Senin, 24 Agustus 2009

Syirik-Syirik Politik

(Dari Tauhid Sosial Menuju Kesadaran Politik)


Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)

Ketika berbicara mengenai tauhid sebagai unsur paling sentral dalam membangun fondasi keberagamaan, kita akan berbicara pula mengenai lawan dari istilah ini. Jika tauhid merupakan unsur paling sentral, maka lawan atau antitesis dari kata tauhid ini jelas adalah “kesesatan” paling sentral dalam Islam. Perilaku yang akan meruntuhkan keislaman seseorang. Perilaku yang bahkan disebut oleh Al-Qur’an sebagai dosa yang takkan diampuni oleh Allah selama pelakunya belum bertaubat.

Syirik Aqidah

Antitesis dari Tauhid –unsur yang paling esensial dalam Aqidah Islam—adalah Syirik, menyekutukan Allah. Perbuatan syirik merupakan perbuatan dosa yang tak diampuni oleh Allah (Q.S. An-Nisa: 48). Di ayat lain, Allah menyebut bahwa perbuatan syirik merupakan kezaliman yang besar (Q. S. Luqman: 13). Sehingga, tidak salah jika kita menempatkan syirik sebagai ‘penyakit mematikan’ no. 1 dalam Aqidah Islam.

Syirik dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu dari segi rububiyah, mulkiyyah, dan ilahiyyah. Yunahar Ilyas (1992: 70) menjelaskan tiga dimensi tersebut secara jelas. Penulis mencoba untuk menyarikan tiga poin dari dimensi tersebut.

Pertama, syirik secara rububiyah tergambar dari perilaku meyakini adanya makhluk yang mampu memberi manfaat atau mudharat atas segala sesuatu. Perilaku yakin pada azimat, kesaktian para “wali”, hingga meminta tolong pada orang yang sudah meninggal karena ada keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk melakukan itu.

Kedua, syirik secara mulkiyyah tergambar dari perilaku meyakini dan mematuhi perintah-perintah pemimpin yang bertentangan dengan perintah Allah, menghalalkan apa yang diharamkan Allah, atau justru sebaliknya. Dalam konteks Mulkiyyah ini, perilaku yang dimaksud adalah menjadi bagian dari pemimpin yang jelas-jelas menyalahi perintah Allah dan mematuhi sepenuhnya, bahkan mendukung pemimpin tersebut. Keterpaksaaan, menurut Prof. Dr. Yunahar Ilyas, bukan bagian dari perilaku ini.

Ketiga, syirik secara Ilahiyah tergambar dari perilaku berdoa kepada Allah melalui perantara orang yang sudah meninggal. Atau, berdoa kepada Allah dengan perantara berhala-berhala. Syirik ilahiyah ini juga tergambar dari pemahaman keliru mengenai tawassul, sebagaimana sering diperdebatkan di kalangan umat Islam Perilaku ini merupakan defisit ilahiyah, dan sebenarnya juga terjadi pada kaum Quraisy di era Rasulullah SAW.

Salah satu perilaku yang dapat menjerumuskan diri kepada kesyirikan ialah perilaku meminta bantuan kepada dukun. Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah mengatakan bahwa jika seorang muslim pergi ke dukun, salatnya tak akan diterima selama 40 hari (HR. Muslim). Perbuatan ini mengisyaratkan kita meminta pertolongan kepada selain Allah, dan berarti menyalahi komitmen kita dalam syahadat. Ironisnya, siaran televisi justru menyiarkan kesyirikan-kesyirikan ini secara luas dengan media SMS.

Dalam konteks masyarakat yang masih berciri tradisional, “dukun” merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem religius masyarakat yang masih terpengaruh faham animisme-dinamisme. Di beberapa lokasi di Indonesia, keberadaan dukun merupakan warisan dari era sebelum masuknya Islam. Sehingga, keberadaan dukun menjadi tak bisa dihilangkan sepenuhnya. Ketika Indonesia bertransformasi ke dalam modernitas, “dukun” pun juga turut memodernisasi diri dengan mengubah istilah: “paranormal”. Akibatnya, praktik masyarakat pra-Islam seperti ini juga menjadi tak terhindarkan, kendati aktivitas ini merupakan “virus” aqidah yang mematikan.

Perbuatan lain yang juga dapat menjerumuskan kepada kesyirikan adalah percaya kepada ramalan nasib, kesialan, atau hal-hal yang sejenis. Hal ini dilarang dalam agama, karena akidah Islam dengan tegas menyatakan bahwa hanya kepada Allah-lah kita berserah diri dan memohon pertolongan. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa tidak ada thiyarah (percaya kepada ramalan-ramalan) dan hammah (suara burung yang mengabarkan suatu nasib tertentu). Bahkan, mengundi nasib dengan anak panah secara tegas dihukumi haram oleh Al-Qur’an. Dalam kacamata Islam, hal tersebut telah dikategorikan sebagai perbuatan syirik.

Hal-hal tersebut merupakan bentuk dari “Syirik ‘Aqidi” yang tergambar secara jelas dan langsung dapat kita lihat. Dalam konteks di atas, berhala fisik telah dikategorikan oleh Allah sebagai salah satu bentuk dari kesyirikan. Akan tetapi, bagaimana dengan “berhala-berhala modern” yang muncul seiring bergeraknya zaman? Bagaimana dengan "berhala-berhala politik" yang seringkali tak kita sadari muncul dalam aktivitas politik? Mari kita analisis.

Tauhid Sosial vis-a-vis Syirik Sosial

Jika antitesis dari tauhid adalah syirik, lantas bagaimana dengan konsekuensi-konsekuensi sosial dari tauhid?

Prof. Dr. Amien Rais pernah menelurkan konsep “Tauhid Sosial” dalam beberapa tulisan beliau. Tauhid sosial adalah pengejawantahan makna dan substansi tauhid dalam aktivitas sosial-politik di kehidupan sehari-hari. Menurut Amien Rais, Tauhid Sosial merupakan dimensi sosial dari konsep tauhid (pengesaan Allah secara mutlak), agar konsepsi tauhid yang telah terintegrasi di pola pikir umat Islam dapat dipraktikkan pada tataran masyarakat. Implikasi yang diharapkan dari Tauhid Sosial ini adalah munculnya manusia-tauhid (meminjam istilah Amien Rais, lihat Muzakki, 2006) yang mampu berpikir secara arif dengan landasan tauhid dan syariah sebagai sistem ajaran.

Dalam kacamata Amien Rais, ada lima dimensi Tauhid Sosial. Pertama, keyakinan terhadap keesaan Allah (Unity of Godhead); Kedua, keyakinan atas penciptaan dari Sang Pencipta (Unity of Creation); Ketiga, keyakinan atas dasar-dasar kemanusiaan (Unity of Mankind); Keempat, keyakinan atas adanya pedoman hidup yang mengatur manusia (Unity of Guidance); Kelima, keyakinan atas tujuan hidup manusia sebagai umat muslim (Unity of The Purpose of Life).

Kelima dimensi tauhid sosial tersebut jelas memiliki antitesis atau lawan masing-masing. Antitesis tersebutlah yang penulis sebut sebagai “syirik sosial”. Perilaku-perilaku tersebut merupakan konsekuensi dan turunan dari perilaku syirik, dan dalam konteks sosial merupakan kategori perbuatan maksiat. Karena, dalam aktivitas sosial, seringkali muncul perbuatan-perbuatan maksiat di jalan Allah, yang sebenarnya berakar dari perilaku menyekutukan Allah.

Pertama, keyakinan terhadap keesaan Allah memiliki antitesis yaitu perilaku menjadikan sesuatu hal sebagai berhala. Antitesis dari poin pertama ini tergambar dari praktik-praktik yang telah penulis jabarkan di atas. Konsekuensi dari jenis syirik pertama ini adalah syirik kabir, syirik yang besar, yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Masalah syirik ini telah penulis jabarkan di atas.

