Kamis, 23 Juli 2009

Bom Kuningan dan "Politik Ketakutan"


Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar*)

"In the political sector, existential threats are traditionally defined in term of constituting principle -souvereignty, but sometimes also ideology- of the state"

(Barry Buzan, Ole Waever, & Jaap de Wilde, 1998)



Indonesia kembali berduka. Jumat (11/7) yang lalu, bom high explosive meledakkan dua hotel bertaraf internasional, Ritz Carlton dan JW Marriott, Jakarta. Peledakan tersebut terjadi hanya tiga hari sebelum Manchester United bertanding di Jakarta sebagai rangkaian tur Asia. Sedikitnya, 11 orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka akibat tragedi tersebut.

Dan dunia pun terkejut. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, Indonesia boleh dikatakan aman dari aksi teror bom. Apalagi, Indonesia baru akan melaksanakan dua event akbar, yaitu Pertandingan MU vs Indonesia All-Stars dan Pemilihan Presiden RI. Tentu saja, banyak yang tidak menyangka pengeboman akan terjadi.

Beragam spekulasi pun muncul. Sinyal keterkaitan jaringan teroris internasional menguat. Ada yang menyangka bahwa pengeboman memiliki muatan bisnis di baliknya. Ada pula yang mencoba mengaitkan aksi pengeboman dengan konstelasi politik pasca-Pemilihan Presiden 2009.

Yang jelas, pemerintah dan otoritas keamanan tak memprediksi bahwa akan terjadi pengeboman. Eksekusi mati Trio bom Bali serta tertembaknya Dr. Azahari rupanya membuat keamanan sedikit mengendor, sehingga antisipasi tidak lagi dilakukan secara ketat. Kewaspadaan rupanya menjadi begitu kendor pasca-eksekusi.

Kasus pengeboman di hotel JW Marriott dan Ritz Carlton ini pun menyisakan sebuah pertanyaan: akankah pengeboman ini berimplikasi pada berubahnya konstelasi politik global, serta bergesernya orientasi pengaturan keamanan internasional?

Masalah Keamanan

Jika kasus terror bom ini kita pandang secara lebih luas, jelas bahwa teror bom di Jakarta ini merupakan satu dari rangkaian aksi teror yang melanda dunia dekade ini. Sebelumnya, peledakan serupa terjadi di Mumbai, India yang juga menghentakkan publik dunia.

Fakta ini menunjukkan, jaringan yang dikenal oleh publik dunia sebagai “terorisme” telah kembali menampilkan wajahnya, meskipun tidak secara baru. Hal yang patut kita soroti, dalam konteks Indonesia, adalah bahwa pengeboman terjadi setelah pesta demokrasi dilangsungkan, sehingga membuat spekulasi menyebar ke mana-mana.

Kita pun patut melihat masalah ini ke dalam dua sudut pandang. Pertama, masalah pengeboman di Kuningan ini berpotensi membangkitkan kembali kesalahpahaman antara pemerintah dan sebagian kelompok agama yang merasa citranya tercoreng karena aksi pengeboman yang mengatasnamakan agama.

Kedua, bom Kuningan ini juga cukup rawan diikuti oleh sekuritisasi dalam kebijakan keamanan pemerintah ke depan. Kewaspadaan pasti akan ditingkatkan oleh pemegang otoritas keamanan. Di berbagai aspek, diprediksi akan pembatasan ruang gerak bagi sebagian kalangan dengan alasan “national security”.

Kewaspadaan ini adalah sesuatu yang sangat wajar. Hanya saja, jangan sampai kewaspadaan ini menjadi ketakutan berlebihan yang justru kontraproduktif dengan alam demokrasi dan kebebasan di Indonesia.

Sekuritisasi dan "Politik Ketakutan"

Dalam studi keamanan internasional, kita mengenal istilah sekuritisasi atau masuknya aspek-aspek keamanan dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan. Istilah ini sangat terkait dengan konsep konstruktivisme yang dikembangkan oleh mazhab Kopenhagen (Buzan, 1998).

Persoalan yang kadang kita lupakan dari tragedi ini adalah munculnya “politik ketakutan” pasca-pengeboman. Politik ketakutan tergambar dari munculnya asumsi keliru mengenai pelaku pengeboman, yang kemudian berimplikasi pada banyaknya penangkapan atas tokoh yang diduga terlibat.

Memang, dalam perspektif realis klasik, ketakutan adalah salah satu bentuk dari formasi kekuasaan. Thucydes, misalnya, mengambil contoh perang Peloponnesian sebagai bentuk ketakutan yang menjadi alasan dan penyebab asli dari peperangan.

Sedangkan Thomas Hobbes (1651) mengatakan bahwa jika tindakan dilakukan atas pertimbangan hawa nafsu dan kesimpulan yang keliru (fears), tindakan tersebut tidak akan lagi berekspektasi bahwa masih ada pertahanan dan perlindungan dalam melawan musuh. Inilah refleksi dari ketakutan: manusia tak lagi berpikir rasional.

Dalam menyikapi pengeboman, pemegang otoritas keamanan seharusnya tak boleh dihantui oleh rasa ketakutan ini. Karena, ketika pembuat keputusan mulai dihantui oleh ketakutan tak beralasan, kebijakan pun akan menjadi tidak rasional. Hasilnya, terjadi sekuritisasi berlebihan yang kemudian justru sikap skeptis dan penguatan rejim otoritarian.

Untuk menghindari ketakutan ini, ada sebuah paradigma yang perlu dibentuk. Pelaku pengeboman murni aksi pribadi, tidak terkait dengan kelompok atau agama manapun. Sehingga, aksi pengeboman seharusnya tidak membuat pemerintah mencurigai agama tertentu yang “dicatut” oleh pelaku peledakan.

Politik ketakutan ini harus diantisipasi dengan menghilangkan spekulasi dan bersikap objektif terhadap bukti-bukti yang ada. Jangan sampai, konteks keamanan bergeser ke arah keamanan konvensional yang melibatkan perangkat-perangkat militer.

Untuk itu, tak perlu berlebihan dalam bersikap waspada. “Perang terhadap terorisme” harus disertai oleh pikiran yang rasional dan bukti-bukti yang matang. Hindari spekulasi keliru. Bukankah sebagian prasangka hanya menyesatkan kita?

*) Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM

Rabu, 22 Juli 2009

Prita Mulyasari dan Paradoks "Negara Demokrasi"

"Everyone has the right to freedom of expression. This right shall include freedom to hold opinions and to receive and impart information and ideas without interference".

-Universal Declaration on Human Rights-

Kebebasan berpendapat kembali menuai kontroversi di negeri ini. Prita Mulyasari (Bu Prita), seorang ibu rumah tangga di Jakarta, dilaporkan ke kepolisian oleh sebuah rumah sakit dengan alasan sepele: pencemaran nama baik. Pasalnya, Bu Prita dianggap memfitnah rumah sakit tersebut melalui aspirasinya di dunia maya.

Kasus berawal dari sebuah surat elektronik yang dikirim oleh Bu Prita ke seorang teman. Surat tersebut berisi keluhan dan pengalaman beliau ketika dirawat di sebuah rumah sakit. Gayung bersambut: beberapa rekan menyebarluaskan surat elektronik ke beberapa mailing list sebagai bahan diskusi.

Celakanya, surat tersebut rupanya membuat pihak rumah sakit tidak senang. Berbekal surat yang disebarluaskan ke forum elektronik tersebut, pihak rumah sakit memperkarakan Bu Prita atas tuduhan pencemaran nama baik. UU ITE dan KUHP digunakan sebagai dasar hukum. Proses hukum bergulir, Bu Prita ditahan. Muncul respons: ribuan pengguna internet menyerukan dukungan kepada Bu Prita.

Sebenarnya, kasus Bu Prita bukannya pertama kali terjadi di Indonesia. Beberapa waktu yang lalu, Bersihar Lubis diadili dengan tuduhan serupa, karena menulis sebuah kolom yang berjudul “Kisah Interogator yang Dungu” di sebuah harian nasional. Tulisan tersebut dianggap mendiskreditkan pihak kejaksaan, sehingga Bersihar diperkarakan oleh kejaksaan dengan tuduhan mencemarkan nama baik.

Persoalan pencemaran nama baik ini memang menjadi sebuah preseden buruk bagi kebebasan berpendapat di Indonesia. UUD 1945 telah memberi ruang bagi individu untuk menyatakan pendapatnya di depan umum, dengan catatan tidak memberikan kerugian bagi orang lain. Dalam konteks kasus Bu Prita, sebuah kritik yang dikirimkan oleh stakeholder rumah sakit tentu merupakan sesuatu yang wajar ketika pelayanan rumah sakit memang tidak memuaskan pasien.

Dalam konteks ini, masalah tuduhan pencemaran nama baik (beleidging) justru kontraproduktif dengan iklim demokrasi yang coba dibangun di negara ini. Di satu sisi, negara ingin agar ruang-ruang publik dibuka untuk masyarakat. Kebebasan berpendapat diperbolehkan. Aspirasi warga negara ditampung. Intinya, negara ingin agar masyarakat dapat memberikan umpan balik terhadap proses pembangunan politik yang berjalan.

Akan tetapi di sisi lain, negara juga masih menghalangi kritik yang diberikan kepada pemerintah dengan dalih pencemaran nama baik. Negara masih memberikan ruang yang begitu sempit bagi publik untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Media massa dan elemen masyarakat sipil tidak dikondisikan untuk menjadi alat kontrol sosial. Kritik dan demonstrasi masih dianggap sebagai sesuatu yang tidak biasa dan, oleh karenanya, tidak boleh muncul di ruang publik.

Sehingga, terciptalah paradoks: “negara demokrasi” menghalangi warga negaranya untuk berpendapat secara bebas. Pada titik ini, pencemaran nama baik yang diatur melalui KUHP menjadi dilematis ketika dihadapkan dengan nilai demokrasi. Kasus Prita Mulyasari membuktikan, aspirasi seorang warga negara yang sebenarnya bersifat pribadi justru membuat hak konstitusional Bu Prita diambil melalui penahanan.

Apalagi, pada perkembangannya, muncul dugaan bermainnya kuasa modal di tengah proses hukum kasus Bu Prita tersebut. Situasi kian problematis. Institusi hukum lagi-lagi harus berhadapan dengan masalah akut yang sempat menghasilkan episode buram dalam penegakan hukum di Indonesia ketika Orde Baru. Masalah pencemaran nama baik tidak hanya berdampak di satu aspek, tetapi juga memicu masalah di aspek lainnya.

Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”, kata Lord Acton. Perkataan yang begitu populer di kalangan mahasiswa FISIP ini mengingatkan kita, bahwa kekuasaan harus dikendalikan dan dikontrol. Kuasa modal harus dijaga agar tidak berkolaborasi dengan kuasa politik atau kuasa-kuasa lainnya. Oleh karena itu, kebebasan berpendapat menjadi penting sebagai sebuah alat pengendali.

Namun perlu diingat, kritik akan menjadi sia-sia ketika “budaya bisu” –meminjam istilah Freire— masih melekat sebagai gaya berpikir di masyarakat. Maka, peran mahasiswa sebagai generasi intelektual menjadi penting untuk dimainkan. Pekerjaan besar menanti mahasiswa Indonesia ke depan


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM

Multi-Track Diplomacy untuk Ambalat

catatan: Artikel ini dimuat di Harian Nasional Sindo, 17 Juni 2009.

Oleh: Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)

KABAR dari Malaysia menunjukkan kepada kita bahwa Ambalat,garis batas paling vulnerable di Indonesia, tengah menjadi bahan provokasi dan sengketa diplomatik.

Kita perlu lebih serius ketika menyikapi masalah ini untuk menghindarkan opsi perang yang tak menguntungkan. Patut dicatat,Ambalat sangat bertautan dengan kepentingan nasional kedua negara,yaitu minyak.Di Ambalat bercokol dua perusahaan multinasional. Jelas, dengan adanya dua perusahaan ini, opsi perang tidak akan menguntungkan siapa pun.

Karena,jika Indonesia merespons provokasi dengan operasi militer, pihak yang tertawa bukan siapa-siapa, tetapi dua perusahaan tersebut. Lantas,apa yang harus dilakukan RI? Jelas,diplomasi menjadi sebuah opsi strategis jika digunakan secara tepat dan efektif. Diplomasi tidak hanya dilaksanakan di meja perundingan, tetapi juga dilakukan dengan model-model lain.

