Jumat, 30 Desember 2011

Dari Warung Susu ke Gelanggang Mahasiswa (Bagian 4-Habis)

Majunya Sinyo sebagai capresma tentu di luar perkiraan banyak pihak. Apalagi dengan FLP yang menjadi kendaraan politik. Sebab, FLP digawangi oleh salah satu Menteri (Ketua Departemen) di BEM KM UGM, Zaki. Tetapi sampai verifikasi usai, keputusan maju tetap dijalankan. Jadilah tahun ini mengulang sejarah tahun 2007, ketika waktu itu Reza Ikhwan yang dicalonkan FLP tampil menantang Budiyanto, capres dari Partai Bunderan. Hasilnya memang berpihak pada Bunderan waktu itu.

Keputusan maju Giovanni van Empel langsung diiringi oleh konsolidasi tim. Ivan langsung bergerak merekrut tim kampanye dari beragam latar belakang. Tim Desain dan 'Media Promosi' memang punya keahlian desain poster yang prima. Juga dengan backup beberapa senior seperti Agung Baskoro, Lakso Anindito (yang mendukung jauh-jauh dari Jakarta), serta beberapa senior lain. Walaupun, saya harus mundur dari tim kampanye karena posisi saya di KAMMI.

Adapun apa yang terjadi setelahnya di tim kampanye Sinyo, saya tidak mengetahui. Sebab, posisi saya sebagai Pengurus Harian KAMMI UGM juga mengharuskan saya mengambil jalan berbeda. Apalagi setelah Ivan memutuskan untuk mundur dan fokus di tim kampanye Sinyo. Saya dan beberapa kawan yang mengambil posisi 'jalan tengah' akhirnya lebih memutuskan untuk membereskan urusan di dalam KAMMI sendiri sembari mempersilakan kedua kubu, baik Sinyo maupun Aufa, untuk saling berkompetisi dalam kampanye.

Saya tidak ingin berkomentar banyak lagi soal Pemira. Yang jelas, hasilnya sudah anda saksikan bersama-sama. Sinyo menang, mengakhiri dominasi tanpa henti Partai Bunderan -ataupun mesin di belakangnya- selama 13 tahun. Hasil kerja keras yang brilian dari tim kampanye, salut untuk mbak Uswah dan kawan-kawan yang sudah sangat profesional Tentu saja mengguratkan kekecewaan berat di kawan-kawan Partai Bunderan atau 'syuro' yang berada di belakangnya (politbiro).

Yang jelas, adalah sebuah kekeliruan jika ada yang mengatakan bahwa kemenangan kawan Giovanni van Empel adalah kemenangan citra dan penampilan fisik. Atau, "sekadar bungkus", memilih karena popularitas semata. Tentu saja tidak. Ini adalah momentum yang dibangun dan disiapkan dari hasil diskusi-diskusi sejak satu setengah tahun lalu. Meminjam istilah Rijalul Imam, momentum itu tidak hadir begitu saja, melainkan disiapkan dari kerja-kerja nyata.

Kami masih ingat, Lingkar Studi Bulaksumur lahir bukan dari sebuah konsolidasi politik yang kompleks. Jika Partai Bunderan lahir dari aksi massa tahun 1998, kami lahir dengan cara yang lebih sederhana: obrolan di warung susu seberang Indomaret Pandega Marta. Di lokasi itulah, diiringi rintik hujan yang cukup deras di malam minggu tanggal 19 Desember 2010, kami merumuskan pandangan kami soal landasan nilai yang akhirnya kita deklarasikan bersama-sama keesokan harinya.

Dan persis satu tahun setelah didirikan, 22 Desember 2011, LSB menemui momentumnya yang pertama: kemenangan politik Giovanni van Empel di Pemira. Tentu saja ini baru awalan. Bagi kami, keberhasilan ini justru adalah tamparan besar: mampukah BEM KM UGM benar-benar didekonstruksi -meminjam istilah Yusuf Maulana- untuk mengganti tradisi yang sangat 'political' menjadi BEM KM yang lebih 'intelectual'?  

Tentu harapan itu masih ada. Dan akhirnya, tantangan yang membentang ke depan itu harus dijawab. Nietzsche sudah mengajarkan kita untuk menjadi seorang ubermensch; manusia yang berani mengafirmasi tantangan hidup dan menjawab 'ya' pada segala macam keluh kesah tentang kehidupan.

Persoalan bukan terletak pada 'siapa yang memimpin', tapi pada 'apa yang akan dibawa pada masa kepemimpinan itu'. 'Ala kulli hal, saya hanya bisa berucap: innalillahi wa inna ilaihi raji'un atas terpilihnya Giovanni van Empel dalam Pemira 2011. Semoga mampu membumikan nilai-nilai kecendekiaan Gadjah Mada, serta meneruskan rantai intelektualitas yang telah terbangun dan terjalin dari era Sardjito, Koesnadi Hardjasoemantri, Kuntowijoyo, Ahmad Wahib, Dawam Rahardjo, hingga Anies Baswedan yang terkemudian.

BEM KM UGM adalah warisan sejarah. Dan seperti kata Hasanudin Abdulrakhman, seorang senior di Jama'ah Shalahuddin, lembaga publik seperti JS atau BEM sejatinya adalah ruang, bukan subjek. Mampukah ruang itu diwarnai dengan intelektualitas, bukan sekadar kepentingan politik? Semoga.

Nashrun minallah wa fathun qariib.

(habis)

Dari Warung Susu ke Gelanggang Mahasiswa (Bagian 3)

Dengan kesibukan masing-masing personnel, agenda diskusi memang sempat mengalami kevakuman. Tapi aktivitas intelektual bukan berarti mati. Mei 2011, tulisan saya dan Sinyo lolos di Kongres Pancasila III, dipresentasikan di panel Kongres. Saya memutuskan berangkat ke Surabaya. Sinyo tak jadi berangkat karena ada paper lain yang harus dikerjakan. Ajang Kongres Pancasila ini menjadi sarana berharga untuk 'memberi tahu' publik tentang keberadaan Lingkar Studi Bulaksumur.

Fokus dari Lingkar Studi Bulaksumur memang literasi, penulisan. Kami menerbitkan sebuah buletin 'Simpul Bulaksumur' yang menyebarkan pemikiran kami di kalangan mahasiswa. Ivan Nashara yang memang malang melintang sebagai Wakil Menteri Humas BEM KM yang menjadi penanggung jawabnya. Sempat terbit beberapa kali walau masih 'istirahat' beberapa bulan terakhir ini. Cukup merepresentasikan profil literer. Keberadaan buletin juga disupport oleh aktivitas penulisan aktivis-aktivisnya di media massa maupun media sosial.

Dari mana kami mendapatkan dana untuk aktivitas ini? Kebetulan, kami punya seorang rekan yang membuka usaha distro, yang siap memberikan backup finansial untuk aktivitas intelektual kami. Jadilah, penerbitan buletin, diskusi, selain dibiayai secara mandiri oleh masing-masing pegiat, juga ditopang oleh pendanaan itu.

Aktivitas-aktivitas intelektual ini, meski sederhana, di luar dugaan mengundang apresiasi positif beberapa pihak. Berkali-kali, ketika saya berkunjung ke UI, UNS, Unair, Unibraw, dan beberapa kampus lain, kawan-kawan saya di sana bertanya banyak soal LSB. Rupa-rupanya, kehadiran LSB sudah 'tercium' ke kampus-kampus yang jauh itu. Entah berita yang datang nadanya positif atau negatif, saya tak tahu persis.

Bahkan seorang senior KAMMI, ketika berbicara di launching kepengurusan KAMMI, memuji-muji komunitas ini. Senior itu memang luar biasa kontribusinya terhadap penguatan intelektual di KAMMI. Padahal banyak kawan-kawan di KAMMI sendiri yang tak begitu bagus responsnya terhadap LSB, masih menuding political dan lain sebagainya. Bagi kami, meski tidak begitu memedulikan hal tersebut, tetap memberi semacam semangat.

Kendati demikian, tak dapat dipungkiri jika kami memang aktivitas LSB agak vakum di pertengahan tahun 2011 karena kesibukan anggotanya. Ini menjadi evaluasi tersendiri. Hingga akhirnya, datanglah penghujung tahun 2011. Lagi-lagi, kita dihadapkan pada sebuah momentum rutin: Pemira.

Beberapa aktivis LSB yang sempat sibuk di luar kemudian mulai berkumpul. Apa yang harus dilakukan? Apakah tetap berkompetisi di Pemira sebagaimana sempat direncanakan sebelumnya? Kegalauan yang sempat menghampiri tahun sebelumnya, kembali muncul. Seberkas optimisme muncul: memang harus ada yang digerakkan untuk membenahi BEM KM UGM ke depan, agar tidak semakin diperburuk oleh 'rezim' yang saat ini dominan.

Harus diakui, tahun 2012 adalah tahun penting, dalam bacaan kami, bagi gerakan mahasiswa ke depan. Tahun ini adalah tahun Pemilihan Rektor UGM, yang akan menentukan kebijakan UGM selama 5 tahun ke depan. Di level nasional, kekuatan yang akan mempersiapkan diri untuk 2014 sudah mulai bermain, yang dikhawatirkan akan mencoba membajak gerakan mahasiswa. Ada RUU PT yang menunggu pengesahan.

Kami berpikir, apa yang akan terjadi tahun depan? Partai Bunderan yang kali ini disokong oleh mesin politiknya telah secara resmi mencalonkan Aufa Taqiya sebagai Calon Presiden Mahasiswa. Mereka mendaftarkan diri dan membentuk Lajnah Suksesi Pemira. Konsolidasi di dalam sudah sedemikian rupa, untuk mengamankan posisi di PILREK.

Akhirnya, setelah serangkaian diskusi dan konsolidasi, kawan-kawan sepakat untuk mengusung Giovanni van Empel sebagai calon presiden mahasiswa. Partai FLP siap menampung Sinyo untuk menjadi kendaraan politik. Sinyo mendaftarkan diri sebaga capresma di malam terakhir. Dan akhirnya, ada 5 calon yang berlaga dengan macam-macam latar belakangnya.

(bersambung)

Dari Warung Susu ke Gelanggang Mahasiswa (Bagian 2)

Pendeknya, ada yang ribut-ribut karena hawanya waktu itu adalah Pemira, tapi justru ada yang apresiasi positif. Ribut-ribut itu adalah karena Pemira sedang cukup 'panas'.  Memang, pada waktu itu politburo Tarbiyah mengeluarkan instruksi untuk dukung Luthfi di Pemira. Jadi, biarpun nuansanya independen, tapi tetap by control. Jelas hal seperti ini meneguhkan sikap kami di luar aktivisme BEM untuk sementara. Lingkar Studi Bulaksumur menjadi pilihan utama, sembari juga turut aktif di luar.

Mungkin, karena latar belakang kami yang sama-sama dari satu organ tertentu (walau semuanya berbeda langgam dan sikap), membuat kami mendapatkan beberapa stigma. Rata-rata, sinisme ini datang dari mereka yang punya kedudukan di lembaga mahasiswa. Ada yang mempertanyakan maksud pendirian komunitas. Ada yang menganggap ini orang-orang yang melangit. Dan seabrek sinisme lainnya.

Mereka yang berpikiran sinis itu rupa-rupanya menganggap komunitas ini political; merasa sebagai ancaman. Mungkin bisa sedikit 'dimaklumi', mengingat pegiat komunitas ini hampir semuanya pernah mengenyam Daurah Marhalah 1 di KAMMI. Bahkan ada beberapa orang seperti saya yang justru aktif di sana (waktu itu saya menjadi Ketua Departemen  Kajian Strategis). Dan sinisme itu muncul dari kelompok yang merasa kebakaran "jenggot" yang, ironisnya, justru berasal dari tubuh yang sama, yaitu dari internal kawan-kawan Tarbiyah sendiri!

