Pertengahan Februari 2008, satu tahun yang lalu sebuah sejarah baru tercipta di semenanjung Balkan. Kossovo, sebuah daerah mayoritas muslim yang berada di bawah pengawasan PBB beberapa tahun belakangan ini, menyatakan kemerdekaan mereka dari Serbia yang dulu bergabung bersama Federasi Yugoslavia. Pernyataan kemerdekaan Kossovo ini langsung mendapat apresiasi positif dari masyarakat internasional dan juga mendapat pengakuan dari beberapa negara anggota PBB
Akan tetapi, kemerdekaan Kossovo bukannya tanpa halangan. Serbia merasa kemerdekaan Kossovo adalah ”kemerdekaan palsu”. Hal ini karena, seperti Taiwan, Kossovo adalah provinsi yang bermasalah sejak berada dalam pangkuan Federasi Yugoslavia. Oleh karena itu, Serbia seakan-akan tidak rela dan terus melakukan demonstrasi menuntut kembalinya Kossovo ke tangan mereka.
Sementara itu, dukungan internasional terus mengalir. Amerika Serikat mengakui kemerdekaan Kossovo dalam forum di United Nations. Begitu pula banyak anggota dari Uni Eropa yang bertetangga dengan Kossovo. Dukungan internasional ini memperkuat kepercayaan diri Kossovo dalam melaksanakan pembangunan awal setelah sebelumnya hancur oleh konflik berkepanjangan.
Meski demikian, polemik di PBB masih belum sepenuhnya berakhir. Rusia dan Serbia –dua sekutu dekat—kembali meresistensi perjuangan kemerdekaan Kossovo dengan menyuarakan penolakan atas pengakuan kemerdekaan. Hal ini begitu dilematis karena berpengaruh kuat dalam sidang di International Court of Justice dalam mengesahkan Kossovo sebagai sebuah negara-bangsa. Maka, momentum persaudaraan harus kembali disuarakan: Kossovo harus merdeka.
Serbia dan Konflik Balkan
Jika kita analisis, kemerdekaan Kossovo ini merupakan sebuah peristiwa yang didahului oleh peristiwa penting lain di semenanjung Balkan. Kita tahu, Federasi Yugoslavia didirikan oleh negara-negara di kawasan Balkan seperti Slovenia, Serbia, Montenegro, Bosnia, dan Macedonia. Federasi ini memiliki posisi yang kuat pada era 1950-an ketika Joseph Broz Tito menjadi presiden.
Kendati memiliki hubungan yang cukup erat dengan Uni Sovyet, Yugoslavia memiliki pengaruh yang cukup besar dalam Gerakan Non-Blok. Federasi ini lebih memilih untuk tidak terlibat langsung dalam pertikaian ideologi pada saat perang dingin, tetapi lebih memilih untuk melakukan konsolidasi internal. Terbukti, tangan dingin Broz Tito dapat menyatukan tiga kekuatan yang berlawanan: Serbia dengan sosialisme yang kuat, Bosnia dengan Islam, dan Macedonia-Kroasia dengan Kristen Ortodoks yang kental.
Akan tetapi, keharmonisan Yugoslavia melemah setelah berakhirnya era Joseph Broz Tito. Pengganti-penggantinya kurang kuat dalam melakukan harmonisasi dan perbaikan. Klimaksnya, Slobodan Milosevic dari Serbia berkuasa di akhir era 1990-an dan menandai subordinasi Serbia atas anggota-anggota Yugoslavia lain.
Di era tersebut, Milosevic dan tangan kanannya, Radovan Karadzic melakukan ethnic cleansing atau yang lazim dikenal dengan genosida di Srebrenica, Bosnia. Puluhan ribu umat Islam tak berdosa menjadi korban. Baik para ulama, wanita, bahkan anak-anak sekalipun. Protes internasional terbit. Semua organisasi Islam bersepakat untuk menekan PBB agar menindak praktik genosida atas umat Islam ini. Pasukan internasional pun diterjunkan dan berhasil menetralisir keadaan. Puncaknya, federasi Yugoslavia pecah dan hanya tersisa Serbia serta Montenegro saja yang akhirnya juga berpisah.