GR Berridge (2002) berpendapat bahwa dalam tahap diplomasi di waktu krisis, ketika terjadi konflik antara dua negara, telekomunikasi menjadi salah satu variabel yang penting untuk digunakan untuk meredam konflik. Dalam konteks Ambalat, komunikasi menjadi hal penting. Untuk itu, posisi seorang Presiden SBY dan PM Najib Razak menjadi sangat penting untuk menyelesaikan persoalan.

Presiden SBY atau Menteri Luar Negeri seharusnya mengambil posisi penting dengan menelepon otoritas diplomatik Malaysia untuk meminta klarifikasi berkaitan dengan provokasi di Ambalat. Penulis cukup mengapresiasi sikap Presiden yang tidak langsung terpancing emosinya dengan provokasi ini.

Akan tetapi,penulis juga cukup menyayangkan kelambanan respons dari pemerintah hingga masalah ini ter-blow-up media massa dan sentimen negatif rakyat di akar rumput kembali mencuat. Selain masalah telekomunikasi, langkah strategis yang perlu dilakukan dalam diplomasi RI adalah mengikutsertakan stakeholder diplomasi atau yang dikenal sebagai multi-track diplomacy (Diamond & MacDonald, 1996).

Diplomasi tidak hanya melibatkan negara sebagai aktor tunggal,tetapi juga dapat melibatkan elemen masyarakat yang lain. Diamond&MacDonald menyebut ada sembilan track (pihak) yang bisa dilibatkan dalam diplomasi. Jika kita kaitkan dengan konteks Ambalat,pemerintah dapat melibatkan elemen ulama sebagai penjembatan kepentingan kedua negara, mahasiswa yang studi di Malaysia, media massa, atau jaringan bisnis dan investasi yang cukup intensif berhubungan dengan pebisnis di Malaysia.

Mereka harus difasilitasi dengan kendaraan diplomasi publik yang sekarang tengah menjadi proyek Deplu. Di sinilah pentingnya diplomasi publik sebagai salah satu instrumen diplomasi RI.Ketika pemerintah ingin melakukan pendekatan nonmiliter dalam penyelesaian konflik, diplomasi publik dapat menjadi salah satu media.

Kendalanya, fungsi koordinatif dari Deplu sebagai pemain dalam diplomasi publik ini belum berjalan. Ini yang patut diperbaiki oleh pemerintah ke depan. Sikap Malaysia yang mengirim kapal perang ke Blok Ambalat memang tak dapat dibenarkan. Akan tetapi, Indonesia pun tidak boleh turut terpancing dengan provokasi tersebut.

Oleh karena itu, diplomasi publik dan multi-track diplomacy akan menjadi pintu pertahanan utama dalam penyelesaian konflik.Persoalannya, sudah seberapa efektifkah diplomasi Indonesia dilakukan? Sebuah pekerjaan besar menanti para calon presiden.(*)

*) Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/247694/

Kursi Kabinet dan Fatsoen Politik

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)

Artikel ini dimuat di Harian Radar Banjarmasin, 17 Juli 2009.

Banyak pihak yang percaya, hasil quick count beberapa lembaga survey telah membenarkan prediksi bahwa Pemilihan Presiden RI 2009 hanya akan berlangsung satu putaran, dengan pasangan SBY-Boediono sebagai pemenangnya. Apalagi, perolehan sementara SBY-Boediono di real count KPU juga senada dengan hitungan quick count.

Potret Demokrasi Mayoritarian

Berdasarkan asumsi ini, muncul pula beragam spekulasi terkait dengan struktur pemerintahan yang akan dibangun oleh pasangan SBY-Boediono. Hanya sepekan setelah hasil quick count diumumkan, spekulasi mengenai siapa saja figur yang akan menduduki pos-pos menteri di kabinet SBY-Boediono mulai mencuat.

Perbincangan di media massa tidak lagi berkutat dengan pemilihan presiden, tetapi telah melangkah lebih jauh: power sharing atau pembagian kekuasaan dan jatah menteri antarpartai pendukung SBY.

Jika SBY-Boediono memang diprediksi menang, pemerintahan yang dibangun akan cukup kuat dan stabil. Di parlemen, partai pengusung SBY-Boediono (Demokrat, PKS, PAN, PPP, dan PKB) telah berjumlah 318 kursi atau sekitar 57,8%. Jika Partai Golkar bergabung ke pemerintahan, jumlah ini akan bertambah lebih dari 100 kursi. Praktis, pemerintahan menjadi sangat kuat dan cita-cita untuk membentuk pemerintahan presidensil yang efektif akan menjadi semakin mudah dilaksanakan.

Fenomena ini disebut oleh Arend Lijphart (1971) sebagai “demokrasi mayoritarian”. Pemerintahan yang terbentuk dari hasil Pemilu menjadi sangat kuat, dan secara umum akan meminimalisasi upaya kelompok oposisi untuk meresistensi pemerintah di parlemen. Format koalisi politik yang bertipe “minimal-winning coalition” akan menjadi format koalisi yang sangat ideal bagi sistem presidensil.

Dengan adanya fenomena demokrasi mayoritarian ini, perlu ada upaya-upaya untuk menjaga agar partai politik yang memegang kendali pemerintahan tidak bertindak di luar batas demokrasi dan menjadi sebuah rejim otoritarian baru. Resistensi dapat dilakukan melalui konsolidasi partai-partai oposisi (PDIP, Gerindra, Hanura), dan fatsoen politik sebagai kontrol non-formal perlu ditegakkan dalam sistem politik kita

Fatsoen Politik dan Kepatutan

Dalam sistem pemerintahan yang presidensil, power sharing atau pembagian kekuasaan di antara partai pendukung seorang presiden sangat wajar terjadi. Jatah menteri merupakan sebuah keniscayaan bagi partai politik yang menyatakan dukungannya kepada capres tertentu.

Hanya saja, seberapa patutkah perbincangan mengenai jatah menteri tersebut dilakukan sebelum hasil Pemilihan Presiden yang fixed dan valid diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum? Atau, seberapa pantaskah sebuah partai politik yang mendukung capres tertentu mengajukan kader-kader terbaiknya untuk menjadi menteri, sementara pemerintahan yang lama masih belum secara resmi berakhir dan hasil Pemilu masih belum dapat diketahui oleh publik?

Tidak salah, memang, jatah menteri dibicarakan di antara partai pendukung calon presiden tertentu. Tidak salah pula sebuah partai politik mengajukan kader-kader terbaiknya untuk menjadi menteri, jika memang pembicaraan tersebut menjadi bagian dari paket koalisi yang telah dibicarakan.

Akan tetapi, ketika pembicaraan tersebut dilakukan sebelum hasil pemilu secara resmi diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum, ada sedikit kekeliruan. Waktu pembicaraan menjadi terlalu pagi dan tidak mencerminkan etika kepada calon presiden yang lain. Seakan-akan, calon presiden yang lain dianggap telah kalah, padahal proses hukum dan proses politik belum berakhir secara sempurna.

Sikap ini jelas tidak sesuai dengan fatsoen (etika) politik. Sewajarnya, dalam sebuah kompetisi, keputusan menang-kalah diambil setelah pertandingan berakhir. Hasil pertandingan diketahui setelah peluit panjang telah dibunyikan oleh wasit. Hitung-hitungan dari para analis pertandingan sebenarnya tidak berlaku, karena hasil akhir dari jurilah yang menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah.

Hal ini pula yang seharusnya kita maknai sebagai fatsoen politik. Dalam pemilu, keputusan kalah atau menang diambil setelah hasil Pemilu diumumkan secara resmi, proses hukum dan gugatan atas hasil pemilu dilakukan oleh calon presiden yang lain, serta proses demokrasi telah sepenuhnya berjalan. Sebelum semua hal tersebut berjalan, seorang calon presiden masih belum dianggap menang atau kalah.

Sehingga, seharusnya perbincangan mengenai “siapa mendapatkan apa” dilakukan setelah seorang calon presiden memang benar-benar menang secara legal-formal, atau setelah hasil Pemilu benar-benar diumumkan secara sah. Partai politik, secara fatsoen, tidak mendahului keputusan kalah-menang tersebut secara sombong dan menafikan proses-proses hukum yang masih bisa diambil oleh calon presiden lain.

Perlu diingat, politik menurut Harold Lasswell (1950) tidak hanya berbicara mengenai “siapa mendapatkan apa” (who gets what), tetapi juga berbicara mengenai “kapan” dan “bagaimana” ia mendapatkannya (politics is who gets what, when, and how). Pertanyaan “bagaimana” sangat merujuk pada fatsoen atau etika berpolitik yang dimainkan oleh partai-partai politik.