Tapi tetap saja stigma itu tak banyak, hanya kami anggap angin lalu. Suara-suara sinis yang kami dengar terkait LSB tak surutkan langkah kami besarkan komunitas. Sebab gagasan kami sederhana: membongkar kembali intelektualitas bulaksumur dari masing-masing tokoh Universitas Gadjah Mada!

Dengan segala keterbatasan yang kami miliki di komunitas, kami tetap menjalankan komunitas baru ini. Lingkar Studi Bulaksumur langsung menghelat diskusi perdananya di awal Maret. Waktu itu, saya sedang bersiap untuk berangkat ke Malaysia. Diskusinya sederhana, digelar di Fakultas Ekonomi, menghadirkan dua orang pembicara, yaitu pak Heri Santoso (Dosen Fakultas Filsafat UGM) dan Giovanni van Empel alias Sinyo sendiri.

Di forum itulah Giovanni van Empel membuktikan gagasannya yang relevan dengan semangat ke-gadjah-mada-an. Waktu itu, forum membahas pemikiran Prof. Dr. Sardjito, Rektor UGM yang pertama. Pemikiran Sardjito yang notabene adalah seorang dokter dikupas oleh Sinyo dari perspektifnya sebagai mahasiswa Kedokteran. Ini menarik, sebab dari kebiasaan mahasiswa Fakultas Kedokteran, jarang yang mampu berpikir filosofis seperti Sinyo.

Diskusi di Fakultas Ekonomi itu kemudian dilanjutkan dengan "nonton bareng" dua minggu kemudian, di fakultas yang sama. Tentang Einstein. Cukup menarik, dihadiri oleh berbagai peserta. LSB semakin kokoh sebagai komunitas yang berfokus pada intelektualitas mahasiswa.

Kehadiran LSB sebagai komunitas ini juga kemudian membawa sinisme tersendiri. Ada beberapa kawan yang menganggap komunitas ini tidak konkret, terlalu melangit. Tetapi, justru lebih banyak yang mengapresiasi positif. Bulan berikutnya, kami menggelar diskusi serupa bertema Ilmu Sosial Profetik, Kuntowijoyo. Peserta yang hadir sekitar lebih dari 30an, bertempat di Fakultas Ilmu Budaya.

Pembicara yang dihadirkan adalah Dr. Syarifuddin Jurdi (Dosen UIN), Syamsul Ma'arief (Dosen Fakultas Filsafat), dan saya sendiri. Belakangan makalah yang saya tulis untuk diskusi saya jadikan referensi untuk mengikuti Kongres Pancasila di Surabaya.

Terlepas dari serangkaian diskusi yang kami lakukan, harapan kami dari LSB adalah membentuk sebuah wadah baru tempat berkumpul intelektual yang 'gelisah' dengan kondisi kampus. Perlu diketahui, di dalam kami sendiri bukannya tidak ada dinamika. Perdebatan-perdebatan serius tapi santai kerap terjadi antara beberapa eksponen komunitas. Tapi, seiring berjalannya waktu, perdebatan dan konflik itu seperti pemanis dalam perjalanan intelektual kami masing-masing.

Keberadaan LSB bukan menghalangi kami beraktivitas. Sejak awal 2011, saya terlibat di KAMMI sebagai Ketua Departemen Kajian Strategis, diikuti oleh Ivan yang menjadi Ketua Departemen Humas di pertengahan tahun. Riski sibuk membantu penelitian Prof. Mudrajad Kuncoro, Azmy dan Dani KKN, Sinyo ke luar negeri. Dinamika yang cukup membuat aktivitas LSB tertahan di pertengahan 2011. Saya sendiri akhirnya juga ikut terlarut dan sibuk dengan aktivitas sendiri.

(bersambung)

Dari Warung Susu ke Gelanggang Mahasiswa (Bagian 1)

Sudah beberapa hari ini media sosial diramaikan oleh hiruk-pikuk hasil Pemira UGM. Ya, Pemira sudah usai, hasil sudah keluar. Kawan Giovanni van Empel, mahasiswa Fakultas Kedokteran angkatan 2008, terpilih sebagai Presiden (saya lebih suka menyebutnya Ketua Umum) BEM KM UGM tahun 2012. Kemenangan yang mengejutkan, sekaligus menyejarah, sebab berarti menghentikan gerak rezim tarbiyah yang selama 13 tahun terakhir mendominasi BEM KM UGM.

Saya tak akan banyak berkomentar soal Sinyo -panggilan akrabnya- terkait kemenangannya. Yang ingin saya soroti adalah makna dari kemenangan ini, serta hubungannya dengan sebuah komunitas kecil -secara postur kecil tapi gemanya membesar akhir-akhir ini- bernama "Lingkar Studi Bulaksumur".

Penting untuk melihat kemenangan Sinyo ini bukan hanya  sebagai keberhasilan media kampanye -walau itu memang benar adanya- atau karena penampilan fisik Sinyo yang menarik -sering dijadikan alat lawan politiknya untuk melakukan serangan- tetapi pada basis gagasan dan intelektual yang ada di belakangnya.

Lingkar Studi Bulaksumur memang komunitas yang sangat muda. Ia baru "resmi" dilahirkan setahun silam, dkandung semenjak setengah tahun sebelumnya, tapi tahun ini melahirkan dobrakan. Mungkin seperti kata Agam Wispi: "Mengapa sejarah selalu berpihak pada klas yang muda?" Kaum-kaum muda itu tidak langsung mendobrak sejarah. Tetapi dengan kerja-kerja yang ia lakukan, "memaksa" sejarah berpihak pada mereka, lewat momentum-momentum itu.

Mungkin, kami-kami yang mendirikan, meninggalkan, hingga berpeluh keringat dan mendinamisir konflik di dalam tubuh kami ini sendiri tidak ada yang membayangkan hasilnya seperti ini. Dulu, memang ada sebuah "mimpi" untuk membawa sebuah perubahan di KM UGM. Tengah tahun 2010, kami-kami yang resah ini berkumpul dan mendiskusikan keresahan kami atas pergerakan mahasiswa di UGM. Pertautan antara BEM, GM, dan politik praktis sudah begitu kompleks, hampir-hampir tak menyisakan ruang bagi aktivitas intelektual di dalamnya.

BEM KM UGM punya catatan sejarah yang cukup panjang. Sepanjang yang saya kumpulkan, organisasi ini berakar dari Dewan Mahasiswa yang didirikan oleh Koesnadi Hardjasoemantri pada tahun 1955. Namun, sejak DM dibubarkan rezim Orde Baru melalui NKK/BKK tahun 1978, aktivitas kemahasiswaan membeku di tingkat universitas. Kebekuan itu pertama kali dicairkan oleh beberapa aktivis, di antaranya Anies Baswedan (yang kemudian menjadi Ketua Senat Mahasiswa UGM) pada awal 19900an.

Dalam kurun waktu 1998 hingga 2011, BEM KM UGM didominasi oleh aktivis Tarbiyah yang menggabungkan diri ke KAMMI. Perkaderan, pengorganisasian, hingga mobilisasi yang rapi mengantarkan kemenangan tiap tahunnya. Sistem kepartaian yang dirintis pada 1997 meneguhkan eksistensi mereka melalui wadah 'Partai Bunderan'. Fenomena ini menciptakan 'rezim' tersendiri dari Pemira ke Pemira.

Kami, yang sebenarnya juga berlatar belakang Tarbiyah, tidak begitu masalah dengan hal ini. Namun, kegerahan itu muncul manakala menyaksikan adanya kepentingan-kepentingan 'ekstra-mahasiswa' yang kerap menghinggapi BEM. Bagi kami yang sejak awal memang besar dan membesarkan BEM -walau kemudian terlempar ke beberapa organ ekstra selepas itu- hal demikian menyebabkan keresahan tersendiri.

Akhirnya, beberapa orang yang turut resah berkumpul untuk diskusi. Bermula dari perbincangan sederhana di Warung Susu dan kontrakan, sebenarnya. Tidak formal. Tidak resmi. Berawal dari sesuatu yang sebenarnya sepele. Diskusi-diskusi itu lama kelamaan kian intens, dan akhirnya mengharuskan kami untuk datang langsung ke narasumber.

Diskusi kami kemudian membawa pada pengelanaan ke berbagai tempat, kunjungan dan diskusi ke berbagai figur yang sempat berada di KM UGM maupun yang saling terkait di dalamnya. Kami datang berdiskusi dengan alumni KAMMI, HMI MPO, bahkan GMNI. Ada yang di Yogyakarta, ada pula yang di Jakarta. Mereka-mereka yang kami temui itu rata-rata pernah aktif di BEM KM UGM. Pengelanaan itu membawa inspirasi tersendiri. Menimbulkan kenangan.Grup diskusi 'tanpa-nama' ini tetap bertahan.

Dan akhirnya kelompok diskusi kami meluas ke beberapa kawan. Kami yang pada mulanya hanya berbagi keresahan, lambat-laun juga mulai memikirkan wadah baru untuk melalukan transformasi sosial secara lebih efektif di kampus. Ada yang berpikiran untuk maju dan bertarung di Pemilihan Raya mahasiswa -dengan calon yang rencananya sudah kami siapkan- tetapi ada pula yang menghendaki komunitas ini bergerak di jalur kultural, akar-rumput, fokus pada penguatan basis intelektual.

Di penghujung tahun 2010, seperti biasa, ada Pemira. Masing-masing ingin maju. Waktu itu Partai Bunderan telah mencalonkan Irwan Rizadi (Ketua BEM FMIPA) sebagai capres. Tetapi di luar dugaan, Luthfi (Kadep Kastrat KAMMI) juga maju secara independen. Kompetisi yang agak membuat kami kebingungan. Apalagi, kami yang sudah menyiapkan satu calon alternatif, juga urung maju karena yang bersangkutan enggan dimajukan.

Akhirnya, hasilnya memang sesuai analisis kami. Luthfi menang, mesin politik KAMMI dan Bunderan telah diarahkan ke sana. Irwan hanya meraup 1500an suara, jauh di bawah Luthfi yang unggul dengan 4000 lebih suara.

Kami kembali dilanda kegalauan. Dan akhirnya kami kembali berdiskusi, menguak semangat-semangat keilmuan secara lebih murni. Dari sini akhirnya kami mengenal dan menelaah lebih jauh soal "Mazhab Bulaksumur" dengan difasilitasi mas Reza Ikhwan, senior Fakultas Ekonomi angkatan 2004. Akhirnya, dari obrolan-obrolan di warung susu, angkringan, cafe, burjo, hingga kontrakan, kami bersepakat untuk membentuk sebuah komunitas yang kami beri nama secara kreatif: Lingkar Studi Bulaksumur.

Komunitas ini sengaja mengambil momentum 19 Desember 2010 sebagai tonggak kelahiran. Sebab, tanggal ini adalah tanggal kelahiran UGM, simbol "kelahiran" gerakan pemurnian intelektual di kampus UGM. Dirancang untuk menjadi komunitas diskusi epistemik dengan falsafah ke-gadjah-mada-an. Berpretensi menjadi gerakan intelektual. Sejarah lengkapnya bisa dilihat di Akun facebook Lingkar Studi Bulaksumur atau http://www.simpulbulaksumur.com/

Yap. Akhirnya didirikanlah Lingkar Studi Bulaksumur. Lahirnya komunitas ini bukannya tanpa kontroversi. Baru saja kami menuliskan deklarasi kelahiran LSB di media sosial masing-masing, responsnya langsung muncul. Ada yang menilai ini politis. Suara sumbang macam "Barisan Sakit Hati" sempat kami dengar, walau sayup-sayup. Tapi tak sedikit yang memberikan nuansa optimisme. Perjuangan harus terus berrjalan.

(bersambung)

Sabtu, 17 Desember 2011

Liberalisasi Wacana 'Islam Politik'?

"Post-Islamism represents an endeavour to fuse religiosity with rights, faith and freedoms, Islam and civil liberties and focuses on rights instead of duties, plurality instead of singular authority, historicity rather than fixed and rigid interpretation of scriptures, and the future rather than the past." (Dr. Asif Bayat)

Artikel Darmaningtyas hari ini (15/12) di harian Tempo cukup menarik untuk diulas. Ia mengupas persoalan Arab Spring yang diikuti oleh kemenangan dan inklusi politik kaum Islamis pada beberapa negara Arab yang baru saja terlepas dari otoriterisme.

Kemenangan beberapa partai yang berafiliasi kepada gerakan Ikhwan di Mesir, serta tampilnya kelompok Salafi yang selama ini mengklaim anti-politik, terasa mengejutkan bagi langgam politik Islam yang selama ini kita kenal bersama-sama.

Darmaningtyas menyebut bahwa fenomena politik di negara-negara Arab saat ini merupakan imbas dari perjuangan panjang kaum Islam Politik selama bertahun-tahun di pentas politik Arab.

Akan tetapi, terselip sebuah fenomena menarik: Ekspresi politik mereka justru semakin menginklusi diri terhadap demokrasi, kebebasan berpendapat, serta toleransi yang selama ini tak nampak dalam wajah maupun bahasa politik meereka.

Isu 'penegakan syariah' hingga 'negara Islam' yang dulu sempat dikobarkan untuk melawan imperalisme Inggris (zaman Hasan Al-Banna masih hidup) atau ketika melawan otoriterisme militeristik Mesir dari Nasser hingga Mobarak (zaman Hudhaiby sampai seterusnya) serasa bergeser. Ikhwan kini terasa lebih 'liberal', terutama dalam praksis politik.

Mengapa bisa terjadi demikian? Apakah ini pertanda terjadi liberalisasi dalam gerakan politik Islam? Bagaimana masa depan 'Islam Politik' pasca-Pemilu?

Inklusi Politik
Selama masa-masa 'diktator Arab' dari Assad di Syria, Mobarak di Mesir, Saleh di Yaman, hingga Ben Ali di Tunisia, kaum Islamis terpinggirkan. Kita masih ingat bagaimana perjuangan bawah tanah Ikhwan ketika direpresi rezim Nasser sejak pertengahan 1950-an hingga akhirnya tampil dalam gerakan massa di revolusi Arab awal 2011.

Di Syria, gerakan Ikhwan juga dipinggirkan dalam lingkungan politik Ba'ath dengan Bashar dan Hafez Assad. Momentum perjuangan politiknya adalah ketika rezim itu jatuh, apakah karena gerakan massa ataupun karena kontradiksi di tubuhnya sendiri.

Krisis kapitalisme yang segera berubah menjadi gerakan massa menjadi momentum politik bagi Ikhwan dan beberapa kelompok Islamis lain. Salafi, yang selama ini berlindung nyaman melalui basis sosial-keagamaannya, agaknya tak bisa berlama-lama juga tertidur. Segera mereka membuat partai politik setelah kebebasan politik terjamin.

Runtuhnya otoriterisme Arab melalui Arab Spring adalah sebuah pintu gerbang perubahan struktur politik Arab. Akan tetapi, kita juga menangkap sebuah sinyal lain: titik balik 'Islam Politik'. Oposisi mereka terhadap otoriterisme dulu segera digantikan oleh konsolidasi politik. Di beberapa negara, Ikhwan tampil menguasai akses politik dan ikut Pemilu.

Dan hal ini segera dibuktikan. partai-partai berhaluan Islamis memenangi pemilu, seperti Partai Nahdlah (Tunisia), Partai Kebebasan dan Keadilan (Mesir), maupun Partai Keadilan dan Pembangunan (Maroko). Jika mengikuti prosedur demokrasi yang ada, kemenangan mereka akan segera diikuti oleh pemerintahan baru yang merepresentasikan kelompok tersebut.

Menariknya, klaim bahwa kemenangan politik ini akan diikuti oleh tampilnya wacana-wacana Islamis dalam politik Arab justru belum terbukti. Alih-alih meng-kampanyekan syariat Islam secara formal, mereka justru lebih mantap dengan wacana keberagaman (pluralisme-multikulturalisme), kesejahteraan, hingga isu-isu lain yang lebih populis.

Hal ini dapat kita lihat di Turki. Keberhasilan politik Erdogan dan Gul dengan AKP-nya tidak lantas diikuti oleh Islamisasi di Turki secara revolusioner. Perkembangan yang mereka tampakkan justru lebih gradual, dengan mendekatkan isu-isu populis di kalangan masyarakat Turki guna menopang legitimasi politik mereka.

Sebagai contoh, momentum politik yang coba dibangun oleh AKP justru adalah aksesi Turki ke Uni Eropa yang sejak 2003 belum selesai-selesai. Hal ini jelas merupakan manuver politik untuk mendapatkan legitimasi. Masuknya Turki ke Uni Eropa adalah simbol perubahan identitas: dari Arab-Islam menuju Eropa-Liberal. Dan topangan pengusaha (modal) menjadikan AKP lebih ramah terhadap kapitalisme, bahkan dibanding kaum Kemalis sendiri.

Turki hanya satu contoh. Kita lihat Ikhwan di Mesir, misalnya. Ada kecenderungan politik di negara-negara Arab untuk lebih menjadikan borjuasi sebagai basis politik. Penelitian Prof. Vedi Hadiz -seperti disampaikan di Fisipol UGM beberapa waktu lalu- memotret transformasi Ikhwan: dari sekadar organisasi massa yang tandhimi (militeristik) menjadi gerakan politik borjuis yang moderat.

Strategi mereka sederhana: menguasai basis modal untuk dikapitalisasi menjadi basis politik, agar dapat melakukan manuver politik secara aman tanpa harus mengandalkan mobilisasi yang dikenal di kalangan aktivis 'dakwah' Indonesia sebagai 'taklimat'. Hal ini pula yang sepertinya coba dilakukan PKS (faksi Anis Matta) di Indonesia.

Apakah hal ini menunjukkan kecenderungan baru dalam 'Islam Politik'? Apa penjelasan yang relevan untuk mengungkap transformasi ini?

Post-Islamisme
Analisis Dr. Asif Bayat terhadap fenomena gerakan politik Islam, terutama di Iran dan Pakistan, pada tahun 2005 silam bisa menjadi media penjelas. Saat ini, ada kecenderungan politik kaum 'Islamis' untuk bergerak menjadi 'post-Islamis' dalam jangka waktu tahun-tahun ke depan.

Dalam studi gerakan politik Islam di Timur Tengah, 'Islam Politik' sering dicitrakan sebagai kaum revolusioner yang memimpikan negara Islam, serta berorientasi kekuasaan untuk mewujudkan mimpinya itu. Bahasa yang digunakan lebih mencerminkan kekuatan ideologi daripada strategi taktis, semisal khilafah, daulah Islamiyah, tandhim, syari'ah, dan lain sebagainya.

Gagasan awal yang bisa ditangkap adalah bahwa 'Islamism' adalah bentuk historical end; Sebagaimana Fukuyama menganggap bahwa kapitalisme-liberal adalah akhir sejarah, ideolog kaum Islamis seperti Hasan Al-Banna atau Sayid Quthb dalam beberapa bukunya banyak menyinggung tema seperti 'kemenangan Islam', 'kejayaan Islam', dan lain sebagainya. An-Nabhani membahasakannya dengan 'khilafah'. Dan lain sebagainya.

Namun, seiring perjalanan waktu, penyampaian gagasan-gagasan tersebut ke publik segera berubah. Proses moderasi wacana tersebut bisa dilihat dari produksi buku dan pemikiran Ikhwan dari tahun 1970-an hingga kini. Tampilnya Yusuf al-Qaradhawy mempertegas basis moderasi tersebut, mengimbangi Sayyid Quthb di sisi lain. Ia memperkenalkan fiqh prioritas, melihat Islam secara lebih kontekstual.

Jika dilacak, genealogi pemikiran Qaradhawy tersebut tentu akan lebih senafas dengan modernisme Islam pilihan Muhammad Abduh yang lebih rasional. Tetapi, jika Abduh kemudian mengekspresikannya pada tataran wacana intelektual, Ikhwan mengambil jalan berbeda: rasionalisme Islam tersebut harus diekspresikan pada level praksis, untuk jadi instrumen mendapatkan kekuasaan.

Pemikiran Ikhwan dengan Qaradhawy dan beberapa mursyid 'am kemudian mengambil langgam berbeda. Walau sistem tandhim (struktur) tetap ada untuk basis mobilisasi dan ideologisasi gerakan melalui halaqah dan sel perkaderan, tetapi materi yang disampaikan sebagai basis ideologi mulai mengalami liberalisasi.

Inilah yang disebut oleh Dr. Asif Bayat sebagai 'post-Islamisme'. Dari segi wacana, Islamisme mulai menapak jalan baru yang tidak linear (memoisisikan Islam sebagai 'historical end'), tetapi justru mengambil langkah yang dekat dengan liberalisme.

Wacana-wacana liberalisme Islam yang selama ini ditentang oleh kalangan Islamis, menariknya, sebagian justru digunakan oleh mereka dalam praksis politiknya. Wacana demokrasi, toleransi, dan lain sebagainya, kini tampak makin akrab, walau sebatas sebagai jargon kampanye.

Dan dengan demikian, peta wacana 'Islam Politik' berubah. Dalam konteks studi Timur Tengah, apa artinya hal-hal seperti ini?

Transformasi Kelas
Prediksi sebagian kalangan bahwa gerakan politik Islam kontraproduktif dengan demokrasi terjawab dengan bantahan pada Pemilu Mesir, Tunisia, dan Maroko beberapa waktu lalu. Justru, demokrasi kini tampak lebih 'segar' daripada masa-masa lalu; membuktikan bahwa Islamisme tidak se-'sangar' yang selama ini sering kita prasangkai.

Hal yang perlu kita garis bawahi dalam proses politik Arab dewasa ini adalah wacana 'Islam' yang bergeser. Walaupun pada level pemikiran tidak banyak yang berubah dalam pandangan politik gerakan Ikhwan, tapi pada level aktualisasi dan implementasi politik, gagasan soal 'siyasah' banyak berubah.

Mengapa hal ini terjadi? Analisis Prof. Vedi Hadiz lebih mengarah pada soal transformasi kelas; bahwa topangan kaum pengusaha menyebabkan basis sosial gerakan Ikhwan berubah. Dulu, Ikhwan gampang diradikalisasi karena basis sosial mereka yang merupakan kelas menengah ke-bawah. Al-Banna sendiri lahir dari keluarga pedagang kecil; yang dalam literatur ekonomi-politik tidak banyak peran karena kalah oleh borjuasi besar.

Pasca-represi politik, kita lihat pergeseran wacana itu pada transformasi kelas yang dialami oleh Ikhwan. Banyaknya pengusaha, seperti temuan Vedi Hadiz di Turki dan Mesir, menyebabkan adanya aliansi kelas untuk menumbangkan rezim Mobarak dan Kemalis sehingga melahirkan revolusi Arab 2011. Di Turki, penguasaan terhadap modal juga penting sehingga basis politik mereka terjaga.

Dan persinggungan antara Islam dan Kapitalisme ini yang kemudian lebih banyak terjadi. Transformasi dari peminggiran ekonomi-politik menjadi borjuasi, tak ayal lagi mengubah peta wacana Islamis saat ini. Inklusi politik Ikhwan mengisyaratkan perlunya pembacaan-ulang terhadap gerakan politik Islam saat ini. Sebab, masalah ini perlu dibongkar. Apakah memang hanya strategi atau propaganda politik, ataukah imbas dari transformasi kelas tersebut?

Yang jelas, tesis bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi terbantah oleh fenomena di Timur Tengah. Bukan benturan peradaban yang terjadi, melainkan liberalisasi di kubu 'Islam Politik'. Inilah konsekuensi dari inklusi politik terhadap demokrasi.

Dan meminjam pernyataan Al-Sayyid Yassin, sebagaimana dikutip Dr. Darmaningtyas: Kalangan Islam-modernis kini tampak semakin Islamis, sementara kalangan Islam-fundamentalis tampak semakin liberal. Apakah ini terjadi pula di Indonesia?

Wallahu a'lam bish shawwab.

*) Penulis mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional UGM, peminat studi Timur Tengah

Jumat, 09 Desember 2011

Otokritik Gerakan Antikorupsi

(tulisan ini dimuat di portal berita terkininews.com)

Hari ini, 9 Desember 2011, diperingati sebagai hari antikorupsi sedunia. Seperti biasa, momentum ini menjadi ajang setiap elemen gerakan, baik masyarakat sipil, mahasiswa, maupun gerakan rakyat, untuk tampil menyuarakan aspirasinya terhadap pemberantasan korupsi.

Di berbagai kota besar, mahasiswa turun ke jalan untuk berdemonstrasi. Kita ambil contoh, misalnya, Yogyakarta. Sejauh pemantauan saya, ada tiga elemen yang turun hari ini: BEM se-Jogloseto yang dimotori oleh BEM KM UGM, KAMMI DIY, serta HMI Cabang Yogyakarta. Lokasi aksi berbeda-beda, dari Bunderan UGM hingga Titik Nol Kilometer Malioboro. Begitu pula dengan daerah lain.

Aksi-aksi tersebut relatif menyuarakan isu yang sama, tidak jauh berbeda. Tetapi, apa yang menyebabkan aksi-aksi tersebut seakan-akan menjadi aksi 'seremonial' yang cenderung mendasarkan diri pada momentum belaka?

Tidak Satu Suara?
Saya kira semua elemen sepakat bahwa korupsi harus diperangi. Pada dataran yang normatif ini, semua elemen gerakan akan sampai pada kata sepakat. Bahkan, mayoritas gerakan akan menjadikan isu ini sebagai prioritas, terkait aksi-aksi yang bakal dilakukan.

Namun, mengapa tidak ada kesamaan ritme gerak di antara elemen dan organ gerakan terkait isu vital ini? Refleksi ini tentu menjadi sangat klasik. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, kita sulit sekali menemukan aliansi-aliansi gerakan yang konsisten mengawal serta menyikapi isu sektoral, terutama di kalangan mahasiswa.

Di Yogyakarta, mungkin aliansi yang cukup besar dalam mengawal isu antikorupsi ini hanya bisa dilihat pada AMUK (Aliansi Masyarakat untuk Keadilan) yang menggelar aksi cukup besar pada tahun 2009, ketika isu kriminalisasi KPK tengah mencuat. Aliansi ini beranggotakan elemen gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil yang memang concern terhadap isu antikorupsi.

Namun, pasca-2009, AMUK seakan timbul tenggelam, antara hidup dan mati. Akhir Juli 2011 lalu, AMUK sempat tampil kembali untuk mengawal isu Nazaruddin dan kriminalisasi KY -dimana saya waktu itu juga turut terlibat mengorganisir aksi-  juga sempat bergerak dalam penyikapan isu lokal (korupsi di Bantul), namun tenggelam beberapa waktu kemudian.

Problem juga mungkin dapat dilihat di  beberapa aliansi yang sama di kota lain. Apakah persoalannya karena komposisi gerakan yang terlalu plural hingga menyebabkan perdebatan di dalam elemen sangat alot, sulit mencapai kata sepakat, ataukah mungkin karena suhu gerakan yang 'cair', menyebabkan aliansi bergerak hanya berdasarkan isu media, bukan pengawalan yang konsisten?

Tentu saja ini menjadi otokritik bersama bagi gerakan mahasiswa. Dalam konteks gerakan 9 Desember, problem keterpecahan elemen gerakan dalam menyikapi isu korupsi akan sangat kontraproduktif. Sebab, publik akan membaca gerakan ini 'seremonial' dan 'sporadis', sehingga tidak berdampak positif terhadap opini publik.

Dan tentu saja, kegagalan kita dalam mempengaruhi opini publik akan berdampak pada daya ubahnya terhadap konstelasi politik baik di level lokal maupun nasional. Ini lagi-lagi menjadi sebuah otokritik bagi gerakan mahasiswa saat ini.

Defisit Stratak
Mengapa keterpecahan massa dan elemen gerakan itu bisa terjadi, terutama dalam konteks gerakan antikorupsi?

Pertama, gerakan antikorupsi saat ini cenderung tidak memiliki stratak (strategi dan taktik) yang jelas dan kolektif. Kalaupun ada, pasti posisinya di masing-masin g organ Hal ini terutama kita jumpai pada gerakan mahasiswa ataupun gerakan massa lain yang sering tampil demonstrasi.

Selama ini, penyikapan terhadap isu antikorupsi lebih didasarkan pada momentum, bukan pengkajian. Padahal, pengkajian adalah basis bagi gerakan mahasiswa . Mana mungkin lahir sebuah gerakan yang murni jika tidak ada pengkajian di dalamnya? Ini perlu menjadi refleksi bersama.

Tentu saja, pengkajian isu antikorupsi mesti didasarkan pada analisis mengenai kondisi lapangan yang komprehensif serta dirumuskan pada strategi dan taktik yang jelas. Dalam konteks pengorganisasian massa, kita mengenal yang namanya stratak. Di setiap training perkaderan gerakan, saya yakin hal ini sudah diajarkan. Dan hal terpenting ketika merumuskan stratak adalah pemetaan posisi dan isu yang akan diperjuangkan.

Tanpa stratak, gerakan yang kita rancang mungkin saja akan avonturir, berjalan tanpa arah yang jelas. Dalam konteks gerakan antikorupsi, adakah stratak itu dirumuskan secara rigid? Bagaimana pemetaan kita terhadap konstelasi politik di lapangan? Strategi gerak apa yang akan diambil? Ini perlu dipikirkan bersama-sama.

Jika direfleksikan, saat ini gerakan mahasiswa cenderung melakukan penyikapan by momentum. Hal ini mungkin tak terhindarkan bagi gerakan massa. Tetapi, disadari atau tidak, pola gerakan ini sangat rawan bagi gerakan mahasiswa untuk terjebak pada relasi kuasa yang sedang bermain secara kompleks di luar sana. Pertaruhannya tentu saja independensi gerakan.

Akibatnya, dengan mengikuti gerak-gerak isu di media maupun momentum, fragmentasi gerakan mahasiswa menjadi sebuah konsekuensi serius. Alhasil, dalam penyikapan, isu yang diangkat berbeda, barisan massa terpecah, dan 'tembakan' tidak mengena pada sasaran, bahkan untuk mempengaruhi opini publik sekalipun. Hal ini sudah sering terjadi pada gerakan yang kita bentuk, sendiri ataupun bersama-sama.

Oleh sebab itu, strategi dan taktik secara kolektif perlu dirumuskan bersama-sama dalam isu sektoral yang spesifik, semisal pemberantasan korupsi. Tidak perlu mencakup banyak permasalahan, cukup satu sektor tetapi terfokus dan konsisten. Sehingga, pengorganisasian menjadi tidak sulit.

Perdebatan di aliansi yang kerap kita temui seringkali masuk pada wilayah visi dan ideologi, sesuatu yang sebenarnya tidak perlu diperbincangkan sebab merupakan urusan internal organ. Sementara di level taktis dan strategis, analisisnya tidak sampai mendalam. Ini perlu menjadi otokritik bagi gerakan kita saat ini.

Dan artinya, perlu ada kemauan untuk menyatukan pandangan pada satu isu yang dianggap strategis untuk dirumuskan taktik ke depannya. Inilah problem gerakan kita yang kedua.

'Cangkang Mistis'
Kedua, persoalan yang sering dihadapi adalah ego masing-masing gerakan. Persoalan ini klasik. Fragmentasi ideologi kiri-kanan-tengah maupun perbedaan metode gerak menjadi salah satu penyebab. Gerakan mahasiswa juga rawan dihinggapi oleh persoalan ini.

Hal penting yang perlu kita cermati adalah keengganan mahasiswa untuk keluar dari 'cangkang mistis'-nya sebagai generasi kampus dan membaur dengan problem di masyarakat. Istilah 'cangkang mistis' saya pinjam dari Marx. Posisi mahasiswa sebagai 'kelas menengah terdidik' seakan menjadi jembatan pada isu-isu di masyarakat yang sebenarnya lebih konkret.

Gambaran 'cangkang mistis' ini sendiri, menurut Marx, hadir dalam persepsi soal realitas. Ia mengambil jalan yang berbeda dengan dialektika Hegel yang menganggap bahwa realitas adalah persepsi ideal -mistis- dari pikiran manusia atas keadaan. Marx justru melihat sebaliknya: realitas itu ada di alam nyata, bukan di alam pikiran manusia. Atau, dalam konteks pendidikan tinggi, realitas itu ada di masyarakat, bukan sesuatu yang diteorisasi di dalam kelas.

Dalam konteks gerakan, 'cangkang mistis' ini setidaknya tergambar dari keinginan untuk aksi sendiri tanpa membangun kontak dengan gerakan lain yang ranah perjuangannya berada di level basis. Organ-organ mahasiswa baik intra maupun ekstrakampus, sadar atau tidak, sering terjebak pada masalah ini.

Minimnya hubungan dengan elemen masyarakat sipil maupun gerakan rakyat menyebabkan gerakan mahasiswa tampil sendirian. Argumen yang keluar, pada akhirnya, lebih bersifat moralistik daripada strategis. Dan aksi-aksi mahasiswa, kembali pada analisis di atas, akhirnya menjadi terfragmentasi oleh momentum yang ada.

Untuk keluar dari 'cangkang mistis' tadi, gerakan mahasiswa perlu membuka hubungan yang lebih erat dengan kekuatan lain semisal buruh atau masyarakat sipil. Kesatuan gerak ini sebenarnya dapat kita lihat pada tahun 1998. Sejarah mencatat, gerakan mahasiswa takkan dapat bertahan jika sebelumnya tidak ada kekuatan rakyat yang melawan di level basis. Selain juga karena kontradiksi kapitalisme yang dibangun oleh Orde Baru.

Dalam konteks gerakan antikorupsi, aliansi strategis dengan masyarakat sipil dan masyarakat akademik yang kritis perlu dibangun lebih erat. Walau bagaimanapun, LSM ataupun Pusat Studi tidak punya massa untuk digerakkan sehingga perjuangan yang dilakukan lebih cenderung elit. Mahasiswa-lah yang punya massa. Tetapi, mahasiswa juga minim analisis dan jaringan akar-rumput. Kolaborasi ini, jika dilakukan secara konsisten, tentu akan melahirkan format gerakan yang kuat.

Dan untuk itu, perlu kemauan yang kuat dari mahasiswa maupun masyarakat sipil untuk terus berkomunikasi. Saya kira, kita perlu menyeriusinya untuk mengawal KPK selama 4 tahun ke depan, di bawah kepemimpinan Abraham Samad, agar amanah rakyat tidak terganggu di tengah jalan. Cukuplah 4 tahun terakhir ini menjadi sebuah evaluasi bersama bagi pemberantasan korupsi kita saat ini.

Refleksi Bersama
Otokritik gerakan 9 Desember saat ini adalah keterbelahan massa. Dan untuk menyikapinya, saya kira dua hal di atas perlu kita refleksikan bersama. Walau bagaimanapun juga, isu pemberantasan korupsi tetap menjadi isu yang penting bagi Indonesia saat ini. Jangan sampai, agenda pemberantasan korupsi gagal karena kekuatan kelompok masyarakat sipil -termasuk di dalamnya mahasiswa- terfragmentasi oleh problem-problem internal.

Kemauan untuk menyingkirkan ego masing-masing gerakan sangat penting. Dan kemauan untuk membuat sebuah rencana pergerakan yang konsisten juga diperlukan. Mungkin juga hal-hal lain yang masih harus kita inventarisasi bersama.

Dulu, Tan Malaka berhasil mengorganisasi kekuatan 'Persatuan Perjuangan' yang terdiri atas berbagai macam organ dengan latar belakang ideologi berbeda untuk melawan kabinet Sjahrir yang dinilai lemah. Walaupun harus kandas karena tersapu rezim, konsep persatuan perjuangan ini perlu direfleksikan. Persoalan apakah perjuangan ini akan berhasil atau tidak, mari bertawakal kepada Allah, setelah berikhtiar dengan kekuatan-kekuatan yang ada.

Kita masih memerlukan masyarakat yang kuat untuk melawan hegemoni negara dan institusi-insitusi pendukungnya yang korup. Demokrasi masih harus dikawal oleh masyarakat, termasuk juga mahasiswa di dalamnya. Tanpa mahasiswa, pada siapa lagi kita berharap untuk perubahan di masa depan?

Tulisan singkat ini mungkin tidak terlalu apik untuk dibaca. Dan mungkin akan menjadi otokritik sendiri. Tapi berlandas pada sebuah hadits, hari esok harus lebih baik daripada hari ini. Mari membenahi gerakan kita ke depan. Salam dari Yogyakarta.

Nuun wal Qalami wa Maa Yasthuruun.



Dokumentasi Foto Aksi Hari Antikorupsi: 

 
aksi mahasiswa di Samarinda


 
aksi mahasiswa di Banjarmasin

 
aksi mahasiswa di Yogyakarta

Aktivisme dan Ilmu Sosial


Mahasiswa aktif berdemonstrasi atau melakukan sederet aktivitas lainnya, tetapi tidak sadar bahwa aktivitas mereka digeret untuk melayani kepentingan kuasa tertentu di luar sana, seperti kepentingan elite-elite politik yang menjadikan aksi mahasiswa sebagai alasan sah untuk merebut kekuasaan demi kepentingan sendiri"

1316159438509632688MENARIK jika kita menyimak apa yang disampaikan oleh Prof. Dr. Purwo Santoso, Guru Besar Politik & Pemerintahan Universitas Gadjah Mada dalam orasi ilmiahnya pada Dies Natalis FISE UNY, beberapa hari yang lalu.

Dalam orasi yang mengangkat tema “Ilmu Sosial Transformatif” tersebut, beliau menyinggung terma “aktivisme” sebagai pengejawantahan Ilmu Sosial Transformatif, salah satunya adalah aktivisme mahasiswa.

Jika selama ini aktivisme dianggap sebagai sesuatu yang sangat praksis, dianggap jauh dari akademik, dan seharusnya “dikembalikan” ke kampus untuk dididik, Prof. Purwo justru berpikir sebaliknya: aktivisme adalah sarana untuk meletakkan dasar transformatif bagi pendidikan, terutama dalam konteks pendidikan ilmu sosial dan ilmu politik.

Oleh sebab itu, aktivisme mahasiswa atau masyarakat sipil tidak seharusnya jauh dari wacana ilmu sosial. Keduanya punya keterkaitan yang sangat erat. Pertanyaannya, seperti apa wujud keterkaitan itu dalam konteks aktivisme mahasiswa, terutama dalam konteks Indonesia saat ini?

Pemisahan Teori dan Praksis
Dalam jangka waktu yang cukup panjang, kita disuguhi sebuah pemisahan antara “teori” dan “praksis”. F Budi Hardiman (“Kritik Ideologi”, 2009, pp. 22), melihat kelahiran ontologi sebagai titik tolak pemisahan antara teori dan praksis. Dalam sudut pandang yang positivistik, pengetahuan harus dipisahkan dari kepentingan-kepentingan praktis.

Ontologi ilmu adalah sesuatu yang murni; tidak terpengaruh oleh muatan-muatan kuasa. Ini yang disebut sebagai dis-interested knowledge; pengetahuan yang melampaui kepentingan-kepentingan tertentu, yang berorientasi pada ilmu dan pengetahuan.

Adalah Augusto Comte yang meletakkan dasar positivisme moderen dalam ilmu sosial. Titik pangkal pemikiran Comte adalah pemisahan fakta sosial objektif dari dimensi metafisis; ia mencoba memurnikan ilmu dari kepercayaan tradisional (baca: agama).

Oleh sebab itu, prosedur pembuktian kebenaran juga harus dilakukan secara objektif, meniadakan pikiran-pikiran subjektif manusia, alias menyadur logika ilmu alam yang melihat fakta sosial sebagai “hukum-hukum” ilmiah, dan punya standard kebenaran sendiri (Hardiman, pp. 27).

Maka, teori sosial merupakansebuah refleksi dari fakta sosial objektif yang empiris. Ia kemudian meniadakan subjek (diri) dalam relasi-relasi sosial tersebut karena akan mempengaruhi objektivitas dalam melihat sesuatu.

Sebab itu, seorang teoretisi sosial harus menjaga jarak dari fakta sosial yang ia telaah. Ini yang menciptakan jurang pemisah antara teori dan praksis. Di satu sisi, teori mengupas fakta-fakta sosial, sementara di sisi lain, praksis adalah wujud pengejawantahan fakta sosial itu dalam realitas sosial.

Ini tentu melahirkan setidaknya dua implikasi. Implikasi pertama, kampus, sebagai institusi yang  memproduksi teori sosial dan mengemasnya dalam “ilmu” sosial, terpisah jauh dari masyarakat yang ia telaah. Implikasi kedua, warga kampus sebagai pengkaji ilmu sosial sendiri menjadi kian eksklusif, tidak membumi, dan kadang punya “jarak” antara posisinya sebagai seorang akademisi dengan statusnya sebagai masyarakat.

Aktivisme Mahasiswa
Dalam seting mahasiswa “positivistik” seperti ini, kita akan melihat dua jenis mahasiswa: Pertama, mahasiswa yang orientasinya adalah “teori”, pandai secara akademik, tetapi gagap di masyarakat. Kedua, mahasiswa yang prestasi akademiknya pas-pasan, waktu studinya mungkin lama, tapi begitu aktif bergiat di organisasi-organisasi sosial maupun kemahasiswaan untuk menghadapi realitas kemasyarakatan.

Pemisahan dua jenis mahasiswa ini adalah implikasi logis ketika positivisme yang memisahkan “teori” dan “praksis” dijadikan paradigma pendidikan. Pada dekade 1980-an, kita pernah menghadapi fenomena seperti ini melalui wujud NKK/BKK, bahkan iklimnya masih terasa hingga kini.

NKK/BKK bukan sekadar pembungkaman politik mahasiswa; ia punya dimensi yang jauh lebih luas. NKK/BKK adalah sebuah upaya sistematis untuk mengubah habitus mahasiswa, yang akrab dengan aktivisme dan pembelaan atas hak-hak masyarakat melalui gerakan mahasiswa, menjadi mahasiswa yang akademis, hanya belajar di kampus, dan disiapkan untuk melayani kepentingan pembangunan rezim.

Gejala kritik mahasiswa dan pelajar yang resisten terhadap kepentingan rezim, pada waktu itu, segera dibungkam. Mahasiswa “dikembalikan” pada ranahnya yang awal, yaitu “akademis”. Pendidikan di-seting untuk cepat lulus, agar bisa cepat bekerja. Sehingga, kampus tidak lagi memproduksi wacana rakyat, tetapi wacana kerja.

Kepentingan rezim pada waktu itu adalah industrialisasi. Oleh sebab itu, pembangunan ekonomi yang dijadikan acuan adalah pembangunan ekonomi berbasis pasar bebas. Inilah yang kemudian melahirkan terminologi “developmental-state” (lihat Richard Robison, “The Rise of Capital”). Developmentalisme ini mengharamkan segala sesuatu yang merintangi pembangunan. Jika itu terjadi, siap-siap menghadapi aksi represif aparat negara.

Cerita di atas merefleksikan sebuah hal: logika pemisahan “teori” dan “praksis” dalam paradigma positivisme tidak hanya terjadi pada level “wacana” ilmu pengetahuan, tetapi juga pada skala pelembagaan. “Jarak sosial” antara kampus dan masyarakat ini yang kemudian dikritik.

Teori Kritis
Di Barat, muncul gejala untuk menentang positivisme ilmu pengetahuan dalam wujud “teori kritis”. Teori ini pada awalnya adalah sebuah gerakan intelektual yang memproyeksikan keruntuhan ontologi positivisme melalui kritik.

Teori kritis hendak membangun kembali jembatan antara “teori” dan “praksis” tersebut melalui sebuah kritik atas ontologi positivisme yang dinilai digeret oleh kuasa-kuasa tertentu, alias punya kepentingan tertentu.

Saintifisme, atau gejala teori yang punya standard pembenaran positivistik itu, pada hakikatnya bukan teori yang netral dari relasi-relasi kuasa yang ada. Ia sesungguhnya digeret oleh sebuah kuasa tertentu untuk melayani kepentingan kuasa itu. Inilah yang disebut oleh Max Horkheimer sebagai “selubung ideologis atas teori tradisional” (Sunarto dalam Listiyono Santoso (ed), 2003, pp. 101).

Oleh sebab itu, teori kritis hendak membangun “teori dengan maksud praktis” (Hardiman, pp. 59). Teori dan praktik tidak seharusnya dipisahkan, karena keduanya saling terkait satu-sama-lain. Teori sosial mesti ditransformasikan dalam realitas sosial, sementara praktik perubahan sosial perlu pijakan teoretis.

Di Indonesia Orde Baru, terlihat bahwa ilmu sosial yang sifatnya positivistik itu digeret untuk melayani kepentingan industrial rezim. Sebagai implikasinya, kampus dipisahkan dari masyarakat agar dapat berkonsentrasi untuk berkarya untuk pembangunan. Mahasiswa yang kritis dan resisten terhadap proyek pembangunan dibungkam dan disuruh belajar agar dapat melayani pembangunan pada akhirnya.

Pasca-Orde Baru, relasi kuasa itu bukannya hilang, malah berubah menjadi semakin kompleks. Keterbukaan politik mengakibatkan akses ke ranah politik menjadi bertambah lebar. Namun, di sisi lain, terjadi sebuah “reorganisasi oligarki” yang terjadi antara kapital dan kekuasaan dengan modus-modus baru (lihat Vedi Hadiz dan Richard Robison, “Reorganising Power in Indonesia”, 2004).

Jika dulu oligarki mengandalkan kedekatan dengan rezim dengan ketertutupan politiknya, sekarang oligarki justru hadir dengan memanfaatkan keterbukaan politik melalui penguasaan modal. Akibatnya, hadirnya mereka di lingkar kekuasaan juga mengakibatkan relasi struktural dan relasi kuasa menjadi semakin kompleks.

Sementara itu, masyarakat kampus dilanda kegamangan. Apakah harus kembali pada ontologi positivisme yang mendikotomikan teori dan praksis, walaupun digeret oleh kepentingan kuasa tertentu, ataukah justru melahirkan sebuah muatan baru dalam ilmu sosial?

Ilmu Sosial Transformatif
Hal ini kemudian coba dipikirkan kembali oleh Prof. Dr. Purwo Santoso melalui terminologi “ilmu sosial transformatif”. Ilmu sosial bukan berarti penjarakan “subjek” atas “objek” yang ditelitinya. Seharusnya, subjek juga bagian dari realitas yang mengabdikan ilmunya untuk kepentingan masyarakat, dan artinya, meminjam istilah Antonio Gramsci, seorang intelektual sosial adalah intelektual organik, yang melakukan pemihakan pada kelas sosial tertentu secara organik.

Menurut Purwo Santoso, ilmu sosial mesti berdimensi transformatif. Ia tidak sekadar menjelaskan fakta-fakta sosial secara objektif, melainkan juga menghadirkan subjek dalam realitas tersebut. Berarti, ini menolak sebuah klaim pemisahan teori dan praksis.

Teori adalah sebuah instrumen normatif untuk melakukan perubahan sosial di masyarakat. Ia sangat tergantung pada “pembuktian” di tengah-tengah masyarakat melalui praksis. Dengan demikian, teori tanpa praksis menjadi tidak lengkap. Begitu juga praksis tanpa teori, juga akan tidak terarah.

Inilah yang kemudian relevan bagi aktivisme mahasiswa. Penyatuan kembali “teori” dan “praksis” sosial akan menjadikan mahasiswa tidak hanya kritis dan pandai, tetapi juga bisa menyelami realitas masyarakatnya.

Meminjam Al-Fayyadl, salah satu kealpaan gerakan mahasiswa pasca-reformasi adalah kegagalan dalam memetakan relasi kuasa dan relasi struktural di sekelilingnya. Mahasiswa aktif berdemonstrasi atau melakukan sederet aktivitas lainnya, tetapi tidak sadar bahwa aktivitas mereka digeret untuk melayani kepentingan kuasa tertentu di luar sana, seperti kepentingan elite-elite politik yang menjadi punya alasan sah untuk merebut kekuasaan demi kepentingan sendiri.

Oleh sebab itu, seorang aktivis harus membekali diri dengan ilmu sosial, dan seorang ilmuwan sosial harus aktif di tengah masyarakat dengan pelbagai aktivitas. Tentu saja tidak banyak varian aktivisme yang bisa dihadirkan, tergantung pada apa yang bisa diberikan kepada masyarakat sesuai kemampuan.

Ilmu sosial transformatif kemudian mengandaikan pendidikan sebagai medium aktivisme. Bagi mahasiswa, jembatan untuk menghubungkan teori dan praksis itu sebenarnya adalah aktivisme –dalam pelbagai bentuknya. Seorang mahasiswa yang belajar mengenai ilmu sosial, pada hakikatnya dibebani tanggung jawab praksis untuk mengenal dan memperjuangkan nasib masyarakatnya.

Jadi, dengan ilmu sosial transformatif, seorang aktivis tidak perlu mendapat label yang stigmatif. Justru, seorang aktivis mahasiswa yang mampu menerjemahkan ilmunya ke dalam pembelaan hak-hak masyarakat atau berkontribusi dalam kegiatan sosial, adalah seorang mahasiswa transformatif yang mampu menjembatani polemik antara “teori” dan “praksis”.

Simpulan
Untuk itulah, relasi antara aktivisme dan ilmu sosial seharusnya dimaknai sebagai sebuah relasi yang positif dan saling mendukung. Aktivis harus membekali diri dengan ilmu sosial untuk memetakan realitas secara komprehensif, sementara ilmu sosial juga perlu dipraktikkan untuk menguji kebenaran teori itu.

Semoga, dengan pengembangan wacana ilmu sosial transformatif yang digaungkan oleh Prof. Dr. Purwo Santoso ini, penelitian-penelitian tidak lagi sekadar teronggok di atas meja. Ilmu sosial transformatif berarti menjembatani teori dan praksis. Dan aktivisme mahasiswa adalah salah satu medium pembelajaran hal itu bagi mahasiswa.

Hidup Mahasiswa Indonesia!

Referensi
F Budi Hardiman. Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Muhammad Al-Fayyadl. “Bunuh Diri Kelas: Beberapa Refleksi tentang Gerakan Mahasiswa”. Jurnal Indoprogress, edisi Mei 2011.

Purwo Santoso. Ilmu Sosial Transformatif. Pidato Pengukuhan Guru Besar Politik & Pemerintahan, Fisipol UGM, 20 Juni 2011.

___________. Penguatan Jati Diri dan Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Ilmu Sosial Transformatif. Pidato Ilmiah, Dies Natalis ke-46, Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi, Universitas Negeri Yogyakarta, 14 September 2011.

Richard Robison. Indonesia: The Rise of Capital. Sydney: Allen and Unwin, 1986.


Richard Robison dan Vedi Hadiz. Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London: Routledge, 2004.

Sunarto. “Konstruksi Epistemologi Max Horkheimer: Kritik atas Masyarakat Modern” dalam Listiyono Santoso, et. al. Epistemologi Kiri. Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2003.

Kamis, 01 Desember 2011

Menyoal Deradikalisasi

SOLO bergolak. Indonesia kembali dikejutkan oleh sebuah ledakan Bom di Solo, menewaskan beberapa orang. Ledakan bom ini mengejutkan beberapa pihak, sebab disinyalir sel-sel teroris -mungkin begitu yang sering disebut pihak kepolisian- masih ada dan beroperasi di Indonesia. Kini, polisi masih memburu pelaku dan mencoba mengungkap motif di baliknya.

Program Deradikalisasi
Apa makna di balik teror bom kali ini? Benarkah isu bom ini terkait isu konflik horisontal di Ambon beberapa waktu lalu? Dan adakah kaitan bom ini dengan kelompok "Islam Radikal" yang disinyalir terlibat beberapa pengeboman?

Saya tidak ingin menuduh terlalu dini siapa yang berada di belakang pengeboman itu. Pelaku bisa saja merupakan jaringan teroris lama seperti dituduhkan, tetapi bisa saja jaringan dari sel-sel baru yang terbentuk. Tetapi, yang jelas, bom ini kemudian dikaitkan dengan radikalisme, yang akhirnya menyeret agama ke dalam permukaan.

Dugaan mengenai siapa yang berada di balik pengeboman ini kemudian mengarahkan kita pada diskursus mengenai "radikalisme". Sesungguhnya, diskursus ini bukan sesuatu yang baru. Beberapa pengamat terorisme, seperti Sidney Jones dan beberapa pengamat lain, misalnya, segera menuding radikalisme agama sebagai "tersangka".

Sehingga, jalan yang ditawarkan adalah deradikalisasi. Kelompok yang dinilai punya tendensi pemikiran "radikal", harus di-"deradikalisasi" sehingga bisa kembali "normal" di masyarakat. Dan hal ini segera disambut oleh pemerintah sebagai jurus jitu dalam mencegah teror.

Program deradikalisasi tersebut, sebagaimana dilansir Kompas (27/9), adalah memisahkan semangat "radikalisme" dari agama. Caranya, menanamkan nilai-nilai agama yang "tidak radikal", yang inklusif, toleran, dan lain sebagainya.

Persoalannya, benarkah teror bom ini merupakan ekspresi dari radikalisme? Dan tepatkah konsepsi deradikalisasi dalam menahan terorisme di Indonesia? Ada hal-hal yang sepertinya problematis dalam pembacaan mengenai "radikalisme" tersebut.

Redefinisi "Radikalisme"
Perlu ada pembacaan ulang soal "radikalisme". Dalam wacana yang tersirat dari pelbagia pemberitaan media, "radikalisme" sering berhimpit dengan terminologi "negativitas" (kekerasan). Padahal, dua hal tersebut jelas berbeda. Praktik terorisme jelas adalah bentuk negativitas, tetapi ia tidak lantas disinonimkan dengan radikalisme.

"Radikal" -dalam makna litterlijk- adalah sebuah ekspresi keberakaran sebuah pemikiran. Berpikir radikal belum tentu diekspresikan dengan tindak kekerasan. Radikalisme akan muncul jika kita mengupas literatur-literatur Marxisme atau Gerakan Politik Islam. Keduanya berhampiran, tapi sama sekali berbeda.

Dalam literatur-literatur Marxian, radikalisme sering disandingkan dengan istilah revolusioner. Marx menyebut istilah "Radikal" dalam The Communist Manifesto untuk menyebut mereka yang merintangi jalan sosialisme Marx, meskipun di tulisan tersebut ia juga menyiratkan adanya sebuah revolusi yang "radikal", yaitu menyerang private property yang menurutnya adalah sumber permasalahan dari ketertindasan kaum buruh (p. 50).

Literatur pasca-Marx, seperti kalangan penganut teori kritis, menggunakan istilah "radikal" untuk menyatakan teori yang radikal dan emansipatoris dari bentuk-bentuk teori tradisional yang dibawa oleh positivisme logis. Artinya, istilah "radikal" sudah masuk pada perdebatan ontologis. Penggunaan istilah ini tentu mengubah persepsi soal radikalisme, yang berarti tidak hanya berada pada level praksis-tindakan-stratak seperti dipahami Marx, tetapi juga bisa dipersepsi lebih luas.

Hal serupa juga terjadi dalam literatur Islam. Hassan Hanafi dengan konseps filosofisi Kiri Islam (Al-Yasar Al-Islamy) mencatat bahwa konsepsi agama yang jumud dan kaku harus diganti dengan konsepsi agama yang liberatif (taharrur) dan transformatif. Artinya, gerakan-gerakan Islam harus melandaskan pisau analisisnya pada Islam yang "radikal": ia menyebutnya sebagai Islam yang bersifat kritis dan korektif terhadap kekuasan.

Mengutip Kazuo Shimagaki (1993), konsepsi ini mengandaikan agama sebagai semangat perubahan sosial, yang berarti menjadikan pemahaman agama yang radikal sekaligus rasional sebagai alat perlawanan atas ketertindasan yang dialami umat Islam. Berarti, Islam radikal adalah ekspresi perlawanan, bukan kekerasan.

Sehingga, dengan demikian, radikalisme perlu dibaca dalam kerangka berpikir yang lebih luas. Radikalisme, dengan konsepsi "Kiri Islam" Hassan Hanafi atau "Teori Kritis" Max Horkheimer bukan energi pencipta terorisme yang dibentuk dalam jaring-jaring sel rahasia, melainkan sebuah ekspresi respons atas ketertindasan dan ketidaksetujuan atas hegemoni teori-teori positivis.

Terorisme tidak lantas bisa disinonimkan dengan radikalisme. Sebab, menjadi radikal tidak lantas mengekspresikannya dengan teror. Menyamakan radikalisme dengan terorisme bisa jatuh pada sesat pikir. Saya kira, lebih tepat menggunakan istilah negativitas, sebagai diskursus yang lebih mendekati pada kajian-kajian terorisme dan keamanan.

Praksis dari negativitas, seperti dinyatakan oleh F. Budi Hardiman, salah satunya adalah kekerasan.  Mereka yang termarjinalisasi dalam proses globalisasi dewasa ini adalah mereka yang rentan dikorbankan menjadi "massa". Akhirnya, marjinalisasi itu melahirkan kekerasan massa dengan nama identitas-identitas tertentu, seperti agama.

Konteks Indonesia
Lantas, dalam konteks Indonesia, bagaimana meluruskan kesalahpahaman soal radikalisme dan negativitas itu? Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah melacak akar dari radikalisme Islam itu di Indonesia.

Vedi Hadiz (2010), dengan pendekatan struktural-historisnya yang khas, mencatat bahwa radikalisme tumbuh dari ketertindasan kelas. Selama Orde Baru, umat Islam mengalami marjinalisasi politik yang cukup lama dan sistematis. Sebab, ekspresi ideologi Islam dikubur hidup-hidup, digantikan oleh ideologisasi Pancasila yang penerapannya sangat dipaksakan dan cenderung jadi alat kepentingan rezim.

Represi politik yang dilakukan oleh rezim Orde Baru secara sistematis, serta hegemoni modal yang memarjinalkan aspirasi kelas menengah Islam menyebabkan segelintir dari mereka -yang punya pemahaman keislaman kuat tapi termarjinalkan dalam akses ekonomi, politik, dan kultuiral, kemudian meradikalisasi diri untuk dapat merebut peran-peran negara.

Perlawanan mereka semakin dilegitimasi oleh hegemoni global yang menindas umat Islam di beberapa belahan dunia lain. Perlu diingat, dalam Islam ada doktrin "ukhuwah" yang menafikan batas-batas geografis nasional ketika berhubungan dengan muslim yang lain. Islam melekat sebagai identitas universal. Wajar jika represi di satu tempat menimbulkan respons di tempat lain.

Akhirnya, radikalisme dipupuk secara perlahan-lahan dan menjadi sebuah alat untuk menggelorakan perlawanan terhadap rezim politik -baik di level nasional maupun global. Dan hal ini terjadi baik sebelum 1998 maupun setelah 1998, juga terjadi tidak hanya pada gerakan Islam, melainkan juga gerakan kiri maupun gerakan mahasiswa.

Tetapi, perlu dicatat, radikalisme ini tidak bisa dikatakan terbentuk dalam sebuah kesatuan yang utuh. Kita bisa melihat adanya fragmentasi dari kelompok Islam yang menggunakan "radikalisme" sebagai alat perlawanan. Kelompok yang agak moderat justru mengekspresikan radikalisme ini dalam bentuk partisipasi politik.

Pasca-1998, gerakan politik Islam yang "radikal" di Indonesia seperti Hizbut Tahrir atau Tarbiyah (transformasi Ikhwanul Muslimin, lih. Said Ali Damanik, 1998) justru menggunakan momentum demokratisasi untuk meneguhkan eksistensi diri. Kelompok Tarbiyah yang menjelma menjadi PKS mengalami moderasi dan bergumul dengan realitas politik Indonesia. Sementara itu, HTI memilih berada di lajur ekstraparlementer, dan belakangan menjadi ormas, yang artinya masuk pada ranah civil society.

Keduanya tetap radikal secara internal-organisasional, tetapi moderat pada tampilan eksternal. Dan ekspresi yang ditampilkan juga bukan ekspresi negatif yang berorientasi pada kekerasan, tetapi lebih pada kritik pada kuasa-kuasa yang koruptif. Hal ini tentu sejalan dengan proses demokratisasi.

Potret radikalisme semacam ini tidak hanya terjadi pada tataran gerakan Islam, tetapi juga pada elemen lain, seperti gerakan mahasiswa. Pola yang bisa kita lihat, gerakan-gerakan yang di akhir era Orde Baru bergerak radikal, setelah reformasi mengalami proses moderasi. Radikalisasi tetap ada, tetapi ditampilkan dengan cara yang positif. Mengapa itu bisa terjadi? Hipotesis penulis, akses politik yang terbuka-lah yang menyebabkan moderasi itu.

Ekspresi Negatif
Lantas, ketika kebebasan dan akses politik sudah mulai terbuka, mengapa masih ada kelompok yang mengekspresikan radikalisme dengan negativitas? Ada dua hipotesis yang saya ajukan untuk menjawab pertanyaan tersebut.  

Pertama, kebebasan politik yang ada masih menyisakan satu problem, yaitu kuasa dan hegemoni modal yang menutup akses-akses politik sebagian orang. Kebebasan secara formal memang sudah ada, namun secara substansial kebebasan tersebut cenderung dimonopoli oleh satu kelompok tertentu. Merekalah yang memiliki modal untuk membeli kebebasan.

Potret neoliberalisme dan kembalinya hegemoni pasar ini menyebabkan adanya marjinalisasi-marjinalisasi baru. Dan sebagai akibatnya, muncullah ekspresi sebagian kelompok yang ingin melawan hegemoni ini. Salah satu ekspresi perlawanan tersebut adalah kekerasan.

Potretnya dapat dilihat pada kisruh Ambon. Sebetulnya, persoalan Ambon banyak diwarnai oleh kesenjangan ekonomi dan hegemoni elit-elit lokal yang menindas kelompok lain. Celakanya, hegemoni tersebut bernafaskan agama sehingga konflik yang muncul juga cenderung rasial. Ini menyebabkan kerusuhan sosial.

Dalam konteks terorisme, jika tuduhan bahwa bom Solo berkait dengan kasus Ambon itu benar, berarti hipotesis ini juga mendekati kebenaran pembuktian. Tentu saja ada variabel lain yang perlu diuji.

Kedua, proses globalisasi yang muncul dewasa ini telah menyebabkan arus informasi beredar luas. Dan informasi tersebut membuka fakta gerakan-gerakan radikal bahwa hegemoni global yang menindas umat Islam di belahan bumi lain masih terjadi. Dan pengeboman ini adalah simbol solidaritas tapi diekspresikan dengan negativitas.

Variabel ini bisa dibuktikan jika memang sel-sel yang bersifat transnasional itu terbukti. Artinya, jaringan terorisme memang bersifat lintas-negara; isu yang diangkat adalah isu transnasional, dan wilayah operasional juga tidak dibatasi oleh batas geografis. Tentu saja, ini menunggu pembuktian dari pembongkaran sel-sel jaringan teroris, kalau memang itu benar ada. Wallahu a'lam bish shawwab.

Perlukah Deradikalisasi?
Jika dua hal tersebut dikombinasikan, kita akan melihat bahwa persoalan terorisme sebetulnya didukung oleh ungovernability negara dan paradoks yang ditampilkan rezim neoliberal pasca-1998. Negara gagal menjaga keamanan warganya alih-alih menjamin keadilan sosial, sementara mereka yang bermodal semakin asyik berselingkuh dengan kekuasaan.

Maka dari itu, meletakkan deradikalisasi sebagai solusi dalam memerangi terorisme akan menjadi kurang tepat. Sebab, selama faktor-faktor yang mendukung adanya marjinalisasi satu kelompok atau menindas kelompok lain itu masih ada, radikalisme itu masih akan tetap digunakan sebagai media perlawanan.

Jalan yang bisa ditawarkan menjadi lebih bersifat struktural. Dalam level analisis sistem internasional, program war against terrorism yang digembar-gemborkan oleh Amerika Serikat perlu dievaluasi secara kritis. Sebab, program yang berorientasi pada deradikalisasi dan penggunaan militer ini bukannya melemahkan radikalisme, tetapi justru menumbuhkan tunas-tunas baru gerakan radikal.

Terbukanya akses politik memang membuat gerakan-gerakan yang tadinya radikal mengalami moderasi. Namun pembukaan akses politik saja tidak cukup. Penjaminan keadilan ekonomi dan politik, serta pencapaian aspirasi kelompok radikal bisa menjadi jalan untuk "deradikalisasi" secara lebih tepat.

Jadi, melawan ideologi "terorisme" akan sangat rancu dan overgeneralistis jika hanya mengarahkan pada radikalisme yang pembacaannya tidak tuntas. Sebagai wujud solidaritas atas korban pengeboman di Solo tempo hari, perlu kita sampaikan pada pemerintah: jaminkan keadilan sosial atas seluruh rakyat Indonesia untuk memerangi negativitas dan terorisme.

Semoga pertunjukan Bom ini tidak lagi menghantui kita, sekaligus tidak direspons oleh "politik ketakutan" yang membabi-buta dari negara.

lebih banyak soal akar radikalisme Islam di Indonesia, lihat tulisan terbaru saya di Jurnal Sosial Politik (JSP) Fisipol UGM yang berjudul "Melacak Akar Radikalisme Islam di Indonesia" Jurnal Sosial Politik vol 14 no. 2 tahun 2011. Salam.

Antara Karl Marx dan Sayyid Quthb

"Seorang santri yang besar di pesantren, lalu terlempar dalam realitas urban yang sarat kontradiksi, dan mempelajari Marxisme, barangkali akan menemukan Marxisme-nya sendiri yang lahir dari persilangan hibrid yang tak akan sederhana antara kitab kuning dan filsafat" -Muhammad Al-Fayyadl-

Ideologi sudah mati, begitu titah Daniel Bell beberapa puluh tahun silam. Rupanya, kematian ideologi ini dianggap serius sebagai kemunculan centrism dalam politik, moderatism dalam agama, maupun universalisme dalam teori sosial. Kiranya, pemilahan dunia menjadi ideologi-ideologi yang fragmentaris, saling meniadakan satu sama lain, dan saling berkonflik itu harus direvisi, karena dunia sudah satu saat ini dalam ideologi pasar?

Benarkah itu bakal terjadi? Apakah memang pertentangan ideologi itu sudah mati?

****

Tak ada yang meragukan bahwa Karl Marx dan Sayyid Quthb berada di jalan yang sama sekali berseberangan. Antara materialisme di satu sisi -dan idealisme di sisi lain. Namun, percayakah anda, bahwa walau jalan keduanya membentang ke arah berlawanan, terdapat titik-titik di mana -rupanya- pernah ada persilangan antara kedua tokoh dari dua peradaban yang berbeda ini?

Kita tentu kenal tokoh pertama. Namanya menjadi semacam azimat bagi gerakan anti-kapitalisme di awal-awal industrialisasi, hingga menjadi tokoh yang dipuja-puji oleh negara penganut komunisme. Ia menulis sebuah "kitab kuning" yang menjadi acuan gerakan penolak kapitalisme: Modal.

Marx, yang sangat materialistis, mengkritik idealisme Hegelian dengan sangat sengit, skeptis terhadap agama, dan tidak percaya pada kekuatan metafisis sebagai pembangkit perubahan sosial yang dianggapnya mengalienasi manusia,  seringkali dianggap berada di sentrum titik paling "kiri", radikal, dan diasosiasikan sebagai "hantu" bagi kapitalisme yang menjangkiti dunia pada eranya.

Namun, di sisi lain, dengan tak kalah radikalnya, Sayyid Quthb yang dianggap pula sebagai "spectre" bagi kaum nasionalis militer Mesir itu mengampanyekan revolusi tauhid, perang terhadap materialisme, jihad melawan semua hal yang bertentangan dengan tauhid, serta memurnikan aqidah dari perselingkuhannya dengan kuasa-kuasa yang tak genuine dari Islam.

Yang benar adalah benar; dan yang salah tak mungkin bisa menjadi benar: inilah prinsipnya yang sangat tegas soal Aqidah. Dalam tubuhnya yang renta oleh siksaan rezim militer Mesir, suaranya tetap lantang meneriakkan kalimah haq: tauhid takkan tergantikan oleh hal yang sifatnya material. Oleh sebab itulah, namanya selalu dikenang dan harum bagi kalangan Jamaah Jihad.

Keduanya tentu berada pada kutub yang berseberangan. Tidak ada yang bisa menolak hal itu. Namun, apakah perbedaan keduanya itu adalah perbedaan yang vis-a-vis; hitam-putih, dan tak mungkin bertemu?