Kedua, kesatuan penciptaan, atau yakin bahwa semua makhluk adalah ciptaan Allah, memiliki antitesis berupa perilaku menduakan Allah. Menganggap bahwa ada sesuatu yang lain yang dapat menciptakan makhluk. Menganggap rendah makhluk hidup lain karena asal penciptaan dan bentuk fisiknya. Atau, menganggap bahwa makhluk itu ada dengan sendirinya. Inilah pemaknaan falsafi keliru yang sama sekali tidak bertumpu pada pemahaman tauhid. Perilaku seperti ini tergambar dari perilaku Iblis, yang tak mau bersujud kepada Adam, lantaran Adam diciptakan dari tanah dan Iblis dari api, meskipun Allah telah memerintahkannya. Perilaku ini masih terkait dengan syirik kabir di atas.

Ketiga, kesatuan kemanusiaan antitesisnya adalah perilaku zalim terhadap makhluk Allah yang lain. Pemahaman bahwa adanya kesatuan penciptaan, yang berarti semua makhluk yang diciptakan oleh Allah adalah sama –yang berbeda hanya ketakwaannya— mengimplikasikan perilaku adil kepada semua makhluk. Tak ada garis batas agama. Semua makhluk, baik yang beriman kepada Allah atau tidak, harus diperlakukan secara adil. Allah sendiri memerintahkan kita untuk berbuat adil dengan menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya (Q. S. An-Nisa: 58) Dalam konteks sosial, perilaku adil memiliki antitesis zhalim, menindas orang lain. Poin kesatuan penciptaan jelas tidak membiarkan adanya perilaku menindas dari suatu makhluk kepada makhluk lain.

Keempat, kesatuan petunjuk. Pada level ini, antitesisnya adalah mencari petunjuk-petunjuk lain selain yang diberikan oleh Allah. Dalam pemahaman yang sederhana, perilaku syirik jenis ini tergambar dari sikap tidak beriman kepada Al-Qur’an sebagai kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Tetapi, jika kita pahami secara lebih kompleks, perilaku syirik jenis ini dapat kita lihat pada perilaku menjadikan “isme-isme” lain yang tidak sejalan dengan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai petunjuk, dan menjadi pengikut setia dari “isme” tersebut. Anjuran sinkretisme kontemporer dengan sekularisme, pluralisme agama, atau liberalisme menjadi sebuah gambaran perilaku syirik jenis ini. Pemahaman ber-Islam yang disinkretiskan dengan faham lain, diputar-balik pemahamannya, atau dipelintir konteksnya, menjadi sebuah pemahaman yang sarat dengan syirik sosial.

Kelima, kesatuan pedoman hidup, atau keyakinan atas Allah sebagai orientasi dan tujuan hidup, memiliki antitesis berupa materialisme, perilaku menjadikan sesuatu selain Allah sebagai tujuan hidup. Perilaku syirik sosial ini yang seringkali kita hadapi dalam realitas sosial. Terkadang, dalam beraktivitas sosial, manusia lupa bahwa hidup ini hakikatnya adalah menyembah Allah, dan orientasi hidup harus mengacu pada ta’abbudi ilallah. Ketika bekerja, manusia lupa bahwa bekerja adalah sarana ibadah, sehingga orientasinya hanya uang. Dalam aktivitas politik, kekuasaan membutakan para pelaku politik, hingga akhirnya mereka lupa bahwa berpolitik itu adalah untuk menegakkan kalimat Allah agar menjadi tinggi. Hingga, uang dan kekuasaan menjadi “berhala” baru. Di sinilah perilaku syirik sosial muncul. Orientasi hidup menjadi penting, bahwa manusia hidup untuk mencapai ridha Allah, dan untuk beribadah kepada Allah dengan varian-varian ibadahnya.

Kelima antitesis dari unsur tauhid sosial inilah yang penulis sebut sebagai syirik sosial. Ketika lima sikap ini menyaru dalam kehidupan sosial, sebagaimana dikemukakan oleh Amien Rais (1997), terjadilah patologi-patologi. Makna Islam tak lagi menjadi visi hidup masyarakat muslim. Terjadilah sekularisasi perlahan-lahan, sehingga jika virus syirik sosial ini tidak dihilangkan, akan muncul implikasi-implikasi yang lebih kompleks.

Syirik Politik

Lantas, bagaimana relevansi tauhid dengan perilaku politik, terutama perilaku politik masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim? Jelas, perilaku politik mesti berakar dari pemahaman tauhid yang benar dan komprehensif. Tauhid tidak hanya menjadi simbol dalam aktivitas politik, dengan hanya menggunakan atribut-atribut Islam sebagai nama atau asas partai politik, misalnya, tetapi juga harus ditransformasikan ke dalam aktivitas-aktivitas politik. Fatsoen politik mesti ditegakkan. Kesadaran kasip bahwa politik adalah bagian dari perubahan menuju masyarakat yang lebih baik, juga mesti dibangun. Syariah sebagai sistem ajaran juga mesti dipegang teguh. Semuanya didirikan atas dasar tauhid, sebagai landasan sentral.

Demikian pula, ketika kita menyatakan bahwa tauhid mesti ditransformasikan dalam aktivitas politik, mesti pula disadari bahwa ada pula perilaku-perilaku negatif yang merupakan antitesis dari tauhid. Perilaku syirik sosial sebagaimana penulis ulas di atas, terkadang kita jumpai dalam kehidupan politik. Akibatnya, muncul politisi korup. Patologi politik merajalela. Pragmatisme politik pun kian menjadi-jadi.

Mengacu pada konsep “Tauhid Sosial” yang telah digulirkan oleh Prof. Dr. Amien Rais dalam beberapa tulisan beliau, penulis mencoba untuk mengidentifikasikan perilaku “Syirik Politik” yang rawan sekali terjadi dalam konteks Indonesia. Gagasan ini mungkin hanya mencakup segelintir dari aktivitas-aktivitas yang berpotensi menjadi patologi politik.

Pertama, orientasi politik tidak lagi agar kalimah Allah menjadi lebih tinggi, melainkan agar “berhala-berhala politik” yang ia yakini tetap bertahan dan menjaga posisinya. Ketika seseorang memegang tampuk kepemimpinan, syirik politik menjelma dalam bentuk kekuasaan, uang, dan syahwat politik yang tinggi. Akhirnya, perilaku politiknya hanya untuk mengamankan posisi kekuasaan. Kekuasaan tidak digunakan untuk memperbaiki hajat hidup umat Islam, melainkan untuk mendapatkan keuntungan material. Perilaku korupsi menjadi begitu lumrah, dan ketidakadilan dianggap sebagai suatu kemestian. Sehingga, kekuasaan pun menjadi berhala.

Syirik politik jenis di atas terjadi pada orientasi. Di sinilah letak relevansi dari hadits riwayat Umar ibn Al-Khattab, “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan tiap-tiap urusan bergantung pada apa yang telah ia niatkan (Arba’in An-Nawawiyah, hadits ke-1). Ketika niat tidak lagi bergantung pada Allah, muncul maksiat. Syirik Politik ini akan membuat perilaku-perilaku tidak lagi mempertimbangkan maslahat-mudharat atau syar’i-tidaknya lagi.

Kedua, munculnya “kezaliman politik”. Bentuk syirik politik kedua adalah adanya penindasan dari the ruling class (kelas yang berkuasa) kepada subordinated class (oposisi). Potret penindasan ini muncul dalam bentuk kooptasi dari partai yang memiliki kekuatan massa besar kepada kelompok oposisi. Atau, penindasan kepada rakyat dengan kebijakan-kebijakan berkedok konglomerasi dan oligarkhi. Praktik otoritarianisme, di mana kebebasan dibungkam dan aktivis-aktivis Islam yang menyuarakan aspirasinya ditangkap, justru berlawanan dengan konsep tauhid sosial, di mana setiap manusia yang merupakan ciptaan Allah memiliki hak dan kedudukan yang sama. Kezaliman politik hanyalah bentuk kesombongan dan deklarasi atas ketidak-abadian manusia.

Padahal, potret Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Khalifah Umar Ibn Al-Khattab saja membuka partisipasi masyarakat dengan luas, selama masih berada di atas koridor Al-Qur’an dan Hadits. Khalifah Abu Bakar, dalam pidato politiknya ketika baru terpilih sebagai Khalifatul-Muslimin, menyatakan bahwa, “Seandainya kalian menyaksikanku dalam kebenaran, maka ikutilah. Tetapi jika kalian menyaksikanku telah menyimpang, luruskanlah!”. Senada dengan Abu Bakar, Khalifah Umar setelah terpilih menjadi Khalifah juga menyatakan, “Dan saya adalah salah seorang di antara kalian.... Barangsiapa melihat penyimpangan dalam diriku, maka luruskanlah! (lihat Masyhadi, 2005).

Dengan demikian, potret yang ditunjukkan Khalifah adalah bahwa partisipasi publik dibuka dengan begitu luas, selama berada dalam koridor Islam. Kezaliman politik dengan membungka suara-suara kritis atau menangkapi para kritikus tidak sesuai dengan ketentuan Islam. Bahkan, jika kebijakan yang keluar bertentangan dengan perintah Allah, perbuatan tersebut mengarah pada kesyirikan yang lebih besar.

Ketiga, menyadarkan diri pada “isme-isme” yang bertentangan dengan Islam dalam aktivitas politik. Dalam konteks ini, kita patut berpikir secara kritis. “isme-isme” yang penulis maksud pada dasarnya bukan simbol dan atribut politik, tetapi substansi ide dan garis kebijakan yang dianut. Dalam berpolitik, para politisi dan pengambil kebijakan harus memahami garis-garis larangan yang telah diberikan oleh Allah dalam Al-Qur’an atau Hadits. Syirik politik muncul ketika garis kebijakan yang ada justru menyalahi rambu-rambu Al-Qur’an.

Banyak formulasi kebijakan ekonomi (baik yang diambil pemerintah atau tidak) yang mengarah pada aktivitas ribawi. Ketika para politisi mengambil kebijakan yang mengarah pada riba tersebut secara sadar dan dengan arogansi tertentu, ia telah menyandarkan diri pada “isme-isme” yang bertentangan dengan Islam. Alternatif UU pun ada yang tidak sesuai dengan ketentuan Islam. Ketika jenis kebijakan tersebut diambil secara sadar dan menafikan ketentuan dalam Islam secara arogan, ia akan terjatuh pada syirik politik.

Seringkali, kelompok yang menggunakan atribut Islam pun terjatuh, karena para politisinya tidak memahami esensi kebijakan yang ada. Contoh konkret yang dapat penulis berikan dalam konteks ini adalah pada panitia anggaran. Di sini, para politisi mesti cermat dengan substansi anggaran, agar tidak mengandung unsur-unsur yang memperkaya diri. Ketika seorang politisi membuat anggaran yang memiliki unsur tersebut secara sadar, secara otomatis ia akan jatuh pada syirik politik. Hal inilah yang perlu dihindari oleh para politisi muslim.

Mencari Pemimpin Ideal

Dengan demikian, pemutus kebijakan dan para politisi pun patut waspada terhadap gejala syirik politik ini. Menurut Masyhadi (2005), seorang pemimpin sejatinya memiliki minimal dua sikap, yaitu amanah (kredibel, mampu dipercaya) dan profesional. Dua sikap ini mengacu pada hadis nabi, “Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya”.

Di sinilah pentingnya memilih para politisi yang benar-benar memiliki kompetensi dan kredibilitas. Karena, syirik politik akan muncul ketika dua hal ini tidak dimiliki oleh para politisi dan pemutus kebijakan. Dengan adanya sikap dan orientasi yang bersandar pada tawhid (mengesakan Allah), patologi-patologi politik akan dapat direduksi.

Maka, tauhid menjadi penting untuk diintegrasikan ke dalam segenap aktivitas politik. Hal ini tentu saja memerlukan kerja yang panjang, terarah, serta ikhlas dalam tahun-tahun ke depan. Pembangunan karakter memiliki porsi yang begitu signifikan. Pembangunan sistem politik yang mapan juga penting. Untuk itulah, pendidikan tauhid yang transformatif kepada umat Islam menjadi penting. Mari kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits, mari membangun perilaku politik yang sejalan dengan Islam.


*) Penulis pernah Bergiat di Angkatan Muda Mesjid Al-Jihad, Banjarmasin


Bahan Bacaan

Al-Qur’an Al-Karim.

Akh. Muzakki. Mengupas Pemikiran Agama & Politik Amien Rais Sang Pahlawan Reformasi (Jakarta: Lentera, 2004).

Amien Rais. Demi Kepentingan Bangsa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997).

_________. Hubungan antara Politik dan Dakwah: Berguru kepada M. Natsir (Bandung: Mujahid Press, 2004).

_________. Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta (Bandung: Mizan, 1996).

Anang Rikza Masyhadi. Hadits-Hadits Politik: Aktualisasi Sunnah dalam Kehidupan Sosial dan Politik (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2005).

Daud Rasyid. Islam dan Reformasi: Telaah Kritis atas Keruntuhan Rezim-Rezim Diktator dan Keharusan Kembali pada Syariah (Jakarta: Usamah Press, 2001).

Firdaus Syam. Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya terhadap Dunia Ketiga (Jakarta: Bumi Aksara, 2007).

Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah.

Imam Nawawi. Arba’in An-Nawawiyah.

Jalaluddin Rakhmat. Rekayasa Sosial: Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar? (Bandung: Rosda, 1999).

Yunahar Ilyas. Kuliah Aqidah Islam (Yogyakarta: LPPI UMY, 1992).

Merekat Ukhuwah dalam Perbedaan (Rekam Jejak Idul Fitri 1428 H)

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)


Memperbincangkan perbedaan hari raya, membuat penulis teringat pada kasus Idul Fitri 1428 H. Jika kita melakukan rekam jejak dan mengingat memori yang telah lalu, Idul Fitri di tahun tersebut diwarnai oleh perbedaan penetapan 1 Syawal. Perbedaan klasik, memang, yang terjadi karena perbedaan metode penetapan awal dan akhir Ramadhan. Akan tetapi, tahun 1428 H menjadi catatan unik karena Idul Fitri “diselenggarakan” selama empat hari berturut-turut.


Perbedaan Metode?


Tercatat ada empat hari yang diklaim oleh pihak yang berbeda Idul Fitri tahun terseut. Pertama, hari Kamis tanggal 11 Oktober 2007. Pada hari Kamis ini, Jamaah An-Nadzir di Sulawesi Selatan dan Tarekat Naqsabandiyah merayakan Idul Fitri seperti dilansir oleh MetroTV. Kedua, tanggal 12 Oktober 2007. Pada hari Jum’at ini, sebagian umat Islam di Indonesia, Filipina, Palestina, dan beberapa penjuru dunia lain menyelenggarakan shalat ‘Ied dan merayakan Idul Fitri.


Ketiga, tanggal 13 Oktober 2007. Pada tanggal ini, giliran Pemerintah RI dan beberapa negara seperti Malaysia dan Brunei Darussalam yang merayakan Idul Fitri. Keempat, tanggal 14 Oktober 2007 yang dianggap oleh Jamaah Naqsabandiyah Khalidiyyah di Peterongan, Jombang sebagai awal bulan Syawal.


Memang, ada lima kelompok yang memiliki metode tertentu dalam penetapan awal Ramadhan. Kelompok tersebut memiliki basis massa yang relatif besar. Berikut lima kelompok tersebut. Pertama, Nahdhatul Ulama (NU) yang berpatokan pada metode rukyatul hilal. Dengan metode ini, berarti harus ada proses melihat bulan secara langsung (ru’yat) untuk menentukan awal dan akhir Ramadhan.


Kedua, Muhammadiyah yang berpegangan pada metode hisab hakiki. PP Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid berpendapat bahwa jika bulan telah berada di atas ufuk (berada di atas 0o jika dihitung secara astronomis), umat Islam telah dapat mengakhiri Ramadhan. Jika tidak (berada di bawah ufuk), puasa tetap dilanjutkan.


Ketiga, Persatuan Islam (PERSIS) yang menggunakan metode wujudul hilal fi wilayatul hukmi. Pada dasarnya, metode ini tidak jauh berbeda dengan metode PP Muhammadiyah. Akan tetapi, metode ini mengisyaratkan bahwa bulan baru akan ditentukan jika hilal telah wujud di keseluruhan wilayah. Pendapat ini berbeda dengan PP Muhammadiyah yang berpendapat bahwa bulan baru telah masuk ketika ada wilayah yang telah melihat hilal.