Apalagi, dalam konteks Indonesia, partai-partai politik yang mendukung SBY-Boediono adalah partai-partai berlatarbelakang konstituten dan basis platform Islam. Fatsoen politik hendaknya dijunjung tinggi. Jabatan menteri bukan merupakan materi yang diincar dengan sekuat tenaga, tetapi harus dipandang sebagai amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.

Sehingga, prinsip “jabatan sebagai amanah” sangat penting untuk menghindari perilaku ambisius dalam mengejar kekuasaan. Ketika prinsip ini diabaikan, partai politik tersebut akan berorientasi kekuasaan. Bagi sebuah partai politik Islam, sikap ini jelas kontraproduktif dengan nilai-nilai yang mereka anut. Kekuasaan seharusnya tidak menjadi orientasi dari partai-partai politik Islam yang berada di belakang SBY.

Politik yang Beretika

Maka, sikap yang semestinya dilakukan bukanlah membicarakan kursi menteri yang akan dijatahkan, tetapi mengevaluasi kinerja partai agar sesuai dengan basis platform yang dianut dan menganalisis model-model kebijakan yang akan diarahkan dalam pemerintahan.

Jika memang akan mengajukan nama kader sebagai menteri, pembicaraan hendaknya dilakukan secara tertutup dan tidak demonstratif kepada media massa. Hal ini akan lebih baik dipandang oleh publik dan tidak terkesan “haus kekuasaan”. Apalagi, partai politik Islam memegang teguh prinsip yang diatur dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

Politik memang tidak mengenal batasan, tetapi jangan lupa, fatsoen politik akan membatasi perilaku para elit di kancah politik. Mari membangun politik yang beretika.

*) Penulis adalah Alumnus SMAN 1 Banjarmasin, Studi di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UGM

Sabtu, 04 Juli 2009

Perbatasan Laut RI: Masalah atau Peluang?

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)


Sebagai sebuah negara-bangsa, Indonesia merupakan salah satu negara yang cukup unik. Pada umumnya, sebuah negara-bangsa dibangun oleh satu satuan bangsa, dengan batas-batas geografis yang mengacu pada daratan sebagai border. Namun, Indonesia justru dibangun di atas ratusan etnis dengan berbagai varian budayanya, dan dibentuk oleh formasi negara kepulauan (archipelago) dengan lautan sebagai batasnya.


Menilik Teori Mahan


Posisi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan serta terletak di antara dua benua ini telah memberi sebuah keuntungan sekaligus kerawanan tersendiri bagi RI. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi laut yang cukup luas dengan berbagai macam biota laut di dalamnya. Di samping itu, kandungan sumber daya mineral yang potensial bagi perekonomian juga terdapat di lautan nusantara.


Posisi geografis tersebut memiliki banyak implikasi. Mengacu pada teori geopolitik klasik Alfred Thayer Mahan, laut yang luas merupakan sebuah keuntungan geopolitik yang sangat besar bagi suatu negara. Posisi geografis Indonesia yang dikelilingi oleh lautan akan memberi banyak keuntungan secara politis dan ekonomis.


Persoalannya, benarkah keuntungan geopolitik tersebut dapat berlaku di Indonesia? Setidaknya, sebuah negara yang memiliki keuntungan lautan juga harus memiliki pelabuhan yang representatif, armada pertahanan laut yang kuat, optimasi industri kelautan, serta karakter bangsa yang juga berorientasi maritim.


Indonesia memiliki wilayah perbatasan dengan sepuluh negara tetangga. Dari kesepuluh perbatasan tersebut, beberapa titik berpotensi memberi keuntungan jika dikelola secara optimal. Beberapa perbatasan tersebut antara lain Selat Malaka atau Zona Ambalat yang kini menjadi perdebatan antara Indonesia-Malaysia.


Konflik Ambalat


Kita perlu sedikit serius ketika menyikapi persoalan Ambalat. Wilayah laut yang sampai sekarang masih dipersengketakan oleh RI-Malaysia ini memang memiliki keterkaitan dengan sumber daya alam yang terdapat di dalamnya, yaitu minyak. Eksplorasi awal beberapa perusahaan asing menunjukkan, wilayah ini memiliki kandungan minyak yang cukup besar. Akibatnya, kedua negara mengklaim bahwa wilayah ini merupakan bagian dari wilayah mereka.


Persoalan pada dasarnya terdapat pada peta yang dikeluarkan oleh masing-masing negara. Indonesia mengklaim bahwa Ambalat masuk ke wilayah Indonesia berdasarkan peta yang dibuat oleh PBB (UNCLOS). Namun, Malaysia pun juga mengklaim keabsahan wilayah ini berdasarkan peta yang dibuat pada abad ke-19.


Sebenarnya, kesalahpahaman dapat dihindari jika tidak ada provokasi berlebihan dari salah satu negara. Keberadaan kapal perang Malaysia di Ambalat, jelas merupakan sebuah provokasi. Tentu saja Malaysia paham bahwa Ambalat adalah wilayah sengketa. Dengan mengirimkan kapal perangnya, penulis menduga bahwa Malaysia ingin menggerakkan emosi bangsa Indonesia, sehingga masalah ini tersorot ICJ di Den Haag.


Patut dicatat, Ambalat sangat bertautan dengan kepentingan nasional kedua negara, yaitu minyak. Di Ambalat, bercokol dua perusahaan multinasional. Jelas, dengan adanya dua perusahaan ini, opsi perang tidak akan menguntungkan siapa pun. Sebab, jika Indonesia merespons provokasi dengan operasi militer, pihak yang tertawa bukan siapa-siapa, tetapi dua perusahaan tersebut.


Masalah Selat Malaka


Kita dapat melihat potensi Selat Malaka, misalnya, yang menjadi salah satu transit kapal-kapal asing. Posisi tersebut memberi keuntungan bagi Indonesia dalam hal penerimaan devisa dari kapal-kapal asing yang melintas perairan nusantara.


Selat Malaka juga memberi peluang bagi Indonesia untuk menegaskan eksistensi pertahanannya. Di wilayah ini, kekuatan pertahanan tiga Negara serumpun dipertaruhkan. Baik Indonesia, Singapura, atau Malaysia berkepentingan untuk menjadikan Selat Malaka sebagai gerbang lalu lintas laut mereka. Ini peluang bagi RI.


Namun, potensi ini belum sepenuhnya dioptimalkan oleh RI. Fenomena pendangkalan selat Malaka justru terjadi beberapa tahun terakhir, sehingga menyebabkan berpindahnya alur lalu lintas maritim. Indonesia juga tidak membangun sinergisasi dengan Singapura atau Malaysia, sehingga tak jarang terjadi kesalahpahaman di antara ketiga negara tersebut.


Selain itu, pertahanan maritim Indonesia di daerah ini juga cukup lemah. Laporan International Maritime Bureau (IMB) menyebutkan bahwa wilayah Selat Malaka merupakan salah satu wilayah laut yang rawan kejahatan. Fakta ini tidak berlebihan, karena baik Indonesia, Singapura, maupun Malaysia masih belum dapat menghentikan sepenuhnya aktivitas perompak di sekitar Malaka.


Sebenarnya, potensi dapat dimaksimalkan dengan menerapkan kebijakan berbasis maritim. Persoalan pendangkalan Selat Malaka dapat diselesaikan dengan kerjasama strategis Indonesia-Malaysia dan pengalihan jalur yang tepat. Persoalan ini kemudian menjadi tugas Malaysia dan Indonesia untuk membawanya ke level bilateral.


Masalah atau Peluang?


Dua kasus di atas menjadi titik berat dalam upaya menyikapi perbatasan RI. Masalah pertama, yaitu Ambalat, perlu direspons dengan upaya diplomasi dan penegasan kembali batas-batas wilayah RI, disertai dengan pengelolaan wilayah perbatasan secara tepat oleh negara. Masalah kedua, yaitu Malaka, juga memerlukan pengelolaan.


Sehingga jelas, wilayah perbatasan seharusnya tidak menjadi masalah bagi RI, tetapi justru menjadi peluang untuk mengelolanya secara lebih baik. Mari mengelola kembali perbatasan laut Indonesia. Bukankah sejarah kejayaan atas dunia dibangun dari penguasaan atas lautan (Alfred T. Mahan)?

*) Peneliti di Tim Kajian Asia Timur, FISIPOL UGM