Baik penganut Marx-isme dan Islam-isme, tentu saja akan menyatakan ya. Dalam ranah kebenaran yang subjektif, keduanya pasti akan saling menegasikan satu sama lain. Itulah ideologi. Kebenaran sifatnya final, tak ada tawar-menawar. Marxisme akan vis-a-vis dengan Islam, dan sebaliknya, Islam juga akan vis-a-vis dengan sosialisme. Sebab, tak bisa tidak, kemutlakan Islam atas Marxisme -atau sebaliknya- adalah harga mati!

Akan tetapi, dalam ranah kebenaran yang objektif, yang tidak diserimpungi oleh kuasa subjek, apakah jawaban demikian masih bertahan? Saya kira bisa ya, bisa juga tidak. Pada tingkat yang lebih rendah: strategi dan taktik gerak (stratak), ataupun perjuangan politik, keduanya masih mungkin bersilangan, alias bertemu di satu titik yang rumit, tak sederhana.

Marxisme boleh saja mengklaim berbeda dengan Islamisme pada ranah kebenaran. Tapi, ketika dihadapkan pada realitas sosial yang dipenuhi oleh relasi-kuasa yang saling menindas (yang lemah), bagaimana respons keduanya?

Marx ketika berhadapan dengan kapitalisme segera mencurigai mereka merampas peran negara dan menjadikannya sebagai arena kekuasaan. Dan benar saja: negara adalah manifestasi kekuasaan kaum kapitalis, mereka yang punya modal, dan tidak serta-merta berpihak pada mereka yang membutuhkan.

Apa yang ia tuduhkan dalam kitab kuningnya yang lain, "Ideologi Jerman", soal posisi negara yang jadi alat tawur kepentingan borjuis pemilik modal, segera terbukti dalam era pasca-kapitalisme yang mewujud di negara-negara berkembang.

Vedi Hadiz dan Richard Robison menyebutnya sebagai "oligarki". Foucault membahasakannya dengan "relasi kuasa". Negara tidak seindah yang dibayangkan kaum liberal, rupanya. Negara yang diduga netral, mengayomi, dan mengacu pada hukum legal, nyatanya hanya selubung dari kaum kapitalis agar ia bisa melebarkan praksis kekuasaannya. Dan untuk itu, Marx menitahkan pengikutnya untuk melakukan satu hal yang sepertinya besar: revolusi.

Tetapi, ternyata Sayyid Quthb rupanya berpikir tak jauh berbeda. Ketika represi Gamal Abdul Nasser pada kelompok Al-Ikhwan Al-Muslimun, berada pada titik terpuncaknya, dan oleh karenanya harus menyebabkan ia dan ribuan aktivis gerakan ini ditangkap, Quthb justru mengkhotbahkan perlawanan secara lebih hebat.

Melalui bukunya yang tersohor, Petunjuk Jalan, ia menggelorakan iman para mujahid dengan seruan jihadnya yang berlandas pada Tauhid. Ia tidak sekadar menjadikan Tauhid sebagai "pandangan dunia" (at-tashawwur al-Islamy), tapi juga secara lebih luas menjadikan Tauhid sebagai alat menggelorakan perlawanan terhadap rezim yagn menindas. Ia tak sekadar bicara soal kapitalisme; ia juga bicara soal dimensi agama yang revolusioner.

Sandaran Quthb dalam bicara soal perlawanan tak se-njlimet Marx yang bergumul dengan teks-teks filsafat. Bagi Quthb, Al-Qur'an cukup menjadi penyemangat. Untuk itulah ia menyeru para pemuda untuk menjadi generasi Qur'ani. Karena, baginya, revolusi akan bermula dari sana. Revolusi dalam Islam, berarti penghancuran segala bentuk pemberhalaan manusia yang merintangi hubungannya dengan sang pencipta.

Dari sini, ia kemudian bicara soal perubahan sosial alias revolusi. Titik tolaknya memang berbeda dari Marx, tapi nalar revolusionernya bersentuhan. Menurut Quthb, Perubahan Islam berarti meninggalkan sistem produk manusia untuk memilih sistem ciptaan Allah. Dan dalam level kolektif-masyarakat, konsekuensi logisnya adalah revolusi berbasis Tauhid, mengecam segala bentuk kekuasaan yang menindas (karena berbeda dengan basis aqidah yang kuat), serta menyerukan kembali pada sang pencipta: Allah!

Maka dari pemikiran inilah, saat dakwah dihalangi oleh kekuatan politik atau kekuasaan, maka jihad harus menetralisir kekuatan itu sehingga dakwah bebas disebarkan. Jihad dengan demikian adalah praksis revolusioner dari Tauhid. Dan ini yang kemudian digelorakannya untuk melawan rezim Nasser, lalu Sadat, dan akhirnya Mubarak.

Marx dan Quthb boleh-boleh saja dianggap berbeda karena memulai pada titik yang bertentangan. Tapi, tak dapat dinafikan, praksis keduanya bertemu di satu titik. Itulah revolusi. Gagasan keduanya tentang revolusi mengilhami banyak gerakan Islam maupun gerakan sosialis yang anti-kapitalisme. Quthb mengilhami Jamaah Jihad, sementara Marx menjadi inspirator komunisme.

Gagasan keduanya yang revolusioner memberi titik tekan yang berbeda ketika dibandingkan dengan pemikiran lain. Teks-teks Marxisme segera menjelma menjadi sesuatu yang sangat ditakuti waktu itu. Sebab, ia tak hanya berarti ontologis semata, bercerita tentang sesuatu, melainkan juga mengajak pada perubahan. Kaum Buruh yang selama ini diperas tenaganya oleh prosedur kapitalisme, tentu akan terkesima. Ia ditakuti negara.

Begitu juga Quthb. Buku-bukunya tidak lantas menjadi sesuatu yang melenakan umat Islam pada spiritualitas yang terlampau dalam, tetapi menjadi semacam api pengobar semangat untuk berjuang atas nama Islam. Aktivis muslim kelas menengah -yang posisi sosialnya agak ke bawah karena melihat praktik penindasan atas umat- juga akan terkesima. Dan akhirnya, ia ditakuti oleh negara hingga mengakibatkan ulama ini dihukum mati.

Revolusi keduanya tentu akan membawa kita pada dua output yang berbeda. Tapi, Marx dan Quthb seakan mengajarkan pada kita satu hal yang beririsan: Teks itu bukan sekadar teks kosong, yang bisa saja jadi dalih penguasa untuk mengasingkan rakyatnya dari realitas empiris atau idealisasi nilai yang kokoh, tetapi juga sebuah teks yang memihak. Teks adalah alat perlawanan. Dan dalam konteks hegemoni modal seperti saat ini, Teks adalah pendukung perubahan sosial.

Marx dan Quthb juga seakan berbicara, bahwa revolusi itu niscaya. Ketika penindasan telah terkulminasi menjadi sebuah letupan kekecewaan yang berujung pada ketidakpuasan, senjata perlawanan pasti akan segera diangkat. Kaum Buruh dan Aktivis Jihad -yang ditangkap karena dianggap terlampau radikal itu- jika ditindas, tentu akan melawan.

Dan ekspresi perlawanan ini bermacam-macam, tidak tunggal. Ada yang bisa dipahami dalam kerangka "sekadar" pemogokan atau demonstrasi anarkis "biasa", tetapi juga ada yang mengekspresikan perlawanannya dengan merusak fasilitas umum maupun meledakkan bom di tempat yang disimbolisasi sebagai alat modal.

Ekspresi perlawanan itulah yang kemudian jadi sebuah diskursus menarik manakala kita bicara soal terorisme maupun gerakan sosial-politik. Di Inggris, orang-orang ramai merusuh karena tak tahan lagi dengan himpitan kehidupan yang kian menggila. Sementara di Afghanistan, banyak yang mengangkat senjata untuk membunuhi tentara Amerika yang datang ke bumi para Mullah itu untuk merampas kekayaan mereka yang sebenarnya banyak itu.

Ada yang murni perlawanan langsung, tapi tentu saja ada pula yang lebay, Dan akhirnya muncullah istilah terorisme itu. Mengapa terorisme muncul? Salah satu sebab yang bisa saya katakan, adalah karena kelebayan beberapa orang dalam mendefinisikan "siapa itu musuh" tapi keliru dalam menjalankan aksinya. Mereka yang memprovokasi kerusuhan di beberapa negara Eropa, lebay dalam mengekspresikan kekecewaannya hingga berujung pada kekerasan massa.

Marx dan Quthb boleh saja mengaku berbeda, tapi pada titik-titik yang penulis gambarkan di atas, mereka ternyata bersinggungan. Meskipun tujuan akhirnya berbeda.Yang satu menuju pada materialisme, dan yang satunya mengarah ke idealisme. Jika ada konflik terjadi karena pertentangan ini, sebenarnya tak terelakkan mengingat dimensi radikal dari kedua pemikiran ini yang sangat kuat.

Marx dan Quthb seolah ingin berpesan: tidak ada yang salah dengan radikalisme, asalkan ekspresinya tepat. Jika salurannya tak tepat, kita berarti ingin melakukan pembantaian massal. Ekspresi radikalisme yang salah inilah yang patut dikritik habis-habisan. Sebab, ia akan menjerumuskan perubahan sosial menjadi aksi individual yang anarkis, tak mau mengakui peran negara secara a priori.

Di sinilah pertemuan keduanya. Walau tak pernah bertemu langsung karena dua masa yang berbeda, Marx dan Quthb adalah penyemangat revolusi bagi pengikut keduanya. Tanpa revolusi, sepertinya akan hambar membicarakan Marx dan Quthb.

***

Hari-hari ini, orang-orang sepertinya enggan bicara soal ideologi. Sebab, ternyata pemilahan ideologi itu banyak bertendensi kekuasaan. Dulu, Orde Baru memilah partai berdasar ideologi; tapi tentu saja rezim ini memaksakan ideologi itu dalam realitas masyarakat Indonesia yang majemuk. Jelas, motifnya adalah kekuasaan.

Tapi, apakah ideologi itu sudah benar-benar mati, sebagaimana dituturkan Daniel Bell itu? Ternyata tidak juga. Sebab, globalisasi telah pula melahirkan komunalisme dan relasi yang semakin fragmentaris antar-komunitas. Islam dan Sosialisme adalah dua commune yang berbeda. Ia melahirkan satu struktur masyarakat di satu kutub dengan struktur masyarakat lain di kutub satunya. Dan wajar jika kemudian dua entitas itu sering dirundung konflik, seperti Soeharto lakukan 45 tahun silam untuk membangun Orde Baru.

Tapi jangan lupa pula, ternyata masih ada pertemuan di antara pertentangan itu, yaitu pada gagasan perubahan sosial. Dunia tidak dipersepsikan selinear kaum Konservatif, sebab ia mempersepsikan linearitas itu karena ada tendensi berkuasa. Dan sebaliknya, sejarah dunia adalah sejarah perubahan, karena ia membawa manusia pada satu kontinum ke kontinum lain jika memang kondisi memungkinkan perpindahan itu.

Jelas, ini mempertemukan Karl Marx dan Sayyid Quthb. "Sejarah adalah manifestasi perjuangan kelas", seperti kata Marx. Atau mewakili tutur kata Quthb, "sejarah adalah bentuk kemenangan umat Islam atas kebatilan". Keduanya, walau bertitik tolak dari dan menuju ke arah yang sama sekali berbeda, menyiratkan seberkas pesan yang sama: bergeraklah untuk melawan penindasan itu!

Saya kira, ada tanda tanya yang bisa saja mengganggu. Apakah tidak mungkin kedua pemikiran ini bertemu, berdialektika, bersinergi, dan membunuh musuh mereka yang sama, yaitu kekuasaan yang korup? Wallahu a'lam bish shawwab.