Slobodan Milosevic ditangkap dan dipenjara di Den Haag. Sementara itu, Radovan Karadzic dan perwira militer lain yang terlibat dalam pembersihan etnis di Bosnia buron; ada beberapa yang tertangkap. Belakangan, Milosevic dikabarkan bunuh diri di selnya di Den Haag ketika menunggu putusan tetap dari International Court of Justice, sementara Karadzic tertangkap dan diadili di Den Haag.
Akhirnya, pada tahun 2006 yang lalu Federasi Yugoslavia dibubarkan. Serbia dan Montenegro memutuskan untuk berjalan sendiri-sendiri tanpa satu ikatan politis. Februari 2008 menjadi tonggak sejarah baru bagi Kossovo dengan deklarasi kemerdekaan yang didukung oleh NATO, Uni Eropa, dan PBB.
Politik Luar Negeri RI
Menatap Kossovo yang merdeka masih memerlukan perjuangan besar. Di sini, penulis ingin memberikan sedikit masukan dalam kebijakan luar negeri RI berkaitan dengan masalah Kossovo ke depan, meski sikap otoritas diplomatik belum begitu jelas dalam perdebatan di Dewan Keamanan: abstain ketika voting.
Pertama, Indonesia dalam kapasitas sebagai anggota Dewan Keamanan PBB harus mendukung –minimal mengakui— kemerdekaan dan kedaulatan Kossovo. Pengakuan kedaulatan ini penting mengingat adanya ikatan persaudaraan antara Indonesia dan Kossovo yang notabene berpenduduk mayoritas muslim. Indonesia harus ingat bahwa ketika awal kemerdekaan, Ikhwanul Muslimin dan pemerintah Mesirlah yang mengakui kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 atas dasar Ukhuwah Islamiyah.
Kedua, Indonesia harus aktif sebagai mediator jika terjadi konflik antara Kossovo dan Serbia yang didukung oleh Rusia. Dalam forum DK, posisi Indonesia harus netral, berada di tengah namun tetap tegas terhadap persaudaraan Islam. Yang terpenting, perang saudara dapat dielakkan dan dihindarkan dari tanah Balkan. Penggunaan militer harus mendapat sorotan tajam dalam perundingan keamanan internasional terkait masalah Kossovo ini. Di sini, kejelian otoritas diplomatik di PBB kita harapkan agar dapat mengakomodasi kepentingan perdamaian dan kedaulatan negara.
Ketiga, Indonesia juga harus siap jika perang memang benar-benar terjadi di Kossovo. Kendati NATO dan pasukan perdamaian PBB masih memegang peranan penting di Kossovo, sinyal dari Serbia untuk melakukan protes tetap ada. Apalagi Perdana Menteri Serbia Vojislav Kostunica dan Presiden Serbia Boris Tadic telah melegitimasi aksi demonstrasi dan upaya blokade perbatasan Serbia-Kossovo. Kembali, peran Indonesia untuk menjadi alat perdamaian kita harapkan.
Keempat, penulis meminta dukungan umat Islam di Indonesia untuk terus mendoakan saudara-saudara di Kossovo, agar fase pembangunan awal di negara ini dapat berjalan lancar. Gangguan pasti ada, tetapi harus ada upaya untuk bangkit dari keterpurukan dan memulai awal baru. Para ulama telah menyuruh kita untuk mendoakan umat Islam yang sedang berada dalam kesusahan, seperti yang dialami oleh ikhwah di Kossovo ini.
Maka, kita hanya bisa berharap agar Kossovo dapat menjadi negara muslim yang teguh memegang prinsip syariah dan istiqomah membangun diri. Ingatlah, kita cinta perdamaian tetapi lebih mengutamakan kemerdekaan. Terpenting, kedaulatan Kossovo diakui di mata masyarakat transnasional.
Kami bersamamu, Kossovo!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar