Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Nusa Dua, Bali, baru saja ditutup.
Perundingan tersebut telah menghasilkan kesepakatan Bali Concord III
yang berisi banyak pencapaian di antara negara-negara ASEAN, utamanya
penguatan kerjasama di bidang ekonomi.
Menarik untuk diulas, sudah sejauh mana pembicaraan tentang kerjasama keamanan ASEAN diperluas?
Mengikuti EU?
Jika
diurai dari sejarahnya, ada sebuah kecurigaan bahwa model regionalisme
ASEAN akan didesain dengan mengikuti alur regionalisme Uni Eropa yang
telah berjalan selama puluhan tahun -sebelum berdiri entitas
supranasional dengan nama Eropa itu.
Regionalisme Uni
Eropa dibentuk pertama kali oleh kerjasama ekonomi (European Coal and
Steel Community) yang mengatur kerjasama antara 6 negara Eropa (kemudian
menjadi founding members) di bidang industri baja dan
batubara. Seting politik Eropa waktu itu adalah "Perang Dingin", dimana
membentuk kerjasama pertahanan antar-negara Eropa hanya akan membuat
kecurigaan-kecurigaan baru.
Oleh sebab itu, wajar jika
kemudian regionalisme Eropa berkembang dengan basis kerjasama ekonomi,
hingga penyatuan moneter (mata uang Euro) dan fiskal. Uni Eropa
berkembang lebih sebagai supranasional -daripada sekadar regionalisme-
yang mengedepankan ekonomi.
Sejarah penyatuan Eropa dalam
EU sesungguhnya adalah sejarah yang sangat panjang. Sejarah peperangan
dalam Hubungan Internasional, baik sebelum maupun sesudah Westphalia
1648, sangat banyak terjadi di Eropa.
Kejenuhan atas
situasi yang begitu konfliktual itu membuat negara-negara Eropa
menandatangani perjanjian Westphalia tahun 1648, menjadi cikal-bakal
formasi negara-bangsa yang menjadi topik utama dalam Hubungan
Internasional dalam jangka waktu yang sangat lama.
Tetapi,
tentu saja situasi konfliktual itu tak serta-merta dapat dieliminir.
Perang Dunia I dan II adalah simbol betapa konfliktualnya Sejarah Eropa.
Begitu juga Perang Dingin. Ini menyebabkan pembicaraan mengenai
kerjasama pertahanan pasti akan bernuansa konfliktual, bahkan membawa
kecurigaan tentang ancaman-ancaman baru.
Oleh sebab
itulah, titik awal kemunculan regionalisme EU adalah kerjasama ekonomi
-EEC. Resesi yang terjadi berkali-kali, serta industri yang berkembang
pesat menyebabkan beberapa negara melihat ini sebagai titik mula
pembangunan kerjasama yang lebih baik. And it works.
Uni
Eropa terbentuk dari serangkaian perjanjian di Schengen, Maastricht,
hingga Lisabon. Dan konturnya semakin lama semakin mengarah pada
kerjasama politik.
Dan hal ini sepertinya coba ditiru oleh
ASEAN. Arah yang terlihat adalah kerjasama ekonomi menjadi prioritas,
antara lain terkait perdagangan dan penghapusan visa perbatasan. Ini
menandakan, ada kecenderungan untuk menekankan kerjasama ekonomi
sebagai pilar utama -padahal ada dua pilar lain yang juga penting.
Sesungguhnya ada dua persoalan yang hingga saat ini masih belum clear dibicarakan di tingkat ASEAN. Pertama, keamanan kolektif yang masih menjadi wacana di tingkatan elite negara-negara kunci; Kedua, identitas ASEAN yang belum dirumuskan secara mendetail dan belum diterima di akar-rumput. Mari berfokus ke poin pertama saja.
Problem Keamanan
Bali
Concord II di Bali tahun 2003 telah memberi arah baru regionalisme
ASEAN: adanya tiga pilar kerjasama yang meliputi pilar politik-keamanan,
ekonomi, dan sosial-budaya. Tiga pilar ini kemudian kita kenal sebagai
fondasi Komunitas ASEAN, yang dipertegas kembali dalam Piagam ASEAN
tahun 2007.
Penting untuk mengupas poin pertama, yaitu
persoalan keamanan yang menjadi kunci dari regionalisme ASEAN. Mengapa
keamanan menjadi penting? Sebab, jika kerjasama di sektor ini bisa lebih
nyata ditampakkan, kecurigaan antar-negara ASEAN yang selama ini
terjadi bisa segera dapat diminimalisir.
Persoalan
keamanan di ASEAN adalah sesuatu yang sangat kompleks. Bali Concord II
tahun 2003 sudah cukup berani mendobrak kegamangan soal isu keamanan di
tingkat regional, walau pada praktiknya kecurigaan itu masih ada.
Keamanan masih didefinisikan pada skala negara, bukan kawasan.
Selama
bertahun-tahun, ASEAN dihadapkan pada pilihan sulit: bagaimana
menghapus sikap saling curiga di antara negara anggotanya dalam masalah
keamanan-politik?
Harus diakui, selama ini, ASEAN belum
cukup mumpuni menyelesaikan konflik di antara negara-negaranya, terutama
terkait perbatasan. Malaysia dan Singapura punya problem serius terkait
air minum (Singapura disuplai dari Johor). Hubungan erat Singapura dan
Israel memicu kecurigaan Indonesia dan Malaysia
Malaysia
dan Indonesia bersengketa soal pulau. Thailand dan Kamboja sengketa soal
kuil di perbatasan. Hegara-negara Indocina punya problem terkait Sungai
Mekong. Wilayah Laut Cina Selatan sejak lama menjadi sengketa Malaysia,
VIetnam, Singapura, dan tentu saja Cina.
Dan kondisi ini
terjadi sering sekali, walau tidak sampai mengarah pada konflik terbuka
(kecuali kasus Thailand-Kamboja). Apa yang bisa diusahakan lagi?
Persepsi "Ancaman"
Dalam
keamanan internasional, poin paling penting dalam turbulensi
antar-negara akan bermula dari persepsi mengenai ancaman. Thomas Hobbes
menyebutnya sebagai "fear", ketakutan. Ketegangan bermula dari ancaman
yang sebenarnya dikonstruksikan sendiri.
Ketika Kambodia
melakukan aktivitas di perbatasan yang bersengketa, dengan alasan
konservasi cagar budaya, Thailand merespons dengan mengirimkan angkatan
bersenjata. Persoalannya sederhana: Thailand melihat aktivitas militer
Kambodia di perbatasan sebagai ancaman, dan harus direspons pula oleh
ancaman itu.
Sudah barang tentu, ancaman itu tidak muncul
dengan serta-merta. Ada proses pembentukannya. Barry Buzan, Ole Waever,
dan Jaap de Wilde melihatnya dalam sebuah formula: ada existential
threat dan speech act yang menyertainya.
Menurut analis
mazhab Kopenhagen ini, speech act memiliki peran penting. Tanpa adanya
provokasi lisan maupun tindakan, existential threat tidak akan berubah
menjadi threat dan melahirkan konflik. Oleh sebab itu, tindakan
provokatif, misalnya, yang dilakukan Kambodia, berubah menjadi sebuah
tawaran melakukan konflik terbuka.
Dan pilar keamanan
ASEAN selama ini masih tak kunjung membuka pintu untuk membahas
kesalahpahaman itu. ASEAN masih harus menghadapi satu prinsipnya yang
selama ini menjadi ikon keamanan ASEAN: non-interference. Mungkin
maksudnya adalah untuk menghargai kedaulatan masing-masing negara,
tetapi menjadi problematis karena menyiratkan kemandulan ASEAN dalam
resolusi konflik internal mereka.
