, 2002).

[43] Sebagai contoh, ada Posko Keadilan Peduli Ummat (PKPU) yang memiliki hubungan cukup baik dengan Rabithah Alam Al-Islami, sebuah lembaga donor Islam internasional dan memiliki afiliasi dengan sayap politik Ikhwanul Muslimin di beberapa negara. Muhammad Natsir, pahlawan dan mantan PM Indonesia di tahun 1950-1951 juga merupakan salah satu pendiri dari Rabithah Alam Al-Islami.

[44] Charles W. Kegley, op. cit. pp. 133.