Keempat, Pemerintah (Departemen Agama) yang menggunakan metode imkanur ru’yah sebagai patokan awal Ramadhan dan Idul Fitri. Metode ini pada dasarnya bertujuan untuk menjembatani perbedaan antara NU yang menggunakan rukyat dan Muhammadiyah yang menggunakan hisab. Dengan metode ini, hisab yang disyaratkan untuk dapat dijadikan patokan sebagai awal bulan baru adalah 20. Hasil hisab pemerintah ini kemudian dikaji melalui sidang itsbat yang tiap tahun diadakan.


Kelima, metode-metode lain yang digunakan oleh beberapa kelompok kecil seperti Jamaah An-Nadzir atau Tarekat Naqsabandiyah. Jamaah An-Nadzir diberitakan mengambil fenomena pasang-surut air laut sebagai patokan Idul Fitri. Kelompok lain memiliki perhitungan yang tersendiri, berbeda dengan mayoritas umat Islam.


Perbedaan Penafsiran?


Fenomena perbedaan Idul Fitri ini memang sangat sering terjadi di Indonesia. Perbedaan yang terjadi sebenarnya adalah pada metode penetapan awal bulan. Perbedaan ini terjadi dalam cara menafsirkan dalil penentuan awal dan akhir Ramadhan, yaitu sebuah hadits yang berbunyi, “Berpuasalah kamu dengan melihat bulan (li ru’yatihi), dan berbukalah kamu dengan melihat bulan (li ru’yatihi). Jika pandangan kamu tertutup awan, maka sempurnakanlah bulan Ramadhan menjadi 30 hari”.


Hal yang diperdebatkan dalam hadits tersebut adalah frase li ru’yatihi, atau melihat bulan. Ada yang berpendapat bahwa melihat bulan di sini harus diartikan secara letterlijk, atau melihat bulan dengan mata telanjang. Pendapat ini dipegang oleh pemerintah dan Nahdhatul Ulama sekarang.


Ada pula yang berpendapat bahwa melihat bulan di sini dapat dilakukan dengan ilmu pengetahuan, tidak harus dengan telanjang. Hadits di atas harus dihubungkan dengan asbabul wurud dari hadits tersebut, yaitu hadits “Kita adalah kaum yang ummi yang tidak dapat melakukan hisab”. Hadits li ru’yatihi di atas juga bukan menerangkan awal dan akhir Ramadhan, tetapi lebih pada penanda bahwa jika telah masuk bulan Ramadhan, umat Islam harus segera menunaikan Ramadhan.


Dengan kata lain, perlu adanya pendekatan sains yang lebih akurat untuk melakukan penentuan awal dan akhir Ramadhan. Pendekatan astronomis atau hisab dianggap cukup relevan dengan kondisi zaman. Kebolehan pendekatan ini juga dikarenakan penentuan awal dan akhir Ramadhan bukan merupakan persoalan ta’abbudi yang dituntut harus sesuai nash secara utuh, melainkan masuk pada persoalan furu’ yang memungkinkan ijtihad di dalamnya.


Pada hisab berdasarkan imkanur rukyah, masuknya awal bulan baru ditetapkan jika pada saat matahari terbenam, hilal masih berada di atas ufuk dan telah memenuhi kriteria bisa diamati. Departemen Agama mengambil kriteria tinggi minimum hilal bisa diamati adalah 2 derajat. Kriteria Departemen Agama ini sebenarnya masih banyak dipertanyakan oleh sebagian ahli falaq dan sangat debatable.


Sebagai perbandingan, dalam Persidangan Hilal Negara-negara Islam Sedunia di Istanbul, Turki (1978), disepakati kriteria hilal bisa diamati jika : (1) Tinggi hilal tidak kurang dari 5 derajat dari ufuk barat, (2) Jarak sudut hilal ke matahari tidak kurang dari 8 derajat, dan (3) Umur hilal tidak kurang dari 8 jam setelah ijtimak terjadi. Artinya, dengan kriteria ini, konsep Departemen Agama masih belum lengkap. Ini juga patut menjadi catatan.


Pertemuan Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura juga mengambil kesimpulan berbeda. Di negeri-negeri yang mayoritas penduduknya bermazhab Syafi’iyah ini, batas hilal justru berada dalam posisi 4 derajat (tinggi hilal). Sehingga, juga muncul disparitas dengan metode imkanur ru’yah yang ditetapkan, mesti mengambil kriteria yang mana. Persoalan seperti inilah yang kerap kali kita jumpai ketika hilal berposisi “kritis”, yang memicu perbedaan penetapan hari.


Pada awal Ramadhan 1428 H (mungkin juga terjadi tahun ini), semua hisab menunjukkan bahwa hilal di bawah ufuk, sehingga semua pihak sepakat bahwa hilal tidak mungkin dirukyat, karena memang di bawah ufuk. Semua sepakat untuk istikmal (menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari).


Akan tetapi di akhir bulan Ramadhan, posisi hilal pada posisi kritis yakni berada di bawah 2 derajat menurut perhitungan hisab yang akurat. Ada hilal yang berada di bawah 10, ada yang setengah dan di Indonesia Timur bahkan berada di bawah ufuk.. Karena itu timbul perbedaan dalam penentuan Idul Fitri.


Menyikapi Perbedaan


Poin penting yang harus digarisbawahi di sini adalah membangun ukhuwah dalam perbedaan. Adanya perbedaan pendapat dalam hal-hal metodologis semacam ini merupakan bentuk ujian yang menuntut kita agar berpengetahuan luas dan berlapang dada dalam menerima perbedaan tersebut. Apalagi jika perbedaan tersebut masih berada dalam koridor furu'iyyah. Perbedaan dalam bidang furu' merupakan alat untuk menjalin persaudaraan umat Islam, selama tidak dikondisikan untuk memecah-belah umat.


Lantas, bagaimana upaya meminimalisasi konflik karena perbedaan ini? Hemat penulis, diperlukan sebuah pemahaman untuk tasamuh (bertoleransi) antara kelompok-kelompok yang berbeda pendapat. Toleransi ini dapat dibuktikan dengan pemberian izin fasilitas shalat ied secara lapang dada atau tidak membuat pernyataan yang bernada provokatif dengan meminta kelompok yang berbeda untuk shalat ied bersama-sama.


Dengan kata lain, ukhuwah tidak selalu dinyatakan dalam kesamaan pendapat, tapi juga kelapangan dada dalam menerima perbedaan. Lantas, bagaimana tahun ini? Semoga saja, kita mampu bersikap arif jika perbedaan tersebut kembali terjadi.


Wallahu a’lam bish shawwab.


*) Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM

Kamis, 20 Agustus 2009

Tauhid, Amal Sosial, dan Keadilan

Setiap yang ada di dalam dunia ini akan lenyap, dan yang kekal hanyalah wajah Allah, yang mempunyai keagungan dan kemuliaan

-Buya Hamka-


Hal apa yang menjadi dasar dari keberagamaan kita? Pertanyaan tersebut akan muncul jika kita merenungkan kembali makna tujuan kita beragama Islam. Ketika kita dihadapkan pada pertanyaan tersebut, jawabannya takkan lepas dari satu istilah penting yang menjadi dasar utama agama Islam: Aqidah Islam.


Aqidah adalah fondasi agama Islam yang paling fundamental. Setiap muslim mesti memiliki aqidah yang benar, sebagai persyaratan seseorang untuk menjalankan amal dalam Islam. Al-Qur’an dalam konteks memerintahkan kita untuk mengakui bahwa Allah itu esa, tidak ada tuhan selain Allah. Juga, bahwa Allah tidak beranak dan diperanakkan, dan tidak ada yang mampu menciptkan sesuatu selain Allah (Q.S. Al-Ikhlas 1-4). Hal inilah yang mendasari bahwa keislaman seseorang dimulai dari keyakinan terhadap Allah SWT.


Dengan demikian, elemen paling substansial dalam aqidah Islam adalah tauhid, atau mengesakan Allah. Semua unsur akidah harus bermuara dari konsep ini. Maka, ketika kita ingin menjawab pertanyaan di atas, kita akan menemukan sebuah jawaban: Keyakinan kepada Allah-lah yang mendasari keislaman kita. Sebagai konsekuensinya, ketauhidan seseorang akan menjadi kunci penting dalam aktivitas keberagamaannya.


Konsepsi Tauhid


Secara etimologi, aqidah berasal dari kata ‘aqada-yaqidu-‘aqdan-‘aqidatan, yang berarti keyakinan (Ilyas, 1992). Adapun tawhid berasal dari kata wahhada-yuwahhidu-tawhidan, kurang lebih diterjemahkan sebagai keesaan. Artinya, keyakinan kita kepada Allah akan dimulai dari sebuah pemahaman, bahwa Allah itu esa. Pemahaman ini akan berlanjut pada proses mengimani dan mengambil konsekuensi dari keyakinan tersebut.


Para ulama membagi tauhid menjadi tiga tingkatan: tauhid rububiyah, mulkiyyah, dan ilahiyyah (Ilyas, 2002). Awal dari tauhid adalah menempatkan Allah sebagai Rabb. Allah telah menciptakan alam semesta sebagai khaliq (pencipta), dan kita adalah makhluq (yang diciptakan). Sehingga, manusia harus tunduk pada penciptanya. Konsep ini merupakan konsep paling pokok dalam aqidah, sehingga jika seseorang belum mengimani hal ini ia tidak dapat dianggap sebagai seorang muslim yang lurus.


Akan tetapi, konsep tauhid dalam tataran yang lebih luas tidak cukup hanya dengan membenarkan bahwa Allah itu Maha Esa. Tauhid sejatinya memerlukan manifestasi dalam realitas empiris. Dalam pandangan KH. Ahmad Dahlan, setidaknya ada empat hal yang harus dijauhi oleh umat Islam dalam implementasi tauhid, yaitu Syirik (Menyekutukan Allah), Takhayul (kepercayaan magis tradisional), Bid’ah (mengada-ada dalam permasalahan agama), dan Khurafat (kepercayaan magis-tradisional).


Salah satu perilaku yang dapat menjerumuskan diri kepada kesyirikan ialah perilaku meminta bantuan kepada dukun. Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah mengatakan bahwa jika seorang muslim pergi ke dukun, salatnya tak akan diterima selama 40 hari. Perbuatan ini mengisyaratkan kita meminta pertolongan kepada selain Allah, dan berarti menyalahi komitmen kita dalam syahadat. Ironisnya, siaran televisi justru menyiarkan kesyirikan-kesyirikan ini secara luas dengan media SMS.


Perbuatan lain yang juga dapat menjerumuskan kepada kesyirikan adalah percaya kepada ramalan nasib, kesialan, atau hal-hal yang sejenis. Hal ini dilarang dalam agama, karena akidah Islam dengan tegas menyatakan bahwa hanya kepada Allah-lah kita berserah diri dan memohon pertolongan. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa tidak ada thiyarah (percaya kepada ramalan-ramalan) dan hammah (suara burung yang mengabarkan suatu nasib tertentu). Bahkan, mengundi nasib dengan anak panah secara tegas dihukumi haram oleh Al-Qur’an. Dalam kacamata Islam, hal tersebut telah dikategorikan sebagai perbuatan syirik.


Selain itu, perilaku meminta bantuan ke dukun juga mengakibatkan fenomena Kesurupan Massal di berbagai sekolah menengah, seperti pernah terjadi di SMKN 3 Banjarmasin, Kalimantan Selatan, juga di sekolah penulis dulu. Kesurupan massal –yang notabene terjadi karena lemahnya iman seseorang— merupakan indikasi bahwa masyarakat kita masih belum bersih dari kepercayaan tradisional yang cenderung menyekutukan Allah.


Konsekuensi Tauhid


Bagaimanakah konsekuensi dari tauhid? Setidaknya, menurut penulis, ada dua hal yang menjadi konsekuensi dari ketauhidan kita kepada Allah.


Pertama, melaksanakan ibadah sebagai manifestasi ketaatan kita kepada Rasulullah. Konsekuensi dari keimanan bahwa Allah adalah khaliq, sebagaimana penulis jelaskan di atas, adalah menjalankan ibadah. Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa Allah tidak menciptakan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Nya (Q.S. Adz-Dzariyat: 56). Dalam konteks ini, aktivitas manusia pada hakikatnya adalah beribadah kepada Allah, baik dalam konteks ritual maupun sosial.


Ada dua jenis ibadah: ibadah mahdhah (ritual) dan ibadah ‘ammah (sosial). Kaidah ushul fiqh menyatakan, bahwa asal hukum dari ibadah mahdhah adalah haram, kecuali jika ada dalil yang membolehkannya. Sedangkan asal hukum ibadah ammah adalah halal, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.


Dengan demikian, dalam melaksanakan ibadah mahdhah, ada dua persyaratan yang harus kita penuhi, yaitu ikhlas dan sesuai dengan tatacara yang dicontohkan oleh Rasulullah. Sabda Rasulullah,Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada urusannya dariku, maka ia tertolak” (Arba’in An-Nawawiyah, hadits ke-5). Dari hadits tersebut, tentu saja kita dilarang untuk melakukan hal-hal yang sama sekali tak pernah diajarkan atau diperintahkan oleh Allah dalam persoalan ini. Seluruh ibadah yang bersifat ritual (ibadah mahdhah) harus memiliki legitimasi nash dari dua sumber primer hukum Islam: Al-Qur’an dan Hadits. Jika tidak memiliki dalil yang kuat, kita patut berhati-hati


Banyak bentuk dari bid’ah yang bertebaran di masyarakat. Aktivitasnya tak perlu penulis sebutkan di sini, karena masalah ini telah menjadi perdebatan klasik di antara umat Islam sejak dulu. Akan tetapi, mengingat masalah ini jelas menjadi persoalan besar, perlu pendekatan khusus untuk menyikapinya. Di sinilah pentingnya dakwah bil hal kepada masyarakat yang masih belum memiliki pemahaman menyeluruh mengenai Islam.


Sedangkan untuk ibadah ‘ammah (muamalah), kaidah ushul fiqh yang berlaku justru terbalik. Pada titik inilah ijtihad bermain. Sehingga, tajdid (pembaharuan) memainkan peranan yang begitu penting dalam pelaksanaan muamalah ini. Masalah-masalah yang meragukan kesyar’ian-nya, memerlukan penelaahan dan kajian mendalam oleh para ahli, baik ahli fiqh muamalah atau pakar pada bidangnya. Sehingga, konsep muamalah-lah menaungi aktivitas-aktivitas sosial yang kita lakukan selama ini.


Jika kita kembangkan masalah ini secara lebih jauh, aktivitas politik pun tak lepas dari persoalan ibadah ini. Aktivitas politik (siyasah), merujuk pada Al-Mawdudi, pada hakikatnya diletakkan atas dasar tauhid sebagai penopang utama. Abul A’la Al-Mawdudi mendasarkan siyasah islamiyyah atas tiga prinsip dasar: tauhid, risalah, dan khilafah (lihat Syam, 2005). Aktivitas politik kemudian kita maknai sebagai upaya membangun relasi positif antara umat (rakyat) dan imam (pemimpin) atas dasar keimanan pada Allah.


Kedua, mengimplementasikan tauhid dalam kehidupan sosial. Setelah kita meyakini tauhid dengan semua implikasinya, kita juga harus mengintegrasikan tauhid dalam kehidupan sehari-hari. Prof. Dr. Amien Rais pernah menggulirkan wacana tauhid sosial yang mengejawantahkan tauhid dalam semua dimensi kehidupan (Rais, 1997).


Menurut Amien Rais, Tauhid Sosial merupakan dimensi sosial dari konsep tauhid (pengesaan Allah secara mutlak), agar konsepsi tauhid yang telah terintegrasi di pola pikir umat Islam dapat dipraktikkan pada tataran masyarakat. Implikasi yang diharapkan dari Tauhid Sosial ini adalah munculnya manusia-tauhid (meminjam istilah Amien Rais, lihat Muzakki, 2006) yang mampu berpikir secara arif dengan landasan tauhid dan syariah.


Dalam kacamata Amien Rais, ada lima dimensi Tauhid Sosial. Pertama, keyakinan terhadap keesaan Allah (Unity of Godhead); Kedua, keyakinan atas penciptaan dari Sang Pencipta (Unity of Creation); Ketiga, keyakinan atas dasar-dasar kemanusiaan (Unity of Mankind); Keempat, keyakinan atas adanya pedoman hidup yang mengatur manusia (Unity of Guidance); Kelima, keyakinan atas tujuan hidup manusia sebagai umat muslim (Unity of The Purpose of Life).


Melalui Tauhid Sosial tersebut, umat Islam dituntut untuk mempraktikkan nilai-nilai Tauhid ke dalam realitas sosial secara benar. Seorang muslim tidak cukup hanya menjalankan tauhid dengan meyakini bahwa Allah itu esa, tetapi juga harus peka terhadap urusan kemanusiaan, sehingga muncul keseimbangan antara ibadah dan perilaku sosial. Hal inilah yang disebut sebagai amal shalih.


Satu hal lagi yang penting adalah bahwa tauhid menuntut seorang muslim untuk menerapkan fungsi keadilan, karena kepekaan terhadap hak-hak kemanusiaan mengharuskan adanya perilaku adil kepada Allah, sesama manusia, maupun kepada lingkungan sekitar. Saya yakin, pendekatan ‘tauhid sosial’ dapat menjadi alternatif spirit di tengah krisis multidimensional yang melanda bangsa ini.


Maka, pertanyaan yang patut dilontarkan saat ini adalah, sudahkah Tauhid kita jadikan manifesto perjuangan hidup kita? Mari menyongsong kebangkitan umat dengan Tauhid yang benar. Mari kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits.


Wallahu a’lam bish shawwab.


*) Sebagian dari artikel ini pernah dimuat di Harian Banjarmasin Post, 19 Juni 2008 dengan judul “Mari Benahi Tauhid Kita”. Penulis memperkaya beberapa bagian dari artikel ini.)



Bahan Bacaan


Al-Qur’an Al-Karim.

Akh. Muzakki. Mengupas Pemikiran Agama & Politik Amien Rais Sang Pahlawan Reformasi (Jakarta: Lentera, 2004).

Amien Rais. Demi Kepentingan Bangsa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997).

_________. Hubungan antara Politik dan Dakwah: Berguru kepada M. Natsir (Bandung: Mujahid Press, 2004).

Daud Rasyid. Islam dan Reformasi: Telaah Kritis atas Keruntuhan Rezim-Rezim Diktator dan Keharusan Kembali pada Syariah (Jakarta: Usamah Press, 2001).

Firdaus Syam. Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya terhadap Dunia Ketiga (Jakarta: Bumi Aksara, 2007).

Imam Nawawi. Arba’in An-Nawawiyah.

Mukti Ali. “Persepsi Buya Hamka: Ulama Sudah Lama Terjual” dalam Nasir Tamara., Buntaran Sanusi, dan Vincent Jauhari (eds.) Hamka di Mata Hati Umat (Jakarta: Sinar Harapan, 1983)

Syamsul Anwar, “Makna dan Konsep Islam secara Etimologis dan Terminologis”, dalam Dien Syamsuddin, et. al. Pemikiran Muhammadiyah: Respons terhadap Liberalisasi Islam (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2005).

Osman Ralliby. Ibn Chaldun tentang Masjarakat dan Negara (Jakarta: Bulan Bintang, 1963).

Yunahar Ilyas. Kuliah Aqidah Islam (Yogyakarta: LPPI UMY, 1992).

___________, “Pluralisme Agama dalam Perspektif Islam” dalam Dien Syamsuddin, et. al. Pemikiran Muhammadiyah: Respons terhadap Liberalisasi Islam (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2005).

Rabu, 19 Agustus 2009

Ramadhan dan Transformasi Sosial

Marhaban Yaa Ramadhan! Seluruh umat Islam di dunia bergembira menyambut kedatangan bulan yang penuh keberkahan, bulan yang di dalamnya terdapat malam Lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan (Q.S. Al-Qadar: 3). Bulan yang telah ditegaskan oleh Allah sebagai bulan untuk berpuasa yang sebenarnya juga telah diwajibkan atas umat sebelum kita (Al-Baqarah:184).

Juga, bulan yang telah dideklarasikan sebagai medan perang melawan hawa nafsu. Oleh karena itu, mengapa kita tidak menjadikan Ramadhan ini sebagai sebuah titik awal perbaikan menuju level tertinggi (muttaqin; orang yang bertaqwa), seperti dijanjikan oleh Allah (Al-Baqarah:184)?

Ada beberapa poin penting yang patut menjadi bahan perhatian kita selama Ramadhan.

Pertama, jadikan Ramadhan sebagai titik balik dalam kehidupan diri kita. Transformasi diri, menuju seorang pribadi yang lebih baik. Puasa sendiri telah memberi kita sebuah pilihan untuk menjadi seseorang dengan level terbaik (muttaqin), dengan catatan ia mampu memanfaatkan momentum yang ada.

Ramadhan dapat difungsikan sebagai bulan perenungan terhadap aktivitas kita. Dengan Ramadhan, sejenak kita melakukan renungan atas orientasi hidup. Tujuan-tujuan, serta cita-cita yang akan kita capai selama hidup. Ramadhan adalah bulan pelatihan dan perancangan kehidupan, sebagai bekal untuk menempuh sebelas bulan ke depan.

Awal dari transformasi diri, jika kita pandang dari sudut pandang agama, adalah memulai dari pertanyaan, “sudah benarkah keyakinan terhadap Allah yang selama ini kita pegang teguh”? Islam menempatkan ketauhidan yang benar sebagai fondasi dari keberagamaan, dan fondasi dari perbaikan diri.

Tauhid tidak hanya meyakini bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, sebagaimana diucapkan dalam syahadat, tetapi juga mengambil konsekuensi dari ucapan tersebut. Ketika kita yakin dengan Allah, kita pun harus pula mentransformasikan keyakinan kita kepada Allah tersebut dalam segenap aktivitas sosial kita. Inilah yang dimaksud oleh Prof. Dr. Amien Rais sebagai “tauhid sosial”, transformasi tauhid dalam konteks sosial-politik.

Dalam aktivitas bermasyarakat, keyakinan kepada Allah dan Rasulullah akan membuat kita meneladani perilaku Rasulullah, sahabat, dan salafush-shalih dalam kehidupan sosial kita. Sehingga, perilaku kita akan lebih terkontrol dan mampu memberikan kontribusi kepada masyarakat dengan akhlak yang baik. Bulan Ramadhan akan memberikan pendidikan kontrol diri kepada kita.

Kedua, jadikan Ramadhan sebagai bulan pembebasan dan simbol perlawanan. Dalam konteks ini, perlawanan terhadap hawa nafsu yang selama ini menjadi perintang ibadah kepada Allah. Simbolisasi perlawanan terhadap hawa nafsu ini terdapat pada ibadah puasa, jika kita maknai secara lebih mendalam.

Puasa di bulan Ramadhan bukan diperintahkan tanpa hikmah. Dengan berpuasa, kita diajarkan untuk tidak hidup berlebihan, karena masih banyak saudara kita yang justru hidup dalam garis kemiskinan. Dengan berpuasa, kita diajarkan untuk berusaha bebas dari unsur-unsur keduniaan yang mencengkeram kita.

Jika kita tafsirkan dalam konteks sosial, puasa justru memberi pendidikan kepada kita untuk memandang persoalan secara lebih kritis dan objektif. Kita diajarkan untuk menahan diri atas segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa, agar dalam konteks sosial kita dapat menahan diri dari perilaku korupsi, penindasan, teror, atau patologi sosial lain.

Dengan demikian, Ramadhan dapat menjelma menjadi sebuah medan pendidikan, tidak hanya dalam bentuk transformasi diri, melainkan juga transformasi sosial. Jika saja, spirit puasa ini diteladani oleh para politisi, perilaku korupsi tak akan terjadi. Ambisi politik tak akan membutakan. Pembangunan ekonomi-politik pun dapat lebih berpihak kepada rakyat, dan neoliberalisme tak akan mencekik bangsa kita.

Ketiga, jadikan Ramadhan sebagai bulan untuk memperbaiki hubungan sosial. Islam sangat menempatkan hubungan sosial dalam posisi yang cukup tinggi. Silaturrahim yang terputus sudah seharusnya dirajut kembali agar tidak mengundang kemurkaan Allah. Persengketaan juga sudah seyogianya diredam, agar spirit persaudaraan dapat terus bersemi di sanubari tiap muslim.

Allah telah berfirman bahwa tiap-tiap muslim bersaudara (Al-Hujurat: 10). Tiap-tiap muslim memiliki ikatan persaudaraan dengan muslim lainnya. Dengan demikian, kesulitan yang dialami oleh seorang muslim, di manapun ia berada, juga seharusnya menjadi kesulitan muslim lainnya.

Dengan adanya ikatan persaudaraan tersebut, sudah seharusnya sesama muslim membudayakan budaya tolong-menolong tanpa memandang latar belakang organisasi, golongan, atau afiliasi apapun. Perbedaan-perbedaan yang mengemuka harus tetap disikapi dengan kepala dingin, terutama perbedaan yang berkaitan dengan masalah-masalah politik atau keagamaan.

Selama hal-hal yang menjadi perbedaan tersebut bukan hal-hal yang bersifat substansial, rasanya tidak perlu kita memperbesar masalah, apalagi hingga sampai pada level konflik. Persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyyah) harus tetap dijaga oleh sesama umat Islam. Perbedaan awal puasa atau idul fitri pun akhirnya tak menjadi polemik yang rawan dipolitisasi oleh kelompok tertentu.

Oleh karena itu, sudah seharusnya kita menjadikan Ramadhan ini sebagai ajang transformasi diri dengan terus berintrospeksi dan melakukan perbaikan. Allah telah menjadikan Ramadhan sebagai sebuah tantangan bagi kita dalam memerangi nafsu dengan puasa di siang hari dan ibadah di malam hari.

Dengan pemahaman yang lebih baik, Insya Allah, Ramadhan tak akan berlalu dengan sia-sia.

Wallahu a’lam bish shawwab.

Korupsi atau Terorisme?

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)

“Corruption is a disease, a cancer that eats into the cultural, political and economic fabric of society, and destroys the functioning of vital organs” (Inge Amundsen, 1999).

“And isn't the ‘normal’ history of humankind replete with horrifying chapters of inhumanity? A crime need not be aberrant to warrant atonement” (Norman Finkelstein, 2000).

Pekan ini, Indonesia dihadapkan oleh dua kasus yang sama-sama menyita perhatian publik: testimoni Ketua KPK Antasari Azhar dan penggerebekan rumah yang diduga sebagai markas teroris di Temanggung, Jawa Tengah.

Masalah pertama, testimoni Ketua KPK non-aktif Antasari Azhar yang mengindikasikan terjadinya suap di tubuh komisioner KPK cukup ironis dan paradoks dengan spirit pemerintahan bersih yang coba digaungkan oleh SBY-JK. KPK yang diharapkan menjadi jangkar pemberantasan korupsi, justru terindikasi korup.

Padahal, prospek pemberantasan korupsi ke depan saja sudah cukup suram dengan tidak adanya political will dari DPR untuk mengesahkan UU Pengadilan Tipikor. Tenggat waktu yang ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi untuk mengesahkan UU ini akan habis empat bulan ke depan. Bagaimana mungkin KPK dapat melaksanakan fungsinya dengan baik tanpa pimpinan yang berintegritas?

Masalah inilah yang disebut oleh Hasrul Halili, peneliti Pukat Korupsi UGM, sebagai corruptor’s fight back; “serangan balik koruptor”. Jangkar KPK kian melemah. Di sisi lain, kewenangan KPK juga berusaha untuk dikooptasi oleh berbagai kepentingan elit. Jika kondisi seperti ini terus berlangsung, seperti apa nasib pemberantasan korupsi ke depan?

Dulu, kita berharap banyak dengan seorang Antasari Azhar ketika mampu mengusut beberapa kasus yang melibatkan DPR dan birokrasi. Lima anggota DPR diseret ke meja hijau. Jaringan koruptor dilacak. Harapan besar berada di pundak KPK.

Akan tetapi, integritas Antasari justru tercemarkan, hanya oleh sebuah kasus yang sama sekali berbeda: pembunuhan. Ada apa dengan seorang Ketua KPK yang mestinya memiliki integritas yang kuat? Mengapa seorang pimpinan KPK justru terlibat kasus yang sama sekali tidak berkaitan dengan masalah korupsi?

Serangan balik koruptor memang sangat mengancam ketika kewenangan KPK menjadi begitu superior. Pada tahun 2007, serangan balik koruptor berhasil membuat pengadilan Tipikor, avant garde peradilan kasus korupsi, kehilangan keabsahan hukumnya. Serangan balik koruptor pula yang membuat KPK diwarnai oleh berbagai skandal yang justru melibatkan pimpinannya.

Sekarang, bola pun bergulir dengan begitu cepat. Antasari Azhar, di tengah pengusutan kasus yang dialaminya, justru memberikan sebuah testimony terkait skandal suap yang melibatkan pimpinan KPK. Benar apa yang pernah dikatakan oleh Hasrul Halili: pemberantasan korupsi akan mengalami hambatan selama integritas tidak dijaga.

Masalah kedua, teror bom yang meledakkan Jakarta kembali memasuki babak baru: penggrebekan basecamp teroris di Temanggung, Jawa Tengah. Noordin M. Top, buronan pelaku peledakan Kuningan, berhasil dilacak oleh Densus 88 di sebuah rumah.

Kasus pengeboman di hotel JW Marriott dan Ritz Carlton ini pun menyisakan sebuah pertanyaan: akankah pengeboman ini berimplikasi pada berubahnya konstelasi politik global, serta bergesernya orientasi pengaturan keamanan internasional? Kita dapat melihat bahwa ada satu kata kunci dalam masalah ini: ketakutan (fears).

Memang, menurut perspektif realis klasik dalam studi hubungan internasional, ketakutan adalah salah satu form of power. Hobbes (1651), misalnya, mengatakan bahwa jika tindakan dilakukan atas pertimbangan hawa nafsu (appetites) dan kesimpulan keliru (fears), tindakan tersebut tidak akan lagi mengekspektasikan bahwa akan ada pertahanan dan perlindungan dalam melawan musuh.

Jika kasus terror bom ini kita pandang secara lebih luas, jelas bahwa teror bom di Jakarta ini merupakan satu dari rangkaian aksi teror yang melanda dunia dekade ini. Sebelumnya, peledakan serupa terjadi di Mumbai, India. Fakta ini menunjukkan, jaringan yang dikenal oleh publik dunia sebagai “terorisme” telah kembali menampilkan wajahnya, meskipun tidak secara baru.

Kita pun patut melihat masalah ini, bahwa masalah pengeboman di Kuningan ini cukup rawan diikuti oleh sekuritisasi dalam kebijakan keamanan pemerintah ke depan. Di berbagai aspek, diprediksi akan pembatasan ruang gerak bagi sebagian kalangan dengan alasan “national security”. Kekhawatiran yang muncul adalah adanya pembelokan opini yang mengarah pada stigmatisasi kelompok tertentu.

Lantas, lebih penting mana: war against terrorism atau pemberantasan korupsi? Setidaknya, pemerintah akan dihadapkan pada sebuah kondisi yang dilematis ketika ingin memprioritaskan kebijakan ke depan. Masalah terorisme jelas adalah masalah yang cukup serius. Akan tetapi, keseriusan pemerintah dalam memberantas terorisme tidak lantas mengabaikan UU Pengadilan Tipikor dan penguatan kapasitas KPK.

Oleh karena itu, ada dua hal yang patut kita soroti pada permasalahan ini.

Pertama, UU Pengadilan Tipikor dan penyelesaian masalah pimpinan KPK adalah harga mati yang mesti diselesaikan tahun ini. Siapapun yang berada di DPR, jika tidak mendukung UU Pengadilan Tipikor, ia akan berada di jajaran politisi korup. KPK mesti diselamatkan dengan pimpinan yang memiliki integritas kuat.

Kedua, pemberantasan terorisme juga jangan sampai membuat pemerintah melakukan sekuritisasi berlebihan. Pelaku pengeboman murni aksi pribadi, tidak terkait dengan kelompok atau agama manapun. Sehingga, aksi pengeboman seharusnya tidak membuat pemerintah mencurigai agama tertentu yang “dicatut” oleh pelaku peledakan.

Dengan demikian, kita patut mendukung aparat pemerintah yang bekerja untuk aksi pemberantasan korupsi dan terorisme. Harapan kita, jangan sampai salah satu dari dua masalah ini terlupakan, hanya karena salah prioritas. Berpikirlah positif.

*) Staf Kajian Strategis BEM KM UGM

Sabtu, 01 Agustus 2009

Demokrasi vis-à-vis Putusan MA


Hasil Pemilihan umum 2009 telah mencengangkan kita semua. Pasca-keputusan MA yang membatalkan penghitungan kursi tahap kedua, publik dikejutkan oleh komposisi kursi hasil Pemilu yang menambah perolehan kursi partai-partai besar.

Pokok Persoalan

Berdasarkan perhitungan Cetro, putusan MA telah menghasilkan komposisi kursi di DPR yang menguntungkan partai besar. Partai Demokrat bertambah menjadi 180 kursi, Partai Golkar menjadi 125 kursi, dan PDIP menjadi 111 kursi. Persoalannya, perolehan kursi PAN, PKS, PPP, Gerindra, dan Hanura berkurang signifikan.

Di sini, dapat kita lihat bahwa keputusan MA no. 15 yang membatalkan penghitungan kursi tahap II memunculkan ketidakpuasan. Jelas sekali terlihat bahwa komposisi kursi, selain akan menumbuhkan disparitas kekuatan politik yang signifikan, juga berpotensi memunculkan hegemoni dan persaingan elit di antara partai besar.

Hairansyah, anggota KPUD Kalsel dalam opininya di Radar Banjarmasin (31/7) menandaskan bahwa putusan MA yang menjadi masalah adalah Putusan MA no. 15 yang membatalkan Peraturan KPU no. 15 tahun 2009 tentang perhitungan perolehan kursi tahap kedua DPR-RI. Dua putusan lain yang senada adalah putusan MA no. 13 dan no. 16 yang membatalkan penghitungan kursi tahap kedua DPRD provinsi dan kabupaten.

Dengan dibatalkannya perhitungan kursi tahap kedua ini, sisa suara yang belum terkonversi ke dalam bentuk kursi pada perhitungan tahap pertama tidak lagi dibagi ke partai-partai yang memperoleh suara. Akan tetapi, kursi diberikan kepada partai yang suaranya telah mencapai BPP (Bilangan Pembagi Pemilih) di sebuah daerah pemilihan.

Ada dua persoalan kunci yang menjadi titik tekan penulis untuk menganalisis masalah ini, yaitu dilema proporsionalisme vs sistem presidensial dan potret demokrasi mayoritarian vs demokrasi konsensus. Dua masalah ini perlu kita lihat untuk memperjelas fondasi pembangunan politik di Indonesia saat ini.

Proporsionalisme dan Demokrasi Mayoritarian

Perdebatan mengenai sistem Pemilu di Indonesia sebenarnya telah terjadi sejak awal reformasi. Sebelum Pemilu 1999, terjadi perdebatan mengenai hal tersebut di antara dua pengamat Indonesia terkemuka di sebuah media massa, yaitu Prof. William Liddle dari Ohio University dan Prof. Dwight Y King dari Northern Illinois University. Perdebatan tersebut terjadi pada satu pokok masalah, yaitu sistem proporsional atau sistem distrikkah yang perlu diterapkan oleh Indonesia.

Dua sistem Pemilu ini menjadi sistem pemilu yang debatable di kalangan ilmuwan politik. Negara-negara yang pembangunan politiknya dianggap maju pun tidak terlihat bersepakat dalam penerapan sistem ini. Amerika Serikat masih kokoh dengan sistem distrik yang menopang presidensialisme, sementara negara-negara Skandinavia meneguhkan sistem proporsional yang mendukung welfare-state (Lijphart, 1994).

Fenomena ini memang cukup dilematis bagi sebuah negara yang pembangunan politiknya masih on the move seperti Indonesia. Perlu dicatat, Indonesia masih menganut sistem presidensial yang memerlukan stabilitas politik untuk membentuk pemerintahan yang efektif. Ini artinya, dukungan parlemen sangat diperlukan.

Hanya saja, sistem presidensial tidak dapat serta-merta diiringi oleh sistem distrik. Pemberlakuan sistem distrik sangat berpotensi menimbulkan personalisme politik yang begitu luar biasa. Karena, hanya ada sedikit partai politik yang dapat mewakilkan suaranya di parlemen sehingga disparitas elit-massa justru kian membesar. Maka, untuk mengakomodasi suara yang tak terwakili, diberlakukanlah sistem proporsional.

Jika kita kaitkan dengan putusan MA, jelas akan ada pertentangan dengan sistem Proporsional terbuka yang diterapkan di negara kita. Faktanya, putusan MA hanya akan memperkokoh posisi partai-partai besar, sehingga membuat partai-partai kecil mudah terkooptasi oleh konstelasi politik yang bakal terjadi.

Semangat yang dibawa oleh sistem proporsional terbuka adalah agar semua suara dapat terkonversi menjadi kursi, sehingga partai-partai gurem sekalipun dapat merepresentasikan suara konstituten mereka di parlemen. Putusan MA ini bertentangan dengan semangat yang dibawa oleh sistem tersebut dengan disparitas yang diciptakan.

Dalam sudut pandang yang berbeda, kita juga dapat melihat bahwa putusan MA akan menegaskan keberadaan demokrasi mayoritarian dalam sistem politik Indonesia. Arend Lijphart (1994) mengkritik demokrasi yang didominasi oleh segolongan elit dan sedikit partai, atau disebut oleh Fredrik Ingelstad sebagai aristocratic radicalism.

Dalam pandangan Lijphart, ada dua jenis demokrasi yang kontras satu sama lain: demokrasi mayoritarian dan demokrasi konsensus. Demokrasi mayoritarian ditandai oleh keberadaa, partai mayoritas yang hegemonik, minoritas yang terkooptasi, atau sistem kepartaian yang mono-dimensional. Sistem ini dikontraskan dengan demokrasi konsensus yang berkarakter multipartai, koalisi terkait isu dan kebijakan serta balance of power antara legislatif-eksekutif.

Jika logika Lijphart ini kita kaitkan dengan konteks putusan MA, akan muncul kekhawatiran bahwa sistem politik Indonesia akan kian berkarakter mayoritarian. Implikasinya, kekuasaan eksekutif akan menjadi kian kuat karena presiden dan partai pendukungnya sama-sama memiliki kekuatan yang sangat kuat di parlemen.

Memang, demokrasi mayoritarian ini akan sejalan dengan spirit pemerintahan presidensial yang kuat dan efektif, sebagaimana dibawa oleh Presiden SBY dalam berbagai kampanyenya. Hanya saja, potret demokrasi pada jenis ini akan melemahkan kontrol dari oposisi, dan rawan berimplikasi terhadap munculnya personalisme politik yang diiringi oleh penguatan kembali gejala-gejala otoritarianisme. Apalagi, jika eksekutif kemudian melakukan sekuritisasi yang berlebihan di berbagai sektor publik.

Dengan demikian, putusan MA juga akan memiliki dampak-dampak politis di kemudian hari. Selain konstelasi politik akan berubah, disparitas kian terbentuk, putusan MA ini juga akan meneguhkan oligarkhi dalam sistem politik Indonesia. Seymour Martin Lipset menyebut fenomena ini sebagai “demokrasi aristokratis”.

Bagaimana KPU?

Lantas, apa yang mesti dilakukan oleh KPU sebagai pelaksana putusan MA ini? Menolak putusan MA no. 15 memang bukan keputusan tepat. Apalagi, KPU hanya melaksanakan titah UU Pemilu. Namun, tidak tepat pula jika KPU langsung menerapkan putusan MA ini tanpa mempertimbangkan dampakpolitis yang mungkin muncul.

Maka, rapat pleno KPU yang membahas masalah ini patut kita nantikan. Semoga saja, hasil pemilu tak lagi dipolitisasi secara berlebihan. Mari mengawal pembangunan politik Indonesia, mari menuju pendewasaan demokrasi.