Seyogianya, ASEAN harus
mampu mendekonstruksi ancaman-ancaman laten yang selama ini membayangi
beberapa negara. Sebab, dengan laju perkembangan ASEAN di bidang
ekonomi, kerjasama mesti diperluas.
Ini belum untuk
menyebut identitas ASEAN yang, untuk ukuran massa akar-rumput, absurd.
Sebab, transformasi lintas-budaya masih belum dilakukan, terutama untuk
wilayah Indocina dan Melayu. Contoh sederhana saja: Ada berapa sih orang
Indonesia yang mampu menerima budaya Melayu sebagai satu kesatuan
budaya dengan Indonesia? Ketika ada klaim soal produk budaya saja,
misalnya, masih muncul pro-kontra di kedua negara.
Padahal,
pilar sosial-budaya ASEAN adalah pilar penting dalam Komunitas ASEAN,
selain juga keamanan. Kalau tidak disikapi, model regionalisme ASEAN
akan tidak berimbang.
ASEAN boleh-boleh saja mengklaim
adanya integrasi ekonomi, tapi tetap terhambat karena tidak bisa
mengintegrasikan aspek politik dan budayanya. Membuka konektivitas tanpa
menghilangkan kecurigaan tetap akan menciptakan penjarakan tertentu.
Sehingga,
dalam konteks keamanan, perlu ada perundingan yang lebih komprehensif
guna benar-benar menciptakan komunitas keamanan yang komprehensif.
Jangan sampai, meminjam istilah senior saya di kampus, agenda Komunitas
Keamanan ASEAN hanya menjadi "talk shop" di forum-forum perundingan.
Perlu Dobrakan
Dan
untuk itu, perlu ada sedikit dobrakan dari negara-negara ASEAN untuk
mewujudkan masyarakat keamanan ASEAN yang stabil dan komprehensif.
Secercah harapan sudah dijatuhkan ketika perundingan di Bali, tetapi apa
hasil yang kita dapat?
Bali Concord III lagi-lagi belum
merumuskan sesuatu yang "baru" dalam soal keamanan. Meski sudah ada
kesepakatan bersama soal penanggulangan terorisme, perompakan,
nonproliferasi senjata nuklir (dan pemakaian energi) hingga kejahatan
transnasional yang menjadi domain keamanan manusia (human security), upaya resolusi konflik kawasan sepertinya masih menemui stagnasi.
Stagnasi
tersebut dapat dilihat dari belum adanya rumusan yang memungkinkan
ASEAN masuk ke wilayah konflik dengan menekan masing-masing negara.
Penyebabnya mungkin sederhana: prinsip non-interference masih secara
tradisional dipegang oleh negara-negara yang bersangkutan.
Dengan
demikian, prinsip non-interference mengimplikasikan mekanisme
penyelesaian bilateral. Kita berharap peta jalan penyelesaian konflik
dapat mendobrak hal tersebut.
Belum lagi soal senjata.
Perdebatan yang hangat soal nuklir memang menjadi sebuah potret
ketegangan sendiri. PLTN yang dibuat oeh Indonesia, yang pada awalnya
kepentingannya adalah energi, tentu akan menjadi kecurigaan di
negara-negara lain, utamanya Malaysia dan Singapura. Persoalan bukan
pada nuklir-nya, tapi pada ancaman konfliknya.
Oleh sebab
itulah kita menantikan adaya perkembangan yang lebih signifikan dalam
pembahasan soal keamanan ini. Tentu saja dengan tidak hanya bergulat
pada persoalan ekonomi. Agar KTT ASEAN tidak menjadi "talk shop" bagi
elit pengambil kebijakan luar negeri (foreign policy), penting bagi segenap komponen memikirkan strategi dekonstruksi ancaman secara jangka-panjang.
Dan
saya percaya, masyarakat ASEAN 2015 dengan tiga pilarnya dapat menjadi
sebuah awal baru untuk regionalisme Asia Tenggara yang lebih
komprehensif, lebih damai.
Salam Satu ASEAN!
Banjarmasin, 20 November 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar